Cerita terakhir dari Ibu Martini sebelum aku meninggalkan rumahnya sungguh di luar nalar.
Unit 731, begitu mereka menyebutnya. Merupakan suatu divisi sangat rahasia dari tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia ke II. Unit 731 adalah unit khusus yang terdiri dari para dokter dan ilmuwan untuk keperluan perang.
Unit ini mempelajari potensi kemampuan bertahan hidup jika prajurit terluka di medan perang, misalnya bagaimana efek dan tindakan jika kehilangan banyak darah. Eksperimen yang mereka lakukan sangat brutal. Seperti mengamputasi tubuh manusia atau bahkan binatang lalu disambungkan ke bagian tubuh yang lain untuk bertahan hidup.
Kemudian mereka juga melakukan pengujian daya hancur suatu bom, granat, atau senapan pada obyek manusia berdasar jarak-jarak tertentu. Juga ada indikasi bahwa mereka membuat senjata biologi berupa kuman atau virus untuk menciptakan wabah bahkan epidemi di wilayah musuhnya.
Hanya itu yang sementara ini dapat aku simpulkan, berdasarkan apa yang Bu Martini ketahui dari pembicaraan komandan Harada dan tamu-tamu rahasianya. Tetapi jika memang benar ada eksperimen seperti itu, adalah tidak mungkin mereka menggunakan tentara mereka sendiri. Pastinya obyek percobaan yang dikorbankan adalah warga suatu negara yang dijajahnya. Sungguh kejam!
Sesampainya di rumah, aku memeriksa pekerjaan renovasi rumah. Hanya empat orang bekerja hari ini. Sepertinya harus segera menambah tenaga lagi agar selesai tepat waktu sebelum hari pernikahan. Akan aku sampaikan hal ini pada Mandor Asmudi besok di rumah sakit. Sebenarnya aku masih tidak enak hati, sudah tiga orang tenaganya yang celaka di rumah ini.
"Gimana, Mas? Ada kekurangan apa ini? Material dan semen masih?" tanyaku kepada para tenaga sambil mengecek pekerjaan mereka.
"Masih cukup untuk dua hari ini, Pak. Papan untuk bekisting yang kurang," jawab Agung.
"Kalau besinya?"
"Yang diameter 12' kemarin masih kosong di toko, Pak."
"Iya, nanti ditanya lagi. Sudah aku pesan kok. Sekalian kalau ada kekurangan lainnya diberitahukan ya, Agung. Jadi pengirimannya sekalian".
"Oke, Pak."
"Nih aku belikan rokok tadi satu slop."
"Wahhh makasih, Pak. Jadi semangat ini kerjanya," ucap Eko terkekeh.
"Semalam waktu tengah malam ribut-ribut kenapa ya?"
"Ini si Udin, Pak! Katanya waktu tidur ada yang merangkul!" seru Eko.
"Ahh Udin dirangkul gitu aja kok, mungkin teman-temanmu lagi pada kangen istrinya. Hahaha," candaku.
Dengan ekspresi serius Udin menjawab, "Nah itu dia Pak. Awalnya saya kira ada yang tidur di belakang saya. Tapi saat tersadar, itu tidak mungkin. Karena saya tidur paling pinggir dan di belakang saya itu tembok."
"Makanya berdoa sebelum tidur, biar tidak mimpi yang aneh-aneh," tukas Agung.
"Bukan mimpi! Berani sumpah!" sergah si Udin.
"Ya sudah nanti malam Udin tidur di kamar nomor satu, biar saya tidur di sofa," kataku menenangkan Udin. "Dilanjutin kerjanya!"
Mereka menjawab kompak, "Assyaap, Pak!"
Ada apa dengan kamar nomor dua itu? Aku jadi teringat penampakan di hari-hari pertama dulu. Namun sejak rombongan Pak Asmudi datang, aku yang semula tidur di kamar dua pindah ke kamar satu. Aku tak pernah diganggu lagi sejak saat itu.
Ah, kusingkirkan pikiran tidak rasional itu.
Apakah kami 5 orang pria dewasa harus ketakutan dengan hal-hal di luar nalar seperti ini?
***
"Silahkan duduk dulu, Nak. Biar ibu panggilkan Nirmala" ucap Ibu Siti calon mertuaku setelah menjawab salamku.
"Iya, Bu. Mau ajak Nirmala jalan-jalan, mumpung malam Minggu," jawabku seraya tersenyum.
Lalu keluarlah Nirmala yang begitu anggun dengan perpaduan warna terakota dan krem pada baju gamisnya.
"Maaf ya, Dik. Agak terlambat datang."
"Tidak apa-apa, Mas. Lebih baik terlambat datang daripada terlambat melamar," gurau Nirmala.
