Layaknya sebuah perahu kecil yang terombang-ambing di samudera lepas. Ingin menyerah tapi takut mati, tetap berjuang tapi hati ingin menyerah.
Kartu AS
♠
Subuh, dengan segala rutinitas sehari-hari. Tidak seperti biasanya Damar akan segera beranjak dari pembaringan, ia enggan seolah ada yang menahan tubuhnya untuk beranjak.
Danum yang sudah bangun terlebih dulu pun menengok keadaan sang Kakak yang tidak biasanya ia akan bangun saat mendengarkan kumandang azan subuh.
“Mas Damar!” seru Danum membangunkan Kakaknya yang tidak juga membuka mata.
Danum memeriksa kening Damar, suhu tubuhnya panas, disertai menggigil. Danum panik, “Astaghfirllah, Mas Damar badannya panas.”
Remaja yang masih memakai sarung itu pun segera berlari keluar kamar, dan mencari keberadaan Ibunya. Sekejap ia menunggu, karena sang Ibu tengah melaksanakan sholat subuh.
Lantas Danum berjalan kearah dapur, dan mengambil wadah di almari dapur lalu berjalan menuju meja dan membuka termos air panas, lalu mengisi wadah yang diambilnya dengan air panas, lalu menambahkan sedikit air dingin.
Berjalan dengan tergesa-gesa, hingga ia menabrak Ibunya yang baru memasuki ruang dapur, air yang di bawa Danum pun tumpah ruah di lantai dapur. “Astaghfirllah, Nang. Kalau jalan mbok yo hati-hati.” Kata Ibu.
“Maaf Bu, maaf. I—itu Mas Damar Bu,” kata Danum, tergagap.
“Mas mu kenapa?” tanya Bu Suci, yang ikut merasakan kepanikan mendengar anak bungsunya berbicara tergagap.
“Mas Damar sakit Bu,” ujar Danum.
Tertegun akan ucapan Danum, Ibu pun segera berbalik badan dan berjalan menuju kamar kedua putranya. Karena rumah yang tinggalinya hanya mempunyai dua kamar.
Bu Suci pun duduk di tepian ranjang kayu, dengan kasur busa tipis. Memeriksa kondisi putra sulungnya,
“Ya Allah, badanmu panas Nang, kamu demam.” kata Bu Suci, dan beralih menatap Danum yang juga sudah duduk di tepian ranjang samping Damar yang masih memejamkan matanya sambil menggigil.
“Danum, tolong ambilkan air hangat untuk mengompres Mas mu,” pinta Ibu, pada Danum.
Danum pun mengangguk dan beranjak menuju dapur, menyiapkan wadah yang sempat ia pakai untuk diisi kembali dengan air hangat. Lalu kembali lagi ke kamar, dan membuka almari pakaian lantas mengambil handuk kecil untuk mengompres kening Damar.
Ibu pun mengompres Damar, lalu beranjak. “Tolong kompres Mas mu Nang, Ibu mau buat bubur,” pinta Ibu.
“Iya Bu.” Sahut Danum, Bu Suci pun beranjak dan berjalan menuju dapur.
Danum masih setia memijit lengan Kakaknya, menatap nanar tulang punggung keluarga yang menggantikan sang Almarhum Bapak Gusli. Meskipun hampir setiap hari selalu saja ada perdebatan di antara keduanya. Namun tidak dipungkiri Danum sangat sedih jika sesuatu yang tidak dinginkan terjadi pada sang Kakak.
“Mas, cepet sembuh Mas Damar, jangan buat adikmu yang ganteng ini khawatir.” Seloroh Danum.
Damar masih saja menggigil, dan berhalusinasi. Bahwa tangan Danum adalah Ratna, Damar pun mengusap tangan Danum yang sedang memijit lengannya.
Danum merasa heran, akan sikap sang Kakak. Ia pun menaruh tangan Damar di atas perut Damar yang tertutupi kaos dan selimut. Namun lagi-lagi Damar menurunkan tangannya, dan kembali memegang tangan Danum seraya mengusapnya lembut.
Membuat Danum risih dan merasa geli, ia pun kembali menaruh tangan Damar di atas perutnya. Dan terjadi secara berulang-ulang, kini Damar membuka matanya dan seolah Danum berubah menjadi seorang gadis yang di cintainya.
Damar melihat seolah Danum sedang tersenyum simpul kearah Damar yang tengah berhalusinasi bahwa menganggap adiknya adalah Ratna. Lain dengan khayalan Damar.
Danum justru merasakan geli akan sikap Kakaknya. Perlahan tangan Damar terangkat dan hendak mengusap pipi Danum, namun segera di halau oleh tangan Danum.
