Hari semakin petang menjelang Magrib, antrian tamu di teras tinggal sedikit. Sementara di dalam rumah keadaan sangat mencekam.
Khii ki khik khi! Khi kikikhi!
"Kalau aku keluar, wanita ini akan mati!" teriak sang pasien dengan suara serak menyeramkan.
Pak Edi berdoa dan membaca ayat-ayat suci di hadapannya. Perut wanita itu terangkat mirip gerakan kayang saat senam tetapi dengan tumpuan kepala bukan dengan tangan dan kakinya.
Pak Edi terus membacakan doa-doa untuk mengusir jin atau setan itu, "āmanar-rasụlu bimā unzila ilaihi mir rabbihī wal-mu minụn, kullun āmana billāhi wa malā ikatihī wa kutubihī wa rusulih, lā nufarriqu baina aḥadim mir rusulih, wa qālụ sami'nā wa aṭa'nā gufrānaka rabbanā wa ilaikal-maṣīr ...."
"Keluarlah kau atau kumusnahkan!" sentak Pak Edi.
Wanita itu justru tertawa terbahak-bahak. Kini tubuhnya semakin terangkat tinggi, bahkan kepalanya tak lagi menempel pada dipan. Rambutnya yang berantakan terlihat menggantung.
"Aku suka wanita munafik ini, aku takkan meninggalkannya!" jawab wanita itu dengan suara serak yang aneh.
Pak Edi mendatanginya, meletakkan tangannya lima sentimeter di atas wajah wanita itu. Tak lama kemudian wanita itu terjatuh ke dipan. "Brakkk!"
"Arrrgh! Arrghhh! Ampun! Ampunnn!"
Kemudian Pak Edi menarik tangan dan menutup doanya. Sepertinya sudah usai.
"Hoekk! Hoeekkk!"
Wanita itu sudah sadar, lalu memuntahkan sesuatu yang anyir dan menjijikkan. Saudara perempuannya dengan sigap menadahi dengan plastik hitam.
Tentu saja hari ini terasa asing bagiku. Aku yang terbiasa dengan hitungan matematis dan rasional kini menyaksikan sendiri hal-hal mistis dan di luar nalar. Percaya atau tidak, sepertinya aku tidak punya pilihan.
Sekarang tiba giliran pria kekar itu. Tampaknya dia hanya mengobrol dengan pak Edi. Bahkan mereka bersama-sama menengok ke arahku yang melihat dari jendela. Aku jadi salah tingkah, lalu menjauh dari jendela.
***
"Tidak perlu berterima kasih. Mungkin sudah suratan kita dipertemukan dalam peristiwa itu," ucap Pak Edi sambil mengelus jenggot putihnya.
Sebetulnya aku ingin memanggilnya dengan sebutan mbah. Tetapi pesan Mas Kukuh saat di mobil tadi agar jangan memanggil Pak Edi seperti itu, karena kata "mbah" cenderung berkonotasi tingginya ilmu. Pak Edi adalah orang yang rendah hati dan bersahaja, jadi dia tidak suka dipanggil "mbah" agar tidak jumawa.
"Jadi siapa sebenarnya sosok pengemis itu, Pak?" tanyaku penasaran.
"Leluhur atau orangtua Bu Siti mempelajari suatu ilmu mistik dan mengikat perjanjian dengan bangsa jin. Ketika leluhur itu meninggal, jin yang mendampingi akan diwariskan kepada generasi berikutnya yang memiliki ikatan darah seperti anak, cucu, cicit, buyut, dan seterusnya," jelas pak Edi.
"Kira-kira untuk apa, Pak?" desak Nirmala.
Pak Edi menatap Ibu Siti yang duduk di dipan. "Pada jaman dulu sudah merupakan tradisi bagi para leluhur menjadikan sosok jin sebagai pendamping dalam kehidupannya. Setiap orang punya alasan sendiri yang jadi pembenaran tindakannya. Bisa jadi untuk perlindungan, dan sesungguhnya kita sama-sama tahu bahwa hal itu salah."
"Betul sekali, Pak. Seharusnya bukan kepada jin kita meminta perlindungan," sahut Nirmala. Lalu apa sebenarnya kotak yang ditemukan ibu saya tadi malam ya, Pak?"
Pak Edi mengambil kotak kaleng yang ditemukan ibu dari dalam gua. "Leluhurmu, mungkin kakekmu ingin melindungi keturunannya. Kotak itu adalah sebuah petunjuk. Tempat itu sekarang hanya terlihat layaknya peninggalan sejarah yang biasa saja. Namun, sepertinya ada suatu rahasia besar yang disimpan oleh kakekmu."
"Mungkinkah kakek saya dulu ikut romusha di tambang kapur dan kostin itu? Atau malah meninggal di sana?"
"Simpan baik-baik kotak ini dan isinya. Suatu saat kalian akan mengerti. Saya pantang mencampuri urusan duniawi, tidak berkah."
