Tiada usaha yang mengkhianati hasil. Jika hasil belum di dapat, mungkin usaha yang kita lakukan belum maksimal. Jadi, semangat terus untuk menggapai angan dan impian, pantang menyerah, untuk tetap melangkah. Never give up.
••
"Kalau kita mau sukses jangan suka beralasan. Jika suka beralasan, jangan pernah berharap bisa sukses.” salah satu prinsip Damar Mangkulangit.
So, Always positif thinking. And Do not forget to be happy
Selamat membaca!
♠
• • •
Matahari menyengat kulit, terasa begitu panas di ubun-ubun kepala. Kota yang sekarang padat akan kendaraan bermotor, membuat jalanan menjadi semakin panas dan gersang.
Di pinggiran jalanan Kota, di bawah pohon-pohon yang berjejer di sepanjang jalan. Menjadi tempat berteduh bagi sebagian para pedagang asongan, ojol, maupun yang mendorong gerobaknya.
Berharap agar rezeki yang diperoleh dapat mencukupi kebutuhan sehari hari, karena kebutuhan hidup tahun demi tahun semakin meningkat, bahan poko semakin mahal, meskipun sebagian besar pendidikan sudah cukup terbantu oleh biaya pemerintahan.
Akan tetapi tak jarang pula yang akhirnya putus sekolah, akibat sistem pembiayaan kuliah di berbagai jurusan yang terkadang membebani rakyat biasa. Di tambah keterpurukan ekonomi, yang menggerus roda kehidupan bangsa.
Seperti halnya salah satu pedagang dengan gerobak kecil yang ia dorong, dengan panci dandang di tengah gerobak, serta gas melon yang diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Dengan api yang menyala kecil, agar senantiasa menghangatkan adonan yang sudah di buat bulat-bulat serta diisi berbagai toping bumbu dan juga rempah khas pilihan. Agar menjadi perpaduan yang unik, bagi pecinta kuliner yang berbahan dasar tepung kanji.
Damar Mangkulangit, adalah nama dari seorang pemuda yang sedang menjajakan dagangan ciloknya. Berusia 24 tahun, sudah enam tahun lamanya ia berjualan, dengan rambut di buat gaya ke atas, serta berwajah yang tidak jelek juga tidak terlalu tampan. Namun, bisa dikatakan Damar begitu rupawan, nan berkharisma.
Ia juga tulang punggung keluarga, setelah Ayah yang ia panggil Bapak telah tiada untuk selama-lamanya, akibat tersetrum listrik bertegangan tinggi, membuat Almarhum Bapak Gusli merenggang nyawa seketika, delapan tahun lalu.
Berpendidikan rendah, SMA saja tidak lulus, harus membuat pemuda berpostur tinggi ini memutar otaknya untuk mendapatkan pekerjaan.
Pernah bekerja di bengkel, juga pernah menjadi kuli bangunan untuk membantu perekonomian keluarga, hampir semua pekerjaan yang memerlukan tenaga ekstra pernah di gelutinya.
Menjadi tukang sol sepatu pernah ia lakoni, bukan perkara mudah ketika Damar bertemu dengan pelanggan yang cerewet ketika penyemiran sepatu hitam.
Damar masih ingat jelas ketika ia melakukan penyemiran, bukan hanya tidak dibayar, akan tetapi juga di hina.
"Bah! macam mana pula kau ini. Kalau kau tak bisa menyemir sepatu, maka jadi gelandangan saja sana kau!” umpat pelanggan yang berbahasa logat Batak Toba.
Damar hanya bisa mengelus dada, sambil menggemakan istighfar dalam hatinya.
Ia juga sempat menjadi pengamen jalanan. Juga pernah mengais barang bekas, mendapat ejekan dari teman-temannya sudah sering ia terima.
Namun semua ejekan dan hinaan Damar terima dengan lapang dada, berharap suatu saat Damar bisa membuktikan bahwa ia mampu membungkam semua orang-orang yang pernah menghinanya dengan kesuksesan.
Ketika dalam dilema, Damar menjatuhkan pilihannya, saat usianya delapan belas tahun. Ketika ia memakan adonan yang terbuat dari tepung kanji. Damar mencoba peruntungan dari berjualan cilok, awalnya ia sempat ragu, akan kegagalan dalam usaha yang sudah enam tahun dirintisnya.
Namun bayang-bayang kerapuhan perekonomian keluarga, harus membuatnya membanting tulang, agar semua yang pernah ia tekuni dapat sedikit demi sedikit meringankan beban Ibunya yang menggantikan peranan sang Ayah.
Ia tidak tega jika harus melihat setiap hari Ibunya menjadi tukang cuci dan setrika milik para tetangga. Dengan segala gigih dan upayanya, ia ingin ada hasil dari apapun yang dikerjakannya.
Usaha cilok yang dirintisnya tak pelak mendapat dukungan penuh dari Ibunya yang ikut membantu dalam pembuatan cilok yang sudah di kenal oleh sejumlah pelanggan.
Cilok yang di buat Ibu dan juga dirinya, mampu meraup keuntungan, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga biaya sekolah Adiknya. Karena Ciloknya sudah di kenal oleh pelanggan dan juga bermitra, menyewakan gerobak miliknya kepada orang-orang yang mau bekerjasama membagi keuntungan. 60/40.
60% Damar dapat dari hasil penjualan cilok dan juga menyewakan gerobak miliknya, 40% upah untuk orang yang sudah mau menjajakan cilok miliknya. Meskipun terbilang sedikit antara pembagian dari hasilnya.
