RAHASIA SANG PRABU
...****...
Bilik Prabu Kawiswara Arya Ragnala.
"Rasanya ayahanda sudah tidak sanggup lagi." Sang Prabu terdengar lirih. "Karena itulah ayahanda hanya meminta kepadamu." Tatapan matanya juga sayup-sayup, seperti orang sedang menahan kantuk. "Untuk melindungi istana ini, dengan segenap hatimu." Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum menatap anaknya. "Ayahanda serahkan semuanya kepadamu."
"Ayahanda jangan berkata seperti itu." Raden Cakara Casugraha menggenggam kuat tangan ayahandanya yang mulai terasa dingin. "Ayahanda akan baik-baik saja." Ucapnya sambil menahan tangisnya. "Nanda sedang mencoba, untuk mengobati ayahanda."
"Cukup sampai di situ saja, putraku." Prabu Kawiswara Arya Ragnala menahan tangan anaknya. "Tubuh ayahanda sudah tidak kuat, untuk bertahan."
"Jangan berkata seperti itu ayahanda." Raden Cakara Casugraha semakin panik. "Nanda sedang mengusahakannya."
Raden Cakara Casugraha sedang berusaha untuk meyakinkan ayahandanya bahwa ia mampu mengobatinya.
"Sepertinya sudah saatnya ayahanda pergi." Suara sang Prabu semakin melemah. "Ayahanda tidak bisa berlama-lama lagi."
"Nanda mohon bertahanlah." Raden Cakara Casugraha hampir raja meraung, mendengarkan ucapan ayahandanya yang seperti itu. "Percayalah! Bahwa Allah subhanahu wa ta'ala!." Tegasnya. "Akan selalu memberikan keselamatan kepada umatnya."
"Ayahanda ingin kau yang memimpin kerajaan ini."
"Tapi ayahanda." Masih ada perasaan janggal di hatinya. "Bukankah ayahanda sendiri telah mengetahui?." Hatinya terasa sedih. "Jika nanda tidak akan bisa menjadi Raja." Hatinya terasa sakit. "Walaupun nanda, telah menguasai pedang panggilan jiwa."
"Kau pasti bisa." Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum lembut. "Percayalah, dengan apa yang kau yakini, putraku."
"Bukankah putra-putri ayahanda lainnya? Bisa menjadi raja?." Raden Cakara Casugraha masih ragu. "Nanda tidak akan mampu melakukan itu ayahanda."
"Bukankah? Ayahanda telah menjelaskan padamu?." Balas Prabu Kawiswara Arya Ragnala dengan suara pelan. "Harusnya kau memahaminya putraku."
Tidak ada jawaban dari Raden Cakara Casugraha.
"Ayahanda hanya percaya padamu saja."
Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum kecuali menatap putranya itu, sang prabu mencoba meraih kepala putranya dan mencium puncak kepalanya seperti yang biasa sang prabu lakukan ketika masih sehat.
"Jagalah kerajaan ini beserta rakyatnya." Suara sang Prabu semakin melemah. "Janganlah sekali-kali nanda menutup mata." Sang Prabu berusaha menyampaikan pesan itu pada anaknya. "Hati nanda untuk melihat penderitaan mereka." Nafas sang Prabu terlihat semakin ngos-ngosan. "Jagalah kedamaian dengan segenap hatimu." Namun ada senyuman di wajah sang Prabu. "Dengarkanlah panggilan mereka, yang menginginkan kesejahteraan."
Setelah mengatakan apa yang seharusnya dikatakan, Gusti Prabu Kawiswara Arya Ragnala atau nama aslinya Bahuwirya Dihyan Darya menghembus nafas terakhirnya.
Sang Prabu telah memberikan amanat kepada putra bungsunya Raden Cakara Casugraha untuk selalu melindungi kerajaan Suka Damai.
