...****...
Bilik Prabu Kawiswara Arya Ragnala.
"Rasanya ayahanda sudah tidak sanggup lagi." Sang Prabu terdengar lirih. "Karena itulah ayahanda hanya meminta kepadamu." Tatapan matanya juga sayup-sayup, seperti orang sedang menahan kantuk. "Untuk melindungi istana ini, dengan segenap hatimu." Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum menatap anaknya. "Ayahanda serahkan semuanya kepadamu."
"Ayahanda jangan berkata seperti itu." Raden Cakara Casugraha menggenggam kuat tangan ayahandanya yang mulai terasa dingin. "Ayahanda akan baik-baik saja." Ucapnya sambil menahan tangisnya. "Nanda sedang mencoba, untuk mengobati ayahanda."
"Cukup sampai di situ saja, putraku." Prabu Kawiswara Arya Ragnala menahan tangan anaknya. "Tubuh ayahanda sudah tidak kuat, untuk bertahan."
"Jangan berkata seperti itu ayahanda." Raden Cakara Casugraha semakin panik. "Nanda sedang mengusahakannya."
Raden Cakara Casugraha sedang berusaha untuk meyakinkan ayahandanya bahwa ia mampu mengobatinya.
"Sepertinya sudah saatnya ayahanda pergi." Suara sang Prabu semakin melemah. "Ayahanda tidak bisa berlama-lama lagi."
"Nanda mohon bertahanlah." Raden Cakara Casugraha hampir raja meraung, mendengarkan ucapan ayahandanya yang seperti itu. "Percayalah! Bahwa Allah subhanahu wa ta'ala!." Tegasnya. "Akan selalu memberikan keselamatan kepada umatnya."
"Ayahanda ingin kau yang memimpin kerajaan ini."
"Tapi ayahanda." Masih ada perasaan janggal di hatinya. "Bukankah ayahanda sendiri telah mengetahui?." Hatinya terasa sedih. "Jika nanda tidak akan bisa menjadi Raja." Hatinya terasa sakit. "Walaupun nanda, telah menguasai pedang panggilan jiwa."
"Kau pasti bisa." Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum lembut. "Percayalah, dengan apa yang kau yakini, putraku."
"Bukankah putra-putri ayahanda lainnya? Bisa menjadi raja?." Raden Cakara Casugraha masih ragu. "Nanda tidak akan mampu melakukan itu ayahanda."
"Bukankah? Ayahanda telah menjelaskan padamu?." Balas Prabu Kawiswara Arya Ragnala dengan suara pelan. "Harusnya kau memahaminya putraku."
Tidak ada jawaban dari Raden Cakara Casugraha.
"Ayahanda hanya percaya padamu saja."
Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum kecuali menatap putranya itu, sang prabu mencoba meraih kepala putranya dan mencium puncak kepalanya seperti yang biasa sang prabu lakukan ketika masih sehat.
"Jagalah kerajaan ini beserta rakyatnya." Suara sang Prabu semakin melemah. "Janganlah sekali-kali nanda menutup mata." Sang Prabu berusaha menyampaikan pesan itu pada anaknya. "Hati nanda untuk melihat penderitaan mereka." Nafas sang Prabu terlihat semakin ngos-ngosan. "Jagalah kedamaian dengan segenap hatimu." Namun ada senyuman di wajah sang Prabu. "Dengarkanlah panggilan mereka, yang menginginkan kesejahteraan."
Setelah mengatakan apa yang seharusnya dikatakan, Gusti Prabu Kawiswara Arya Ragnala atau nama aslinya Bahuwirya Dihyan Darya menghembus nafas terakhirnya.
Sang Prabu telah memberikan amanat kepada putra bungsunya Raden Cakara Casugraha untuk selalu melindungi kerajaan Suka Damai.
"Ayahanda." Tangisnya pecah saat itu juga. "Semoga ayahanda Prabu mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya." Hatinya sangat sakit. "Nanda akan selalu melakukan apapun yang ayahanda minta." Ia genggam kuat tangan ayahandanya yang terasa sangat dingin. "Semoga Nanda bisa melakukannya ayahanda." Dalam hatinya berjanji bahwa ia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Setelah itu ia keluar dari bilik ayahandanya dengan raut wajah yang sangat sedih.
"Ada apa putraku?." Ratu Dewi Anindyaswari mendekati anaknya. "Bagaimana dengan keadaan ayahandamu nak?."
"Bagaimana dengan keadaan ayahanda?." Putri Agniasari Ariani juga cemas. "Rayi, jawablah."
Namun belum ada jawaban darinya, hingga saat itu keluarganya yang lainnya menghardiknya dengan suara yang sangat keras.
"Hei!." Bentaknya dengan suara yang keras. "Cakara casugraha anak setan!." Makinya dengan kasar. "Apa yang terjadi pada ayahanda Prabu?!." Suaranya semakin tinggi. "Kenapa kau terlihat murung seperti itu?." Tatapan matanya dipenuhi oleh kebencian yang sangat dalam. "Apakah kau tidak bisa? Mengobati ayahanda Prabu? Hah?!."
"Kau pasti melakukan sesuatu pada ayahanda Prabu!."
"Demi Dewata yang agung!." Tegasnya dengan penuh amarah. "Aku akan membunuhmu!." Tunjuknya tepat di wajah Raden Cakara Casugraha. "Jika terjadi sesuatu pada ayahanda Prabu!."
Tampak mereka memanas karena melihat raut wajah Raden Cakara Casugraha yang seperti itu.
"Ayahanda meninggalkan kita semua."
Deg!.
Mereka semua sangat terkejut mendengarnya.
"Ayahanda Prabu tidak sanggup menahan." Jawabnya. "Racun kegelapan yang telah menggerogoti tubuhnya."
Deg!.
Mereka semua yang mendengarkan itu sangat terkejut, karena bukan kabar itu yang mereka harapkan. Mereka tentunya tidak ingin mendapatkan kabar buruk, kabar yang membuat nyawa mereka ikut melayang?.
"Kau pasti yang membunuhnya!."
"Tenanglah raka!." Raden Cakara Casugraha langsung bereaksi. "Kita semua telah mengetahui!." Lanjutnya. "Jika ayahanda Prabu! Menyerang istana kegelapan sendirian!." Tegasnya. "Kita semua telah berusaha! Untuk membantu ayahanda Prabu!." Suaranya penuh penekanan. "Tapi hasilnya-."
"Diam kau cakara casugraha!." Bentaknya dengan suara yang lebih tinggi. "Akan aku bunuh kau!."
"Putraku!."
"Rayi!."
Seketika suasana di sana menjadi gaduh karena ketiga putra Prabu Kawiswara Arya Ragnala menyerang Raden Cakara Casugraha.
Kakak perempuan dari Raden Cakara Casugraha juga ikut ambil andil dalam pertarungan itu, ia mencoba untuk membantu saudara kandungnya dari serangan saudara-saudara beda ibu yang terus-menerus menyerang adiknya itu.
"Kalian berani main keroyokan?."
"Kau ingin aku hantam berapa pukulan? Hah?!."
"Aku tidak takut dengan ancaman kalian."
"Hentikan kalian!." Ratu Dewi Anindyaswari berusaha menghentikan mereka. "Hentikan!." Suaranya juga semakin tinggi, agar didengar oleh mereka. "Ayahanda kalian! Tidak ingin kalian seperti ini!."
"Tidak ada gunanya kau menghentikan mereka!." Ratu Ardiningrum Bintari menahan Ratu Dewi Anindyaswari. "Dan kau juga! Akan kami siksa! Atas perbuatan putramu itu!."
"Kau pasti akan mendapatkan hukuman! Yang berat dari kami!."
Dua Ratu yang lainnya merasa kesal, karena mereka tidak menduga jika Prabu Kawiswara Arya Ragnala meninggalkan mereka untuk selama-lamanya?.
"Hentikan!." Ratu Dewi Anindyaswari masih saja berusaha menghentikan mereka. "Ibunda mohon hentikan!." Hatinya terasa sakit melihat itu. "Kita masih dalam suasana berkabung!."
Ibunda Raden Cakara Casugraha mencoba untuk menghentikan itu, tapi sayangnya tidak mau mendengarkan sama sekali, hingga saat itu ada angin yang sangat kencang menerpa tubuh mereka.
Deg!.
"Apakah kalian?." Suara itu terdengar sangat berat. "Akan saling membunuh?." Hatinya terasa sedih. "Ketika aku telah pergi meninggalkan kalian?."
Suara itu terasa sangat berat, mereka semua sangat merinding mendengarkan suara itu. Tanpa sadar air mata telah membasahi pipi mereka, tersadar atas apa yang telah mereka lakukan.
"Ayahanda."
"Apakah kalian masih ingin saling membunuh?." Pertanyaan itu kembali muncul. "Ketika jasadku belum ditelan tanah?!." Benar-benar luka batin yang sangat dalam. "Apakah kalian masih ingin? Memperlihatkan kebencian?." Begitu dalam luka batin dirasakan sang Prabu. "Yang ada di dalam hati kalian?."
"Tidak ayahanda! Kembalilah!."
"Ayahanda! Jangan tinggalkan kami! Kembalilah ayahanda!."
