“Dan sudah kuduga kau orang pertama yang akan mengetahuinya.” Jihan memerintahkan semua pelayannya untuk keluar.
“Berhati-hatilah.”
Jihan terbahak menanggapi Murat. “Apa aku memerlukannya? Aku yakin bahkan kau sekali pun tidak mampu menemukan bukti yang bisa mengarah padaku. Lalu apa gunanya berhati-hati?”
Jihan terus terbahak, sembari melumuri kedua tangannya secara bergantian dengan air susu. Sementara Murat, masih berdiri di tengah-tengah pintu utama kolam, memandangi segala aktivitas yang dilakukan Jihan. Jihan berenang ke sana ke mari sambil bersenandung bahagia, merasakan betapa hebat dirinya bisa berjalan di atas angin.
Murat hanya diam mendengar kecongkakan Jihan yang seakan tidak berujung, sambil bergumam mengasihani Jihan dalam hati. Pria berlesung pipi itu menunggu saat yang tepat untuk menyampaikan maksud kedatangannya pada Jihan, ratu dengan segudang kemampuan hebat yang seketika menjadi tolol jika sudah teperdaya kecemburuan.
Dan saat yang dinanti pun tiba. Jihan berbalik, menoleh pada Murat yang sedari tadi hanya berdiri mematung tanpa berucap sepatah kata pun. Jihan penasaran apa alasan Penasihat lancang banyak mulut sepertinya bersikap acuh, terutama alasan pria minim berahi sepertinya sampai nekat berkunjung di tengah hujan lebat.
Jihan keluar dari kolam susu, lalu menceburkan diri ke kolam air. “Apa yang ingin kau sampaikan? Jika tidak ada cepat keluar dan panggilkan pelayanku. Kau membosankan.”
“Kaki tanganmu tertangkap.”
Jihan sempat terkejut, namun kembali tenang. “Harusnya kau menambahkan kata bangkai dalam kalimatmu.”
“Itu karena mereka belum menjadi bangkai.”
Jihan kembali menoleh pada Murat. “Apa katamu?”
“Situasi akan berbalik padamu jika kau tidak memiliki rencana cadangan.”
“Tunggu, Murat.”
Jihan bergegas keluar dari kolam, berniat mengejar Murat yang tidak pernah sekali pun mengindahkan perintahnya. Jihan akhirnya berhasil mengejar langkah cepat Murat meski sempat tersandung dengan kain penutupnya beberapa kali. Pria dengan bola mata berwarna hitam pekat itu menatap Jihan kesal, membuat Jihan tak kalah kesal.
“Beritahu aku dulu bagaimana mereka bisa tertangkap hidup-hidup.”
“Tanyakan saja pada orang yang kau pikir sedang menangis di kamarnya sekarang,” sahut Murat pada Jihan.
“Haala? Tapi bagaimana dia bisa keluar? Bukankah Braheim menahannya berhari-hari di kamar dengan penjagaan yang ketat?”
Murat menghela napasnya. “Lalu kau pikir dia akan menikmati penjagaan itu dan tidur dengan nyenyak? Kau hanya memiliki sedikit waktu untuk berpikir sampai kaki tanganmu sadar dan membuat pengakuan.”
Jihan mendekat pada Murat, menjelajahkan sebelah tangannya ke dada bidang itu. “Bantu aku seperti biasa. Hm?”
Murat tidak menjawab, hanya membiarkan Jihan bertindak sesuka hatinya. Satu per satu kancing pakaian Murat sukses ditanggalkan, menampakkan tubuh penuh bekas luka yang entah kenapa malah mengusir rasa kasihan Jihan dan mengundang sesuatu yang panas. Namun satu kalimat yang dilontarkan Murat membekukan panas itu dalam sekejap.
“Aku bosan dengan wanita sisa,” tandas Murat seraya berbalik memunggungi Jihan.
Jihan ikut berbalik. “Benar-benar membosankan.”
