Malam semakin larut, menyusupkan sepi berteman sunyi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di jalanan sepanjang kota bersejarah ini. Kota yang menjadi destinasi wisata lokal maupun internasional.
Pria juga tidak suka jika diputuskan secara mendadak, pria berpikir bahwa mereka tidak lagi diperhatikan dan hubungannya selama ini tidak berarti.
Tak hanya wanita, pria juga tak luput dari yang namanya patah hati. Meski dianggap lebih kuat dari wanita, pria juga merasakan masa-masa sulit dan bisa jadi hatinya selembek adonan cilok.
Hanya saja yang membedakan adalah cara wanita dan pria menghadapi masa-masa saat patah hati. Dilematis meskipun terkesan naif dengan apa yang dilakukannya.
Menarik gas motor Vespanya perlahan, menembus angin malam. Ia bukan menangisi kepergian sang mantan, akan tetapi malah tertawa renyah. Merasa bodoh atas apa yang sudah dilakukannya, namun juga tidak menyesali perpisahan yang memang sudah terjadi.
"Hahahaha .....” riuh seorang pria tertawa, menertawakan dirinya yang bersikap naif hanya karena satu wanita yang sejam lalu menjadi mantan kekasihnya. Diselingi semilirnya angin malam. Mengendarai motor Vespanya dengan kecepatan sedang.
Damar berusaha setangguh mungkin, untuk menutupi patah hatinya. Ya, laki-laki juga bisa saja bukan? merasakan yang namanya dilema? kecewa dan benar-benar merasa terpuruk saat baru di putuskan cinta.
Apalagi bukan hanya putus, tapi juga harus menerima kenyataan bahwa harta di zaman sekarang lebih utama.
Anjay memang!
"Bodoh banget kamu Damaaaaaaar! bertindak begitu, jelas saja Ratna lebih memilih Opik dari pada kamu,” berangnya memaki diri sendiri.
"Oke! Akan aku buktikan kalau aku bisa mendapatkan cewek yang lebih baik darimu, Ratna. Seharusnya juga kan aku bersyukur, seenggaknya aku tahu seperti apa sebenarnya kalian.”
"Hahahaha ....” lagi dan lagi Damar tertawa bukan karena senang, akan tetapi kadang tertawa bisa mewakili hati yang lara.
"Beginikah rasanya putus cinta, kenapa bisa aku semenyedihkan dan senaif ini. Jancok kamu Pik, sialan! Kalian sama-sama pengkhianat.” umpatnya geram dengan segala rasa gundah. Karena inilah kali pertama Damar mengenal cinta.
"Damaaaaaaar.... Kamu emang bodoh banget, jirt!” teriaknya di jalanan yang lengang, sekencang kipas angin yang di setel nomer 3.
Pengendara lain yang melintas pun, melihat Damar dengan teriakan bodoh serta umpatan yang entah memaki siapa? Membuat bingung. Mengiringi laju motor Damar, sang pengendara motor king ini pun berujar.
"Cung! Udah gila yak! Teriak-teriak tengah malam?”
Damar melirik sekilas kearah pengendara motor king dengan suara knalpot berisik disebelahnya, dan kembali fokus menatap ke depan.
"Ya, gilaaa!!!” jawab Damar setengah berteriak di selingi angin yang berhembus pelan.
"Hahayy.. naif, anjirrrt!” jawabnya, dan lekas menarik gas lalu melaju kencang.
Damar menatap lurus dengan keteguhan hati, rasa sakit di bibir atasnya tidak ia rasakan.
••
Tidak sampai selesai Damar menghibur para audiens di alun-alun Kota. Ia telah sampai di halaman rumahnya pukul 23:15 wib. Namun Damar merasa ragu untuk memasuki rumah. Dengan kondisi dirinya yang berantakan juga bibirnya yang mulai lebam.
Damar berkaca di spion motornya, "Lah gimana ini? Kalau sampai Ibu lihat apalagi si cerewet, pasti aku di cecar pertanyaan terus menerus.” kata Damar pada dirinya sendiri.
Warga siskamling yang kebetulan lewat pun heran akan sikap Damar yang terus saja berkaca pada spion bundar motor Vespanya di bawah penerangan halaman rumahnya. "Mar, kenapa kamu ngaca terus. Kasihan tuh kaca, nggak muat sama wajahmu.” seloroh warga siskamling.
Damar terkesiap dengan seruan warga siskamling yang berjumlah dua orang, dengan menutup mulutnya Damar mengalihkan pandangannya menatap dua warga yang mendapat jatah giliran siskamling.
"Ahh iya ini, Om Warno Pak Rusli, bibir saya lagi sariawan.” jawab Damar berbohong dengan suara setengah mendengung karena mulutnya di tutup dengan telapak tangannya.
"Oh gitu, kenapa ndak masuk aja. Kamu baru pulang ngamen Dam?” tanya Pak Rusli.
Damar mengangguk, "Iya Pak,”
"Sana masuk Mar,” kata Warno.