"Ayahanda." Tangisnya pecah saat itu juga. "Semoga ayahanda Prabu mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya." Hatinya sangat sakit. "Nanda akan selalu melakukan apapun yang ayahanda minta." Ia genggam kuat tangan ayahandanya yang terasa sangat dingin. "Semoga Nanda bisa melakukannya ayahanda." Dalam hatinya berjanji bahwa ia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Setelah itu ia keluar dari bilik ayahandanya dengan raut wajah yang sangat sedih.
"Ada apa putraku?." Ratu Dewi Anindyaswari mendekati anaknya. "Bagaimana dengan keadaan ayahandamu nak?."
"Bagaimana dengan keadaan ayahanda?." Putri Agniasari Ariani juga cemas. "Rayi, jawablah."
Namun belum ada jawaban darinya, hingga saat itu keluarganya yang lainnya menghardiknya dengan suara yang sangat keras.
"Hei!." Bentaknya dengan suara yang keras. "Cakara casugraha anak setan!." Makinya dengan kasar. "Apa yang terjadi pada ayahanda Prabu?!." Suaranya semakin tinggi. "Kenapa kau terlihat murung seperti itu?." Tatapan matanya dipenuhi oleh kebencian yang sangat dalam. "Apakah kau tidak bisa? Mengobati ayahanda Prabu? Hah?!."
"Kau pasti melakukan sesuatu pada ayahanda Prabu!."
"Demi Dewata yang agung!." Tegasnya dengan penuh amarah. "Aku akan membunuhmu!." Tunjuknya tepat di wajah Raden Cakara Casugraha. "Jika terjadi sesuatu pada ayahanda Prabu!."
Tampak mereka memanas karena melihat raut wajah Raden Cakara Casugraha yang seperti itu.
"Ayahanda meninggalkan kita semua."
Deg!.
Mereka semua sangat terkejut mendengarnya.
"Ayahanda Prabu tidak sanggup menahan." Jawabnya. "Racun kegelapan yang telah menggerogoti tubuhnya."
Deg!.
Mereka semua yang mendengarkan itu sangat terkejut, karena bukan kabar itu yang mereka harapkan. Mereka tentunya tidak ingin mendapatkan kabar buruk, kabar yang membuat nyawa mereka ikut melayang?.
"Kau pasti yang membunuhnya!."
"Tenanglah raka!." Raden Cakara Casugraha langsung bereaksi. "Kita semua telah mengetahui!." Lanjutnya. "Jika ayahanda Prabu! Menyerang istana kegelapan sendirian!." Tegasnya. "Kita semua telah berusaha! Untuk membantu ayahanda Prabu!." Suaranya penuh penekanan. "Tapi hasilnya-."
"Diam kau cakara casugraha!." Bentaknya dengan suara yang lebih tinggi. "Akan aku bunuh kau!."
"Putraku!."
"Rayi!."
Seketika suasana di sana menjadi gaduh karena ketiga putra Prabu Kawiswara Arya Ragnala menyerang Raden Cakara Casugraha.
Kakak perempuan dari Raden Cakara Casugraha juga ikut ambil andil dalam pertarungan itu, ia mencoba untuk membantu saudara kandungnya dari serangan saudara-saudara beda ibu yang terus-menerus menyerang adiknya itu.
"Kalian berani main keroyokan?."
"Kau ingin aku hantam berapa pukulan? Hah?!."
"Aku tidak takut dengan ancaman kalian."
"Hentikan kalian!." Ratu Dewi Anindyaswari berusaha menghentikan mereka. "Hentikan!." Suaranya juga semakin tinggi, agar didengar oleh mereka. "Ayahanda kalian! Tidak ingin kalian seperti ini!."
"Tidak ada gunanya kau menghentikan mereka!." Ratu Ardiningrum Bintari menahan Ratu Dewi Anindyaswari. "Dan kau juga! Akan kami siksa! Atas perbuatan putramu itu!."
"Kau pasti akan mendapatkan hukuman! Yang berat dari kami!."
Dua Ratu yang lainnya merasa kesal, karena mereka tidak menduga jika Prabu Kawiswara Arya Ragnala meninggalkan mereka untuk selama-lamanya?.
