Damar pun menuruti perintah Ibunya, ia duduk di sofa usang ruang tamu. Bu Suci berjalan menuju dapur, lalu mengambil air dingin untuk mengompres luka anaknya.
Lantas mengambil kotak obat yang terdapat di almari kecil di ruang tengah. Belum hilang rasa kesal karena umpatan Ibunya. Sekarang giliran sang adik yang ikut terbangun akibat kegaduhan yang berasal dari ruang tamu.
"Walahhh- walahhh piye Mas Damar lambe(bibir)mu itu? Kok ngene?” tanya Danum, beringsut duduk di samping Damar yang enggan untuk menjawab pertanyaan Danum.
Damar diam, ia memejamkan matanya untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut dari adiknya yang suka ingin tahu urusannya.
"Aku di cuekin ngene(gini) piye jal?” gerutu Danum.
Bu Suci pun kembali dengan membawa wadah berisikan air dingin dan handuk kecil serta sekotak obat dan duduk di samping kanan Damar.
"Kamu kok bangun cah bontot?” tanya Bu Suci pada Danum.
"Leh piye(gimana) nggak bangun wong ribut o.” jawab Danum menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.
"Sebenarnya Mas Damar kenapa toh Bu? Kok iso ngene(bisa gini)?” tanya Danum, jika ingin tahu lebih lanjut mengenai Kakaknya maka ia harus mengorek informasi dari sang Ibu.
"Tau nih si Mas mu! Di tanya apa? Jawabnya apa?” kata Bu Suci. Seraya memeras handuk kecil kapas mengompres lebam di bibir Damar.
"Memang Damar jawab apa Bu?” suara Damar lirih.
"Iya Bu. Mas Damar aja kaya nggak mengakui kalau Ibu bertanya apa? Jawabnya apa?” imbuh Danum.
"Mas Mu berkhayal, kalau Ibu dan Bapakmu memungutnya.” sahut Bu Suci.
"Huh! Sungguh t e r l a l u!” dengus Danum, menatap Damar dengan menyipitkan mata.
Bu Suci lantas membersihkan lebam di bibir anaknya yang membengkak seperti tersengat lebah hitam. Bu Suci menekan kasar membuat Damar mengerang sakit.
"Arhhkkkkk.... Sakit Bu.” teriak Damar, sambil merebut handuk kecil dari tangan Ibunya.
"Sshhh... Apa Ibu dendam sama Damar, karena Damar berkhayal begitu?” tanya Damar merasa bersalah kepada sang Ibu yang telah melahirkannya.
Bu Suci terdiam, ada yang sedang mengganggu pikirannya. Danum melihat sang Ibu hanya diam pun menatapnya dengan menahan rasa kantuk, rasa kantuk yang kemudian menjadi tatapan sendu. Perlahan Danum beralih posisi duduk di dekat Ibunya.
"Bu, sudahlah jangan pikirkan ucapan Mas Damar, mungkin Mas Damar lagi capek, atau lagi ada masalah sama Mbak Ratna,” ujar Danum, mencoba menjadi penengah antara Kakak serta Ibunya.
Bu Suci pun demikian, beliau merasa bersalah telah menghidupi keluarganya dengan kesukaran sebagai orangtua tunggal. Ada yang mengambang di kedua matanya, perlahan membasahi bulu matanya dan meneteskan eluh bening yang membawa kesedihan.
"Maafkan Ibu, Nang.” kata Bu Suci.
Damar menatap Ibunya, tatapannya kosong. Ia tak menyangka candaannya membuat hati Ibunya terluka. Ia ingin sekali menjadi anak yang berbakti, namun, nyatanya kini Damar merasa sudah menjadi anak durhaka, Damar lantas mendekati sang Ibu dan bersimpuh di kaki Ibunya,
"Maafin Damar Bu.” ujar Damar, di hadapan Ibunya.
Bu Suci meminta agar Damar beranjak seraya memegangi lengan putranya, namun Damar menggeleng sembari terus meminta maaf. "Maafkan Damar Bu.”
Bu Suci menggeleng, "Kamu nggak salah apa-apa Nak, kalau Ibu bisa memberikan lautan dan seluruh isinya Sudah Ibu berikan untuk kalian.”
Danum pun membelalakkan matanya, "Mati dong Bu!”
Damar mendelikan matanya kearah Danum, "Hushhh.. lanjut Bu jangan dengerin dia. Ngaco nih anak! Minta di petes kali yak!”
"Ih apaan! Emang aku kutu. Yang sebenarnya ngaco siapa? Hayo, siapa? Siapa!” balas Danum, mendengus dingin.
Bu Suci lagi-lagi hanya bisa menggeleng, tidak jadi melanjutkan kesedihannya. Melihat perdebatan kedua putranya selalu saja sukses membuat beliau mengembangkan senyum,
"Wes-- wes. Ndang (Sudah- sudah. Ayok) di obati luka mu Nang. Kalau nggak segera di obati malah jadi infeksi.” ujar Bu Suci.
Damar lantas menengadahkan wajahnya, menatap wajah teduh Ibunya. "Ibu udah maafin Damar?”
Bu Suci menghela nafas, "Maaf kenapa? Memang Ibu pernah bilang, kalau kamu salah?”