"Kalian lah yang pergi meninggalkan aku!." Balas Prabu Kawiswara Arya Ragnala. "Dengan sikap kalian yang seperti itu! Kalian lah yang telah membunuh aku."
"Tidak ayahanda!."
Mereka langsung masuk ke dalam bilik Prabu Kawiswara Arya Ragnala, kecuali Raden Cakara Casugraha dan ibundanya yang masih berada di sana.
"Maafkan nanda." Ucap Raden Cakara Casugraha. "Karena tidak bisa mengobati ayahanda." Hatinya sakit, sesak. "Semoga ibunda tidak membenci nanda."
"Semuanya telah terjadi, karena garis nasib." Ratu Dewi Anindyaswari mendekati anaknya. "Yang ditakdirkan sang hyang Widhi, kita tidak bisa menyalahkan takdir itu putraku." Dalam tangisnya ibundanya memeluk anaknya yang sedang menahan tangis. "Ibunda tahu kau telah berusaha." Ratu Dewi Anindyaswari memeluk anaknya. "Untuk mengobati ayahandamu." Tangannya membelai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. "Tapi semuanya telah berjalan, sesuai dengan takdir anakku."
"Ibunda, maafkan nanda." Raden Cakara Casugraha menangis dalam pelukan ibundanya, ia tidak dapat menahan perasaan sesak yang sangat kuat mendesak dadanya.
"Kita harus kuat anakku." Ratu Dewi Anindyaswari juga berusaha kuat. "Ibunda yakin, kita bisa menghadapi masalah ini, dengan sangat baik."
"Semoga saja ibunda."
"Kalau begitu kau berikan doa yang terbaik." Ratu Dewi Anindyaswari mengecup puncak kepala anaknya. "Untuk ayahanda Prabu, ya?."
"Insyaallah ibunda, nanda pasti akan melakukannya."
Hati siapa yang tidak iba, tidak sedih? Ketika ditinggalkan oleh orang yang kau cintai? Apalagi itu adalah orang yang kau sebut sebagai ayah yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berharga.
"Aku akan menjalankan, apa yang telah ayahanda Prabu katakan." Dalam hatinya telah membuat keputusan. "Semoga saja aku bisa! Menjadi Raja! Sesuai dengan harapan ayahanda Prabu." Dalam hati Raden Cakara Casugraha telah membuat keputusan.
...****...
Satu hari setelah kepergian sang Prabu, Istana sedang dibanjiri oleh rakyat yang ingin melihat pengangkatan Raja baru, mereka semua hadir di balai Istana. Di sana keluarga istana telah berkumpul, begitu juga dengan para petinggi kerajaan, bahkan Raja bawahan yang ikut serta menyaksikan siapa salah satu dari anak sang prabu yang akan menggantikannya.
Termasuk ketiga permaisuri mendiang Gusti Prabu Kawiswara Arya Ragnala, yaitunya Ratu Ardiningrum Bintari dengan ketiga anaknya Raden Bahuwirya Ganendra Garjitha, Raden Bahuwirya Gentala Giandara, dan Putri Bahuwirya Ambarsari. Permaisuri kedua adalah Ratu Gendhis Cendrawati dengan kedua anaknya Raden Bahuwirya Hadyan Hastanta dan Putri Andhini Andita. Permaisuri ketiga adalah Ratu Dewi Anindyaswari dengan kedua anaknya Putri Bahuwirya Agniasari Ariani dan Raden Cakara Casugraha.
"Salam hormat kami wahai para leluhur Raja agung kerajaan suka damai." Pedanda Istana telah memulai upacara pengangkatan Raja baru. "Wahai para leluhur raja kami yang agung." Lanjutnya. "Dengan ini kami memohon restu." Ucapnya sambil memberi hormat. "Untuk memutuskan siapa? Yang akan menjadi Raja berikutnya."
Ia membacakan wasiat-wasiat Raja terdahulu di hadapan mereka semua.
"Dipersilakan salah satu dari anak mendiang Gusti Prabu bahuwirya dihyan darya, atau dengan gelar Gusti Prabu kawiswara arya ragnala, untuk duduk di singgasana ini." Dengan senyuman yang ramah ia mempersilahkan mereka untuk melakukan itu?.
Tentu saja itu membuat mereka bertanya-tanya apa maksud dari ucapan itu?. Hingga suasana Balai pertemuan sedikit gaduh, keributan yang terjadi karena mereka merasakan keanehan tidak biasa di sana.
"Baiklah." Ucapnya lagi. "Sebelum itu akan hamba jelaskan." cara menentukan siapa yang berhak untuk menjadi Raja berikutnya." Pedanda Istana mengerti dengan kegaduhan itu. "Seperti yang kita lihat bersama." Ucapnya lagi. "Bahwa tidak ada mahkota, dan jubah kebesaran." Matanya menatap mereka semua. "Dari Raja Agung, yang merupakan simbol kerajaan di sini."
"Mohon maaf sepuh." Ia memberi hormat. "Mengapa keduanya tidak ada di sini?." Ia terlihat heran. "Apakah ada syarat tertentu? Yang membuat keturunan Gusti Prabu bahuwirya jayantaka byakta? Untuk menjadi Raja?."
"Apakah ini sebuah sayembara?." Ia juga penasaran. "Jika menemukan kedua simbol penting itu? Ia akan menjadi Raja?."
Mereka semua melihat ke arah Raden Ganendra Garjitha yang telah berkata seperti itu. Mereka nampak memikirkan ucapan itu, jika memang seperti itu syaratnya?.
"Mohon maaf Raden, bukanlah seperti itu yang terjadi." Memberi hormat.
"Kau jangan membuat kami merasa bodoh dengan ucapanmu!." Entah kenapa hatinya terasa sangat panas. "Coba jelaskan! Dengan bahasa yang mudah kami fahami!." Suaranya terdengar tinggi. "Atau kau akan aku beri hukuman."
Ancaman itu membuat mereka semua yang mendengarkannya sangat terkejut, mereka tidak menduga jika putra sulung dari Raja terhormat akan bersikap seperti itu?.
"Dengarkanlah!." Tegasnya dengan keras. "Kisah mendiang Gusti Prabu kawiswara arya ragnala dengan baik!." Ia merasakan perasaan yang sangat kuat. "Kisah ketika beliau diangkat menjadi Raja." Ia sedikit menghela nafasnya. "Tiga dari bersaudara bahuwirya!." Ucapnya dengan penuh penekanan. "Yaitunya Raden bahuwirya hanenda padantya, Raden bahuwirya rajendra lawana, dan Raden bahuwirya dihyan darya."
Mereka semua menyimak dengan seksama, apa yang telah disampaikan oleh sepuh Istana.
"Namun yang terpilih menjadi Raja kala itu." Ucapnya lagi. "Beliau adalah Raden bahuwirya dihyan darya!."
"Ayahanda." Dalam hati Raden Cakara Casugraha.
"Dengan nama gelar kawiswara arya ragnala." Suaranya terdengar sangat keras. "Syaratnya hanyalah duduk di singgasana ini." Lanjutnya lagi.
"Apa maksudnya perkataan anda sepuh?." Ia masih bingung. "Apakah sepuh sedang bercanda dengan kami semua?." Ratu Ardiningrum Bintari tampak emosi.
"Mohon maaf Gusti Ratu." Ia memberi hormat. "Tapi ini bukanlah sesuatu hal sederhana, seperti yang kita dengar." Dengan senyuman ramah ia menanggapi ucapan itu.
"Jelaskan."
"Jika Gusti Ratu ingin membuktikannya?." Jawabnya. "Panggil saja salah satu dari prajurit istana, untuk membuktikannya."
Mereka semua tampak berpikir dengan ucapan itu, rasanya memang sangat aneh dan tidak masuk akal. Namun mereka semua sangat penasaran dengan percobaan itu.
"Bagaimana Gusti Ratu?."
"Bagaimana yunda?."
"Baiklah, lakukan saja."
Karena persetujuan itu Senopati Mandaka Sakuta memanggil salah satu prajurit istana yang kebetulan berjaga-jaga tak jauh dari sana. "Kau, kemarilah."
"Hamba Gusti."
"Coba kau duduk di singgasana itu."
"Tapi Gusti?."
"Lakukan saja." Balasnya. "Apa yang telah saya katakan!."
"Baik Gusti."
Mau tak mau prajurit itu mengikuti apa yang telah diperintahkan atasannya, ia juga takut melawan atasannya. Dengan perasaan yang takut-takut ia mencoba menduduki singgasana itu. Mereka semua memperhatikan itu dengan seksama, apalagi tidak ada yang terjadi ketika prajurit itu duduk di sana.
"Lihatlah sepuh?." Ucapnya dengan perasaan aneh. "Prajurit itu duduk di sana!." Suaranya semakin tinggi. "Dengan sangat kurang ajarnya!." Raden Ganendra Garjitha menunjuk kasar.
"Lihatlah dengan baik-baik Raden."
"Huwa!."
Deg!.
Benar saja, setelah ia berkata seperti itu?. Mereka semua sangat terkejut karena menyaksikan bagaimana tubuh prajurit itu melayang seperti dilempar dengan sangat keras oleh singgasana itu. Prajurit itu terlihat sangat kesakitan, ia berteriak dengan sangat kerasnya, membuat mereka merinding menyaksikan itu.
