Cinta itu bukan buta, tetapi melumpuhkan logika. Terkadang tidak perduli Damar seberapa kali disakiti olehnya. Terkadang tidak perduli seberapa sering kali Damar merasa tersakiti olehnya. Hatinya masih ada ruang untuk Ratna, karena ia tulus mencintainya.
Dalam keadaan basah kuyup, Damar sampai di depan rumahnya. Rasa dingin seolah mengelupas kulit dan menembus tulangnya, dingin kian menjalar keseluruh tubuhnya. Hingga Damar kehilangan keseimbangan dan jatuh bersimpuh di halaman rumahnya.
"Astaghfirullah, Mas Damar!” pekik Danum, yang baru saja tiba memasuki halaman rumahnya, seketika berlari hingga membuatnya terpeleset akibat curah hujan yang membasahi jalanan dan halaman rumah.
Namun ia segera bangkit, meski menahan rasa sakit di pantatnya. "Mas Damar, ya Allah!” seru Danum, menepuk pipi Kakaknya.
Dari suara Danum yang meninggi, Bu Suci berlari tergopoh-gopoh dari dalam rumah. Dan melihat Damar sudah tak sadarkan diri. "Damar!” seru Bu Suci.
Bu Suci dan Danum pun membawa Damar ke kamar dengan susah payah. Beliau pun pergi ke dapur merebus air untuk membuat teh hangat.
Pakaian Damar yang semula basah kuyup kini sudah di gantikan oleh Danum, dengan telaten Danum memakaikan kaos kaki untuk menghangatkan kaki Damar yang sedingin es, serta menyelimuti Kakaknya dengan selimut tebal, karena badan Damar sangat dingin.
Rasa khawatirnya, membuatnya terus saja meneteskan air mata. Sedih, sesak yang Danum rasakan, saat seperti ini. Danum teringat saat usianya delapan tahun, ia harus mengalami kesedihan yang mendalam, kehilangan sang Ayah yang di panggilnya Bapak.
Hingga membuatnya juga sang Kakak seketika menjadi anak yatim, delapan tahun silam. Tidak mudah hidup yang harus dilaluinya hanya dengan orang tua tunggal.
"M--as, hiks... ” rasa sedih tak tertahankan. Meskipun Danum anak laki-laki, namun saat seperti ini, Danum tidak bisa menyembunyikan eluh bening yang mengalir tanpa henti.
Bu Suci pun kembali ke kamar kedua putranya membawa wadah berisikan air hangat untuk mengompres Damar.
"Nang, di kompres Mas mu,” titah Bu Suci.
Danum menerima wadah yang diberikan Bu Suci, berisikan air hangat serta handuk kecil untuk mengompres. "Iya Bu,” jawab Danum.
"Sudah jangan menangis Nang, Mas mu baik-baik saja,” kata Bu Suci, melihat Danum menangis mengingatkannya saat kehilangan Bapak dari kedua anaknya.
"Ibu ke dapur dulu, lagi rebus air.” lanjut Bu Suci lagi, dan mendapat anggukan kepala dari Danum. Sebelum pergi, Bu Suci mengusap kening putra sulungnya.
Sedih dengan kondisi anaknya, yang rela bekerja keras, hingga sakit pun Damar tahan. Namun Bu Suci, ingin tetap terlihat tegar demi kedua anaknya yang tumbuh dewasa tanpa seorang Ayah. Lalu keluar kamar Damar dan berjalan menuju dapur.
Danum mengompres kening Kakaknya dengan handuk yang sudah di peras air hangat, Danum berharap Kakaknya segera sadar. "M--as, kan tadi pagi aku udah bilang, jangan berangkat jualan dulu. Kenapa Mas Damar keras kepala!”
"Kalau udah begini, siapa lagi yang repot. Kan aku sama Ibu.”
"Mas Damar, kita nggak akan kaya mendadak hanya dengan kerja keras aja. Mas Damar juga butuh tenaga yang fit.”
"Bangun Mas, Bangun.”
"Kalau Mas Damar pengen kaya mendadak, ayok dah kita nyewa tuyul, biar kita bisa jadi orang kaya dan nggak perlu susah kerja keras lagi.”
Danum terus saja berbicara dengan segala celotehan, hingga berkhayal tentang pertuyulan. Tepat saat itu pula, pucuk kepalanya mendapat tampolan dari tangan sang Ibu yang mendengar ocehannya yang seperti burung kenari.
"Aduh, Ibu!” seru Danum memegangi kepalanya, dan mengusap-ngusap rikmanya.
Bu Suci duduk di samping Damar berbaring yang masih belum sadarkan diri, dan melihat anak bungsunya yang sedang mengusap kepalanya. "Kalau ngomong itu bok yo jangan asal jeplak toh le. Tuyal--tuyul nanti kalau Gusti Allah murka leh kepiye (gimana)?”
