Hilang!
Ini tidak mungkin!
Ibu hilang begitu saja!
Kami terus mencari. Jika ibu menceburkan diri ke laut pasti tak lama dia akan muncul lagi. Tapi, apakah ibu melakukannya? Mengapa? Sebenarnya apa yang terjadi pada ibu?
"Mas, ibu di mana? Katakan! Katakan, Mas Dharma!" desak Nirmala yang baru datang tanpa kusadari.
"Aku tidak tahu! Aku tidak tahu! Sungguh!" jawabku panik sambil terus mencari di antara deburan ombak.
Penerangan kami satu-satunya adalah senter LED milik Pak Ricky yang terangnya tak lebih dari 500 meter. Tapi seharusnya itu pun cukup, tak mungkin ibu langsung menghilang ribuan meter seketika.
Mas Kukuh terlihat sibuk menelepon mencari bantuan. Tommy, asisten Mas Kukuh masih berusaha mencari bersama Pak Ricky. Bu Nopi, perias yang pendiam itu tiba-tiba memanggil kami tak jauh dari lokasi pemotretan.
"Di sana! Di sana Pak! Cepat!" Bu Nopi menunjuk-nunjuk ke arah bangunan dengan bangunan cerobong tua itu.
Sayang sekali senter Pak Ricky tak mampu menerangi jarak yang cukup jauh. Hanya terlihat sekilas seorang wanita berjalan ke arah bangunan itu. Benarkah itu Ibu Siti? Tanpa dikomando, kami semua segera berlari ke bangunan tua itu.
Ternyata cerobong pembakaran dengan bentuk persegi dan ujung yang lebih kecil daripada bagian bawahnya itu berada tepat di tengah-tengah bangunan. Ada banyak pintu di sana, tapi tanpa daun pintu. Tak ada jendela sama sekali. Hanya bangunan persegi yang cukup luas dengan dinding bata merah. Pepohonan di luar bangunan menambah kesan angker, demikian juga tiadanya penerangan di tempat ini. Meskipun tampak indah sebagai background foto saat terang, namun ternyata bangunan itu terlihat sangat seram di malam hari.
"Bagaimana sekarang? Kita hanya punya satu senter," kata Pak Ricky.
Aku tak punya pilihan, "Lebih baik yang wanita di luar saja, Pak Ricky tolong jaga mereka!"
"Baik!" Pak Ricky menyerahkan senternya kepada Tommy.
"Ibu! Keluarlah, Bu!" teriak Nirmala terus memanggil ibunya.
"Kamu tunggu di sini, aku pasti bawa ibu kembali," kataku meyakinkan Nirmala yang mulai menangis.
Aku, Kukuh dan Tommy memasuki gedung itu, entah lewat pintu nomor berapa. Gelap sekali di dalam sini, Tommy yang gendut itu mengarahkan senternya ke segala sudut. Kami hanya mendapati tembok bata merah yang kusam dan banyak coretan tangan-tangan usil. Tak ada barang apa pun di dalam. Instalasi listrik masih ada tetapi lampunya tidak ada yang menyala, entah korslet atau bohlamnya yang putus, sudah beberapa kali Kukuh mencobanya.
"Tempat apa ini sebenarnya?" tanyaku kepada Mas Kukuh.
Dia menjawab setengah berbisik, "Dulu dibuat jaman Belanda untuk menara pengawas pantai, lalu oleh Jepang dipakai untuk pabrik piring, Pak. Mereka menyebut tempat ini kostin."
"Tampaknya belum terlalu lama mangkrak?" Aku penasaran.
"Setelah kemerdekaan pernah dimanfaatkan untuk pabrik gula, ikan, lalu beras, tetapi tak sampai bertahun-tahun selalu bangkrut. Kebanyakan pegawainya tidak betah, seram."
Gedung ini luas, dan ada beberapa sekat dinding. Kami memeriksa satu-persatu ruangan tanpa bersuara, berharap jika ibu berjalan maka kami akan mendengarnya.
Kosong, tak ada perabotan apa pun. Hanya kegelapan dan sekat-sekat dinding bata. Sepi, tak ada suara selain deburan ombak di pantai yang bergema di dalam sini.
"Se-- sebaiknya kita kembali ke luar pak!" bisik Tommy merinding. Dia dengan cepat berbalik badan dan mengarahkan senternya ke kaki kami.
"Ada apa?" sahut Mas Kukuh lirih.
"Tapi saya harus menemukan ibu mertua saya, Mas!"
"Di pojok! Di pojok itu, Pak!" Genderuwo! Saya tidak berani melihatnya!" Menyerahkan senternya padaku lalu bersembunyi di belakang kami sambil memegang erat lengan kami.
Srak!
Srakk!
Belum sempat ku arahkan senter ke arah yang dimaksud Tommy, terdengar suara langkah seseorang.
Aku arahkan senterku ke sumber suara itu. Sekelebat bayangan berlawanan arah dengan cahaya senter yang kugeser ke samping kanan. Sosok itu bergerak berkelebat ke kiri!
"Ibu Siti! Tunggu!" teriakku dan segera mengejarnya. Sosok itu ke lorong arah pintu keluar. Kami bertiga mengejarnya, dengan cahaya senter yang terguncang karena aku berlari.
"Ibu, tunggu!"
Tiba-tiba ada cahaya yang begitu terang dari arah luar bangunan menyilaukan pandangan kami.
"Mas Kukuh! Bagaimana keadaannya?" kata salah satu dari dua orang yang datang dari arah berlawanan.
