Kesetiaan dan pengkhianatan adalah dua sisi pilihan yang selalu menguji hati untuk bertahan atau udahan.
♠
Memasuki waktu Maghrib, Damar baru pulang dari pantai Parangtritis. Baru saja mematikan mesin motor Vespanya, dan turun dari motornya ketika Damar berjalan dan hendak masuk ke dalam rumah. Sudah lebih dulu dihadang oleh adiknya di balik pintu. Membuat Damar terkesiap.
“Mas Damar!” seru Danum, yang sudah memakai baju koko putih sarung hitam corak batik serta peci untuk hitam untuk sholat.
“Alamak, kaget aku Num!” seru Damar. Seraya mengelus dadanya.
Danum menyandarkan sikunya di kusen pintu, seolah ingin mencari tahu Kakaknya baru pulang dari mana? Dan bertemu dengan siapa? Wangi banget bau parfumnya.
Baru saja Danum membuka mulutnya mengaga, sudah lebih dulu tangan Damar menyuruhnya untuk tidak bersuara. “Sssstthhhh...”
“Adik cerewet ku, diem bae yah. Jangan suka kepo.” Kata Damar, ia pun meminta agar adiknya menggeser tubuhnya yang berada tepat ditengah-tengah pintu masuk rumah.
Danum berdecak kesal akan sikap acuh Kakaknya yang enggan untuk berbagi cerita tentang kelanjutan hubungan Kakaknya juga Ratna, remaja itupun membuntuti sang Kakak hingga masuk kedalam kamar.
Sampai Damar kesusahan untuk mengambil handuk yang berada di balik pintu kamar.
“Minggir nggak!” ujar Damar.
Danum hanya menggelengkan kepalanya, “Nah, tuh kan udah azan. Sana berangkat ke mushola.” kata Damar, menyuruh adiknya ke mushola yang berada tak jauh dari rumahnya.
“Tapi Mas Damar masih hutang loh,” kata Danum, mengacungkan jari telunjuknya kearah sang Kakak.
Damar melihat jari telunjuk adiknya, lalu menangkisnya. “Nggak ada hutang-hutangan. Ibu aja nggak seperti kamu, kenapa malah kamu yang cerewet dan ingin tau.”
“Ini ada apa toh?” tanya Ibu, yang sudah memakai mukenah berwarna putih yang sudah terlihat usang.
Danum dan Damar pun mengalihkan tatapannya melihat Bu Suci yang sudah berdiri di luar kamar. “Ini Bu, Mas Damar, kan baru pulang terus aku tanya dari mana? Mas Damar nggak jawab,” kata Danum, seperti biasa ia akan mengadukan perbuatan Kakaknya kepada sang Ibu tunggal.
“Ihhss.. nih anak pengen di jitak yah, dasar tukang ngadu,” seru Damar, jengah melihat betapa manjanya Danum.
“Sudah-sudah.” kata Ibu melerai keduanya putranya yang sudah menjadi remaja juga dewasa tapi kelakuan masih sama seperti anak kecil.
Apalah daya, Danum pun mengikuti ajakan Ibu untuk pergi ke mushola. Sedangkan Damar, ia baru akan membersihkan diri lalu mengambil air wudhu.
Membentangkan sajadah. Tiga rakaat shalat, ia laksanakan di dalam kamarnya. Berpasrah diri, kepada Sang Khaliq. Memanjatkan doa, berharap kehidupan yang dijalaninya lebih baik lagi kedepannya.
Semua harapan dan doa ia panjatakan, berharap dapat menemui titik terang dalam kehidupan selanjutnya, juga mengenai rasa yang ada di dalam rongga hatinya.
“Akankah benar Ratna adalah jodoh hamba, atau hanya tempat singgah sementara? Hamba pun tau tidak baik menaruh harapan besar kepada manusia, dan tidak baik pula menabur benih cinta yang berlebihan. Besarkanlah hati hamba, Ya Rabb.
Agar kelak, ketika salah satunya memang harus berpisah, tiada dendam dan amarah. Namun lagi-lagi hamba hanyalah manusia, berilah hamba petunjuk agar hamba senantiasa berjalan menuju jalan kebenaran dan menjauhi kebatilan.” doa yang Damar panjatkan.