"Hahaha, bisa aja kamu ...," jawabku geli.
"Bu, Nirmala pergi dulu. Assalamualaikum," kata Nirmala dari depan pintu.
"Wa'alaikum salam, hati-hati di jalan," sahut ibunya.
Kami segera meluncur ke sebuah advertising undangan di pusat kota. Lengkap sekali toko ini. Berbagai macam model dan tipe kertas undangan ada disini.
"Gimana, Mas? Bagus yang ini ya?" tanya Nirmala setelah beberapa kali memilih contoh undangan yang menarik.
"Iya, yang ini cocok pilihannya dan warnanya juga kalem."
Akhirnya kami memilih dua format undangan. Segera kami mengisi formulir data nama, tanggal acara, lokasi dan sebagainya. Karena banyaknya pesanan, kami tidak bisa langsung melihat contoh hasil desainnya. Mungkin besok akan dikirim via HP. Sekarang tinggal menunggu kiriman gambar hasil desainnya. Untuk jadwal foto prewedding jika tidak ada halangan kemungkinan kami dapat jadwal minggu depan.
Setelah dari sana kami makan malam di area taman alun-alun kota. Sembari lesehan di tengah taman yang penuh hiasan lampu warna-warni itu kami menunggu pesanan gurami bakar disiapkan.
"Kabar bapak bagaimana, Dik?" tanyaku sambil minum es jeruk.
"Alhamdulillah baik, Mas. Kemarin malam telepon." Membenahkan pakaiannya di depanku.
"Sudah clear jadwal cutinya? Aman?"
"Iya, Mas. Sudah pesan tiket pesawat juga kok. Nanti tiga hari sebelum pernikahan kita, bapak datang. Dapat cuti dua minggu."
"Alhamdulillah, berarti kita jadi menikah kan?" gurauku.
"Ihhh, Mas Dharma. Jangan-jangan ada yang lebih cantik dariku, jadi Mas Dharma berubah pikiran?"
"Tidak tahu," jawabku menggoda.
"Atau ada yang lebih baik?" desak Nirmala.
Aku jawab singkat, "Tidak tahu."
"Kok gitu, Mas? Tidak tahu terus jawabnya?" Nirmala geram dan penasaran.
"Iya, tidak tahu. Bagaimana aku bisa tahu sedangkan aku sudah mencukupkan hatiku untukmu. Tidak ada yang lain. Tidak akan pernah ada," jawabku merayu.
"Ahhh, gombal," Nirmala tersenyum.
"Bu, ada gombal ga?" seruku pada ibu pemilik warung.
Ibu pemilik warung menyahut, "Iya, ada Pak. Sebentar." Lalu ibu itu datang membawa gombal. Aku dan Nirmala pun tertawa.
"Ssstt, jangan keras-keras!" bisikku sambil sedikit tertawa.
"Mas, dulu waktu ibu dan bapak menikah kasihan lho," kata Nirmala.
"Kenapa?"
"Iya kan ibu dulu anak yatim, tidak punya wali nikah. Makanya ibu terus mendesak bapak supaya datang waktu pernikahan kita."
"Benar kah? Orangtuanya sudah almarhum semua waktu ibu menikah?" tanyaku dengan prihatin.
Nirmala menjawab, "Nah itu dia, ibu tak pernah tahu siapa orang tua kandungnya. Sejak bayi, ibu diasuh oleh bapak angkat. Namanya Kakek Dipo. Sampai Kakek Dipo meninggal pun belum pernah cerita siapa orangtua kandung ibu."
Tunggu, aku seperti tidak asing dengan nama itu?
Dipo... Dipo... Dipo?
Dimana aku pernah mendengarnya?
Astagfirullah!
Dipo?
Apakah Kakek Dipo ini yang diceritakan oleh Ibu Martini?
Dipo yang membawa anak Sridiah?
Apakah Ibu Siti calon mertuaku itu anak dari Sridiah?
"Mas! Halooo ...," sela Nirmala sambil melambaikan tangannya di depan wajahku, "Kok malah melamun? Ini guraminya sudah datang. Makan yuk!"
"Hah, i-- iya," jawabku terkaget.
Pikiranku tak tenang membayangkan jika ternyata memang ibunya Nirmala itu adalah anak dari Sridiah yang dibawa Dipo. Berarti Nirmala adalah cucu dari Sridiah alias Fuyumi?
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Mirai Amthy
Gombal:Kain🤣🤣🤣
2021-04-19
3
Sofa Lina
waahh...kakek Dipo,,,,,,
2021-03-26
2
Wulan Wulann
bagus banget ceritanya bukan cuma horor tapi jg mengenang sejarah
2020-09-26
0