"Bawa dia dari sini!." Perintah Senopati Mandaka Sakuta yang tidak tahan melihat itu.
"Apa yang terjadi sebenarnya?!."
"Sudah hamba katakan pada Raden." Jawabnya sambil memberi hormat. "Bahwa itu tidaklah sesederhana yang didengar."
"Lalu apa yang harus kami lakukan?." Suaranya kembali keras. "Agar bisa duduk di singgasana itu?!." Hatinya masih belum mengerti. "Katakan pada kami! Dengan sangat jelas!."
Suasana kembali ribut karena kejadian yang tidak biasa itu, mereka sangat takut melihat itu?.
"Lakukan saja seperti yang dilakukan, oleh prajurit itu tadi Raden."
"Lalu apa yang menjadi tanda?." Ucapnya. "Jika ia benar-benar diangkat menjadi seorang Raja?."
"Ini bukanlah singgasana sembarangan." Jawabnya. "Yang akan menerima siapa saja untuk didudukinya." Jawabnya dengan senyuman yang ramah. "Tapi sebagi tanda, jika ia menerima seseorang." Lanjutnya. "Yang berhak mendudukinya?." Ia menatap mereka semua. "Maka dengan sendirinya mahkota, dan jubah kebesaran Raja akan dikenakan." Kembali ia tersenyum ramah. "Serta terdapat sebuah daun lontar, yang menyatakan gelar sang Prabu sebagai apa?."
Penjelasan dari pedanda Istana kali ini sangat jelas dimengerti oleh mereka semua. Hanya saja yang menjadi pertanyaannya adalah?. Apakah mereka mampu melakukan itu dengan sangat baik?.
"Rayi." Putri Agniasari Ariani mencolek adiknya. "Sepertinya kau harus mencobanya juga." Bisik Putri Agniasari Ariani pada adiknya Raden Cakara Casugraha
"Aku akan mencobanya yunda." Balasnya. "Semoga saja Allah SWT, memberikan takdir kepadaku." Lanjutnya. "Untuk menggantikan ayahanda prabu." Hanya itu saja harapannya.
"Kalau begitu aku yang akan mencobanya!." Dengan perasaan yang sangat angkuh ia maju ke depan.
Rasa percaya diri yang sangat kuat mendorong ia untuk duduk di singgasana.
"Ibunda sangat yakin." Ucapnya dengan senyuman lembut. "Jika kau yang akan menjadi Rajanya anakku." Ratu Ardiningrum Bintari juga percaya dengan kemampuan anaknya.
"Aku yakin kau bisa raka." Putri Ambarsari menyemangati kakaknya.
Mereka semua menjadi saksi, melihat tidak ada yang berubah sama sekali dari Raden Ganendra Garjitha, sehingga suasana di sana sedikit gaduh.
"Kenapa tidak ada mahkota?." Ucapnya dengan perasaan aneh. "Atau jubah kebesaran Raja? Yang muncul padaku?." Ia sangat bingung. "Bahkan tidak ada daun lontar?! Yang memberikan gelar Raja padaku?!." Hatinya sangat murka dengan itu.
Mereka semua yang melihat itu juga merasa bingung, dan bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya?.
"Aku adalah putra sulung!." Ucapnya dengan tegas. "Dari ayahanda Prabu kawiswara arya ragnala!." Suaranya semakin tinggi. "Kenapa aku tidak bisa menjadi Raja?." Kemarahan itu semakin besar ia rasakan, hingga saat itu terjadi hal aneh.
"Kenapa bisa seperti itu?." Dalam hati Ratu Dewi Anindyaswari merasa heran. "Apakah putraku? Bisa melakukannya?." Matanya tertuju pada Raden Cakara Casugraha.
Mereka semua yang berada di sana juga terlihat bingung dengan apa yang terjadi, biasanya jika memang ingin mengangkat seorang Raja?. Kedua benda pusaka itu memang harus ada, akan tetapi kenapa saat itu kedua benda pusaka yang menjadi simbol seorang Raja tidak ada di sana?. Apakah ada maksud lain dari pengangkatan Raja di kerajaan Suka Damai?. Hanya para sepuh dan beberapa orang saja yang mengetahui tata cara pengangkatan Raja di Kerajaan Suka Damai, karena begitu sakralnya acara pengangkatan menjadi Raja di Kerajaan Suka Damai. Sehingga pengangkatan Raja tidak bisa dilakukan sembarangan, tidak semuanya akan terpilih. Apakah yang terjadi sebenarnya?. Next.
...****...
***
Kejadian memalukan itu disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. Mereka semua sangat terkejut ketika melihat bagaimana Raden Ganendra Garjitha terlempar dari singgasana itu, ia jatuh tersungkur secara tidak terhormat di hadapan banyak orang.
"Putraku!." Ratu Ardiningrum Bintari segera berlari mendekati anaknya.
"Sakit sekali ibunda." Raden Ganendra Garjitha meringis kesakitan di pelukan ibundanya.
"Raka!." Raden Gentala Giandra dan Putri Ambarsari juga mendekati saudaranya.
"Apa yang terjadi sebenarnya?." Dalam hatinya heran. "Kenapa putra sulung dari kanda Prabu? Tidak bisa menduduki singgasana?." Dalam hati Ratu Gendhis Cendrawati merasa heran dengan itu.
"Aku sangat penasaran." Dalam hatinya juga bingung. "Apa sebenarnya? Makna dari pemilihan Raja baru? Dengan cara seperti ini?." Dalam hati Putri Andhini Andita masih mengamati bagaimana kondisi yang sebenarnya. "Tapi, para sepuh telah menyaksikannya." Dalam hatinya lagi. "Memang seperti itu cara pengangkatan Raja?."
"Benar apa yang dikatakan ayahanda prabu." Dalam hati Raden Cakara Casugraha melihat itu dengan jelas. "Jika ada secuil sikap sombong, amarah, dan juga sikap serakah." Dalam hatinya lagi. "Yang ada di dalam diri manusia." Dalam hatinya mengingat kembali ucapan ayahandanya. "Ketika hendak memimpin sebuah kerajaan? Maja ia akan menjadi Raja yang celaka."
"Orang yang sombong dan jahat seperti dia." Dalam hati Putri Agniasari Ariani. "Mana mungkin bisa menjadi Raja." Ingatannya kembali pada kejadian masa lalu. "Bahkan menyamai ayahanda Prabu saja, aku rasa sangat mustahil baginya!." Dalam hati Putri Agniasari Ariani juga mengamati bagaimana sikap Raden Ganendra Garjitha selama ini pada dirinya, saudaranya, dan bahkan pada ibundanya.
"Baiklah." Ucapnya dengan penuh percaya diri. "Jika raka ganendra garjitha tidak bisa melakukannya?." Ia tersenyum lebar. "Kini giliran aku untuk mencobanya."
"Silahkan Raden." Pedanda Istana mempersilahkan putra kedua untuk melakukannya.
Untuk sementara waktu mereka mengalihkan pandangannya pada Raden Gentala Giandra, dan mengabaikan Raden Ganendra Garjitha yang masih kesakitan. Mereka jadi bertanya-tanya?. Jika anak pertama tidak bisa melakukannya?. Apakah anak kedua mampu melakukannya?.
"Aku yakin kau bisa melakukannya anakku!." Ratu Ardiningrum Bintari seakan-akan memiliki ambisi yang sangat kuat, bahwa salah satu dari anak laki-lakinya harus menjadi Raja.
"Tentu saja aku bisa!." Suaranya sangat keras. "Menjadi Raja yang hebat dari pada ayahanda Prabu, ibunda." Dengan sangat yakin ia berjalan menuju singgasana itu, dan ia mulai duduk.
Namun hasilnya sama saja, Raden Gentala Giandra saat itu terlempar dari singgasana. Membuat mereka kembali terkejut dengan kejadian memalukan itu.
"Putraku!." Hati Ratu Ardiningrum Bintari sangat sakit melihat bagaimana anaknya terlempar dari singgasana. "Bagaimana mungkin?!." Hatinya diisi oleh kemarahan yang membara. "Pasti ada seseorang! Yang telah memberikan mantra sihir!." Matanya melotot ke arah sepuh istana. "Pada singgasana itu! Sehingga kedua putraku tidak bisa duduk di singgasana!." Ratu Ardiningrum Bintari terlihat sangat histeris.
Mereka yang menyaksikan itu hanya diam saja, karena mereka tidak merasa melakukan apapun yang diucapkan oleh Ratu Ardiningrum Bintari.
"Tenanglah ibunda." Putri Ambarsari mendekati ibundanya. "Tenanglah, saya akan melakukannya." Putri Ambarsari memang terlihat panik, karena kondisi kedua saudaranya yang kini melemah, mereka seperti kehabisan tenaga.
"Bagaimana menurutmu raka?." Ia mencolek kakaknya. "Apakah kita juga bisa melakukannya?." Bisik Putri Andhini Andita pada saudaranya Raden Hadyan Hastanta.
"Tenanglah rayi." Balasnya. "Aku pasti bisa melakukannya."
"Kau harus bisa melakukannya raka."
"Ya, tentu saja."
"Bagaimana pendapatmu rayi?." Putri Agniasari Ariani kembali mencolek adiknya. "Apakah kau tidak melihat? Ada yang aneh dengan mereka?." Bisik Putri Agniasari Ariani pada adiknya Raden Cakara Casugraha.