“Ra—tna...” lirih Damar bergumam.
“Mbak Ratna udah mati Mas!” celetuk Danum.
Seolah suara Danum menariknya secara paksa dari rasa halu, yang menganggap Danum adalah Ratna. Damar pun membuka matanya lebar-lebar.
“Magnum!” seru Damar, membulatkan matanya menatap Danum yang merasa kesal akan tingkah laku Kakaknya. Yang sudah seperti orang gila, pikirnya.
“Aku bukan Mbak Ratna toh yo, aku ini adikmu Danum Mahesa, cowok paling ganteng sekelurahan!” celoteh Danum.
“Jangan nyumpahim hidup orang Magnum!” sahut Damar dengan suara lemah.
Danum mengerucutkan bibirnya, dan mencebik kesal. “Ck. Aku nggak nyumpahim, habis aku kesal sama dia Mas, Mas Damar kenapa sih nggak putus aja sama dia? Emang nggak ada cewek lain di Jogja selain Mbak Ratna?” cecar Danum dengan berbagai pertanyaan.
Damar hanya diam, ia enggan untuk menanggapinya. Damar lebih memilih memejamkan matanya kembali. Melihat sikap Kakaknya yang acuh, membuat Danum berdecak sesal.
“Di omongi ngene yo (di bilangin gini yah) Nanti kalau sakit hati, terus sampai gantung diri. Jangan jadi hantu gentayangan loh! Awas nanti.” umpat Danum.
Bu Suci yang baru selesai membuat bubur untuk Damar pun mengerutkan keningnya, mendengar celotehan putra bungsunya, sedangkan Damar masih memejamkan mata.
“Le cah bagus, kamu bicara sama siapa?” tanya Bu Suci, membawa semangkuk bubur putih.
“Ini Mas Damar, ngaco! Masa Danum lagi ngomongin supaya ninggalin Mbak Ratna malah acuh banget Bu!” sesal Danum.
Bu Suci mengulum senyum, dan duduk di tepian ranjang. “Sebenarnya siapa yang ngaco?”
“Mar, Damar ayok bangun Nak, makan bubur dulu nanti baru minum obat,” kata Bu Suci, mencoba membangunkan Damar.
Damar pun membuka matanya, dan melihat wajah Danum yang manyun. Sedangkan Danum melenggang pergi keluar kamar, “Mending aku ngasih makan ayam-ayam ku, hehh.”
Damar pun beranjak dari pembaringan, dan bersandar pada sandaran ranjang. Ketika Ibu hendak menyuapkan bubur, Damar berujar “Damar bisa makan sendiri Bu.”
Bu Suci mengerti akan sikap anak sulungnya yang sudah terbiasa mandiri dan tidak ingin merepotkan orang lain, beliau pun memberikan mangkuk berisikan bubur dan telur yang dimasak orak-arik.
Setelah usai, Ibu pun memberikan obat parasetamol untuk Damar. “Makasih Bu.” Ucap Damar setelah memakan bubur buatan Ibunya juga meminum obat yang diberikannya.
••
Mentari pagi kian meninggi, mengitari rotasi bumi. Bias cahaya fajar membelah di antara dedaunan yang rindang. Sejumput bunga-bunga bermekaran di pekarangan rumah yang sangat sederhana.
Menghirup sang embun basah mengisi paru-parunya dengan udara pagi hari. “Selamat pagi jiwa-jiwa optimistis, kesulitan yang dihadapi hari ini akan membantumu sukses di masa depan.” gumam Damar, di teras rumahnya.
Setelah di rasa lebih baik, Damar akan berdagang cilok seperti biasanya, dengan tiga rekan kerjanya. Biasa Damar sebut Kang Karso, Kang Didit dan Mang Jamal. Ketiga orang yang lebih tua darinya, namun Damar sama sekali tidak beranggapan ia adalah atasannya.
“Saya berangkat dulu Mas Damar, Kang Didit Mang Jamal,” kata Kang Karso berpamitan.
Kang Didit, Mang Jamal dan Damar pun mengangguk, “Iya Kang, semoga habis jualannya,” kata Mang Jamal.
“Amin.” Sahut Kang Karso, dan mendorong gerobak cilok.
“Hati-hati Kang.” Seru Damar.
“Iya.” Teriak Kang Karso yang sudah berjalan semakin jauh.
Disusul Kang Didit dan Mang Jamal, “Kita juga berangkat Mas Damar, ” kata Mang Jamal.
“Iya, Mang Jamal.” Jawab Damar.