Setelah mengadukan tentang perasaannya, ia pun mengambil kitab suci Al-Quran dan melafazkan’nya. Sampai Damar tak mendengar Danum juga Ibu baru pulang dari mushola dan mengucap salam.
•
Setelah selesai makan malam, dan menyelesaikan semua pekerjaannya dirumah.
Tepat pukul 20:00 wib, Damar pamit untuk bekerja kepada Ibunya yang sedang duduk diruang tengah sambil menikmati tontonan wajib bagi kalangan emak-emak jaman now.
“Bu, Damar berangkat kerja dulu,” ucap Damar.
“Kamu nggak mau istirahat aja Nang,” kata Bu Suci, beliau merasa kasihan melihat putra sulungnya bekerja siang dan malam demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Nanti juga Damar istirahat, tapi Damar ngamen dulu. Lumayan buat beli emas batangan, hehe.” jawab Damar, seraya memakai kaos kaki berlambang Club sepak bola.
Danum yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya di meja belajar samping kursi ruang tengah pun menatap sang Kakak, yang duduk di sebelah Bu Suci.
“Aku ikut Mas,” pinta Danum.
Damar menoleh sekilas pada Danum, “Emang kamu besok nggak sekolah Num?” tanya Damar.
Danum menggeleng, “Kenapa nggak sekolah? Jangan bilang kamu mau bolos?” tanya Damar menerka-nerka.
“Ihhh, enak aja. Sorry, Dorry Nela kharisma ya, seorang Danum Mahesa anak bungsu Bu Suciati dan almarum Bapak Gusli, nggak pernah ya. Yang namanya bolos,” jelas Danum, panjang tidak lebar.
Damar mengangkat satu alisnya, dan mencebikkan bibirnya. “Iya, iya tau! Terus kenapa kamu nggak sekolah?”
“Besok para guru akan mengadakan rapat koordinasi untuk membuka peluang bagi siswa siswi berprestasi untuk mengikuti lomba matematika, ku dengar siswa atau pun siswi yang menang akan memperoleh beasiswa,” jelas Danum.
Damar manggut-manggut, “Setau Mas, matematika mu bagus. Kamu ikutan lomba juga kan?” tanya Damar.
“Insya Allah Mas, semoga aku terpilih di antara siswa siswi di sekolah,” jawab Danum.
“Insya Allah anak Ibu pasti bisa mengikuti lomba yang diselenggarakan di sekolah, dan semoga kamu lulus cah bagus.” Kata Bu Suci, ikut bersuara, setelah sinetron yang ditontonnya sedang berganti mode iklan.
“Amin.” jawab Danum, juga Damar. Keduanya pun tersenyum kepada sang Ibu tunggal, guratan wajahnya begitu teduh. Menandakan bahwa Bu Suci adalah wanita yang penyabar dan setia terhadap suami yang telah berpulang ke Rahmatullah delapan tahun silam.
Setelah berpamitan kepada Bu Suci, kini Damar tengah menyetir motor Vespanya, dengan Danum yang membonceng. Setelah dirasa pulang tidak terlalu larut, Damar membolehkan adiknya untuk ikut.
Damar bukan hanya mengandalkan usahanya dalam berjualan cilok, Damar masih saja mau menerima tawaran pekerjaan seadanya. Seperti halnya saat ini. Panggilan untuk bernyanyi di salah satu cafe tak jauh dari derah Bantul.
Tiga puluh menit sudah jalanan Kota ia lalui, kini Damar dan juga Danum sudah sampai di cafe tempat ia mencari rezeki, di waktu malam hari. Di depan pintu masuk cafe yang bergaya klasik, Juna sudah menunggunya.
“Mar,” ucap Juna, memanggil sahabatnya.
“Udah lama Jun?” tanya Damar.
Tatapan Juna teralihkan menatap Danum, yang berjalan di belakang Damar.
“Kok Danum ikut, emang dia nggak sekolah Mar?” tanya Juna.
“Besok aku libur Mas Juna,” jawab Danum.