"Memang aneh yunda." Responnya. "Mereka terlalu memaksakan diri." Lanjutnya. "Dengan sikap yang tidak baik seperti itu." Ia menghela nafas pelan. "Bahkan mereka tidak menghormati ayahanda Prabu, yang duduk di singgasana itu yunda."
Deg!.
Putri Agniasari Ariani terkejut mendengarkan apa yang dikatakan oleh adiknya itu.
"Apa maksudmu rayi?." Hatinya bergetar aneh. "Aku tidak melihat ayahanda Prabu, duduk di singgasana itu." Putri Agniasari Ariani merasa tidak karuan.
"Ayahanda Prabu sedang mengamati kita yunda." Balasnya. "Minta lah izin pada ayahanda Prabu, jika memang ingin memimpin negeri ini." Lanjutnya. "Jangan terburu-buru ingin menduduki singgasana itu yunda."
"Oh? Ayahanda Prabu." Perlahan-lahan tanpa sadar air matanya mengalir begitu saja karena rasa kehilangan yang sangat dalam. "Bagaimana mungkin? Kau mengatakan ayahanda Prabu? Sedang duduk di sana rayi?." Dalam hatinya merasakan perasaan sesak yang sangat dalam, sehingga ia terpaksa membekap mulutnya untuk menahan tangisnya itu.
"Saya juga sulit." Ucap Raden Cakara Casugraha sambil memberikan sapu tanga kecil pada yundanya. "Untuk menjelaskannya yunda." Lanjutnya. "Tapi, ayahanda Prabu memang duduk di sana."
"Oh? Dewata yang agung, ayahanda Prabu." Putri Agniasari Ariani sedang menahan gejolak emosi di hatinya.
"Sekarang giliran aku! Yang mencobanya!." Putri Ambarsari maju ke depan dengan penuh keangkuhan.
"Kau harus bisa melakukannya anakku!." Tegasnya. "Ibunda tidak akan mengampuni siapa saja?! Yang berani berbuat curang padamu." Kembali Ratu Ardiningrum Bintari terlihat mengeluarkan amarahnya.
Kembali mereka memperhatikan bagaimana putri sulung dari Prabu Kawiswara Arya Ragnala mencoba untuk melakukan peruntungan, namun apakah kali ini akan berhasil?.
"Wahai singgasana yang ajaib." Ucapnya dalam hati dengan aneh. "Pilihlah aku menjadi Ratu agung!." Hatinya sangat membara. "Maka akan buat negeri ini! Menjadi negeri yang sangat subur." Dalam hati Putri Ambarsari hanya berharap seperti itu.
Entah kenapa suasana cukup tegang karena Putri Ambarsari cukup lama duduk di singgasana itu, tapi tidak terjadi apapun juga?.
"Bagaimana mungkin?!." Ia tidak merasakan apa-apa?. "Tidak terjadi perubahan apapun padaku?!." Amarah yang ia rasakan saat itu keluar begitu saja, hingga saat itu ia merasakan tubuhnya melayang seperti kapas?. Namun sayangnya ketika tubuhnya mendarat ke tanah?. Tubuhnya seperti batu yang dihempaskan begitu saja.
"Putriku!."
Ratu Ardiningrum Bintari terkejut bukan kepalang, ia tidak menduga jika anak perempuannya akan mengalami nasib yang sama dengan kedua anak laki-lakinya?.
"Putriku?."
"Maafkan saya ibunda." Suaranya terdengar sangat lemah, kekuatan tenaga dalamnya seperti disedot oleh suatu ilmu gaib yang sangat kuat.
"Kau harus mencobanya raka." Bisik Putri Andhini Andita.
"Ya." Raden Hadyan Hastanta maju ke depan.
Namun hasilnya tetep sama, mereka mengalami kegagalan yang sangat memalukan untuk keluarga istana?. Suasana Balai pertemuan saat itu sangat tegang, karena belum ada yang berhasil untuk duduk di singgasana. Bahkan Putri Andhini Andita pun tidak bisa melakukannya?.
"Apa yang terjadi sebenarnya?." Ratu Gendhis Cendrawati sangat marah. "Kenapa kedua anakku tidak bisa menduduki singgasana itu?." Dalam hati Ratu Gendhis Cendrawati sangat heran dengan kejadian yang menimpa kedua anaknya.
"Kini giliran keluarga Ratu dewi anindyaswari yang mencobanya." Pedanda Istana seakan-akan tidak memberi waktu istirahat pada mereka, ataupun merasa simpati pada siapapun yang gagal.
Putri Agniasari Ariani tersenyum dengan sangat ramah, sehingga mereka dapat melihat bagaimana raut wajah indah dari Putri Agniasari Ariani kala itu.
"Mohon maaf sepuh." Ucapnya sambil memberi hormat. "Sepertinya saya belum pantas, untuk memimpin kerajaan ini." Ia tersenyum ramah. "Apalagi kodrat saya sebagai seorang wanita." Ia melirik ke arah adiknya.
"Apa maksud Gusti Putri?."
"Apakah Gusti Putri takut?."
"Itu bukan berarti saya takut." Jawabnya. "Mengalami hal serupa, terjadi pada saudara-saudara yang lainnya." Senyuman itu terlihat sangat tulus. "Saya sangat yakin." Lanjutnya. "Jika rayi cakara casugraha lebih pantas, memimpin istana ini dibandingkan saya."
"Oh? Putriku." Ratu Dewi Anindyaswari terharu mendengarkan ucapan anak perempuannya.
Mata mereka semua tertuju pada Raden Cakara Casugraha, putra bungsu dari mendiang Gusti Prabu Kawiswara Arya Ragnala.
"Sebaiknya kau tidak usah mencobanya cakara casugraha!." Amarahnya keluar begitu saja. "Karena kami semua mengetahui kau itu siapa!." Tunjuknya dengan kasar. "Anak yang paling terkutuk! Di kerajaan ini!." Ratu Ardiningrum Bintari terlihat sangat tidak terima jika itu terjadi.
"Itu benar!." Sambutnya. "Kau tidak akan kami izinkan! Untuk ikut dalam pemilihan Raja!." Hatinya benar-benar dikuasai oleh amarah. "Kami semua mengetahui!." Tegasnya. "Jika kau adalah orang yang paling kejam di istana ini!." Ratu Gendhis Cendrawati mengeluarkan semua amarahnya.
"Yunda, jangan berkata seperti itu." Ratu Dewi Anindyaswari sangat sedih. "Pada putra saya nanda cakara casugraha." Matanya terlihat berkaca-kaca. "Putra saya juga berhak! Untuk ikut dalam pemilihan ini." Tegasnya.
Mereka semua saling bertatapan satu sama lain, memikirkan ucapan Ratu Dewi Anindyaswari.
"Jika memang putraku adalah anak yang kejam di istana ini?." Matanya kini menatap sendu ke arah anaknya. "Kenapa tidak dibuktikan dengan pemilihan Raja?." Hatinya sangat rapuh. "Supaya kita sama-sama mengetahui, jika memang anak saya." Hatinya sedang bertarung. "Adalah anak yang kejam di kerajaan ini."
"Ya!." Putri Agniasari Ariani memberanikan dirinya. "Benar yang dikatakan ibunda Ratu dewi!." Ucapnya dengan penuh penekanan. "Menapa tidak dibuktikan saja?." Putri Agniasari Ariani membela adiknya. "Jika memang rayi cakara casugraha! Adalah orang yang paling kejam!."
Mereka semua menyimak dengan sangat baik apa yang hendak disampaikan Ratu Dewi Anindyaswari dan Putri Agniasari Ariani, mereka menimang-nimang ucapan itu.
"Dulu mendiang Gusti Prabu kawiswara arya ragnala." Ucap sepuh istana. "Juga dipandang remeh oleh saudara-saudaranya yang lainnya." Lanjutnya. "Hanya mendiang yunda beliau saja yang selalu membelanya." Ia masih mengingat kejadian itu. "Rasanya ini sama persis dengan kejadian masa lalu." Pedanda istana mengingat kejadian yang ia saksikan kala itu. "Kalau begitu selamat mencoba, Raden cakara casugraha."
"Kau!."
"Tidak perlu merasa takut Gusti Ratu." Ia memberi hormat. "Juga putra-putri Gusti Prabu yang lainnya." Kembali ia tersenyum ramah. "Karena ini juga ajang pembuktian, siapa yang memilliki hati tulus? Dalam bersikap selama ini."
"Coba saja rayi." Ucap Putri Agniasari Ariani segera berdiri di depan adiknya. "Jika mereka berani menyerang? Maka aku yang akan membunuh mereka."
"Kau harus mencobanya putraku."
"Baiklah kalau begitu ibunda, yunda." Raden Cakara Casugraha juga tidak ingin membuat ibunda dan kakaknya kecewa. "Bismillahirrahmanirrahim ." Dalam hatinya mengucapkan kalimat itu sambil menghela nafasnya.
Sebelum Raden Cakara Casugraha menuju singgasana ia bersimpuh di hadapan ibundanya, membuat merea semua yang melihat itu sangat heran.
