Damar terdiam, ia mencoba mengingat nama itu.
"Oh, Imel temennya Ratna!” seru Damar, pada akhirnya mengingat siapa Imel.
•••
Dengan senyum tipis, Imel mengangguk pelan. Imel menghentikan laju mobilnya,
"Kamu nggak kangen sama Ratna, Kang cilok?” tanya Imel. Imel menengok sekilas kearah Ratna, seperdertik kemudian kembali fokus menatap Damar.
Damar nampak mengerutkan keningnya, di bawah payung warna-warni yang dibentangkan dan diikat ke gerobaknya untuk berteduh dari rintih hujan.
"Nggak! Dia udah milik orang lain, Mel,” jawab Damar, menyadari ia hanya akan menjadi benalu. Tanpa Damar tahu Ratna juga ada di dalam mobil Imel dan mendengar ucapan Damar.
Serasa ada yang mencubit hatinya, ketika mendengar Damar mengucapkan perkataan itu. Ratna hanya diam, masih dengan menatap Damar dari dalam mobil Imel yang berkaca gelap. "Oh, jadi sekarang kamu sadar diri. Bagus deh!” cibir Mutiara, ikut bersuara.
Imel pun mengangguk, membenarkan ucapan Mutiara.
"Bener tuh Mut,” kata Imel. Lalu beralih menatap Damar.
"Lagian kamu tuh seharusnya ngaca, kamu punya kaca kan Mar di rumah? Atau gini, kalau kamu nggak punya kaca nanti aku beliin yang lebar, supaya kamu bercermin siapa kamu dan siapa Ratna?!” sinis Imel, berkata tanpa mau tahu dengan perkataan yang bisa saja menyakiti perasaan Damar.
Sudah biasa Damar menerima cercaan serta cibiran pedas, seolah sudah menjadi makanan pokok dalam menjalani hidup sebagai pria miskin. Damar grentes dalam hati, ingin menangis, betapa berat cobaan dan hinaan yang harus ia terima. Seandai kata dapat menjabarkan bahwasannya ia merasa seperti aib yang menjijikan.
"Kalian boleh, berkata apa pun tentang kehidupan orang lain. Tapi jangan lupakan satu hal, hidup enak yang kalian nikmati saat ini. Suatu saat akan berbalik dan bisa jadi lebih menyedihkan dari pada hidup yang ku jalani saat ini. Cam kan itu!” sergah Damar, dengan rentetan perkataan sekiranya dapat menyadarkan kedua gadis yang telah menghinanya.
Ratna tidak dapat bicara, ia ingin membela Damar dari cibiran kedua temannya. Akan tetapi, egonya mengalahkan hati nuraninya. Ratna hanya diam membisu, seolah menuli.
Panas hati dengan apa yang dikatakan Damar, Imel pun merogoh tas branded'nya dan mengambil lembaran uang berwarna merah berlambang Presiden pertama, dan melemparkan uang-uangnya ke hadapan Damar yang berjarak satu meter dari mobilnya. Hingga mengenai wajah Damar.
"Nih buat bayar semua nasehat Lo yang basi itu!” hardik Imel dengan amarahnya.
Sontak apa yang dilakukan Imel, membuat Ratna terkejut, juga Damar spontan membelalakkan matanya. Seketika uang-uang ratusan ribu berserakan di jalanan dan di antara genangan air.
Dan seketika mengundang reaksi orang-orang yang melintas, melihat kearah Damar. Dari orang-orang yang berjalan kaki maupun orang yang mengendarai kendaraannya. Menatap heran, serta kebingungan, dengan apa yang terjadi di antara orang yang berada di dalam mobil j*zz merah serta pedagang cilok.
"Ada apa toh?”
"Wah, hujan duit!”
"Ribut-ribut apaan tuh?”
"Nggak sopan banget orang yang melempar duit, mentang-mentang orang kaya!”
Suara-suara sumbang orang-orang yang melihat kejadian itu, menerka-nerka dengan akan hal apa yang terjadi, dan dialamatkan kepada Damar juga pengendara mobil j*zz merah, Imel.
Mutiara pun tidak tinggal diam, gadis yang memakai celana pendek sebatas paha juga baju outfit, sedikit memajukan badannya mendekati Imel. Dan menatap Damar,
"Perkataan kamu nggak guna buat kita!” imbuh Mutiara.
Kali ini, Ratna merasa kedua temannya sudah keterlaluan. Ratna tidak habis pikir, setega ini Imel dan Mutiara.
"Imel! Mutiara! Tega yah kalian!” hardik Ratna dengan suara meninggi.
Damar pun terkejut mendengar suara Ratna dari dalam mobil, "Ratna?” gumamnya.
Suara Ratna, sontak membuat kedua gadis yang menggerai rambutnya menengok kebelakang, dan tersenyum menyeringai.
"Kenapa kamu nggak terima Rat?” tanya Imel.
Lima detik Mutiara menatap Ratna, kemudian mutiara kembali menatap Damar. "Nih cewek kamu Mar, ada di belakang dari tadi dia deim aja!” ujar Mutiara.
Imel pun mengalihkan pandangannya menatap Ratna, dan kembali menatap Damar, "Kalau dia diem begini dengan segala hinaan yang kamu dapatkan. Sudah di pastikan dia malu punya pacar miskin seperti kamu Mar!”
"Ngaca Mar! Ngaca!” seru Mutiara..