Namun Damar selalu bersyukur. Bahwa sesungguhnya, sedikit ataupun banyak, rezeki memang harus selalu di syukuri. Agar kehidupan yang di jalaninya tidak ada keluhan.
Dari saat dulu, ia tidak mempunyai kendaraan, sekarang dari hasil kerja kerasnya, ia dapat membeli motor meskipun masih jauh dari keadaan layak pakai.
Tinggal dengan seorang Ibu dan juga Adik laki-laki yang masih bersekolah SMK di salah satu sekolah tempat tinggalnya. Membuat Damar harus rela berhenti mengejar angan-angan dan cita-citanya, sebagai seorang Polisi.
Meskipun ia hanya berjualan cilok yang di jajakan di pinggir jalan, Damar tidak merasa malu. Justru ia malu ketika tidak bisa menghidupi Ibu dan juga Adiknya yang bernama Danum. Ia bersyukur Danum, adiknya tidak sebadung anak-anak di usianya yang menginjak 16 tahun.
Damar berharap dengan adanya sepenggal kisah ini, dapat membuatnya selalu mengingat bahwasanya semua kesuksesan tidak lepas dari proses. Layaknya kepompong ulat yang nampak menjijikkan, berubah menjadi kupu-kupu yang mengagumkan.
Otaknya selalu berpikir positif, sekiranya ia tidak ingin hidup dalam kesia-siaan belaka.
Saat tengah memikirkan tentang kehidupannya, pembeli membuyarkan lamunannya.
"Mas Damar?" panggil seorang Ibu-ibu, berseragam cokelat muda.
Damar pun terkesiap, "Eh.. maaf Bu,”
Ibu itupun mengibaskan tangannya, "Aih, melamun aja nih si Mas Damar,”
Damar pun terkekeh kecil, "Maaf Bu, hehe kadang kalau lagi sepi saya tiba-tiba melamun,"
"Jangan suka melamun atuh, ngelamunin siapa? Pacar?” tanya Ibu yang memakai hijab instan berwarna cokelat tua.
Damar hanya mengulum senyum, soal pacar. Damar memang sudah memiliki pacar yang sudah terjalin selama satu tahun, meskipun tanpa persetujuan dari orang tua sang pacar. Namun Damar juga pacarnya menjalaninya secara sembunyi-sembunyi.
"Ahh, bukan Bu, saya malah nggak mikirin pacar saya,” jelas Damar malu-malu. "Ibu Rusmini mau beli cilok berapa bungkus?” tanya Damar.
"Cie cie...., Kenapa nggak di pikirin, iya yah, kan masih tanggung jawab orang tuanya.” ledek Ibu Rusmini, lagi-lagi membuat Damar malu-malu.
"Kaya biasa yah. Ciloknya di bungkus lima, lima ribuan.” imbuh Bu Rusmini.
Damar pun tengah sibuk memasukkan cilok sebesar biji salak, dan juga cilok beranak sebesar jambu biji. Lima plastik berukuran setengah kilo gram, sudah siap terisi cilok, tinggal memberi toping bumbu, cabe halus, saus sambal, dan kecap.
Ada juga yang diberi toping bumbu kacang, tergantung selera dari pembeli. Setelah semua cilok siap, ia pun membungkusnya dengan karet juga menggabungkan semua cilok menjadi dalam satu plastik bening berukuran sedang.
Lantas Damar memberikan cilok yang di beli oleh Bu Rusmini, "Ini Bu,” kata Damar menyodorkan kantong plastik.
Bu Rusmini pun menanggapi kantong plastik berisikan cilok pesanannya, "Ini Dam, ambil aja kembaliannya,” kata Bu Rusmini memberikan uang lembaran uang berwarna hijau dan lembaran uang berwarna ungu.
"Alhamdulillah, beneran Bu,” ucap Damar tersenyum sumringah, Bu Rusmini mengangguki'nya.
"Makasih Bu,” imbuh Damar.
"Sama-sama Presdir Cilok,” balas Bu Rusmini, menyebut Damar seorang Presdir Cilok.
Damar terkekeh geli atas ucapan dari wanita seumuran Ibunya yang bekerja di kantor catatan sipil.
"Loh iya toh, kamu kan Presdir, Presdir Cilok. Semua orang yang berbisnis dan mempunyai usahanya sendiri bisa juga di sandang dengan sebutan Presdir,” imbuh Bu Rusmini, yang saat ini berpakaian dinas.
Meskipun terkekeh geli, namun Damar mengucapkan kalimat, "Amin.” ia berharap bisa menjadi doa.
Bu Rusmini pun berlalu, dan menuju kantor catatan sipil membawa sekantong cilok yang di belinya. Meskipun Bu Rusmini setiap hari membeli dagangan cilok Damar, namun ia menyukai cilok buatan Damar, yang di buat bersama dengan Ibu dari Damar Mangkulangit.
Damar pun kembali memikirkan ucapan Bu Rusmini,
"Bener juga yah, semua orang yang mempunyai usaha sendiri bisa di sebut dengan istilah Presdir. Hahaha..., Presdir Cilok. Unik juga,” gumam Damar.
"Mas Damar, kenapa senyam-senyum gaje?” tanya seorang pedagang asongan.
Damar pun mengalihkan pandangannya menatap pedagang asongan, "Ahhh... Nggak pa-pa Lang,” jawab Damar.