"Ibunda." Matanya menatap ibundanya dengan tatapan yang sangat dalam. "Nanda mohon ridho dari ibunda." Ucapnya dengan senyuman tulus. "Karena tidak ada kekuatan yang sangat luar biasa di dunia ini." Ia mencium tangan ibundanya. "Jika tidak di doa kan oleh seorang ibu, ketika anaknya akan melakukan hal yang sangat besar." Ia mencium tangan ibundanya dengan penuh kasih sayang.
"Tentu saja ibunda akan selalu." Balas Ratu Dewi Anindyaswari. "Memberikan doa yang paling baik untukmu putraku." Hati ibu mana yang tidak tersentuh dengan apa yang dikatakan anaknya. "Di mana pun engkau berada." Hatinya mencoba tegar. "Ibunda akan sellau memberikan doa yang terbaik untukmu." Ratu Dewi Anindyaswari mengecup puncak kepala anaknya, tanpa sadar air matanya mengalir begitu saja. "Pergilah engkau melangkah lebih baik lagi." Ratu Dewi Anindyaswari tersenyum lembut. "Ibunda akan selalu memberikan doa yang baik untukmu."
"Terima kasih ibunda." Raden Cakara Casugraha memberi hormat pada ibundanya.
Ia mencoba mengabaikan apapun yang dikatakan oleh mereka tentang dirinya, ia terus melangkah menuju singgasana, dan berhenti sambil memberi hormat pada singgasana?.
"Hei! Cakara casugraha!." Teriaknya keras. "Apa yang kau lakukan sebenarnya?!." Hatinya juga memanas. "Apakah kau sedang mengulur-."
"Hormat nanda, ayahanda Prabu."
Deg!.
Mereka semua sangat terkejut dengan apa yang telah dikatakan oleh Raden Cakara Casugraha.
"Cakara casugraha! Kau jangan gila!."
"Apa tujuanmu yang sebenarnya?!." Hatinya kembali panas. "Jika kau merasa tidak mampu-."
"Raka ganendra garjitha!." Putri Agniasari Ariani benar-benar telah terbawa amarah. "Berhentilah mengatakan hal yang tidak pantas! Pada rayi cakara casugraha!."
Entah kenapa suasana menjadi panas karena perdebatan itu, mereka sama-sama bersikeras dengan apa yang ada di dalam hati masing-masing saat itu.
"Itu karena rayi mu itu!." Balasnya. Hanya mengulur waktu saja!." Bentaknya. "Aku sangat yakin! Dia sedang menyiapkan sebuah sandiwara!." Lanjutnya. "Yang akan menjebak kita semua!."
"Tidak mungkin putraku melakukan itu!." Ratu Dewi Anindyaswari yang membantahnya.
"Aku yakin anakmu itu! Juga akan mengalami kegagalan!."
"Anakmu itu adalah anak kutukan!."
"Berhentilah mengatakan rayi cakara casugraha anak kutukan!."
Mereka semua benar-benar tidak mau mengalah satu sama lain, hati mereka sedang dipenuhi dengan amarah yang sangat membara.
"Mohon ampun ayahanda." Raden Cakara Casugraha kembali memberi hormat. "Jika apa yang terjadi di depan ayahanda Prabu." Lanjutnya. "Saat ini adalah bentuk ketidakpuasan suasana hati yang sangat mendalam." Ia menekan hatinya, agar tidak terbawa amarah. "Tapi nanda mohon ayahanda Prabu, agar tidak marah pada kami semua."
Deg!.
Saat itu mereka semua terdiam mendengarkan ucapan Raden Cakara Casugraha, kali ini tatapan mereka tertuju padanya.
"Maafkan kami yang belum bisa menyatukan hati." Kembali ia berucap sambil memberi hormat. "Langkah, dan bahkan perasaan kami, dalam bentuk keluarga yang ayahanda Prabu bangun selama ini." Raden Cakara Casugraha kembali memberi hormat.
"Rayi." Dalam hati Putri Agniasari Ariani.
"Putraku nanda cakara casugraha." Dalam hati Ratu Dewi Anindyaswari sangat tersentuh.
"Nanda yang masih muda ini, tentunya belum bisa menyamai ayahanda dalam memimpin istana." Ucap Raden Cakara Casugraha lagu. "Dan bahkan kerajaan ini, karena itulah berikan nanda izin." Hatinya benar-benar gelisah. "Bimbinglah nanda, untuk melakukan tugas itu ayahanda prabu." Semua yang ada di dalam hatinya saat itu diungkapkan dengan baik. "Ayahanda Prabu adalah guru yang paling berharga untuk nanda." Tanpa sadar air matanya mengalir begitu saja. "Semoga nanda bisa melakukan, apa yang ayahanda lakukan, demi orang-orang yang ayahanda sayangi."
"Berhentilah kau melakukan hal yang tidak berguna seperti itu cakara casugraha!."
"Kau memang sangat memuakkan!."
"Aku pasti akan membunuhmu!."
Raden Ganendra Garjitha, Raden Gentala Giandra, dan Raden Hadyan Hastanta saat itu hendak maju menghajar Raden Cakara Casugraha, akan tetapi saat itu niat mereka gagal.
"Ayahanda terima hormatmu, putraku nanda cakara casugraha."
Deg!.
Kembali mereka semua terkejut dengan apa yang mereka saksikan saat itu, tidak mungkin mata mereka salah dalam melihat sesuatu yang sangat ajaib?.
"Ayahanda Prabu?."
"Kanda Prabu?."
"Gusti Prabu?."
"Kau dapat melihat ayahanda dengan sangat baik, putraku cakara casugraha." Senyuman penuh kebanggaan terlihat di wajah Sukma Prabu Kawiswara Arya Ragnala. "Jau meminta izin padaku, untuk memimpin istana ini dengan sangat baik." Senyuman itu masih senyumannya yang biasnya.
"Hormat hamba Gusti Prabu." Pedanda Istana memberi hormat. "Dahulu Gusti Prabu, ketika hendak diangkat menjadi Raja." Lanjutnya. "Juga melakukan hal yang sama, dengan apa yang dilakukan Raden cakara casugraha yang sekarang."
"Ya, kau benar sepuh." Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum ramah. "Hati yang bersih, pasti dapat melihat Raja sebelumnya." Lanjut sang Prabu. "Meminta izin untuk meneruskan kepemimpinan kerajaan ini." Matanya tertuju pada anak bungsunya. "Dan kau lulus pada tahap itu, putraku nanda cakara casugraha."
"Tidak mungkin! Kanda Prabu!."
"Benar itu ayahanda!."
"Tidak mungkin dia anak terkutuk lulus menjadi Raja!."
"Putraku nanda cakara casugraha." Sukma Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum lembut. "Cobalah engkau duduk di sini." Seraya memanggil anaknya. "Dan buktikan pada mereka, jika kau memang pantas menjadi Raja."
"Sandika ayahanda Prabu." Kembali Raden Cakara Casugraha memberi hormat.
Raden Cakara Casugraha mendekati singgasana, ia duduk dengan sangat tenang, dan mereka juga sedikit tegang memperhatikan itu dengan seksama.
"Heh!." Ia mendengus kesal. "Mana mungkin dia akan menjadi Raja!."
"Itu sangat mustahil!."
Deg!.
"Apakah itu benar?."
Entah berapa kali mereka seakan-akan senam jantung ketika melihat ada mahkota yang sangat mewah terpasang dengan gagahnya di kepala Raden Cakara Casugraha, bahkan jubah kebesaran Raja menambah kesan betapa hebatnya sang Prabu. Bukan hanya itu saja, nampan emas muncul di hadapan sang Prabu, dan sekilas mereka melihat ada wanita cantik bak bidadari yang memberikan nampan emas itu pada pedanda Istana. Gelar apa yang akan didapatkan sang Prabu?. Next.
...****...
...****...
Pedanda Istana mengambil nampan emas dari wanita cantik itu. "Terima kasih karena Gusti dewi telah membawakan nampan emas ini."
"Sama-sama." Balasnya dengan senyuman yang sangat manis, setelah itu ia pergi menghilang dari hadapan mereka semua.
"Kalau begitu akan hamba bacakan." Pedanda Istana membuka gulungan nama gelar Raja dengan sangat hati-hati. "Wahai hadirin sekalian." Ucapnya dengan penuh semangat. "Raja baru kita telah terpilih dengan sangat sempurna! Gelar sang Prabu adalah Gusti Prabu Maharaja asmalaraya arya ardhana."
Mereka semua sangat terkejut mendengarkan nama gelar itu, nama gelar yang sangat agung dalam melindungi sebuah kerajaan.
"Kau berhak mendapatkan gelar itu putraku nanda cakara casugraha." Sukma Prabu Kawiswara Arya Ragnala menatap dengan penuh kebanggaan. "Karena memang selama ini, kau membantu ayahanda tanpa ada yang mengetahuinya sama sekali."
"Ayahanda Prabu." Raden Cakara Casugraha memberi hormat pada ayahandanya.
"Oh? Putraku?." Ratu Dewi Anindyaswari terharu melihat itu.
"Rayi cakara casugraha." Putri Agniasari Ariani juga terharu melihat itu.
"Ayahanda titipkan istana ini padamu." Senyumannya kembali mengembang begitu saja. "Jagalah ngerti ini, sesuai dengan nama gelar kau dapatkan anakku."
"Akan nanda usahakan ayahanda Prabu."
