Sesampainya di rumah Nirmala, aku beranikan diri bertanya kepada ibunya.
"Maaf, Bu. Kalau boleh saya mau bertanya tentang Kakek Dipo?"
"Ada apa, Nak? Memangnya Nirmala cerita apa?" Ibu Siti balik bertanya.
"Enggak apa-apa, Bu. Hanya ingin tahu saja," jawabku.
Padahal dalam hatiku ingin membuktikan apakah Kakek Dipo ini adalah orang yang sama dengan yang diceritakan Bu Martini? Atau kebetulan saja namanya sama?
"Apa benar kakek Dipo ini dulu tinggal di desa K*lirej* waktu masih muda?" tanyaku menyelidik.
Ibu Siti menjawab, "Dulu itu Kakek Dipo pernah cerita bahwa desanya di pelosok tetapi karena letaknya yang strategis menghubungkan pantai R*mb*ng dengan kota minyak C*p* yang sangat penting maka pasukan Jepang pun mengambil alih desa Kakek Dipo. Iya betul, desa itu bernama K*lirej*."
"Ibu sendiri pernah kesana?" tanyaku.
Ibu menjawab, "Belum pernah, hanya tahu letaknya agak masuk ke hutan. Kakek Dipo juga bilang bahwa orangtua kandung ibu adalah sahabatnya dan sudah meninggal saat terjadi pemberontakan PETA. Tidak ada kuburannya. Selain itu kakek Dipo juga melarang, jadi ibu tidak pernah ke sana."
"Bagaimana Ibu dan Kakek Dipo bisa selamat?"
"Kakek Dipo menjadi buruan dalam sepekan, melarikan diri melintasi hutan! Berhasil lolos padahal membawa ibu yang waktu itu masih bayi!" balas Ibu Siti.
"Kenapa sampai diburu, Bu?"
"Katanya karena kakek telah menghabisi tiga tentara jepang, pakai pedang mereka sendiri. Jago ya kakek, padahal waktu itu cuma penjual sayuran," jawab Ibu.
Celaka! Ternyata benar!
Kini terungkap sudah siapa ibu Siti sebenarnya. Apakah aku harus ceritakan semuanya sekarang?
"Silakan diminum, Mas. Biar tidak masuk angin," kata Nirmala yang sedari tadi di dapur membuat minuman.
"Iya, terimakasih," jawabku kepada Nirmala.
"Bu, ini tadi dibungkuskan gurami bakar sama mas Dharma. Kesukaan Ibu kan?" kata Nirmala kepada ibunya.
"Aduh, iya. Ibu makan dulu ya, terima kasih lho, Nak Dharma." Menuju ke ruang makan.
Aku tersenyum, mengangguk dan menjawab, "Silakan, Bu."
"Aku juga terima kasih lho, Mas. Udah baik dan perhatian sama ibuku," kata Nirmala tak lama kemudian.
"Jangan begitu, sudah aku anggap ibuku sendiri kok."
Dalam hati aku rasa sebaiknya cepat memberikan cucu pada ibu. Kasihan umurnya sudah hampir 78 tahun. Tiga kali menikah tapi baru bisa hamil malah di usia lima puluhan. Itupun dengan suaminya yang ketiga, empat belas tahun lebih muda darinya.
-------
Dalam perjalanan pulang hatiku berbunga-bunga. Sungguh beruntung aku berjodoh dengannya. Bagiku, Nirmala akan menjadi sosok seorang istri yang sempurna.
Tetapi tak dapat aku pungkiri ada yang mengganjal di pikiranku, takdir apa di balik semua ini?
Secara tidak sengaja, aku telah menyiapkan reuni gila untuk Nirmala di rumah baru yang aku beli itu. Cucu dari Sridiah itu akan kembali ke tempat dimana sang nenek telah menjalani tragedi hidupnya yang berakhir dengan tragis itu.
Sedangkan Ibu Siti sendiri tak tahu sama sekali tentangnya, apalagi Nirmala.
Apakah aku harus segera memberitahu semua ini pada mereka?
Atau menunggu hingga saatnya tiba?
Atau sebaiknya tetap menjadi rahasia?
***
Agung, Udin dan dua temannya sedang bercengkrama di teras rumah saat aku datang.
"Nih aku bawain lauk," kataku setelah memarkir motor.
"Wah istimewa memang boskuh ini!" seru Agung yang sedang bermain gitar.
"Gurami bakar! Asyik!" seru Eko setelah membuka bungkusannya.