Pedagang asongan yang masih berusia remaja pun nampak manggut-manggut, "Mas Dam, kok tumben belum ke kampus?” tanya Galang, remaja berusia lima belas tahun.
"Sebentar lagi, lagian orang-orang kampus aja belum pulang,” balas Damar.
♠
Bersambung...
Konteksnya; Kisah ini sebagai penyemangat. Karena saya tidak ingin mengawali kisah novel-novel saya dengan adegan 21+. Saya hanya ingin menulis tentang apa yang bisa menjadi bacaan yang bermanfaat. Dan semoga saja bermanfaat bagi yang baca.
Mohon dukungannya 🙏🏼
Like, Vote, Komen. Terimakasih
Damailah dalam ketulusan untuk hidup sebagai pribadi yang baik. Rezeki yang baik adalah untuk orang baik.
(Jangan lupa tinggalkan jejak Kakak)
♠
"Belum, lagian orang-orang kampus aja belum pulang,” balas Damar.
•••
Setelah beberapa saat mengobrol dan berbagi pengalaman kepada beberapa sesama pedagang, Damar pun kembali menarik gerobak ciloknya, menyusuri jalanan beraspal. Menuju kampus, bukan untuk kuliah, bukan juga untuk belajar.
Ia biasa mangkal di kampus universitas ternama di salah satu Kota yang mempunyai kuliner khas panganan tradisional Bakpia pathok, Kuliner tradisional ini telah tersohor lantaran rasanya yang gurih dan lezat dari kacang hijaunya. Namun, sebelum itu, ia terlebih dulu mampir di Masjid tak jauh dari kantor catatan sipil.
Untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim, Damar meninggalkan gerobak ciloknya di halaman Masjid yang cukup luas, setelah lima belas menit pun terlewati.
Damar kembali mendorong gerobaknya, satu jam kemudian dengan berjalan kaki, ia pun sampai di depan universitas yang dituju. Di bawah pohon yang cukup rindang di sisi kanan jalan ia pun berhenti dan menunggu beberapa saat untuk anak-anak kampus pulang.
Saat tengah menunggu, Damar tengah mengedarkan pandangannya menatap jalanan yang beraspal, ia pun melihat seorang Pria tua hendak menyeberang jalan. Dengan menggunakan tongkat Damar menduga Pria tua itu buta.
Namun Damar juga melihat mobil dari arah lain yang melaju dengan kecepatan tinggi serta mengemudikannya dengan ugal-ugalan.
"Kakek awaaaas...!” teriak Damar.
WUHHSSSHHH
Membuat Damar seketika berlari dan menyambar lengan Pria tua itu.
BUGH
Kakek tua itupun terhempas ke pinggir jalan, membuat erangan dari suara renta'nya, "Aduh..” rintih Kakek, mengusap telapak tangannya yang tergores batu kerikil.
Sementara Damar terbentur pembatas jalan di bagian keningnya, dan menyebabkan goresan yang cukup dalam, serta mengeluarkan darah segar. Damar beranjak seraya memegangi kepalanya yang terasa berat.
Ia pun menghampiri Kakek tua yang masih bersimpuh di atas jalanan hitam nan kasar, "Kakek, mari saya bantu berdiri.” ujar Damar, ia pun membantu memapah tubuh tua yang dibalut kemeja batik serta celana panjang.
Membawa Kakek untuk duduk di pinggiran jalan, "Kakek, Kakek nggak pa-pa?” tanya Damar memastikan.
"Kakek nggak pa-pa, hanya sakit di telapak tangan,” ujar Kakek, seraya memegangi telapak tangannya.
Damar pun melihat telapak tangan Kakek yang ditolongnya, Kakek mengeluarkan sapu tangan dari saku kemeja batiknya dan memberikannya kepada Damar.
Damar pun menerimanya, dan mengusap tangan Kakek dengan sapu tangan bercorak batik hitam.
"Kenapa kamu menolong saya nak?" tanya Kakek, disela Damar membersihkan lukanya.
Damar menatap sekilas kearah Kakek, dan kembali menunduk membersihkan luka di telapak tangan Kakek, "Karena saya sudah pernah kehilangan,” jawab Damar.
"Siapa namamu?" tanya Kakek.
"Damar,” sahut Damar.
Kakek seolah tidak puas akan jawaban singkat Damar, pun kembali bertanya seolah sedang mengoreksi informasi, "Nama lengkapmu?”
Damar menatap Kakek berkaca mata dengan tatapan heran, namun ia tetap menjawab, "Damar Mangkulangit,”
Kakek pun nampak manggut-manggut, dan menyunggingkan senyuman, membuat Damar heran. Damar berpikir, entah senyuman yang terlukis di wajahnya menandakan perasaan apa?
"Siapa nama Ayahmu?” tanya Kakek lagi, menambah semakin keheranan dari raut wajah Damar.
Kakek yang sedang berpura-pura buta ini sebenarnya dapat melihat dari ekor matanya, melihat Damar tengah menatapnya dengan curiga. "Siapa tau saya mengenal orangtuamu, karena saya juga asli Jogja yang sudah lama tinggal di provinsi P,” sanggah Kakek, agar Damar tidak curiga.
"Gusli,” sahut Damar.
"Gusli Wijaya,” imbuh Kakek, membenarkan nama dari Ayah Damar.
Sebelum Damar kembali bersuara, dan mengajukan pertanyaan perihal darimana Kakek yang baru ditemuinya ini dapat mengerti nama lengkap Ayahnya yang jarang disebutkan.