Juna tampak manggut-manggut tipis,
“Ya udah ayuk masuk.” Ajak Juna, Kepada Damar dan juga Danum. Ketiga pria yang sama-sama memakai pakaian kasual itu pun memasuki cafe.
Saat memasuki cafe,
Tatapan Damar pun beralih menatap Opik, pria itu tengah menikmati minumannya dengan ditemani seorang wanita bukan Ratna. Damar berniat mendekati Opik, namun lebih dulu dihentikan oleh Juna. “Jangan ikut campur urusan dia Mar, dia anak pemilik cafe ini, bisa-bisa kita kehilangan sumber rezeki kita malam ini.” Kata Juna memperingati Damar, agar tidak ikut campur atas apa pun yang dilakukan oleh Opik.
Namun Damar tidak mengindahkan peringatan Juna, ia mengingat tentang Ratna. Damar pun menghampiri Opik yang tengah merangkul pinggang ramping seorang wanita berambut sebahu dengan sangat sensual.
“Opik!” seru Damar, melihat Opik dengan tatapan tajam.
Opik yang semula sedang bercengkerama mesra dengan wanitanya pun melihat kearah sumber suara yang memanggilnya dengan suara meninggi. Opik melihat Damar yang berdiri di dekat meja bundar di hadapannya.
Tak terlihat wajah yang terkejut, Opik hanya memasang wajah datar.
“Mau ngapain kamu disini Mar?” tanya Opik, ia pun mengingat sang manajer cafe milik orangtuanya akan mengadakan live musik setiap hari weekend.
“Oh iya, aku lupa. Kamu kan mau ngamen di sini yah, silahkan panggung disebelah sana.” lanjut Opik, dengan suara mengejek.
Geram akan sikap Opik, Damar pun menarik kerah jaket yang dikenakan Opik, hingga pria itu sedikit terangkat.
“Gila! aku bener-bener nggak nyangka, ternyata kamu belum juga berubah!” cibir Damar.
Opik hanya tersenyum miring, “Apa urusan kamu, ikut campur urusanku. Enyahlah dari hadapan ku!” kata Opik kasar.
Merasa Damar tidak juga melepas kepalan tangan yang mencengkeram kerah jaketnya, lantas Opik memanggil satpam cafe.
“Sugeng, Yono, usir dia keluar dari cafe!” titah Opik kepada dua orang satpam.
Sugeng dan juga Yono pun menarik paksa lengan Damar. Seketika kegaduhan menarik simpati para pengunjung cafe yang menyaksikan Damar di seret secara paksa, oleh kedua satpam yang bertubuh tegap.
“Lepas!” sergah Damar, kepada kedua satpam yang menyeretnya hingga kedapan cafe, hingga membuatnya jatuh tersungkur.
“Mas Damar!” seru Danum, dan menghampiri Kakaknya.
“Mar!” seru Juna, ikut menghampirinya.
“Aih, kan aku udah bilang jangan ikut campur urusan si Opik.” pungkas Juna.
Damar pun berdiri, hatinya merasa tercabik-cabik. Bagaimana bisa ia membiarkan wanita yang dicintainya bersanding dengan Pria macam Opik.
“Jun, anterin Danum pulang. Tolong.” pinta Damar pada Juna.
“Mas Damar mau kemana?” tanya Danum.
“Iya mau kemana kamu Mar, jangan macem-macem deh!” kata Juna, lagi-lagi memperingati Damar, agar tidak bertindak gegabah.
“Aku harus menyelesaikan sesuatu.” pungkas Damar, ia pun melenggang pergi kearah parkiran motor.
“Damar, hey Damar!” teriak Juna, seolah tidak ada gunanya.
Sedangkan Danum, ia hanya menatap keseriusan dari Kakaknya. Damar pun pergi dengan mengendarai motor Vespanya.
•••
Bersambung
♠
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Muhammad Pratama
Damar ngeyel tenan
2022-09-15
0
Ernadina 86
ngapain ikut campur sih biarin aja..Damar gak punya hp y'? tinggal video in aja ..sekarang kan jaman viral viral an
2022-03-31
0
Dini Junghuni
hmmmmm damar damar
biarin aja napa sih, doain aja semoga mata ortunya si ratna kebuka biar tau kelakuan calon mantunya..
2022-03-29
0