Danum mengerucutkan bibirnya, "Kan-- kan Danum cuma asal ngomong Bu, nggak beneran. Sumpah!” kilah Danum, sambil mengangkat kedua jemari tangannya membentuk huruf V.
Bu Suci kembali meratapi putra sulungnya, "Le, bangun.” kata Bu Suci, mencoba membangunkan Damar.
Bu Suci kembali menatap Danum, "Nang, ambilkan minyak kayu putih?” pinta Bu Suci.
Danum pun mengangguk lalu beranjak dari duduknya dan mengambil minyak kayu putih yang terdapat di almari kecil samping tempat tidur, lalu memberikannya kepada Bu Suci.
Lantas Bu Suci, mengusap kening Damar serta sedikit mengoleskan minyak kayu putih di antara kedua hidung Damar. Seketika, seperti yang suda Bu Suci duga
Hacciiiiiihhhh
Hacciiiiiihhhh
Damar tersadar spontanitas bersin-bersin secara berulang. Naluri Bu Suci begitu kuat terhadap sang anak, Damar memang tidak menyukai aroma minyak kayu putih. Jikalau Damar mencium barang secuil pun, maka ia akan segera bersin-bersin seperti sekarang ini.
Danum membelalakkan matanya, "Alhamdulillah, ya Allah. Akhirnya Mas Damar sadar juga,” seru Danum gembira ria.
Danum melihat Bu Suci dan beralih melihat Kakaknya, "Kenapa Danum nggak inget yah, kalau Mas Damar alergi bau minyak kayu putih?” gumam Danum, sambil menggaruk kepalanya yang di tumbuhi rikma lebat nan hitam pekat.
"Ibu.... Jauhin itu minyak kayu put...” jeda Damar berucap, karena hidungnya merasakan sensasi geli.
Hasssiiiiiihhhh
Damar pun beranjak untuk duduk, setelah dirasa hidungnya sudah mulai stabil. Ia pun berujar "Kenapa Damar bisa ada di kamar Bu? Setau Damar tadi Damar baru pulang dan.... Emmm,” Damar menjeda Kalimatnya, ia tidak mengingat dengan jelas kenapa bisa ada di dalam kamar dan sudah berganti pakaian pula.
"Hemmm..... Mas Damar tadi pingsan, untung adikmu yang ganteng bak Salman Khan lekas pulang,” jawab Danum, seperti biasanya, remaja satu ini selalu membanggakan dirinya.
"Berat tau ih si Mas Damar, lain kali kalau sakit nggak usah berjualan lagi! Atau bila perlu kita pelihara tuyul!” lanjut Danum, masih berniat membahas soal pertuyulan.
"Danuuuummm!” sentak Bu Suci.
Damar hanya bisa membulatkan matanya, karena tenaganya saat ini dirasa tidak cukup untuk membuat adiknya terdiam.
"Iya-- iya. Danum diem bae, anteng!” gerutu Danum. Mengatupkan bibirnya.
"Kan Danum cuma asal ngomong, kenapa pada ngelihatin Danum begitu? Apa Danum sekarang makin ganteng,”
"Iiihh jangan lihatin Danum begitu Bu, Mas. Kan-- kan Danum jadi malu, nggak tau yah kalau Danum pemalu?” lanjut Danum, dengan bahasa kemayu.
Bu Suci menggelengkan kepala, melihat tingkah laku putra bungsunya yang masih saja berperilaku seperti anak berusia delapan tahun.
Sedangkan Damar jengah, dengan celotehan nggak jelas adiknya yang sudah remaja, tapi masih saja seperti anak TK, "Magnum, kamu tau nggak?”
"Tau apa?”
"Kamu itu, nggak pantes lahir sebagai laki-laki. Kamu itu pantesnya kalau terlahir perempuan. Karena apa? Kamu tau?”
Danum menggeleng
"Kamu lebih cerewet dari nenek-nenek!” seloroh Damar, sambil menerima gelas berisikan teh hangat yang diberikan Bu Suci.
Suara salam seseorang dari arah depan rumah membuyarkan pembicaraan yang sudah mulai mengarah tidak karuan.
"Assalamualaikum....” salam seseorang di depan rumah.
Bu Suci, Danum juga Damar saling melempar tatapan. Mendengar suara perempuan mengucap salam.
"Sopo iku Bu? (Siapa itu Bu)” tanya Danum.
Semakin jelas kali kedua salam seseorang kembali bersuara. "Assalamualaikum....”
"Biar Danum yang buka.” kata Danum, lalu berjalan keluar kamar dan menuju pintu utama masuk rumah bergaya atap gudang garam.
Sekilas Danum melihat jam di dinding ruang tamu menunjukkan waktu setengah lima sore. Danum membuka pintu dan melihat seseorang yang dikenalnya...
•••
Bersambung...
♠
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
siapa ya🤔🤔🤔
2022-10-28
0
Kinan Rosa
lanjut
2022-03-11
0
Agus Darmawan
danum alias Magnum bgt crwt ya .....
2022-02-24
0