Tiba-tiba ada mobil sedan yang berhenti di depannya, "Kakek,” seru seorang wanita yang baru keluar dari dalam mobil.
Wanita berambut sepunggung berwarna cokelat serta memakai kaca mata hitam dan berpakaian serba hitam, itupun menghampiri Kakek,
"Kakek, kenapa Kakek bisa ada disini?" tanya wanita itu panik.
Wanita itupun menuntun Kakek masuk kedalam mobil tanpa mengindahkan Damar yang terlihat akan menyuarakan suara.
Saat sudah ada didalam mobil bagian penumpang belakang, Kakek membuka kaca mobil, "Terimakasih nak, sudah bersedia menolong Kakek.” ucap Kakek, seraya memberikan beberapa lembar tissue juga uang kepada Damar.
Damar pun menyunggingkan senyuman, ia menerima tissue yang diberikan Kakek, dan menolak uang yang juga di sodorkan oleh Kakek, "Sama-sama Kek, sudah menjadi kewajiban manusia untuk saling tolong menolong,"
"Nama Kakek, Bagaskara Wijaya, nanti kita akan bertemu kembali, dengan cara lain.” ujar Kakek, membuat tanda tanya besar dibenak Damar.
Kakek pun menutup kaca mobil, dan mobil yang dikemudikan seorang sopir pun melenggang pergi. Membuat Damar mengelus dadanya.
"Kenapa Kakek itu seolah bisa menatapku, apa dia pura-pura buta tadi?" gumam Damar heran.
"Akh, emang nggak ada kerjaan beliau melakukan itu,” heran Damar lagi, seolah Kakek yang ditolongnya adalah Kakek misterius.
Setelah mobil itu tidak terlihat, dan hanya meninggalkan tanda tanya, namun Damar tidak ingin ambil pusing, ia pun kembali ke gerobak ciloknya, seperti biasa anak-anak kampus yang sudah menjadi pelanggannya pun mengerubunginya seperti gula mengerubungi semut, eh kebalik semut nakal yang mengerubungi gula, hmm.
"Mas Damar keningmu kenapa?" tanya mahasiswi Anggi, melihat kening Damar terbuka menganga dengan goresan segar.
"Oh ini, tadi terbentur," jawab Damar, seraya mengusap darah dengan tissue.
"Segera di obati Mas,” ujar mahasiswi Amel ikut menimpali.
"Iya," sahut Damar, Damar pun mencuci tangannya, dengan air dari botol yang ia bawa.
Damar kembali melayani para mahasiswa dan mahasiswi yang membeli ciloknya.
"Mas aku lima ribu yah,” ucap salah satu mahasiswi berhijab segitiga berwarna biru.
"Iya Mbak Ita,” jawab Damar.
"Hah, Lo murah bener cuma di tawar lima ribu!” kata mahasiswa lain yang berasal dari Depok, khusus kuliah di Kota yang memiliki banyak destinasi wisata.
"Ih apaan si kamu Ndra, maksudnya tuh Ciloknya,” jawab Ita.
"Hoo... gue kira Lo murah banget," imbuhnya. "Pan gue kagak perlu nih cari yang lain!” imbuh pemuda yang memakai jas biru tua, khusus jaket anak kuliahan.
Ita, dan beberapa teman-teman yang sedang berkumpul di bawah pohon rindang pun heran, "Maksud Lo nggak perlu cari yang lain, ntuh gimana?” kata salah satu teman mahasiswi Ita, yang bernama Cici.
"Udah dah, gue cuma bercanda! hehe.” kata Indra terkekeh ringan. ia pun mendapat cibiran dari Ita juga teman satu angkatan yang sudah mengerti bahwa Indra adalah mahasiswa playboy cap badak.
"Mas Damar, abis Ita, aku yah, aku Ciloknya lima belas ribu jadiin dua bungkus.” kata mahasiswi yang berambut panjang diikat kuda.
"Oke Mbak Putri,” jawab Damar, melihat sekilas kearah Putri, karena ia tengah sibuk melayani para pemuda-pemudi kampus.
"Mas Damar, Mas Damar punya pacar nggak?” kata mahasiswi lain, dengan gaya pakaian agak tomboy.
"Nape boy?” kata mahasiswa berasal dari kota Boyolali, menyebut boy, pada gadis tomboy.
"Apaan si Lo Pras!” sahut cewek tomboy.
"Eh Sisil, lagian kamu nanya begitu mau ngapain? Masih demen kamu sama cowok!” nyiyir Prasetyo.
Sisil si cewek tomboy pun mencebikkan bibirnya,
"Ck. Orang aku tanya Mas Damar, kenapa si kamu terus yang jawab!” kesal Sisil.
"Gaje!” cibir Sisil
"Udah -udah, kenapa si kalian selalu ribut, ntar malah jadian loh kalian!" kata mahasiswi lain.
"Dih amit-amit, mana ada aku bisa jatuh cinta ama si Pras, Mega. Cowok nyebelin, kaya dia nggak selevel ama aku," sahut Sisil.
"Leh, aku juga ogah kali sama kamu, boy, cewek tomboy!” balas Prasetyo melirik Sisil yang sama-sama melempar tatapan sengit, dan keduanya sama-sama membuang wajah.
