Presdir Cilok
Tiada usaha yang mengkhianati hasil. Jika hasil belum di dapat, mungkin usaha yang kita lakukan belum maksimal. Jadi, semangat terus untuk menggapai angan dan impian, pantang menyerah, untuk tetap melangkah. Never give up.
••
"Kalau kita mau sukses jangan suka beralasan. Jika suka beralasan, jangan pernah berharap bisa sukses.” salah satu prinsip Damar Mangkulangit.
So, Always positif thinking. And Do not forget to be happy
Selamat membaca!
♠
• • •
Matahari menyengat kulit, terasa begitu panas di ubun-ubun kepala. Kota yang sekarang padat akan kendaraan bermotor, membuat jalanan menjadi semakin panas dan gersang.
Di pinggiran jalanan Kota, di bawah pohon-pohon yang berjejer di sepanjang jalan. Menjadi tempat berteduh bagi sebagian para pedagang asongan, ojol, maupun yang mendorong gerobaknya.
Berharap agar rezeki yang diperoleh dapat mencukupi kebutuhan sehari hari, karena kebutuhan hidup tahun demi tahun semakin meningkat, bahan poko semakin mahal, meskipun sebagian besar pendidikan sudah cukup terbantu oleh biaya pemerintahan.
Akan tetapi tak jarang pula yang akhirnya putus sekolah, akibat sistem pembiayaan kuliah di berbagai jurusan yang terkadang membebani rakyat biasa. Di tambah keterpurukan ekonomi, yang menggerus roda kehidupan bangsa.
Seperti halnya salah satu pedagang dengan gerobak kecil yang ia dorong, dengan panci dandang di tengah gerobak, serta gas melon yang diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Dengan api yang menyala kecil, agar senantiasa menghangatkan adonan yang sudah di buat bulat-bulat serta diisi berbagai toping bumbu dan juga rempah khas pilihan. Agar menjadi perpaduan yang unik, bagi pecinta kuliner yang berbahan dasar tepung kanji.
Damar Mangkulangit, adalah nama dari seorang pemuda yang sedang menjajakan dagangan ciloknya. Berusia 24 tahun, sudah enam tahun lamanya ia berjualan, dengan rambut di buat gaya ke atas, serta berwajah yang tidak jelek juga tidak terlalu tampan. Namun, bisa dikatakan Damar begitu rupawan, nan berkharisma.
Ia juga tulang punggung keluarga, setelah Ayah yang ia panggil Bapak telah tiada untuk selama-lamanya, akibat tersetrum listrik bertegangan tinggi, membuat Almarhum Bapak Gusli merenggang nyawa seketika, delapan tahun lalu.
Berpendidikan rendah, SMA saja tidak lulus, harus membuat pemuda berpostur tinggi ini memutar otaknya untuk mendapatkan pekerjaan.
Pernah bekerja di bengkel, juga pernah menjadi kuli bangunan untuk membantu perekonomian keluarga, hampir semua pekerjaan yang memerlukan tenaga ekstra pernah di gelutinya.
Menjadi tukang sol sepatu pernah ia lakoni, bukan perkara mudah ketika Damar bertemu dengan pelanggan yang cerewet ketika penyemiran sepatu hitam.
Damar masih ingat jelas ketika ia melakukan penyemiran, bukan hanya tidak dibayar, akan tetapi juga di hina.
"Bah! macam mana pula kau ini. Kalau kau tak bisa menyemir sepatu, maka jadi gelandangan saja sana kau!” umpat pelanggan yang berbahasa logat Batak Toba.
Damar hanya bisa mengelus dada, sambil menggemakan istighfar dalam hatinya.
Ia juga sempat menjadi pengamen jalanan. Juga pernah mengais barang bekas, mendapat ejekan dari teman-temannya sudah sering ia terima.
Namun semua ejekan dan hinaan Damar terima dengan lapang dada, berharap suatu saat Damar bisa membuktikan bahwa ia mampu membungkam semua orang-orang yang pernah menghinanya dengan kesuksesan.