"Tunggu dulu ayahanda Prabu!." Hatinya sangat tidak terima. "Aku adalah putra sulung!." Tegasnya. "Kenapa bukan aku?! Yang mendapatkan gelar Raja ayahanda?." Raden Ganendra Garjitha tampak tidak terima dengan apa yang telah terjadi.
"Benar itu kanda Prabu!." Ratu Ardiningrum Bintari juga tersulut amarah. "Tidak mungkin anak terkutuk itu menjadi Raja!." Tunjuknya ke arah Raden Cakara Casugraha. "Dinda tidak terima sama sekali!." Ratu Ardiningrum Bintari juga menunjukkan sikap tidak suka.
"Ayahanda Prabu!." Ucapnya. "Istana dan kerajaan ini akan hancur!." Ia lupakan amarahnya. "Jika cakara casugraha! Yang memimpinnya ayahanda!." Raden Hadyan Hastanta yang masih kesakitan, memperlihatkan sikap protesnya.
"Ayahanda Prabu!." Putri Andhini Andita juga marah. "Kenapa bisa? Orang terkutuk seperti cakra casugraha! Menjadi Raja?!." Putri Andhini Andita juga protes.
"Saya merasa ini adalah sebuah permainan!." Ucapnya diisi oleh kemarahan yang membara. "Di mana saya merasa dibodohi! Dengan cara pengangkatan Raja yang seperti ini ayahanda Prabu." Putri Ambarsari juga tidak terima.
Sukma Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum kecil pada mereka yang masih saja belum mau menerima kenyataan itu.
"Suatu saat nanti kalian akan melihat kebenarannya." Balas sang Prabu. "Kalian akan mengerti, kenapa rayi kalian cakara casugraha? Yang terpilih menjadi Raja."
Setelah berkata seperti itu Prabu Kawiswara Arya Ragnala pergi menghilang dari hadapan mereka.
"Kanda Prabu!."
"Ayahanda Prabu!."
Tentu saja mereka terkejut dengan menghilangnya sang Prabu, karena masih banyak yang akan mereka sampaikan saat itu.
"Cakara casugraha!." Bentaknya keras. "Sebaiknya kau lepaskan mahkota itu!." Tunjuknya kasar. "Karena kau tidak pantas! Menggunakan mahkota itu!."
"Benar itu!." Sambungnya. "Kau hanya akan menghancurkan kerajaan ini!."
"Tenanglah semuanya." Pedanda istana mencoba menenangkan mereka. "Pemilihan Raja yang seperti ini, tidak bisa diganggu gugat lagi." Lanjutnya. "Karena ini sangat mutlak."
"Diam kau sepuh!." Bantahnya. "Ini adalah masalah kami!."
"Putraku nanda cakara casugraha." Ratu Dewi Anindyaswari menatap sedih ke arah anaknya. "Berikan saja mahkota itu padanya." Hatinya sangat gelisah. "Ibunda hanya tidak ingin, nanda nantinya terbawa amarah." Ratu Dewi Anindyaswari hanya tidak ingin anaknya dalam masalah nantinya.
"Baiklah kalau begitu ibunda."
"Rayi?."
Mereka semua mendadak tegang mendengarkan ucapan Raden Cakara Casugraha yang sangat mudahnya menuruti apa yang telah dikatakan oleh ibundanya?.
"Heh!." Ia mendengus keras. "Harusnya memang seperti ini." Raden Ganendra Garjitha terlihat sangat senang dengan apa yang akan ia dapatkan saat itu. "Dengan ini aku pasti akan menjadi Raja." Dalam hatinya saat itu dipenuhi dengan ambisi yang sangat membara.
Deg!.
"Kegh!."
Namun apa yang terjadi?. Saat itu Raden Ganendra Garjitha sangat terkejut karena tangannya seperti mati rasa ketika ia menyentuh mahkota itu.
"Ada apa putraku?." Ratu Ardiningrum Bintari mendekati anaknya yang tampak kaku?.
"Sudahlah." Pedanda istana benar-benar muak melihat itu. "Selagi seseorang yang memiliki hati yaang tidak baik?." Lanjutnya. "Mahkota ini tidak akan menerima siapa saja." Pedanda Istana akhirnya menjelaskannya.
Seketika suasana kembali ribut, mendengarkan penjelasan dari Pedanda istana.
"Sumpah Gusti Prabu Maharaja Bahuwirya jayantaka byakta!." Tegasnya. "Bahwa hanya orang-orang berhati bersih lah!." Lanjutnya. "Yang pantas memimpin kerajaan ini!." Ia menatap Raden Cakara Casugraha. "Dan menduduki singgasana ini!." Tegasnya kembali. "Maka terkutuk lah ia! Jika memiliki niat yang tidak baik! Mamun ingin duduk di singgasana ini."
Mereka semua terdiam mendengarkan ucapan sepuh?. Apakah memang seperti itu yang terjadi sebenarnya?.
...***...
Di kerajaan kegelapan yang dipimpin oleh Prabu Wajendra Bhadrika. Saat ini ia dalam keadaan koma setelah berhadapan dengan Prabu Kawiswara Arya Ragnala. Sudah banyak tabib kegelapan yang mencoba untuk mengobatinya, namun hasilnya sangat mustahil?.
"Bagaimana dengan keadaan ayahandaku?." Hatinya merasa rapuh. "Apakah beliau bisa diobati?."
"Mohon ampun Gusti Putri." Ia memberi hormat. "Agaknya memang membutuhkan waktu yang lama, supaya bisa sembuh sepenuhnya."
"Kalau begitu lakukan tugasmu dengan baik!." Hatinya seketika memanas. "Atau kau! Yang akan aku tumbalkan! Untuk menghidupi ayahandaku lagi."
Deg!.
Tabib itu tentunya sangat terkejut mendengarkan ucapan mematikan itu.
"Apakah dia pikir aku ini dewa?." Dalam hatinya getar. "Yang dapat menghidupkan orang mati?." Dalam hatinya ingin berkata seperti itu, tapi mulutnya tidak akan berani mengucapkan kalimat itu. "Berikan hamba waktu, untuk melakukannya Gusti."
"Lakukan dengan baik!."
"Baik Gusti Putri." setelah memberi hormat ia segera pergi meninggalkan tempat itu. "Pukulan delapan mata angin memang sangat hebat." Ia terkesan. "Dadanya hampir saja hancur." Dalam hati Tabib itu merasa ngeri dengan luka dalam yang dialami oleh Prabu Wajendra Bhadrika. "Beruntung saja dia adalah seorang Raja, kalau dia orang biasa? Aku yakin dia benar-benar akan mati." Ia sedang memikirkan obat apa yang tepat untuk menyembuhkan luka itu.
"Ayahanda, bertahanlah, aku yakin kau akan sembuh." Putri Gempita Bhadrika sangat takut ayahandanya belum juga sembuh. "Aku mohon ayahanda tetap bertahan, aku tidak mau kehilanganmu ayahanda." Hatinya sangat sakit, apalagi ketika ia menyaksikan bagaimana ayahandanya saat itu bertarung dengan seseorang yang memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. "Aku pasti akan membalaskan dendamku pada orang itu ayahanda." Dalam hatinya mulai timbul bara api dendam yang sangat membara.
...****...
Istana bagian kediaman Ratu Dewi Anindyaswari.
"Ibunda tidak menduga." Ratu Dewi Anindyaswari menatap lembut anaknya. "Jika kau akan menjadi seorang Raja anakku." Dengan perasan hari Ratu Dewi Anindyaswari berkata seperti itu.
"Ini semua karena Allah SWT ibunda." Responnya. "Juga kebaikan yang selama ini nanda terapkan."
"Syukurlah jika memang seperti itu Rayi." Ia senang mendengarnya. "Saya sangat senang, jika memang engkau yang menjadi Rajanya." Putri Agniasari Ariani tersenyum lega.
"Yunda." Prabu Asmalaraya Arya Ardhana menatap kakaknya.
"Saya tidak bisa membayangkan." Ungkapnya. "Jika salah satu dari mereka yang menjadi Raja." Raut wajahnya kali ini terlihat lebih muram. "Kehidupan kita akan semakin menderita." Hatinya semakin sedih. "Dan yang paling parah adalah? Kita akan diusir dari istana ini."
"Astaghfirullah hal'azim yunda." Balas Prabu Asmalaraya Arya Ardhana. "Jangan berpikiran jauh seperti itu."
"Tapi memang seperti itu yang terjadi rayi." Responnya lagi. "Bahkan kau mengalaminya rayi." Hatinya terasa sakit. "Jau baru saja berkumpul bersama kami dalam purnama ini." Putri Agniasari Ariani hampir saja menangis mengingat bagaimana masa lalu adiknya.
"Ibunda rasa benar." Ucap Ratu Dewi Anindyaswari. "Apa yang telah dikatakan yundamu." Lanjutnya. "Setelah kepergianmu dari istana ini? Ibunda, yundamu." Matanya menatap ke arah anak perempuannya. "Tidak berani masuk ke istana utama." Lanjutnya dengan perasaan sedih. "Hanya tempat ini yang menjadi pelindung kami nak." Ungkap Ratu Dewi Anindyaswari. "Tempat yang engkau minta, pada ayahandamu." Air matanya perlahan-lahan mengalir begitu saja. "Dengan pengorbananmu yang sangat besar." Ratu Dewi Anindyaswari menangis sedih ketika mengingat bagaimana tekanan hidup yang mereka rasakan saat itu. "Terima kasih putraku nanda cakara casugraha."