Saat keriwehan di antara anak-anak kampus sedang terjadi, Damar yang sedang sibuk membungkus satu persatu pesanan pun tidak sengaja mengedarkan pandangannya menatap jalanan. Terkejut tatkala sekilas melihat seseorang seperti pacarnya tengah berboncengan dengan seorang cowok memakai motor ninja.
Melihat dengan seksama, serta mengucek matanya, barangkali ia salah melihat. Namun, dari postur tubuhnya, serta rambut juga pakaian yang dikenakan si cewek, dapat di simpulkan bahwa itu memang pacarnya.
"Ratna.” gumamnya.
Sesaat kemudian, pandangan Damar teralihkan karena ia di panggil seseorang yang sudah berdiri di sebelahnya.
"Damar!" panggil seseorang itu.
Damar pun menoleh kearah sampingnya, dan kembali menatap jalanan, namun cewek yang di duga pacarnya sudah semakin jauh bersama dengan seorang cowok yang juga seperti di kenalnya.
"Kenapa si kamu Dam?” tanya seseorang itu lagi.
Damar kembali mengalihkan perhatiannya, menatap orang yang sejak tadi menunggu jawaban darinya,
"Nggak pa-pa Jun," jawab Damar, ia kembali fokus membungkus cilok yang sudah di beri toping berbagai bumbu juga saus sesuai selera pembeli.
"Dam, masih ada nggak ciloknya? Emak minta di oleh-olehin cilok dari kamu," ujar Juna, sekaligus bertanya kepada Damar.
"Masih ada!" sahut Damar.
"Alhamdulillah," seru Juna senang.
"Tapi di rumah!" telak Damar, seketika membuat senyuman Juna memudar.
Juna merasa kesal akan jawaban Damar, teman SMA nya. Pun menampol punggung Damar.
"Akh sialan kamu Dam!”
Damar hanya mengangkat bahunya acuh,
"Mbak Ita, Mbak Putri, ini udah selesai,” kata Damar memanggil anak-anak kampus yang juga membeli ciloknya.
Damar pun memberikan kantong plastik berisikan cilok, dan menerima uang dari kedua gadis kampus itu.
"Makasih Mas Damar,” kata Ita juga Putri.
"Sama-sama.” jawab Damar.
"Ini punya Mbak Ani, Mas Indra sama Bang Toyib,” kata Damar memberikan bungkusan berisikan cilok.
"Eh, Bang Toyib Bang Toyib, kenapa tak pulang-pulang anakmu anakmu merindukan susumu, haha..” ledek salah satu mahasiswa berambut keriting asal Ambon.
"Makasih Mas Damar.” kata Ani.
Damar menerima uang dari anak-anak kampus yang membeli ciloknya, seraya melebarkan senyumnya, "Sama-sama,”
Melihat senyumnya yang menawan, membuat kedua gadis itu seakan terpesona, "Aih, jangan senyum begitulah Mas Damar," kata Putri.
"Loh kenapa?” tanya Damar, heran.
"Meleleh hati Ita Mas Damar,” imbuh Ita.
"Alaaaaaakhhhh.....!” seru semua anak-anak kampus, mendengar rayuan dari kedua gadis kampus yang mengambil jurusan akuntansi.
Suwiwiiittt!!!
Siulan dari bibir mahasiswa lain mengundang gelak tawa.
Kini setelah dagangan ciloknya habis terjual, Damar sudah bersiap-siap untuk pulang. Namun melihat Juna yang masih setia menemaninya pun heran, Damar pun bertanya, "Kenapa kamu Jun?”
Juna hanya diam, ia sedang memikirkan sesuatu yang dilihatnya tempo lalu. Saat Juna baru pulang mengantar Emaknya memeriksakan kesehatan ke Dokter, ia tak sengaja melihat Ratna nama pacar dari Damar sedang berboncengan dengan seorang cowok memakai motor ninja.
"Woy Jun, kamu kenapa?" tanya Damar lagi.
Juna pun terkesiap, "Ratna kayanya selingkuh deh Dam!” kata Juna spontan.
Damar terkejut dengan ucapan yang di lontarkan teman SMA nya itu,
"Jangan asal bicara! Jun," sahut Damar dengan nada suara tegas.
Juna menatap Damar dengan seksama, "Suwer Dam, aku lihat dia dua hari yang lalu, pas aku pulang nganter Emak periksa, dia boncengan sama cowok pakai motor ninja lagi, keren kan?” ungkap Juna, yang mengikuti Damar berjalan mendorong gerobak ciloknya.
Damar diam, ia kembali mengingat sekilas cewek yang ia lihat pas sedang melayani cilok.
"Dam, Dam! Kamu dengar aku lagi ngomong kan?” tanya Juna, yang merasa diacuhkan oleh Damar.
Damar pun menghentikan langkahnya, dan disusul oleh Juna, yang berdiri di sampingnya. Damar menoleh kearah Juna, terlihat Damar yang menghela nafas.
"Aku akan coba cari tahu, makasih atas informasinya, Jun.” ujar Damar dengan raut wajah datar.
Damar pun kembali melanjutkan langkahnya, mendorong gerobak ciloknya, tujuannya saat ini ialah rumah. Karena dagangan ciloknya sudah habis.
Sementara Juna tidak lagi mengikuti langkah Damar, ia menatap punggung Damar dengan tatapan kasihan.
"Kasihan kamu Dam, hidupmu penuh dengan perjuangan. Bapak mu meninggal, kamu putus sekolah, dan sekarang kamu jadi tulang punggung keluarga.” gumam Juna, meratapi nasib temannya.