"Hentikan!." Ratu Dewi Anindyaswari masih saja berusaha menghentikan mereka. "Ibunda mohon hentikan!." Hatinya terasa sakit melihat itu. "Kita masih dalam suasana berkabung!."
Ibunda Raden Cakara Casugraha mencoba untuk menghentikan itu, tapi sayangnya tidak mau mendengarkan sama sekali, hingga saat itu ada angin yang sangat kencang menerpa tubuh mereka.
Deg!.
"Apakah kalian?." Suara itu terdengar sangat berat. "Akan saling membunuh?." Hatinya terasa sedih. "Ketika aku telah pergi meninggalkan kalian?."
Suara itu terasa sangat berat, mereka semua sangat merinding mendengarkan suara itu. Tanpa sadar air mata telah membasahi pipi mereka, tersadar atas apa yang telah mereka lakukan.
"Ayahanda."
"Apakah kalian masih ingin saling membunuh?." Pertanyaan itu kembali muncul. "Ketika jasadku belum ditelan tanah?!." Benar-benar luka batin yang sangat dalam. "Apakah kalian masih ingin? Memperlihatkan kebencian?." Begitu dalam luka batin dirasakan sang Prabu. "Yang ada di dalam hati kalian?."
"Tidak ayahanda! Kembalilah!."
"Ayahanda! Jangan tinggalkan kami! Kembalilah ayahanda!."
"Kalian lah yang pergi meninggalkan aku!." Balas Prabu Kawiswara Arya Ragnala. "Dengan sikap kalian yang seperti itu! Kalian lah yang telah membunuh aku."
"Tidak ayahanda!."
Mereka langsung masuk ke dalam bilik Prabu Kawiswara Arya Ragnala, kecuali Raden Cakara Casugraha dan ibundanya yang masih berada di sana.
"Maafkan nanda." Ucap Raden Cakara Casugraha. "Karena tidak bisa mengobati ayahanda." Hatinya sakit, sesak. "Semoga ibunda tidak membenci nanda."
"Semuanya telah terjadi, karena garis nasib." Ratu Dewi Anindyaswari mendekati anaknya. "Yang ditakdirkan sang hyang Widhi, kita tidak bisa menyalahkan takdir itu putraku." Dalam tangisnya ibundanya memeluk anaknya yang sedang menahan tangis. "Ibunda tahu kau telah berusaha." Ratu Dewi Anindyaswari memeluk anaknya. "Untuk mengobati ayahandamu." Tangannya membelai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. "Tapi semuanya telah berjalan, sesuai dengan takdir anakku."
"Ibunda, maafkan nanda." Raden Cakara Casugraha menangis dalam pelukan ibundanya, ia tidak dapat menahan perasaan sesak yang sangat kuat mendesak dadanya.
"Kita harus kuat anakku." Ratu Dewi Anindyaswari juga berusaha kuat. "Ibunda yakin, kita bisa menghadapi masalah ini, dengan sangat baik."
"Semoga saja ibunda."
"Kalau begitu kau berikan doa yang terbaik." Ratu Dewi Anindyaswari mengecup puncak kepala anaknya. "Untuk ayahanda Prabu, ya?."
"Insyaallah ibunda, nanda pasti akan melakukannya."
Hati siapa yang tidak iba, tidak sedih? Ketika ditinggalkan oleh orang yang kau cintai? Apalagi itu adalah orang yang kau sebut sebagai ayah yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berharga.
"Aku akan menjalankan, apa yang telah ayahanda Prabu katakan." Dalam hatinya telah membuat keputusan. "Semoga saja aku bisa! Menjadi Raja! Sesuai dengan harapan ayahanda Prabu." Dalam hati Raden Cakara Casugraha telah membuat keputusan.
...****...