Kedua orang yang sudah berumur empat puluhan itupun meninggalkan halaman rumah Damar. Bu Suci keluar dari dalam rumah, dan melihat Damar yang sedang bersiap-siap untuk berjualan cilok.
“Damar, kamu yakin udah sehat Nak, istirahat dulu aja, nanti kalau udah benar-benar sembuh baru jualan lagi.” Kata Bu Suci yang sudah berdiri di teras rumah.
Damar yang sedang mengelap gerobak ciloknya pun menoleh kearah Ibunya, “Damar udah sehat Bu, lagian kalau Cuma berdiam diri di rumah hanya akan membuat Damar jadi semakin lesuh,” ujar Damar.
“Pancen anggel lan keras kepala bocah iki (Memang susah dan keras kepala anak ini)” gerutu Bu Suci.
Damar hanya terkekeh geli, “Kan keras kepala Damar menuruni sifat Bapak, hehe.” balas Damar.
Bu Suci pun membantu menyiapkan keperluan anaknya untuk berjualan. Juga menyiapkan keperluan Danum,
“Bu, Danum berangkat dulu, doakan Danum supaya jualannya ludes terjual,” kata Danum.
“Amin, insya Allah Nak, semoga Allah mengabulkan doa anak-anak Soleh Ibu,” balas Bu Suci.
Danum pun beralih menatap Damar yang tengah berdiri di sampingnya. “Mas Damar yakin udah sembuh?” tanya Danum memastikan, bahwa Kakaknya sudah benar-benar pulih dari demamnya.
“Alhamdulillah, Num. Makasih yah udah mencemaskan keadaan Mas mu ini,” jawab Damar.
“Kan aku adik yang Soleh, jadi harus senantiasa berdoa untuk kesembuhan dan keselamatan Mas ku,” ucap Danum, lalu beralih menatap Bu Suci yang sedang menatap kedua putranya dengan tatapan teduh.
Danum pun mengalami tangan Bu Suci, dan menaruhnya di keningnya. “Damar pamit Bu,” kata Danum.
“Iya, hati-hati Nak.” Jawab Bu Suci, mengusap lembut kepala putra bungsunya.
Setelah Danum, kini giliran Damar.
“Damar juga Bu,” kata Damar, lalu menyalami tangan Ibunya.
“Hati-hati. Kalau pas di jalan kamu masih merasa sakit, lebih baik langsung pulang ya Nang.” Kata Bu Suci.
Damar pun mengangguki’nya,
“Iya Bu.”
Damar dan juga Danum pun berjalan, mendorong gerobak ciloknya. Keduanya sama-sama menjajakan dagangannya berharap mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan Danum, ia lebih fokus untuk menabung agar bisa melanjutkan pendidikannya, supaya bisa meringankan beban yang di pikul Kakaknya. Sekiranya, ia ingin menjadi anak sekaligus adik yang bisa membanggakan Kakak juga Ibunya.
Di depan gang menuju jalan raya, Danum dan Damar pun berpisah.
“Dah Mas Damar,” seru Danum.
Damar mengembangkan kedua sudut bibirnya, “Hati-hati.” Balas Damar, dan mendapat anggukan dari Danum.
••
Cuaca tidak dapat di prediksi hanya dengan mata telanjang, saat pagi cuacanya masih cerah. Namun saat siang hari mendung ke abu-abuan menutupi sinar panas sang surya. Kini jumpatan awan hitam bergelayut pada sang mega yang mendung temaram.
Damar sedang menyusuri jalanan dan mencari tempat untuk berteduh karena rintik hujan turun semakin lebat. Membasahi seluruh apa pun yang terkena hujan, dan menggenangi jalanan yang berlubang.
Pandangan Damar jatuh pada sebuah halte bus, ia pun jalan dengan tergesa-gesa mendorong gerobak ciloknya menuju halte bus yang berjarak 15 meter dari tempatnya berdiri. Namun, sebuah mobil yang melaju kencang seperti sengaja melintas di genangan air membuat Damar serta gerobaknya basah kuyup.
Damar menoleh kebelakang, melihat mobil yang sudah semakin jauh dan membuat sekujur badannya kotor karena terkena cipratan air dari genangan jalanan yang berwarna kecokelatan.
“Astaghfirllah!” seru Damar.
•••
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
gue kasian sm damar tunggulh bgi yg hina damar bkal dpat karma
2023-02-24
1
Maulana ya_Rohman
pastu ulahnya ortunya ratna nih🤔
2022-10-28
0
Hartin Marlin ahmad
sabar ya mas damar
2022-03-15
0