"Seharusnya aku bersyukur, Emak masih mau menyekolahkan ku, sampai saat ini.” gumamnya lagi, dan berbalik badan, menuju parkiran kampus, lalu mengambil sepeda motornya.
•••
Sepanjang jalan menuju rumahnya, Damar masih memikirkan cewek yang sama persis dengan pacarnya. Dan juga ditambah lagi ucapan Juna.
Sampai Damar tidak sadar, ia sudah melewati rumahnya sendiri karena asik memikirkan Ratna.
Sampai suara seseorang menyadarkan lamunannya.
"Mar, hey Damar!”
♠
Bersambung
Lihatlah segala sesuatu di belakang biarpun kita di fitnah, marah, dan dihina. Tetapi ada alasan Tuhan untuk menjadikan kita lebih didekatkan terhadap orang-orang baik.
So, always positif thinking
♠
Sampai suara seseorang menyadarkan lamunannya.
“Mar, hey Damar!”
•
Damar pun menghentikan langkahnya, dan menoleh ke belakang, tepat dimana Ibunya memanggilnya.
“Mau kemana kamu, Mar?” tanya Ibu.
Damar nampak limbung, ia lantas memutar arah gerobaknya menuju halaman rumah, rumah yang sangat sederhana juga tidak terlalu besar. “Kenapa bisa Damar ngelewatin rumah sendiri ya Bu?” kata Damar malah balik bertanya. Membuat sang Ibu heran akan putra sulungnya.
Ibu melihat kening putra sulungnya terluka,
“Kamu kenapa Mar?” tanya Bu Suci, nama Ibu dari Damar.
“Oh ini tadi terbentur Bu,” jawab Damar, ia pun masuk kedalam rumah, dan disusul oleh Bu Suci.
“Kok bisa kamu terbentur sampai kaya gini sih Mar?” tanya Bu Suci panik.
Damar duduk di sofa yang sudah usang di ruang tamu. Bu Suci lantas berjalan kearah almari kecil tak jauh dari ruang tengah, lalu mengambil kotak obat.
Bu Suci kemudian kembali keruang tamu, dan duduk disebelah Damar.
“Ini hanya luka kecil Bu,” jawab Damar
Bu Suci lantas mengobati luka goresan yang cukup dalam, dan menempelkan kain kasa steril serta perekatnya.
“Makasih Bu,” kata Damar.
Selesai sudah Bu Suci mengobati luka goresan di kening putranya, Beliau lantas beranjak hendak menuju ke dapur. Namun, sebelum itu, beliau berbalik badan,
“Mar, kamu nggak makan?” tanya Bu suci pada putranya, yang sejak pulang kerumah hanya diam.
Masih terbayang dengan ucapan Juna. Damar mengambil ponselnya yang masih mendiami tas selempangnya didepan dada.
Damar sekilas menatap Ibunya yang berdiri di ambang pintu ruang ruang tengah. “Nanti Damar makan Bu, Damar masih kenyang,” jawabnya, dan kembali fokus menatap layar monitor ponselnya.
“Ya udah, nanti anterin cilok punya Bu Romlah. Dia pesan mau ada pengajian di rumahnya.” kata Bu Suci.
“Iya Bu.” sahut Damar. Jari jemarinya mulai berselancar di keyboard ponselnya.
📱 Rat, aku mau ketemu kamu,” tulis Damar dan mengirimkannya via wawa.
Damar sangat fokus menatap layar monitor ponselnya yang masih menyala, menunggu jawaban dari sang kekasih. Sampai ia tak menyadari suara salam di ambang pintu. “Assalamualaikum,”
Suara remaja cowok semakin mendekati Damar. Dan mengintip ponsel Damar yang masih menyala dengan foto cewek cantik di layar monitor ponsel yang dipegang oleh Damar. “Ihiwwwwww.. cie cie..., Kenapa tuh Mas Damar foto Mbak Ratna di lihatin mulu,” ledeknya.
Damar segera menyadari adik remajanya yang masih memakai seragam sekolah putih abu-abu, ia pun mematikan layar monitor ponselnya,
“Kapan kamu pulang?” tanya Damar pada sang Adik.
Danum lantas duduk di samping Kakaknya yang tengah di landa kegalauan,
“Baru aja masuk rumah,” sahut Danum.
“Terus kenapa nggak salam?” tanya Damar yang tidak mendengar salam dari adiknya.
Danum pun merangkul pundak Kakaknya, “Mas, Mas Damar kalau kangen sama Mbak Ratna, temui dia Mas. Daripada terus mikirin dia sampai nggak denger orang salam,”
Damar menatap Danum yang mulai beranjak dari duduknya,
“Aku mau mandi akh,” ucap Danum, ia pun berjalan menuju kamarnya, tak lama keluar membawa handuk.
Sedangkan Damar ia juga ingin mandi, dan benar juga apa kata adiknya. Ia akan menemui Ratna, orang yang sedang menguasai pikirannya.
“Eits, Mas mu mandi dulu.” ujar Damar jalan mendahului Danum yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
“Astaghfirullah.” seru Danum, dengan tingkah Kakaknya.
Sementara menunggu Kakaknya mandi, Danum mencuci tangannya dan membantu Bu Suci yang sedang menguleni cilok. “Biar Danum bantu Bu,” kata Danum yang sudah duduk di kursi dapur.