Imel pun melajukan mobilnya, seraya melambaikan tangan ejekan kepada Damar. Ratna menggelengkan kepalanya, heran akan sikap Mutiara juga Imel.
"Puas kalian!” hardik Ratna kesal.
Mutiara hanya melihat sekilas kearah Ratna dengan ekor matanya, sedangkan Imel terlihat menyunggingkan satu sudut bibirnya keatas. "Kenapa kamu nggak terima?” tanya Imel, fokus menatap jalanan.
"Tau ih! Terus apa bedanya kamu sama kita Rat? Kamu juga diam aja kan? Itu sama halnya kamu setuju kalau memang Damar nggak cocok bersanding denganmu!” kata Mutiara.
"Tau ih, Ratna muna!” umpat Imel.
Gemas akan tingkah laku kedua temannya, "Bukan berarti aku diam. Lantas aku sependapat sama kalian! Aku diam karena sudah terlalu banyak orang yang sudah menghinanya!”
Mutiara menoleh kebelakang, melihat raut wajah Ratna yang sedang menahan amarah, urat-urat lehernya menggambarkan ia sedang dalam gelora emosi.
"Ya udah nikah aja sama dia, kalau kamu mau lehermu di tebas sama Papi mu!” kata Mutiara.
Merasa percuma mendebat kedua temannya, Ratna memilih diam. Dan membuang pandangannya menatap kebelakang, ia melihat Damar tengah memunguti uang yang berserakan. "Mar, kenapa jalan untuk bersama dengan mu sangat sulit. Apa memang kita di takdirkan bertemu tapi tidak untuk bersatu.” benak Ratna bermonolog.
••
Dengan keadaan basah kuyup, Damar mengambil uang-uang ratusan ribu. Dan mengumpulkannya menjadi satu, ia pun berjalan melewati sekumpulan orang yang berkerumun sedang mencari tahu tentang hal yang menurut mereka menarik untuk di jadikan sebuah pembicaraan, maupun postingan.
"Seneng yah Mas, ketiban duit!”
"Wah enak bener aku juga mau kaya gitu tuh!”
"Sudah-sudah ayok bubar-bubar!”
Lagi dan lagi, suara-suara sumbang orang-orang yang ingin mencari kebenaran yang sedang terjadi. Namun Damar tak mengindahkan, seolah telinganya sudah kebal, barangkali memang ada yang menganggap ia memiliki telinga lebar seperti gajah dan hati seperti laron pun tak apa? Toh memang hidup bebas berpendapat.
Damar tidak bisa menghentikan orang yang tidak menyukainya, ataupun orang yang menyukainya untuk berhenti bicara, menghentikan ejekan serta lawakan cibiran orang pada kehidupannya. Damar hanya manusia biasa, mempunyai sisi lemah sekaligus sisi kuat untuk menopang segala sesuatu yang membuat hatinya lelah.
Damar masih berharap di setiap sisa nafasnya yang mengharap. Akankah ada secercah cahaya terang dan kesejahteraan dalam mengarungi kehidupan yang dirasa semakin mengikis rasa percaya pada dirinya sendiri.
Damar berhenti di depan sebuah masjid, kali ini bukan untuk sholat. Melainkan berniat memberi uang yang di lemparkan Imel kepada pengurus masjid yang kebetulan sedang menyapu teras masjid.
"Assalamualaikum Pak,” salam Damar di halaman Masjid.
Seorang pria tua pun berjalan menghampiri Damar, "Wa'alaikumussalam,”
"Ehmm... Pak, saya mau memberikan ini untuk di sumbangkan ke masjid.” kata Damar, menyodorkan uang basah sejumlah satu juta delapan ratus ribu kepada pengurus masjid.
Pengurus masjid yang memakai sarung serta baju koko cokelat nampak limbung dan ragu atas ucapan Damar, lalu melihat uang yang di pegang oleh Damar dihadapannya.
Melihat tiada pergerakan dari pengurus masjid, tempat biasa Damar sholat ketika sedang berdagang cilok. Mengerti akan keraguan dari pengurus masjid yang sering di lihatnya. Damar pun berujar,
"Ini bukan uang haram Pak, saya mendapat uang ini secara cuma-cuma. Tapi menurut saya masjid ini sepertinya masih memerlukan banyak dana untuk menyelesaikan renovasi.”
"Maaf Pak, uang ini agak basah.” sambung Damar.
Pengurus masjid itupun menerima uang yang di pegang oleh Damar, "Terimakasih Nak, semoga amal saleh Nak siapa namamu?”
"Sebut saja hamba Allah, Pak.” jawab Damar, ia enggan menyebutkan namanya. Karena memang itu bukanlah uangnya.
"Semoga Allah membalas mu dengan kebaikan yang berlipat ganda, Nak.” lanjut pengurus masjid yang Damar sendiri tidak mengetahui namanya.
"Amin. saya permisi, Pak.” jawab Damar, dan di angguki Pengurus masjid, ia pun pergi dari halaman masjid yang sedang ada perbaikan renovasi untuk mengganti kerangka masjid. Di karenakan akan memasuki musim penghujan.
•••
Bersambung
♠
Mohon dukungannya 🙏🏼
Like, Vote, Komen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
god job damar,👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏....
2022-10-28
0
Erina Munir
ya Allah sabarr bangeet ya damar....semoga rejekinya lancarnya damaar...💪💪💪💪
2022-03-19
0
Kinan Rosa
oh God Damar
2022-03-11
0