Satu hari setelah kepergian sang Prabu, Istana sedang dibanjiri oleh rakyat yang ingin melihat pengangkatan Raja baru, mereka semua hadir di balai Istana. Di sana keluarga istana telah berkumpul, begitu juga dengan para petinggi kerajaan, bahkan Raja bawahan yang ikut serta menyaksikan siapa salah satu dari anak sang prabu yang akan menggantikannya.
Termasuk ketiga permaisuri mendiang Gusti Prabu Kawiswara Arya Ragnala, yaitunya Ratu Ardiningrum Bintari dengan ketiga anaknya Raden Bahuwirya Ganendra Garjitha, Raden Bahuwirya Gentala Giandara, dan Putri Bahuwirya Ambarsari. Permaisuri kedua adalah Ratu Gendhis Cendrawati dengan kedua anaknya Raden Bahuwirya Hadyan Hastanta dan Putri Andhini Andita. Permaisuri ketiga adalah Ratu Dewi Anindyaswari dengan kedua anaknya Putri Bahuwirya Agniasari Ariani dan Raden Cakara Casugraha.
"Salam hormat kami wahai para leluhur Raja agung kerajaan suka damai." Pedanda Istana telah memulai upacara pengangkatan Raja baru. "Wahai para leluhur raja kami yang agung." Lanjutnya. "Dengan ini kami memohon restu." Ucapnya sambil memberi hormat. "Untuk memutuskan siapa? Yang akan menjadi Raja berikutnya."
Ia membacakan wasiat-wasiat Raja terdahulu di hadapan mereka semua.
"Dipersilakan salah satu dari anak mendiang Gusti Prabu bahuwirya dihyan darya, atau dengan gelar Gusti Prabu kawiswara arya ragnala, untuk duduk di singgasana ini." Dengan senyuman yang ramah ia mempersilahkan mereka untuk melakukan itu?.
Tentu saja itu membuat mereka bertanya-tanya apa maksud dari ucapan itu?. Hingga suasana Balai pertemuan sedikit gaduh, keributan yang terjadi karena mereka merasakan keanehan tidak biasa di sana.
"Baiklah." Ucapnya lagi. "Sebelum itu akan hamba jelaskan." cara menentukan siapa yang berhak untuk menjadi Raja berikutnya." Pedanda Istana mengerti dengan kegaduhan itu. "Seperti yang kita lihat bersama." Ucapnya lagi. "Bahwa tidak ada mahkota, dan jubah kebesaran." Matanya menatap mereka semua. "Dari Raja Agung, yang merupakan simbol kerajaan di sini."
"Mohon maaf sepuh." Ia memberi hormat. "Mengapa keduanya tidak ada di sini?." Ia terlihat heran. "Apakah ada syarat tertentu? Yang membuat keturunan Gusti Prabu bahuwirya jayantaka byakta? Untuk menjadi Raja?."
"Apakah ini sebuah sayembara?." Ia juga penasaran. "Jika menemukan kedua simbol penting itu? Ia akan menjadi Raja?."
Mereka semua melihat ke arah Raden Ganendra Garjitha yang telah berkata seperti itu. Mereka nampak memikirkan ucapan itu, jika memang seperti itu syaratnya?.
"Mohon maaf Raden, bukanlah seperti itu yang terjadi." Memberi hormat.
"Kau jangan membuat kami merasa bodoh dengan ucapanmu!." Entah kenapa hatinya terasa sangat panas. "Coba jelaskan! Dengan bahasa yang mudah kami fahami!." Suaranya terdengar tinggi. "Atau kau akan aku beri hukuman."
Ancaman itu membuat mereka semua yang mendengarkannya sangat terkejut, mereka tidak menduga jika putra sulung dari Raja terhormat akan bersikap seperti itu?.
"Dengarkanlah!." Tegasnya dengan keras. "Kisah mendiang Gusti Prabu kawiswara arya ragnala dengan baik!." Ia merasakan perasaan yang sangat kuat. "Kisah ketika beliau diangkat menjadi Raja." Ia sedikit menghela nafasnya. "Tiga dari bersaudara bahuwirya!." Ucapnya dengan penuh penekanan. "Yaitunya Raden bahuwirya hanenda padantya, Raden bahuwirya rajendra lawana, dan Raden bahuwirya dihyan darya."