Ketika dalam dilema, Damar menjatuhkan pilihannya, saat usianya delapan belas tahun. Ketika ia memakan adonan yang terbuat dari tepung kanji. Damar mencoba peruntungan dari berjualan cilok, awalnya ia sempat ragu, akan kegagalan dalam usaha yang sudah enam tahun dirintisnya.
Namun bayang-bayang kerapuhan perekonomian keluarga, harus membuatnya membanting tulang, agar semua yang pernah ia tekuni dapat sedikit demi sedikit meringankan beban Ibunya yang menggantikan peranan sang Ayah.
Ia tidak tega jika harus melihat setiap hari Ibunya menjadi tukang cuci dan setrika milik para tetangga. Dengan segala gigih dan upayanya, ia ingin ada hasil dari apapun yang dikerjakannya.
Usaha cilok yang dirintisnya tak pelak mendapat dukungan penuh dari Ibunya yang ikut membantu dalam pembuatan cilok yang sudah di kenal oleh sejumlah pelanggan.
Cilok yang di buat Ibu dan juga dirinya, mampu meraup keuntungan, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga biaya sekolah Adiknya. Karena Ciloknya sudah di kenal oleh pelanggan dan juga bermitra, menyewakan gerobak miliknya kepada orang-orang yang mau bekerjasama membagi keuntungan. 60/40.
60% Damar dapat dari hasil penjualan cilok dan juga menyewakan gerobak miliknya, 40% upah untuk orang yang sudah mau menjajakan cilok miliknya. Meskipun terbilang sedikit antara pembagian dari hasilnya.
Namun Damar selalu bersyukur. Bahwa sesungguhnya, sedikit ataupun banyak, rezeki memang harus selalu di syukuri. Agar kehidupan yang di jalaninya tidak ada keluhan.
Dari saat dulu, ia tidak mempunyai kendaraan, sekarang dari hasil kerja kerasnya, ia dapat membeli motor meskipun masih jauh dari keadaan layak pakai.
Tinggal dengan seorang Ibu dan juga Adik laki-laki yang masih bersekolah SMK di salah satu sekolah tempat tinggalnya. Membuat Damar harus rela berhenti mengejar angan-angan dan cita-citanya, sebagai seorang Polisi.
Meskipun ia hanya berjualan cilok yang di jajakan di pinggir jalan, Damar tidak merasa malu. Justru ia malu ketika tidak bisa menghidupi Ibu dan juga Adiknya yang bernama Danum. Ia bersyukur Danum, adiknya tidak sebadung anak-anak di usianya yang menginjak 16 tahun.
Damar berharap dengan adanya sepenggal kisah ini, dapat membuatnya selalu mengingat bahwasanya semua kesuksesan tidak lepas dari proses. Layaknya kepompong ulat yang nampak menjijikkan, berubah menjadi kupu-kupu yang mengagumkan.
Otaknya selalu berpikir positif, sekiranya ia tidak ingin hidup dalam kesia-siaan belaka.
Saat tengah memikirkan tentang kehidupannya, pembeli membuyarkan lamunannya.
"Mas Damar?" panggil seorang Ibu-ibu, berseragam cokelat muda.
Damar pun terkesiap, "Eh.. maaf Bu,”
Ibu itupun mengibaskan tangannya, "Aih, melamun aja nih si Mas Damar,”
Damar pun terkekeh kecil, "Maaf Bu, hehe kadang kalau lagi sepi saya tiba-tiba melamun,"
"Jangan suka melamun atuh, ngelamunin siapa? Pacar?” tanya Ibu yang memakai hijab instan berwarna cokelat tua.
Damar hanya mengulum senyum, soal pacar. Damar memang sudah memiliki pacar yang sudah terjalin selama satu tahun, meskipun tanpa persetujuan dari orang tua sang pacar. Namun Damar juga pacarnya menjalaninya secara sembunyi-sembunyi.