“Bersumpahlah untuk tidak mengusik Haala jika aku menyelamatkamu lagi kali ini.”
Jihan mengangguk dengan cepat. “Aku bersumpah.”
“Ceritakan padaku bagaimana semua ini bermula.”
Jihan menurut, dan menceritakan awal mula dirinya berurusan dengan Haala. Murat tak henti menghela napas mendengar cerita Jihan. Daripada menyematkan label tolol, akan lebih pas jika menyematkan label tidak waras pada Jihan. Entah di mana Jihan meninggalkan kewarasannya hingga berani mengancam, melukai, bahkan memfitnah keturunan Yusef Bahadir.
Jihan memang dikenal sangat pencemburu oleh semua orang. Wanita penggila batu permata itu masih belum bisa menerima jika kasih sayang Braheim tidak bisa dimilikinya secara utuh. Jihan menganggap Braheim sangat mencintainya hanya karena Braheim memberinya singgasana ratu. Padahal Braheim yang Murat tahu hanya memberikan cintanya pada rakyat.
Jihan menjadi wanita terpilih dari sekian banyak wanita yang ada di Kumari Kandam bukan hanya karena kecantikannya saja, tetapi karena kecerdasannya yang bukan sekadar omong kosong, namun mampu dibuktikannya dengan tugas-tugas ratu yang bisa diembannya sesuai harapan Braheim. Tidak lebih dari itu, tetapi Jihan terus salah paham mengira cintanya bersambut.
Murat berjalan keluar dari kamar Jihan. “Minta maaf pada Haala setelah masalah ini selesai.”
“Apa? Dia yang seharusnya minta maaf padaku.”
Murat menghentikan langkahnya. “Setelah semua yang kau lakukan padanya? Apa lebih baik kubiarkan saja kau meregang nyawa di pedang pusaka Yusef Bahadir?”
"Cih. Aku hanya akan meminta maaf jika sudah berhasil membuat wanita rendahan itu angkat kaki dari Kumari Kandam," ujar Jihan dalam hati.
...¤○●¤○●¤○●¤...
Pedang Haala hampir memisahkan kepala Murat dari tubuhnya andai saja Murat terlambat menangkis serangan Haala barang setengah detik. Haala pun menyarungkan kembali pedangnya, setelah orang dengan jabatan tertinggi kedua di Kerajaan Kumari Kandam itu menyampaikan maksud kedatangannya sambil membungkuk hormat.
Meski merasa sangat tidak nyaman karena ini merupakan kali pertama ada pria yang melihatnya mengenakan gaun tidur, Haala tidak memiliki pilihan lain. Murat sudah terlanjur menginjak balkon kamarnya, dan jika tidak segera mempersilakannya masuk, mata-mata kerajaan yang terus terjaga pasti akan menyebarkan desas-desus.
Kini keduanya sudah duduk saling berhadapan. Murat tak kunjung bersuara, karena mendadak kehilangan fokusnya. Wanita bergaun tidur putih yang duduk memunggungi rembulan itu mendadak membuat degup jantungnya berisik bukan main. Bagaimana mungkin, kecantikan penguasa langit malam bisa dikalahkan oleh sosok wanita didepannya.
“Penasihat?”
Murat tersadar dari lamunannya, dan berdeham beberapa kali sebelum akhirnya mulai berbicara. “Aku datang untuk Yang Mulia Ratu.”
“Katakanlah, Penasihat.”
Murat kembali berdeham, “Kekacauan ini adalah perbuatan Yang Mulia Ratu. Beliau berkata tidak akan mengulanginya lagi, dan tidak akan menyebarkan apapun perihal adikmu.”
“Lalu kau dikirim untuk menyelesaikan kekacauan yang dibuat Yang Mulia Ratu, begitu?”
“Benar. Jadi tolong serahkan masalah ini padaku,” jawab Murat.
“Kau tahu aku tidak akan dengan mudah menyetujuinya, bukan?”