"Selama kau pergi." Ucap Putri Agniasari Ariani. "Kami hanya berada di sini saja rayi." Ungkapnya lagi. "Hingga saat itu kau kembali."
Kembali ke masa itu.
Prabu Kawiswara Arya Ragnala saat itu membawa anaknya ke istana yang didiami oleh Ratu Dewi Anindyaswari dan Putri Agniasari Ariani.
"Apakah ini tidak apa-apa ayahanda?."
"Masuklah putraku." Prabu Kawiswara Arya Ragnala tersenyum kecil. "Ayahanda sangat yakin, jika ibunda, yundamu." Lanjut sang Prabu. "Sangat ingin bertemu denganmu." Tangannya mengusap sayang kepala anaknya. "Ini saatnya kau hadir di hadapan mereka."
"Tapi ayahanda?."
"Apakah kau tidak ingin?." Prabu Kawiswara Arya Ragnala kembali tersenyum. "Bertemu langsung dengan mereka?."
"Tentu saja ayahanda."
"Kalau begitu masuklah."
Raden Cakara Casugraha mencoba untuk masuk ke halaman, namun siapa yang menduga jika ibunda dan kakak perempuannya duduk di taman yang tak jauh dari halaman istana kecil itu?.
"Putraku nanda cakara casugraha." Ratu Dewi Anindyaswari langsung bangkit dari duduknya, melihat anaknya yang telah tumbuh menjadi remaja yang sangat gagah.
"Ibunda, hormat nanda, ibunda." Raden Cakara Casugraha memberi hormat pada ibunda.
"Rayi!." Putri Agniasari Ariani langsung berlari mendekati adiknya dan memeluk erat adiknya. "Rayi!." Tangisnya pecah begitu rasa rindu yang dalam telah meluap ketika melihat sosok yang ia nantikan selama ini.
"Kanda Prabu?." Ratu Dewi Anindyaswari menatap suaminya. "Apakah kanda membawa putra dinda kembali?." Dengan suara bergetar Ratu Dewi Anindyaswari bertanya seperti itu.
"Sesuai dengan janji." Respon Prabu Kawiswara Arya Ragnala. "Kanda membawa putra dinda kembali." Senyuman itu sangat meyakinkan.
"Putraku cakara casugraha." Ratu Dewi Anindyaswari memeluk anaknya dengan penuh kerinduan yang sangat dalam.
"Ibunda."
"Putraku cakara casugraha, akhirnya kau kembali anakku." Tangis sang Ratu pecah begitu ia dekap dengan erat tubuh anaknya.
"Saya kembali ibunda." Raden Cakara Casugraha membalas pelukan ibundanya.
"Ibunda sangat menantikan kepulangan mu anakku." Ratu Dewi Anindyaswari mengungkapkan semua gejolak di hatinya. "Ibunda sangat merindukanmu."
"Saya juga merindukan ibunda." Raden Cakara Casugraha mencoba menahan perasaan sedih yang membuncah di dalam hatinya saat. "Sangat ingin bersama dengan ibunda."
"Jangan pergi lagi." Tangannya menangkup wajah anaknya. "Jangan tinggalkan ibunda." Ia tatap wajah anaknya dengan lekat. "Ibunda sangat tersiksa, jika kau pergi lagi dari sisi ibunda." Kembali Ratu Dewi Anindyaswari memeluk anaknya. Begitu erat pelukannya hingga membuat Raden Cakara Casugraha sedikit sesak.
"Saya juga memohon padamu rayi." Ungkap Putri Agniasari Ariani. "Jangan pernah tinggalkan kami."
"Semoga saja tidak."
"Sungguh, maafkan kanda." Dalam hati Prabu Kawiswara Arya Ragnala. "Karena telah membuat kalian menangis seperti ini." Dalam hati Prabu Kawiswara Arya Ragnala merasakan haru yang sangat dalam. "Begitu banyak cobaan yang dilalui putraku cakara casugraha." Sang Prabu mengingat kembali. "Aku harap dia akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi." Dalam hati Sang Prabu hanya berharap yang terbaik untuk keluarga kecilnya bersama Ratu Dewi Anindyaswari.
Kembali ke masa ini.
"Tanpa ibunda sadari." Ratu Dewi Anindyaswari mencoba untuk tersenyum. "Kau telah tumbuh besar seperti ini anakku." Ungkapnya. "Begitu banyak, yang telah ibunda lewatkan." Matanya semakin berkaca-kaca. "Tidak menyaksikan engkau tumbuh sebesar ini."
"Ibunda." Prabu Asmalaraya Arya Ardhana sangat tersentuh.
"Pasti sangat besar, hari-hari yang telah engkau lewati." Hatinya sangat sesak. "Tapi sepertinya, engkau sangat tegar, untuk melewati semuanya."
"Ibunda." Prabu Asmalaraya Arya Ardhana sudah tidak tahan lagi. "Saya selalu berada di dekat ibunda." Dalam hatinya. "Hanya saja, saya tidak bisa mendekati ibunda secara langsung." Dalam hati sang Prabu sangat sakit, dan sesak mengingat masa lalu.
Ya, dengan kembalinya Raden Cakara Casugraha di hadapan ibundanya memberikan warna yang baru. Ada banyak kebahagiaan yang diungkapkan oleh sang Ratu untuk menyambut kepulangan anak bungsunya setelah sekian lama menjalani hukuman buangan. Hati ibu mana yang sanggup berpisah dengan anaknya dengan cara yang menyakitkan seperti itu?. Pasti tidak ada, ibu mana yang rela anaknya diperlakukan dengan tidak adil seperti itu.
...****...
Malam telah menyapa kerajaan Suka Damai, malam yang sangat sepi di beberapa tempat, apalagi dengan tersiarnya kabar kepergian Prabu Kawiswara Arya Ragnala, dan kini telah digantikan oleh putra bungsunya dengan gelar Prabu Asmalaraya Arya Ardhana. Kawasan hutan Sengkar Iblis, salah satu tempat yang ada di kerajaan Suka Damai, kawasan yang belum terjangkau oleh siapa saja, hingga kawasan itu dijadikan sebagai tempat para perampok, penjahat besar untuk bersembunyi di sana. Hutan yang tidak akan pernah didatangi oleh orang normal, hanya mereka yang berbuat kerusuhan saja tinggal di sana. Hari ini mereka ingin membuat kerusuhan di sebuah desa yang tak jauh dari hutan Sengkar Iblis, mereka seakan-akan hendak ingin menguji kekuatan yang dimiliki oleh Raja baru, karena mereka selama ini sedikit takut pada Prabu Kawiswara Arya Ragnala sehingga tidak berani masuk ke kawasan desa kerajaan Suka Damai.
Malam ini mereka beraksi untuk berbuat kerusuhan di desa, sehingga warga desa berlari ketakutan menyelamatkan diri dari amukan para penjahat. Suasana benar-benar panik, mereka menyerang tanpa perasaan iba pada orang tua, anak-anak dan wanita.
"Hahaha!." Ia tertawa keras. "Ini adalah hal yang sangat menyenangkan sekali!." Ucapnya dengan penuh kebahagiaan. "Saat melihat mereka berlari ketakutan." Seorang wanita tertawa keras melihat bagaimana situasi saat itu.
"Kau terlihat bersemangat sekali." Responnya. "Aku juga ikut senang melihat ini."
"Hajar saja mereka!." Teriaknya. "Aku yakin raja baru itu, tidak akan mengetahui!." Teriaknya lagi. "Apa yang kita lakukan pada rakyatnya malam ini."
Kedua wanita itu terlihat sangat bersemangat ketika melihat bagaimana mereka yang terkapar karena serangan dahsyat itu. Namun di dalam kepanikan itu ada sekelebat bayangan hitam yang menghampiri mereka. Tentu saja itu membuat ketiga pendekar kelompok Sengkar Iblis memperhatikan itu.
"Hei!." Ucapnya kesal. "Siapa kau?!." Tunjuknya kasar. "Berani sekali kau masuk! Ke dalam permainan kami!."
"Kalian yang siapa?." Responnya. "Kalian yang berani berbuat kerusuhan! Di wilayah kerajaan suka damai."
"Kami adalah kelompok pendekar dari sengkar iblis!." Jawabnya. "Kami yang akan menguasai wilayah ini!."
"Bukankah kalian itu tunduk pada Gusti Prabu kawiswara arya ragnala?!." Balasnya. "Lantas kenapa? Kalian sekarang malah berbuat kerusuhan di desa ini?."
Mereka tertawa mendengarkan ucapan sosok hitam misterius, sosok yang tidak dapat mereka ketahui itu?.
"Kami telah mendengarkan kabar." Jawabnya. "Bahwa Raja hebat itu telah tiada!." Lanjutnya. "Jadi? Kami tidak takut lagi! Untuk berbuat kerusuhan lagi! Di wilayah kerajaan ini! Hahaha!."
"Jadi? Kalian meremehkan kekuatan Raja baru ini?." Ada amarah yang hendak ia keluarkan.