Mereka semua menyimak dengan seksama, apa yang telah disampaikan oleh sepuh Istana.
"Namun yang terpilih menjadi Raja kala itu." Ucapnya lagi. "Beliau adalah Raden bahuwirya dihyan darya!."
"Ayahanda." Dalam hati Raden Cakara Casugraha.
"Dengan nama gelar kawiswara arya ragnala." Suaranya terdengar sangat keras. "Syaratnya hanyalah duduk di singgasana ini." Lanjutnya lagi.
"Apa maksudnya perkataan anda sepuh?." Ia masih bingung. "Apakah sepuh sedang bercanda dengan kami semua?." Ratu Ardiningrum Bintari tampak emosi.
"Mohon maaf Gusti Ratu." Ia memberi hormat. "Tapi ini bukanlah sesuatu hal sederhana, seperti yang kita dengar." Dengan senyuman ramah ia menanggapi ucapan itu.
"Jelaskan."
"Jika Gusti Ratu ingin membuktikannya?." Jawabnya. "Panggil saja salah satu dari prajurit istana, untuk membuktikannya."
Mereka semua tampak berpikir dengan ucapan itu, rasanya memang sangat aneh dan tidak masuk akal. Namun mereka semua sangat penasaran dengan percobaan itu.
"Bagaimana Gusti Ratu?."
"Bagaimana yunda?."
"Baiklah, lakukan saja."
Karena persetujuan itu Senopati Mandaka Sakuta memanggil salah satu prajurit istana yang kebetulan berjaga-jaga tak jauh dari sana. "Kau, kemarilah."
"Hamba Gusti."
"Coba kau duduk di singgasana itu."
"Tapi Gusti?."
"Lakukan saja." Balasnya. "Apa yang telah saya katakan!."
"Baik Gusti."
Mau tak mau prajurit itu mengikuti apa yang telah diperintahkan atasannya, ia juga takut melawan atasannya. Dengan perasaan yang takut-takut ia mencoba menduduki singgasana itu. Mereka semua memperhatikan itu dengan seksama, apalagi tidak ada yang terjadi ketika prajurit itu duduk di sana.
"Lihatlah sepuh?." Ucapnya dengan perasaan aneh. "Prajurit itu duduk di sana!." Suaranya semakin tinggi. "Dengan sangat kurang ajarnya!." Raden Ganendra Garjitha menunjuk kasar.
"Lihatlah dengan baik-baik Raden."
"Huwa!."
Deg!.
Benar saja, setelah ia berkata seperti itu?. Mereka semua sangat terkejut karena menyaksikan bagaimana tubuh prajurit itu melayang seperti dilempar dengan sangat keras oleh singgasana itu. Prajurit itu terlihat sangat kesakitan, ia berteriak dengan sangat kerasnya, membuat mereka merinding menyaksikan itu.
"Bawa dia dari sini!." Perintah Senopati Mandaka Sakuta yang tidak tahan melihat itu.
"Apa yang terjadi sebenarnya?!."
"Sudah hamba katakan pada Raden." Jawabnya sambil memberi hormat. "Bahwa itu tidaklah sesederhana yang didengar."
"Lalu apa yang harus kami lakukan?." Suaranya kembali keras. "Agar bisa duduk di singgasana itu?!." Hatinya masih belum mengerti. "Katakan pada kami! Dengan sangat jelas!."
Suasana kembali ribut karena kejadian yang tidak biasa itu, mereka sangat takut melihat itu?.
"Lakukan saja seperti yang dilakukan, oleh prajurit itu tadi Raden."
"Lalu apa yang menjadi tanda?." Ucapnya. "Jika ia benar-benar diangkat menjadi seorang Raja?."