••
Selama lima belas menit sudah, Damar berjibaku didalam kamar mandi. Akhirnya keluar dengan handuk yang melilit pinggangnya. Merasa segar dan mempunyai energi kembali, untuk menyusun semua rencana.
Danum pun melirik Kakaknya sekilas
“Smile,” kata Damar kepada Adiknya yang hendak masuk kedalam kamar mandi.
“Mas gendeng!” cibir Danum.
Bu Suci hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat kedua putranya yang selalu saja seperti anj*ng dan kucing kalau sudah berebutan.
Kembali ke kamar dan berganti pakaian yang terlihat rapih, kaos berlengan panjang warna hitam. Dan celana jeans panjang membuat tampilannya tampak cool, sudah seperti model, kulit tidak hitam juga tidak putih, tubuh yang atletis mendukungnya untuk menyanggah pendapat orang-orang bahwa dirinya merupakan pedagang cilok dan cowok dengan kehidupan yang sangat sederhana.
Hampir semua pekerjaan apapun ia lakukan demi kebutuhan keluarganya, Damar tidak pernah malu dengan pekerjaan serabutan ia berpikir realistis, yang terpenting baginya masih dalam jangkauan halallan toyiban.
Keluar dari kamar, ia melihat ponsel yang tergeletak di meja ruang tengah. Damar pun menyalakan layar ponselnya, namun sudah lebih dari satu jam, pesan yang ia kirim untuk pacarnya tidak juga mendapat balasan. Menaruh kembali ponselnya di atas meja.
Damar berjalan menuju dapur untuk mengambil pesanan Bu Romlah, melihat dandanan anaknya yang rapih, membuat Bu Suci mengisi pikirannya dengan berbagai pertanyaan, “Mau kemana kamu Damar?”
Damar yang sudah berdiri didekat meja makan pun menatap Ibunya, “Nganterin cilok yang tadi Ibu bilang,”
“Kenapa kamu rapih banget, kalau Cuma mau nganterin cilok kerumah Bu Romlah, setau Ibu Bu Romlah nggak punya anak gadis,” jelas Bu Suci, mengingat salah satu pelanggan setianya tidak mempunyai anak gadis.
Melihat tatapan curiga dari sang Ibu, membuat Damar tidak bisa membohonginya.
“Uhm... Damar mau ketemu sama Ratna, Bu,” ungkap Damar.
Bu Suci nampak menghela nafasnya, “Hhhhh...” beliau menghentikan aktivitas tangannya yang tengah membuat bulatan dari adonan tepung kanji.
“Ibu sudah bilang Nak, bangunlah dari mimpimu,” imbuh Bu Suci.
Damar duduk di kursi bersebelahan dengan Ibunya.
“Damar lagi nggak tidur Bu, jelas-jelas Damar duduk di sebelah Ibu,” jawab Damar hendak meledek Wanita yang telah melahirkannya.
“Jangan bercanda Nang! Ibu serius.” Pungkas Ibu menyebut putra sulungnya dengan sebutan ‘Nang.
Damar hanya bisa tersenyum kecut, “Ehm.. memang kenapa sama Ratna Bu, Ibu nggak suka kalau Ratna jadi menantu Ibu?” tanya Damar, sudah jauh memikirkan hubungannya dengan Ratna, meskipun ia menjalin kasih masih secara sembunyi-sembunyi dari orang tua Ratna.
“Le cah bagus, dengan siapapun nantinya kamu menjatuhkan pilihan. Ibu akan memberi restu Ibu, dan Ibu akan selalu menganggap menantu Ibu seperti anak Ibu sendiri, tapi kenapa harus Ratna, anak Juragan tanah, dia tidak sebanding dengan hidup kita Nak!” jelas Ibu, memperingatkan Damar.
Damar menunduk lesuh, “Tapi Damar dan Ratna nggak memandang perbedaan kita Bu,” kata Damar lirih.
Bu Suci lagi-lagi hanya bisa menghela nafas,
“Pikirkan ucapan Ibu, tidak salah dengan orang yang jatuh cinta, tidak salah juga dengan pilihanmu memilih Ratna tapi apa orangtua Ranta sudah tau tentang hubungan kalian?” tanya Bu Suci, menjelaskan tentang hubungan putranya yang sudah di ketahui’nya bahwa putranya tidak mendapat restu.
Tentu saja rahasia itu, beliau dapatkan dari putra bungsunya. Damar terkejut atas ucapan Ibunya yang sudah mengetahui bahwa ia berpacaran tanpa adanya restu dari orang tua Ratna yang kaya.
“Darimana Ibu tau?” tanya Damar, tepat saat itu pula pintu kamar mandi yang menjadi satu dengan ruangan dapur yang cukup luas, membuat Damar melempar tatapan menghunus kepada adiknya.
Merasa mendapat serangan tatapan tajam dari Kakaknya, membuat Danum menelan ludahnya bak menelan biji buah kedondong. “Kenapa Mas?” tanya Danum.
“Sudah, jangan salahkan Danum,” ujar Ibu, agar tidak ada kegaduhan diantara kedua putranya.
Danum pun membenarkan ucapan Ibunya, “Bener tuh Bu.”
“Pergi nggak!” sergah Damar sambil mengayunkan pisau dapur keatas. Membuat Danum bergidik ngeri dan melesat pergi dari dapur.
“Walah edan Mas Damar Bu, tolong anak mu yang tampan ini...!!!” jejeritan Danum melenggang pergi dari dapur sambil memegangi handuknya.