"Kami tidak takut sama sekali!." Balasnya cepat. "Buktinya dia tidak datang! Di saat rakyatnya kami bantai seperti ini?! Hahaha!."
"Raja baru itu tidak ada apa-apanya." Ucapnya percaya diri. "Jadi? Kami akan merebut wilayah ini dari tangannya."
"Dan kau?!." Tunjuknya kasar. "Jika kau berani menghadapi kami?." Ucapnya lagi. "Kau duluan yang akan kami bunuh!." Tegasnya. "Kecuali kau mau ikut bergabung dengan kami, hahaha!."
Kembali tawa mereka pecah ketika salah satu dari temannya berkata seperti itu.
"Astaghfirullah hal'azim." Responnya. "Allah SWT tidak akan pernah menyukai orang zalim seperti kalian." Tunjuknya satu persatu pada merek. "Apalagi aku?." Balasnya dengan santai.
"Kurang ajar!." Responnya penuh amarah.
"Sebaiknya kalian pergi dari sini dengan damai!." Ucapnya lagi. "Aku ampuni kalian kali ini saja!." Tegasnya. "Tapi jika kalian berbuat kerusuhan lagi? Tidak ada maaf bagi kalian."
"Bedebah!." Makinya kasar. "Sombong sekali gaya bicaramu itu!."
"Dari ucapannya, itu artinya dia ingin mencari musuh dengan kita."
"Kalau begitu kita serang saja dia!."
Kelima pemuda itu maju untuk menyerang sosok misterius, tentu saja mereka merasa terhina dengan ucapan itu. Malam itu terjadi pertarungan antara pendekar Sengkar Iblis dengan sosok misterius. Walaupun tidak seimbang?.
Namun sosok itu menghadapi mereka dengan sangat santai, apalagi ketika dua orang diantara mereka menggunakan senjata yang sangat tajam, namun masih bisa menghindari serangan bertubi-tubi yang datang padanya. Keduanya mencoba untuk memberikan tebasan yang sangat kuat, tapi tetap saja pemuda misterius itu dengan sangat mudahnya menghindarinya, ia salurkan hawa murninya ke senjata kedua pendekar itu sehingga mereka merasakan adanya tekanan yang sagat kuat, untuk sesaat mereka tidak bisa bergerak karena tekanan hawa tenaga dalam dari pemuda misterius itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja dari arah samping kirinya?. Ia melihat ada dua orang pemuda lainnya yang menyerangnya dengan pukulan tenaga dalam yang sangat kuat hendak menghantam tubuhnya, namun saat itu ia menyadarinya sehingga ia sempat memanfaatkan energi angin untuk melompat ke atas. Pemuda misterius itu selamat dari serangan pukulan tenaga dalam, dan tentu saja itu membuat mereka sangat terkejut.
"Astaghfirullah hal'azim ya Allah." Pemuda itu mendarat dengan sempurna setelah melompat untuk menghindari serangan tadi. "Ternyata kalian ingin main licik, main keroyokan?." Hatinya tidak terima. "Nyali kalian memang besar, akan aku ladani kalian." Ada hawa merah yang menyelimuti tubuhnya sebagai ungkapan kemarahan yang sangat luar biasa ia rasakan karena perbuatan mereka padanya.
"Maju saja kau orang buruk rupa, tidak usah banyak bicara!."
"Aku yakin kau hanya pandai bicara saja."
Duakh!.
"Eagkh!."
Namun apa yang terjadi?. Mereka semua terkejut, tiba-tiba saja tubuh kedua teman mereka terlempar begitu sangat jauh, menubruk pepohonan. Pemuda misterius itu menggunakan jurus nampak angin gempar, yaitunya jurus langkah cepat seperti angin. Jurus ini membuat lawannya kaku seperti patung karena tubuh mereka dialiri dengan sengatan aneh, saat itulah pengguna jurus ini dapat memanfaatkan tendangan atau pukulan yang sangat kuat untuk melumpuhkan lawannya.
"Bedebah!." Makinya keras. "Berani sekali kau melukai mereka!."
"Tidak usah banyak bicara, maju saja."
"Mari kita hadapi orang buruk rupa ini."
Sisa tiga diantara mereka yang tidak terima sama sekali atas apa yang telah terjadi pada dua lainnya. Malam itu pertarungan yang sangat sengit terjadi antara mereka, malam yang cukup panjang untuk pertarungan antar pendekar. Dengan kemapuan yang mereka miliki, pertarungan itu agak memakan waktu yang lama.
"Baiklah, jika kalian memang sangat memaksa." Suaranya tampak berbeda dari yang sebelumnya. Sorot matanya terlihat sangat tajam.
Walaupun seluruh sebagian wajahnya ditutupi oleh topeng hitam itu, namun sorot mata itu terlihat sangat jelas bahwa ia sedang marah besar, begitu juga dengan hawa kemerahan yang semakin menyelimuti tubuhnya.
"Siapa dia sebenarnya? Kenapa kekuatannya semakin besar?."
"Kita harus berhati-hati pada orang ini."
"Majulah kalian bersama-sama." Tantangnya. "Bukankah kalian yang menantang aku?!." Ia tersenyum aneh. "Tunjukkan nyali kecil kalian itu."
"Setan busuk! Kau merendahkan aku?!."
"Maju saja!." Setelah selesai memainkan gerakan jurusnya, ia maju untuk menyerang mereka semua.
Gerakannya semakin cepat, sehingga membuat mereka semua kewalahan menghadapi pemuda lincah itu, mereka seperti anak kecil yang sedang dipermainkan. Apalagi ketika tubuh mereka mendapatkan pukulan, sepakan, dari sosok misterius itu?.
"Kurang ajar!." Makinya dengan kasar. "Aku benar-benar merasa bodoh! Karena jurus orang itu!."
"Kita harus waspada."
"Lindungi aku, rasanya tubuhku mulai sakit karena pukulannya."
"Tidak usah banyak bicara." Ucapnya dengan santai. "Di mana sikap sombong kalian tadi?." Ia tersenyum licik. "Apakah sudah mulai pudar?."
"Bedebah!." Makinya, hatinya semakin panas. "Jika kau memang berani? Hadapi kami dengan nyata!."
"Aku tidak akan pernah tertipu, dengan orang jahat seperti kalian."
Mereka semua merasakan ada tekanan angin yang datang dari arah depan, sehingga mereka merasakan adanya pukulan kuat yang membuat mereka mundur beberapa langkah.
"Kurang ajar!." Seorang pendekar wanita mencoba untuk menyerang sosok misterius itu dengan jurusnya.
Sangat disayangkan sekali, ia gagal melakukan itu. Sosok misterius itu lebih pintar dari apa yang ia duga, pendekar wanita itu terjebak hingga mendapatkan sebuah totokan yang dapat membuat tubuhnya kaku tidak bergerak sama sekali.
Deg!.
Mereka yang melihat itu sangat terkejut, dan berniat untuk membantu temannya.
"Lepaskan dia!."
"Maju satu langkah lagi? Nyawanya akan melayang." Ia tempelkan belati kecil yang sangat tajam tepat di leher wanita itu.
"Kegh!."
"Pengecut!."
"Lepaskan dia!."
"Bertarung lah secara jantan!." Tegasnya, namun ada kepanikan di hatinya. "Pengecut kau orang buruk rupa!."
"Sebut saja aku seperti itu." Responnya. "Sementara kalian berani main keroyokan." Lanjutnya. "Jadi siapa yang lebih pengecut?."
"Keparat busuk! Lepaskan dia!."
"Tidak semudah itu aku melepaskannya." Ia menepuk pundak wanita itu. "Jika kalian ingin dia kembali? Cari lah aku jika kalian bisa."
Deg!.
"Hei! Bajing tengik!." Makinya kasar. "Jangan kabur kau!."
"Hei! Setan alus! Keluar kau!."
"Katanya kalian adalah pendekar kelompok iblis." Responnya dengan sangat santai. "Apakah hanya nama saja?." Ejeknya. "Tidak berguna sama sekali."
"Keparat busuk!." Makinya. "Jangan hina kami seperti itu!."
Mereka semua benar-benar sangat panik karena salah satu dari mereka diculik oleh sosok misterius itu, dan mereka tidak mengetahui ke mana pemuda asing itu membawa teman mereka.
"Ke mana dia pergi?." Hatinya sangat panas. "Aku tidak dapat merasakannya kakang."
"Kita benar-benar bodoh!." Umpatnya. "Karena ilmu kanuragannya lebih tinggi."
"Lantas? Apa yang harus kita lakukan?."
"Kita harus mencarinya sampai dapat." Balasnya. "Jangan sampai dia membunuhnya!." Ia panik. "Atau bahkan diberikan kepada Raja baru! Untuk diberikan hukuman."
"Tapi kita urus dulu mereka yang terluka."
"Sial! Malah ada beban lagi!." Umpatnya semakin marah. "Memang tidak berguna kalian ini! Hah! Merepotkan!."
"Mau bagaimana lagi? Kita urus mereka."
"Awas saja kau!." Dalam hatinya sangat marah.
Tentu saja tugas mereka akan bertambah, bukan hanya teman saja yang dibawa kabur oleh orang misterius itu, namun mereka juga harus mengurus kedua teman lainnya yang terluka akibat serangan orang misterius itu.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!