"Ini bukanlah singgasana sembarangan." Jawabnya. "Yang akan menerima siapa saja untuk didudukinya." Jawabnya dengan senyuman yang ramah. "Tapi sebagi tanda, jika ia menerima seseorang." Lanjutnya. "Yang berhak mendudukinya?." Ia menatap mereka semua. "Maka dengan sendirinya mahkota, dan jubah kebesaran Raja akan dikenakan." Kembali ia tersenyum ramah. "Serta terdapat sebuah daun lontar, yang menyatakan gelar sang Prabu sebagai apa?."
Penjelasan dari pedanda Istana kali ini sangat jelas dimengerti oleh mereka semua. Hanya saja yang menjadi pertanyaannya adalah?. Apakah mereka mampu melakukan itu dengan sangat baik?.
"Rayi." Putri Agniasari Ariani mencolek adiknya. "Sepertinya kau harus mencobanya juga." Bisik Putri Agniasari Ariani pada adiknya Raden Cakara Casugraha
"Aku akan mencobanya yunda." Balasnya. "Semoga saja Allah SWT, memberikan takdir kepadaku." Lanjutnya. "Untuk menggantikan ayahanda prabu." Hanya itu saja harapannya.
"Kalau begitu aku yang akan mencobanya!." Dengan perasaan yang sangat angkuh ia maju ke depan.
Rasa percaya diri yang sangat kuat mendorong ia untuk duduk di singgasana.
"Ibunda sangat yakin." Ucapnya dengan senyuman lembut. "Jika kau yang akan menjadi Rajanya anakku." Ratu Ardiningrum Bintari juga percaya dengan kemampuan anaknya.
"Aku yakin kau bisa raka." Putri Ambarsari menyemangati kakaknya.
Mereka semua menjadi saksi, melihat tidak ada yang berubah sama sekali dari Raden Ganendra Garjitha, sehingga suasana di sana sedikit gaduh.
"Kenapa tidak ada mahkota?." Ucapnya dengan perasaan aneh. "Atau jubah kebesaran Raja? Yang muncul padaku?." Ia sangat bingung. "Bahkan tidak ada daun lontar?! Yang memberikan gelar Raja padaku?!." Hatinya sangat murka dengan itu.
Mereka semua yang melihat itu juga merasa bingung, dan bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya?.
"Aku adalah putra sulung!." Ucapnya dengan tegas. "Dari ayahanda Prabu kawiswara arya ragnala!." Suaranya semakin tinggi. "Kenapa aku tidak bisa menjadi Raja?." Kemarahan itu semakin besar ia rasakan, hingga saat itu terjadi hal aneh.
"Kenapa bisa seperti itu?." Dalam hati Ratu Dewi Anindyaswari merasa heran. "Apakah putraku? Bisa melakukannya?." Matanya tertuju pada Raden Cakara Casugraha.
Mereka semua yang berada di sana juga terlihat bingung dengan apa yang terjadi, biasanya jika memang ingin mengangkat seorang Raja?. Kedua benda pusaka itu memang harus ada, akan tetapi kenapa saat itu kedua benda pusaka yang menjadi simbol seorang Raja tidak ada di sana?. Apakah ada maksud lain dari pengangkatan Raja di kerajaan Suka Damai?. Hanya para sepuh dan beberapa orang saja yang mengetahui tata cara pengangkatan Raja di Kerajaan Suka Damai, karena begitu sakralnya acara pengangkatan menjadi Raja di Kerajaan Suka Damai. Sehingga pengangkatan Raja tidak bisa dilakukan sembarangan, tidak semuanya akan terpilih. Apakah yang terjadi sebenarnya?. Next.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 353 Episodes
Comments
Anonymous
dari istri I sd 2 susah mengingatnya kecuali si caraka anak dari istri ke 3
2024-09-02
1
Mami Mara
eps 1 cukup seru tp nama2 tokohnya buat migren hahaha,,,sansekerta kah?
2022-04-13
1
'
sebenere apek sak Jane rek, tapi cover re lho.. kurang mencolok..
2022-02-19
1