Damar menggeleng, "Nggak pernah!”
"Ya udah. Sini di obati. Terus habis ini, pada tidur.” pungkas Bu Suci.
Danum lebih dulu masuk kedalam kamarnya, untuk melanjutkan mimpinya yang terputus. Sementara Bu Suci masih menemani Damar untuk mengobati lukanya. Bu Suci masih penasaran darimana Damar mendapatkan luka itu.
"Jujur sama Ibu Nang?” ujar Bu Suci.
Damar yang tengah memakaikan salep pun menghentikan aktivitas tangannya yang memegang kaca dan salep, menatap Bu Suci yang duduk berjarak satu meter darinya.
"Opik yang melakukannya Bu.” jawab Damar jujur. Ia memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Ibunya.
"Opik!” seru Bu Sumi, seraya berpikir. Temen anaknya yang mana lagi. Sedangkan Damar gampang sekali bergaul dan mempunyai banyak teman.
"Opik siapa?” merasa tidak menemukan jawaban dalam pikirannya, membuat Bu Suci pasrah dan menanyakan siapa Opik.
Lagi Damar menghentikan aktivitas tangannya, ia menghela nafas. "Opik yang waktu itu main ke rumah, pas hujan-hujan pakai baju bola itu Bu!” jawab Damar, menjelaskan.
"Oh... Opik Alamsyah. Anaknya si Selamet yang kata kamu pemilik club' sepakbola!” seru Bu Suci.
Damar mengangguk membenarkan ucapan Ibunya.
"Jadi. Kenapa kamu bisa berantem sama dia?” tanya Bu Suci.
Enggan menjawab perihal pengkhianatan yang di lakukan Ratna dan juga teman sepermainan sepak bolanya. Membuat Damar memilih membisu.
Namun tidak bisa, kali ini ia tidak bisa mengelak dari pertanyaan Ibunya. Bagaimana pun jua, Ibunya harus tau.
"Damar sama Ratna putus Bu.” ungkap Damar.
Bu Suci menatap Damar dengan tatapan sendu,
"Sabar Nak, dia bukan jodohmu. Mungkin saja Allah sedang mempersiapkan jodoh terbaiknya untukmu.” nasehat seorang Ibu untuk anaknya.
"Amin.”
Damar mengedarkan pandangannya, menatap langit-langit rumahnya. Ia seperti ibarat melukis langit di awang-awang yang kelabu. Sejumput garam menabur luka tapi tak berdarah.
••
Mendengar suara kumandang adzan subuh, Damar terbangun dari mimpinya. Saat ini ia sudah menyandang status jones, alias jomblo ngenes.
"Anjir...” seru Damar, memegangi sudut bibirnya yang masih membengkak.
"Bangun Mar, kalau perlu buang saja rasa cintamu ke laut.” gumamnya. Ia pun beranjak dari pembaringan. Lalu mengambil handuk dan bersiap untuk mandi dan melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim.
Setelah berkutat di dalam kamar mandi selama sepuluh menit, Damar pun keluar dan mendapati Danum tengah duduk di kursi meja makan. "Udah bangun kamu Num?”
Danum berdiri dan mendekati Kakaknya yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Melihat wajah Damar dengan teliti, "Ternyata apa yang ku lihat semalem bukan mimpi toh!”
"Plak ...” Damar menampar pipi adiknya.
"Auw.. kenapa di geplak si Mas pipi manis ku ini. Sakit tau!” hardik Danum, sambil memegangi pipi kirinya yang mendapat tampolan dari tangan Damar.
"Biar kamu nggak mimpi lagi!”
"Nggak e Mas. Kok iso lambemu koyo kecokot boyo? (Kok bisa bibirmu kaya ke gigit buaya?)” tanya Danum.
Damar tidak bergeming, "Iya, anggap aja ini akibat ulah buaya!”
"Buaya darat, si Opik. Brengs*k!” lanjutnya dalam hati.
"Heeh ... Moso?” ucap Danum.
Jengah dengan tatapan adiknya, Damar pun menyingkirkan Danum yang berdiri tepat dihadapannya. "Awas! Aku mau sholat.”
Danum menggeleng, "Hemm... bener-bener dingin si Mas Damar.”
•
Usai sholat subuh berjamaah, dengan Ibu dan juga adiknya. Lantas Damar bersiap untuk melakukan rutinitasnya sehari-hari, untuk berjualan cilok.
Menyiapkan dandang dan juga memasang kabulator selang pada gas. Dengan di bantu Ibunya yang juga menyiapkan segala keperluan berdagang cilok untuk kedua anaknya.
Damar memang terkesan tidak berperasaan setelah putus. Namun di balik itu semua, ia berusaha keras untuk dapat keluar dari masa sulit itu.
Berharap ada sesosok bidadari yang dapat menyembuhkan lukanya yang tak berdarah.
•••
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
siapa ya tambatan hatinya damar,,🤔🤔🤔🤔🤔🤔
2022-10-29
0
rasman sp
korban ke egoisan orang tua kasian damar dan adiknya...memutus hubungan sama orang tua karena tidak di restui untuk menikah.
2022-05-22
0
Arya Adi Saputra
kurang seru nicx
2022-03-26
1