"Din, ayo kita makan" kata Bambang kepada Udin.
"Makasih lho, boskuh!"
"Iya, makan yang kenyang. Besok libur dulu ga apa-apa kan hari Minggu. Sekalian nunggu tenaga tambahan nanti Senin mulai lagi," kataku sambil memasuki rumah.
"Asiyaap, Bos! Santai-santai malam ini," kata Agung yang mulutnya sedang penuh nasi.
***
Aku mengambil koper hijau komandan Harada, dan memeriksanya. Sebuah buku catatan berwarna coklat tua membuatku penasaran apa isinya.
Selama ini belum pernah aku buka, karena ada gembok kombinasi tiga angka di sampulnya. Pantas kemarin pak RT dan kepolisian tidak membukanya.
Aku hanya coba-coba saja, siapa tahu benar apa yang aku pikirkan. Aku putar angka di gembok tersebut. Tujuh ... Tiga ... Satu .... dan ternyata benar!
Gembok itu terbuka. Segera aku lihat halaman pertama.
'Djawa Taika Renga', entah apa artinya. Tertera angka tahun di sana 2602.
Aku teringat naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia menggunakan tanggal 17 Agustus tahun '05 yang merupakan kependekan dari angka tahun 2605 karena menggunakan penanggalan kalender Jimmu Jepang yang lebih awal 660 tahun daripada kalender masehi.
Beberapa halaman awal berisikan tulisan-tulisan berhuruf kanji Jepang yang tidak aku mengerti. Juga ada beberapa potongan artikel seperti koran. Lalu tempelan foto-foto beberapa orang Jepang dengan pakaian militer dan dokter. Sedangkan di baliknya seperti foto tiga orang "batman" tanpa bagian telinga yang lancip, sedangkan bagian mulutnya tertutup semacam masker. Mereka terlihat sedang melemparkan sesosok mayat pria lusuh ke tumpukan mayat-mayat lainnya.
Aku terkejut melihat halaman selanjutnya. Terselip di sana foto manusia yang dibedah perut hingga dadanya. Ususnya terburai tak beraturan dan terlihat jantungnya tergeletak di atas meja operasi. Darah di mana-mana, terutama di sekitar alat-alat seperti gunting, pisau dan gergaji. Anehnya orang yang dibedah itu tampak masih hidup dan meronta.
Ada juga dua orang berdiri terikat di balok kayu besar dan bekas ledakan di tembok belakangnya. Satu orang masih utuh, sedangkan yang satunya tinggal bagian atas separuh.
Kepalaku mulai pening, padahal masih banyak yang belum aku lihat di halaman selanjutnya.
***
Jreng! Jreng!
"Sabtu malam, ku sendiri. La la la .... Tiada temanku lagi ...."
Terdengar suara Agung dan kawan-kawannya sedang bermain gitar dan bernyanyi di teras.
Aku tutup buku catatan itu, dan mencoba melupakannya.
Ah, sebaiknya aku simpan saja buat besok. Tak selera aku melihatnya. Antara jijik, kasihan dan penasaran sebetulnya.
Aku belum bisa tidur, jadi aku bergabung dengan Agung dan kawan-kawan. Waktu menunjukkan pukul 23.47 saat kami mendengar suara mencurigakan itu.
Kami terdiam. Agung menghentikan petikan gitarnya. Udin berhenti bernyanyi. Eko bahkan menahan kunyahan kacang di mulutnya yang menganga. Bambang sudah tertidur pulas di samping kami dari tadi. Mendengkur pula.
"Apa kalian juga mendengarnya?" tanyaku kepada mereka.
"Eko, coba kamu cari asal suaranya," desak udin ketakutan.
Dari arah tower sebelum areal makam terdengar seperti rintihan seseorang meminta tolong. Suara itu semakin keras. Lalu dari kejauhan tampak sesuatu.
Tidak begitu jelas karena membelakangi lampu penerangan jalan, sedangkan cahaya kuning lampu itu tak begitu terang. Hanya bayangan hitam yang kami lihat semakin mendekat, menuju ke arah kami dengan langkah yang berat seperti kelelahan habis berlari. Wajahnya berdarah menetes dari pipinya.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Lusiana_Oct13
K
E
R
E
N
👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
2021-09-26
0
Tria Juwita
baru sampe sini dah dag dig dug,, krna liat gambar nya
2021-02-12
1
Mei Shin Manalu
Hmmm lanjutt
2020-08-13
1