"Apakah jin yang mendampingi saya itu baik? Kalau jahat, bagaimana saya bisa menghilangkan jin itu, Pak?" akhirnya Bu Siti ikut bersuara.
"Hahaha ... jin itu sama dengan manusia, ada yang baik ada yang jahat. Memang kita harus hati-hati dengan tipu dayanya," Pak Edi melanjutkan. "Saya bukan nabi Sulaiman. Kasus anda beda dengan yang lain. Saya hanya bisa bantu dengan doa, karena perjanjian dengan jin itu adalah warisan dari leluhur anda maka anda yang berhak memutuskan perjanjian tersebut. Demikian pula jika berlanjut pada anak cucu anda nanti."
Pak Edi pun berdoa cukup lama, kami mengamininya.
***
Ibu Siti sudah merasa lebih baik, kami pun berpamitan tepat saat azan Magrib berkumandang. Nirmala sudah menggandeng ibunya keluar. Terlihat mereka berhenti di sebelah pintu dan memasukkan amplop ke dalam sebuah kotak kayu. Pak Edi menahan tanganku seraya berbisik, "Pada wanita, salah satu cara memutus siklus jin warisan akan adalah dengan menikahi laki-laki yang soleh."
Aku terkejut mendengarnya. Kata-kata itu begitu dalam menusuk hatiku. Mengingatkan aku untuk mempertebal keimanan dan menguatkan ibadahku.
***
Kami tak bisa berlama-lama karena Pak Ricky, Bu Nopi, Mas Kukuh dan asistennya sudah hampir seharian menunggu di mobil. Perjalanan pulang, kami mampir di sebuah rumah makan untuk salat dan makan malam. Ada yang aneh, sebuah mobil bertipe sedan dengan warna hitam parkir di seberang jalan. Semua kacanya tertutup, tak tampak ada yang keluar dari mobil itu.
"Pak Dharma lihat mobil itu?" tanya Pak Ricky kepadaku.
"Iya, Pak. Agak mencurigakan."
"Memang sejak dari rumah Pak Edi tadi mobil itu di belakang kita, Pak. Mungkin kebetulan dia searah dengan kita. Coba nanti kalau kita pergi apa masih mengikuti," bisik pak Ricky tanpa yang lain tahu.
"Mas, menurut kamu apakah benar semua yang dikatakan Pak Edi?" tanya Nirmala kepadaku.
"Sementara ini hanya dia yang bisa kita percayai. Jadi besar kemungkinan bahwa kakekmu dulu ikut romusha di kostin dan gua itu," jawabku.
"Entahlah, Nak Dharma. Inisial di saputangan rajut itu adalah huruf S. Apakah memang inisial namaku, atau orang lain?"
"Surat, bagaimana isi surat itu, Bu?"
"Hanya surat biasa, dari seorang laki-laki kepada istrinya yang sedang mengandung. Lalu di bagian akhir ada banyak kata dan simbol yang tidak ibu mengerti. Apa perlu ibu ambilkan di mobil?
"Tidak usah, Bu. Nanti saja di rumah."
Selesai makan, Pak Ricky yang sedang menyetir memberi isyarat. Ternyata benar, mobil sedan itu mengikuti kami. Sesuai rencana, dia membelokkan mobil ke sebuah mini market. Ternyata mobil itu juga berhenti tak jauh dari sana. Aku dan Pak Ricky turun, berpura-pura membeli minuman dingin.
"Bagaimana sebaiknya, Pak Dharma?"
"Kita belum tahu apa tujuan mereka. Kita kan cuma rombongan orang foto prewedding, bukan rombongan yang bawa banyak harta? Apa yang mau dirampok?" jawabku yang juga agak bingung.
"Coba kita kecoh nanti di jalan," jawab pak Ricky.
Aku setuju dengan Pak Ricky. Mungkin kekhawatiranku terlalu berlebihan, bisa saja cuma kebetulan sedan itu punya tujuan searah dengan kami.
Kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Begitu keluar dari parkiran dan memasuki jalan raya terlihat beberapa puluh meter di depan, mobil sedan itu menyalakan mesinnya. Lampu remnya tampak menyala.
Kami melintasinya, sekitar empat sampai lima orang di dalam sedan itu. Hanya bisa terlihat sekilas dari jendela bagian sopir saja yang terbuka.
Sedan itu pun mulai berjalan. Ternyata benar, mobil hitam itu membuntuti kami!
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Isnaaja
mungkin stalker itu mengincar surat surat bu siti yang katanya banyak simbol simbol yang tidak dimengerti,dan mungkin simbol itu simbol untuk menemukan harta Karun.
2020-12-01
0
Mei Shin Manalu
Aku mampir lagi ke sini 😏
2020-08-17
0
Baca jam segini jd bkin makin merinding euy.. bdw siapa yang di dalem mobil ya?
2020-07-22
1