Damar mengangguk, "Selamat bertugas Pak Rusli, Om Warno. Saya masuk dulu,” seru Damar.
"Iya, jangan lupa besok giliranmu sama si Hasan yang ronda.” kata Pak Rusli.
"Iya Pak, saya ingat.” jawab Damar, ia pun berjalan ke pintu. Lalu membukanya dengan cadangan kunci pintu yang selalu Damar bawa ketika mendapat panggilan bekerja.
Perlahan sekali Damar membuka pintu, agar tidak menimbulkan bunyi dari decitan pintu yang sudah mulai di rayapi. Namun agaknya pintu pun tidak mendukung.
Kreeeeeek!!!
"Aih, nih pintu mau di tabok yak! ” dengus Damar, menepuk pelan pintu yang tak berdosa.
Cklek
Lampu menyala seketika menerangi ruang tamu yang semula gelap. Damar tertegun melihat Ibunya yang terbangun di jam setengah dua belas malam. Damar celingukan seolah mencari cicak-cicak di dinding.
Melihat gelagat anaknya yang aneh, Bu Suci yang sangat peka itupun mencoba mencari tahu. Perihal apakah yang sudah di sembunyikan oleh putra sulungnya.
"Mar?” seru Bu Suci, mulai berjalan menghampiri Damar yang masih berdiri di dekat pintu sambil menengadahkan wajahnya ke atas.
Damar masih saja enggan menolehkan wajahnya ke arah sang Ibu. Membuat Bu Suci menarik rasa penasaran yang semakin besar.
"Nang, kamu kenapa? Apa yang kamu lihat?” tanya Bu Suci, melihat ke arah Damar melihat ke atas dinding.
Mensejajarkan dirinya dengan putranya yang hanya setinggi pundak Damar,
"Itu Bu cicak.” kata Damar.
"Leh ... biasa rumah ini banyak cicak kenapa tumben kamu memperhatikan cicak di rumah?” tanya Bu Suci heran.
"Katanya, kalau cicak yang ekornya buntung itu habis di sunat Bu! Tapi kok nggak manggil Pak mantri yah?” seloroh Damar mencoba mengalihkan perhatian Bu Suci, agar tidak memperhatikan wajahnya yang lebam.
Namun Bu Suci agaknya tidak terkecoh dengan candaan anaknya, beliau fokus saja menatap wajah Damar. Dan sekian detik kemudian Damar tidak bisa lagi mengecoh perhatian Ibunya yang terus saja menatapnya.
"Astaghfirullah, Damaaaaaaar!” seru Bu Suci, dengan suara meninggi. Melihat keadaan anaknya yang terlihat bengkak di bagian bibir atasnya.
Damar memejamkan matanya, ia sudah siap dengan segala umpatan Ibunya, "Kenapa bisa begini sih Mar?
"Kamu yah, Ibu udah bilang jangan main-main lagi sama anak punk. Kan-kan begini lagi kamu, mau sampai kapan kamu begini Damaaaaaaar! Ya Allah Gusti Pangeran.”
"Sama siapa lagi kamu berantem, sudah Ibu bilang jangan berantem lagi! Mau jadi so jagoan kamu! Kamu nggak kasihan sama Ibu sama adikmu?”
"Terakhir kamu berantem sama anak punk itu dua tahun yang lalu. Apa anak-anak punk itu masih gangguin kamu lagi?”
Rentetan omelan Bu Suci, sama persis seperti dua tahun lalu. Saat Damar belum mempunyai grup band dan gemar ngamen di keramaian jalanan lampu merah, seperti halnya alun-alun dan keramaian apapun. Dan sempat terjadi ketegangan antara Damar dan anak-anak punk.
"Bu, apa sebenarnya Damar cucu orang kaya?” ucap Damar, tiba-tiba berkata seperti itu. Bagaimana pun juga, ia tidak ingin terlihat pria yang sedang patah hati di hadapan siapa pun, termasuk sang Ibu.
"Ngawur kamu! Dari mana asal usul sejarah itu.” hardik Bu Suci.
"Kan-kan siapa tau Damar itu sebenarnya anak yang di buang terus di pungut sama Ibu sama Bapak,” seloroh Damar, berkhayal dirinya di buang oleh orangtuanya yang kaya, atau bisa jadi ia sebenarnya cucu titisan ningrat.
"Halah- Halah... Piye(gimana) toh kamu Nang. Kayanya otakmu perlu di servis. Kamu nggak mau mengakui aku ini Ibu yang sudah melahirkan mu, atau kamu mau Ibu kutuk jadi kodok dan bertemu putri elek(jelek)” sungut Bu Suci, merasa bahwa anaknya semakin ngawur.
"Duduk!” titah Bu Suci, gemas.
•••
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Yolla
akirnya kata mutiara ku terucap ...Jancuuuuuukkkkkkk 😂😂😂😂
2024-01-16
0
Surtinah Tina
🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2022-04-15
0
Kayat Bharaduta
hahahahah cicak buntung
2022-03-12
0