“Ya. Maka dari itu aku menawarkan ini.” Murat mengeluarkan sesuatu dari dalam pakaiannya.
Sebuah sobekan peta kuno berukuran kecil terpampang di depan mata Haala. Haala mencoba membaca peta itu, tetapi tidak ada satu tempat pun di dalam peta yang diketahuinya. Nama-nama tempat dalam peta itu juga ditulis menggunakan bahasa Videsh* asli yang menambah kesulitan Haala menjadi berkali lipat.
*V**idesh** merupakan bahasa kumari kandam yang digunakan para leluhur terdahulu. Sudah tidak digunakan lagi di masa sekarang karena terlalu rumit.
“Kudengar adikmu sedang sakit. Salah satu tempat di peta ini bisa mengantarmu pada orang yang bisa memberimu ramuan ajaib penyembuh segala macam penyakit,” imbuh Murat.
“Apakah orang yang kau maksud itu suku pengembara?”
Murat mengangguk menanggapi Haala. “Percayalah, mereka bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Mereka benar-benar ada di sekitar kita. Yang mana itu artinya adikmu bisa disembuhkan.”
Meski masih dibayang-bayangi perasaan tidak percaya, entah kenapa Haala merasa sangat senang melihat ekspresi yakin di wajah Murat. Selama ini Haala memang mati-matian mencari keberadaan suku pengembara. Haala enggan meminta bantuan siapa-siapa sekali pun keluarganya karena hanya anak-anak setinggi lutut yang memercayai suku tersebut hidup.
Dalam dongeng anak-anak dikisahkan jika suku pengembara dipimpin oleh seorang pria beserban hitam yang memiliki wajah buruk rupa dan tatapan menghipnotis. Konon suku pengembaralah penguasa serta pewaris Kumari Kandam yang sesungguhnya, karena mereka merupakan manusia pertama yang menginjakkan kaki dan membangun kehidupan di tanah Kumari Kandam.
Jika benar suku pengembara bukan sekadar dongeng, itu artinya pasukan tempur Haala bukanlah pasukan tempur terkuat. Dikisahkan bahwa pasukan tempur suku pengembara tidak hanya manusia yang kebal dengan segala jenis senjata tajam, tetapi juga makhluk-makhluk supernatural seperti singa, kera, gajah, dan ular raksasa.
Mereka juga dikisahkan pandai meramu obat-obatan, dan kerap kali memberikan obat tersebut pada yang paling membutuhkan. Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, karena selalu berpindah ke satu tempat ke tempat lain. Semua itu mereka lakukan demi meratakan bantuan ke tempat-tempat yang tidak terjangkau keadilan Raja Kumari Kandam.
“Mereka pernah menyelamatkan nyawa orang yang kucintai.”
“Jadi mereka benar-benar memiliki ramuannya?” tanya Haala antusias.
“Ya, dan aku tahu cara memanggil mereka.”
“Beritahu aku, Panasihat.” Haala semakin antusias.
“Hanya jika kau menyerahkan masalah ini padaku. Bagaimana?”
...¤○●¤○●¤○●¤...
Murat berhasil menghindarkan Kumari Kandam dari perang yang dilayangkan Shaasvat setelah bernegosiasi dengan para pelaku pembunuh si Selir Nahas. Awalnya mereka tidak mengindahkan apapun yang Murat katakan dan bersikeras akan mengakui perbuatannya di depan Braheim, namun tawaran dari Murat berhasil membuat dua orang pria tak takut mati itu dengan cepat berubah pikiran.
Murat berjanji akan membuat keluarga mereka tidak kekurangan apapun selama dirinya masih hidup, menaikkan kasta keluarga mereka, serta memberikan posisi di kerajaan ketika anak-anak mereka sudah mencapai usia siap bekerja. Selain itu Murat juga akan memastikan Jihan yang merupakan tuan mereka ikut menerima hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
Mereka pun setuju, dan esoknya setelah memberi pengakuan seperti yang diperintahkan Murat, mereka dijatuhi hukuman penggal. Kondisi di dalam kerajaan masih belum kembali normal sejak insiden mengerikan yang terjadi di harem. Bahkan harem mendadak dipenuhi cerita-cerita konyol seperti arwah si Selir Nahas yang diduga akan bersemayam di dalam harem selamanya.