•
Dengan mengendarai sepeda motor Vespanya yang ia beli dari hasil jeri payahnya, meskipun bekas pakai.
Sebelum ia kerumah Ratna, Damar terlebih dulu mengantar pesanan ke rumah Bu Romlah. Damar menyusuri jalanan Malioboro dan melewati pertokoan serta tugu pal putih. Dua puluh lima menit sudah Damar berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar nan megah.
Rumah dari pemilik juragan tanah, dan juga pemilik PT Jaya Gemilang bergerak di bidang perindustrian. Damar nampak ragu untuk menekan bel di samping pagar yang terbuat dari teralis besi. Bahkan suaranya saja serasa tercekat di tenggorokan untuk memanggil pacarnya.
Damar kembali mengingat tiga bulan yang lalu, ia datang untuk pertama kalinya kerumah megah milik orang tua Ratna, ia langsung bertemu dengan Ayah dari Ratna. Ayah Ratna berpikir bahwa Damar adalah tukang ledeng yang akan membetulkan saluran air dirumahnya.
Namun, saat Damar menjelaskan ia adalah pacar Ratna, dengan sangat gagah. Bukan sambutan yang baik dari kedua orang tua Ratna.
Damar di cerca berbagai pertanyaan-pertanyaaan Pak Kusumo nama dari Ayah Ratna.
“Pekerjaan mu apa? Orangtuamu tinggal dimana? Lalu kamu lulusan sarjana berapa?
Semua rentetan pertanyaan Pak Kusumo membuat Damar mengecilkan nyalinya, namun Damar tidak ingin berbohong. Ia menjawab dengan jujur semua pertanyaan yang dilayangkan Pak Kusumo padanya.
“Saya hanya pedagang cilok, kadang saya menjadi tukang sol sepatu dan apapun pekerjaan akan saya lakukan yang terpenting halal, ayah saya meninggal, dan Ibu saya hanya Ibu rumah tangga, serta saya tinggal di rumah sederhana.”
“Hey orang kismin! Tidak sudi aku punya menantu seperti mu!” telak Pak Kusumo segan-segan menghina, dan menentang hubungan putrinya dengan pemuda miskin ditambah lagi yatim.
“Ratna, kamu kenal dimana Lelaki miskin ini? Apa kamu buta Na! Dia berbeda kasta dengan kita. Kamu mau mencoreng nama baik keluarga kita?” cerca Pak Kusumo mendelikan matanya menatap anak bungsunya dari ketiga bersaudara.
“Tapi Pi, Damar laki-laki yang baik, Damar yang telah menyelamatkan Ratna. Saat Ratna hampir tenggelam di pantai, Pi,” jelas Ratna, yang tengah terduduk di kursi megah.
Sementara Damar dibiarkan oleh Pak Kusumo tetap berdiri, bak seekor anj*ng liar yang hina. Bu Ana, istri Pak Kusumo pun melihat Damar dengan tatapan hina.
“Jangan-jangan dia cuma mau memanfaatkan mu saja Ratna, setelah tau kamu adalah anak orang kaya,” sinis Bu Ana mengatakan perkataan yang membuat Damar mengangkat wajahnya yang semula tertunduk.
Tanpa rasa takut, Damar menatap Bu Ana.
“Saya bukan orang seperti itu Bu,” sanggah Damar.
“Jangan sebut saya Bu, saya bukan Ibumu, ataupun saudara mu!” cibir Bu Ana.
Bu Ana mencebikkan bibirnya, beliau pun kembali mencibir Damar, “Heleh, mana bisa pemuda miskin seperti kamu, nggak mempunyai niatan jahat sama anak saya, atau mungkin kamu mengguna-guna Ratna kan?” tuduh Bu Ana, semakin berkata kejam, bak belati tajam.
Damar menggeleng kuat, “Astaghfirullah, orang tua saya tidak mengajarkan yang demikian Anda sebutan,”
“Persetan! Dengan semua ucapan mu,” sentak Bu Ana, kejam.
“Mami!” sela Ratna, ia mengatur deru nafasnya yang serasa tersengal, pandangannya mulai mengabur.
“Ratna! Tidak biasa kamu akan melawan ucapan Orangtuamu Na, Papi yakin ini akibat pengaruh lelaki miskin ini,” tuduh Pak Kusumo, menyangka Damar sudah memberikan dampak buruk untuk putri bungsunya.
“Nggak Pi. Justru selama Ratna mengenal Damar, Damar selalu mengajarkan Ratna tentang kebaikan dan agama, Pi,” sanggah Ratna, karena memang apa yang di tuduhkan Papinya tidak seperti itu.
“Cukup Ratna!” sentak Pak Kusumo, dengan nada suara tinggi.
Membuat Damar, Ratna juga istrinya sendiri tercengang.
“Hey pemuda jelata, sebelum satpam menyeret mu untuk keluar secara paksa. Mending kamu punya malu, gih pergi!” usir Bu Ana, seraya mengibaskan tangannya, sudah seperti mengusir seekor lalat.
Perlahan Damar pergi dari rumah yang sangat megah, lampu hias yang menggantung di tengah-tengah ruang tamu yang cukup besar.
“Damaaaaaaar.....” teriak Ratna memanggil pemuda yang telah menyelamatkannya satu tahun lalu. Tapi juga tidak mengejar Damar, antara cinta dan rasa berhutang budi membuat Ratna dilema, dengan perasaan yang sesungguhnya kepada Damar.
•••
Bersambung....
♠
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!