"Ahh, bukan Bu, saya malah nggak mikirin pacar saya,” jelas Damar malu-malu. "Ibu Rusmini mau beli cilok berapa bungkus?” tanya Damar.
"Cie cie...., Kenapa nggak di pikirin, iya yah, kan masih tanggung jawab orang tuanya.” ledek Ibu Rusmini, lagi-lagi membuat Damar malu-malu.
"Kaya biasa yah. Ciloknya di bungkus lima, lima ribuan.” imbuh Bu Rusmini.
Damar pun tengah sibuk memasukkan cilok sebesar biji salak, dan juga cilok beranak sebesar jambu biji. Lima plastik berukuran setengah kilo gram, sudah siap terisi cilok, tinggal memberi toping bumbu, cabe halus, saus sambal, dan kecap.
Ada juga yang diberi toping bumbu kacang, tergantung selera dari pembeli. Setelah semua cilok siap, ia pun membungkusnya dengan karet juga menggabungkan semua cilok menjadi dalam satu plastik bening berukuran sedang.
Lantas Damar memberikan cilok yang di beli oleh Bu Rusmini, "Ini Bu,” kata Damar menyodorkan kantong plastik.
Bu Rusmini pun menanggapi kantong plastik berisikan cilok pesanannya, "Ini Dam, ambil aja kembaliannya,” kata Bu Rusmini memberikan uang lembaran uang berwarna hijau dan lembaran uang berwarna ungu.
"Alhamdulillah, beneran Bu,” ucap Damar tersenyum sumringah, Bu Rusmini mengangguki'nya.
"Makasih Bu,” imbuh Damar.
"Sama-sama Presdir Cilok,” balas Bu Rusmini, menyebut Damar seorang Presdir Cilok.
Damar terkekeh geli atas ucapan dari wanita seumuran Ibunya yang bekerja di kantor catatan sipil.
"Loh iya toh, kamu kan Presdir, Presdir Cilok. Semua orang yang berbisnis dan mempunyai usahanya sendiri bisa juga di sandang dengan sebutan Presdir,” imbuh Bu Rusmini, yang saat ini berpakaian dinas.
Meskipun terkekeh geli, namun Damar mengucapkan kalimat, "Amin.” ia berharap bisa menjadi doa.
Bu Rusmini pun berlalu, dan menuju kantor catatan sipil membawa sekantong cilok yang di belinya. Meskipun Bu Rusmini setiap hari membeli dagangan cilok Damar, namun ia menyukai cilok buatan Damar, yang di buat bersama dengan Ibu dari Damar Mangkulangit.
Damar pun kembali memikirkan ucapan Bu Rusmini,
"Bener juga yah, semua orang yang mempunyai usaha sendiri bisa di sebut dengan istilah Presdir. Hahaha..., Presdir Cilok. Unik juga,” gumam Damar.
"Mas Damar, kenapa senyam-senyum gaje?” tanya seorang pedagang asongan.
Damar pun mengalihkan pandangannya menatap pedagang asongan, "Ahhh... Nggak pa-pa Lang,” jawab Damar.
Pedagang asongan yang masih berusia remaja pun nampak manggut-manggut, "Mas Dam, kok tumben belum ke kampus?” tanya Galang, remaja berusia lima belas tahun.
"Sebentar lagi, lagian orang-orang kampus aja belum pulang,” balas Damar.
♠
Bersambung...
Konteksnya; Kisah ini sebagai penyemangat. Karena saya tidak ingin mengawali kisah novel-novel saya dengan adegan 21+. Saya hanya ingin menulis tentang apa yang bisa menjadi bacaan yang bermanfaat. Dan semoga saja bermanfaat bagi yang baca.
Mohon dukungannya 🙏🏼
Like, Vote, Komen. Terimakasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
delesia
cerita yg bagus
2023-03-14
6
Asrori Asrori
mantap
2023-02-24
1
Hm tipe gue kya si damar yg tanpa patah semangat, ga putus asa, penyabar 🙂
2023-02-24
0