Lalu Jihan, pindah dari istana ratu ke istana barat* dengan alasan tidak bisa tidur nyenyak karena para penghuni harem yang terus membuat kegaduhan. Padahal Muratlah yang membuat Jihan kini tinggal di istana kecil di samping kandang kuda sebagai bentuk hukuman atas perbuatannya yang keji. Jihan akan terus berada di sana sampai Murat sendiri yang mengizinkannya keluar.
*I**stana barat** istana yang menjadi tempat tinggal selir favorit raja terdahulu. Sekarang sudah tidak digunakan lagi karena sejak masa kepemimpinan Braheim, tidak ada gelar selir favorit. Istana tersebut kemudian dialihfungsikan untuk tempat beristirahat pasukan berkuda.
Sementara Haala, mulai sibuk melakukan aktivitas malam. Seperti janjinya, Murat memberitahu di mana tempat tinggal suku pengembara serta bagaimana ritual untuk memanggil suku yang hanya dianggap mitos itu. Namun kuil yang biasa digunakan untuk ritual pemanggilan suku pengembara terletak di tempat yang sangat jauh, dan dengan medan yang bukan main sulitnya.
“Ke mana kau akan pergi?”
Spontan Haala mengurungkan niatnya menaiki kuda, dan membungkuk hormat pada Braheim yang tiba-tiba muncul entah dari mana. “Panjang umur, dan terbekatilah selalu, matahari Kumari Kandam.”
“Jawabanmu?”
Haala diam sesaat, berpikir. “Ada tempat yang ingin hamba kunjungi, Yang Mulia.”
“Selarut ini?”
“Benar, Yang Mulia,” balas Haala.
“Jika tempat yang ingin kau kunjungi itu bisa membuatku melepas penat, bawa aku juga.”
Haala kembali diam, semakin berpikir. “Silakan naik, Yang Mulia.”
Braheim tak menjawab, hanya memandangi Haala yang tiba-tiba duduk bersimpuh di sampingnya, menyodorkan sebelah kakinya sebagai penopang pijakannya untuk naik ke atas kuda. Namun tak disangka Braheim malah bertindak yang tidak seharusnya. Dengan cepat Braheim menggendong Haala, mendudukkan Haala di atas pelana, dan mengambil kendali tali kekang kuda putih itu.
“Tolong jangan melakukan tindakan seperti tadi lagi di lain waktu, Yang Mulia.”
Braheim tersenyum menanggapi Haala. “Aku hanya menyelamatkan harga diriku sebagai seorang pria.”
“Anda bukan hanya seorang pria tetapi raja.”
“Aku raja yang berhati,” sahut Braheim.
“Berikan hati Anda pada yang pantas.”
Braheim kembali tersenyum. “Menurutmu siapa yang paling pantas mendapatkan hatiku?”
Haala terdiam cukup lama. “Hamba,” gumam Haala akhirnya.
Perlahan laju gesit kuda berbulu cantik itu melambat, karena si Pengendali Tali Kekang yang kini tengah sangat terkejut. Entah semilir angin yang membuat pendengarannya menjadi salah paham, atau jawaban singkat wanita berkepang di depannya memang sungguh-sungguh, Braheim hanya membiarkan mulutnya berucap sejalan dengan apa yang terlintas di dalam benaknya.
“Ah, jadi menurutmu kau yang paling pantas. Kalau begitu, haruskah aku memberikan hatiku sekarang juga?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
anan
hadir k
2023-01-11
0
Nindira
Ceritanya benar² seru aku seolah diajak kedunia fantasi🥰👍
2022-10-26
0
Ichi
lanjut baca 💃💃💃
next 🚀🚀
2022-10-19
0