"Barusan lewat sini, apa kalian tak melihatnya?" tanya Mas Kukuh kepada mereka.
"Tidak ada apa-apa selain kalian bertiga! Sungguh!" kata Damar yang ternyata waktu di pantai tadi ditelepon Mas Kukuh agar kesini.
"Sial! Bagaimana mungkin ini terjadi? Jelas-jelas tadi ibu keluar lewat lorong ini!" teriakku kesal.
"Saya rasa saya tahu apa yang terjadi, dan di mana kita harus mencarinya," kata seseorang yang datang bersama Damar.
"Siapa Anda?" tanyaku.
"Kenalkan ini Pak Edi," sahut Damar.
"Sudah, basa-basi nanti saja. Ayo ikut saya kalau ingin menemukan ibumu!" sahut Pak Edi dan bergegas menuju sisi belakang bangunan.
"Ayo, Pak!"
"Tunggu. Mas Tommy sebaiknya kembali ke mobil. Kalau perlu ajak Pak Ricky mengantar dulu Bu Nirmala dan Bu Nopi agar menunggu di hotel saja!"
"Baik, kalian hati-hati!" jawab Tommy.
Aku, Kukuh, dan Damar mengejar Pak Edi yang sudah agak jauh. Kami berempat melintasi sisi kostin menuju sebuah bukit. Hingga kami tiba di sebuah mulut gua.
Pak Edi berhenti, menegadahkan tangannya seakan sedang berdoa. Aku arahkan senterku ke mulut gua itu, ada jejak bekas langkah. Itu pasti jejak ibu! Aku hendak berlari ke dalam gua tapi Damar menahanku.
"Tunggu! Sabar dulu, Pak! Jangan gegabah!" kata Damar.
"Gua ini ada banyak cabangnya, Bapak bisa tersesat!" lanjutnya.
Mendengar hal itu, aku menahan diri. Berusaha agar tidak menambah masalah. Pikiranku kalut, tidak paham apa yang terjadi.
Mas Kukuh dan Damar mengajakku menjauh dari Pak Edi ke arah pantai.
"Beri waktu sebentar, Pak. Biar Pak Edi berusaha menemukan keberadaan Ibu Siti," kata Mas Kukuh.
"Apa-apaan ini, kenapa kamu tawarkan lokasi ini untuk foto prewed? Kacau semua, kacau!" bentakku kepada Mas Kukuh.
"Maaf, baru kali ini terjadi. Sumpah, Pak!" jawabnya.
"Jadi tempat apa itu sebenarnya? Bagaimana Pak Edi bisa tahu kalau ibu ke gua ini?"
"Sebenarnya saya yang memberi saran tempat ini ..." kata Damar menengahi, "kostin itu peninggalan dua jaman, Belanda dan Jepang. Saya sebenarnya aktivis geologi yang sedang bekerjasama dengan komunitas sejarah dan fotografer punya tujuan mempromosikan tempat ini sebagai obyek wisata sejarah dan geologi. Dengan aspek historis dan keindahan alamnya, lokasi ini bisa juga menjadi pusat studi sejarah dan arkeologi."
Sementara menunggu Pak Edi, aku mendengarkan cerita Damar.
"Dua koloni Inggris yaitu Malaysia dan Singapura telah dikalahkan dalam waktu cepat oleh Jepang. Selanjutnya Jepang menyerang kemari. Perang Laut Jawa, di mana angkatan laut Kaigun sukses menenggelamkan sepuluh kapal perusak dan kapal penjelajah milik Sekutu, maka Rikugun (Angkatan Darat Kekaisaran Jepang) pun bersiap mencaplok pulau Jawa sebagai sasaran utama dan wilayah kunci menguasai Hindia-Belanda alias Indonesia.
Tepatnya pada 1 Maret 1942, pasukan Jepang mendarat di Teluk Banten, Eretan Wetan (Indramayu), juga di pantai R*mb*ng ini. Banyak korban berjatuhan saat peperangan di pantai ini sebelum pihak Belanda melarikan diri dan menyerah kemudian hari.
Saudara Tua, begitu kita menyambut kedatangan mereka. Sebelum akhirnya kita tahu dampaknya, penjajahan yang lebih kejam walau hanya tiga setengah tahun," tutur Mas Damar.
"Lalu apa kaitannya dengan hilangnya ibu mertuaku? Apa hubungannya juga dengan kostin dan gua ini?" tanyaku tak sabar.
"Kostin tersebut adalah bekas pabrik piring, dibangun oleh Belanda lalu direbut Jepang. Salah satu bahan baku pembuatan piring adalah kalsium karbonat atau batu gamping CaCO3. Gua ini bukan gua alami 100% karena pembentukannya adalah akibat dari aktifitas manusia yaitu para romusha yang melakukan penggalian batu gamping atas paksaan Jepang. Konon banyak yang meninggal saat romusha di dalam sana, dibunuh atau tertimpa longsoran," jawab Mas Damar menjelaskan.
"Baiklah, katakan saja kita tahu sejarah tempat ini. Lalu apa kaitannya dengan calon mertua saya?" desakku.
"Tadi waktu Mas Kukuh menelepon, saya juga tidak percaya. Maka dari itu saya cari Pak Edi. Menurut penerawangannya ...." Belum tuntas Damar berbicara, tampak Pak Edi berkomunikasi dengan seseorang.
Astaga!
Aku tahu orang itu!
"Betulkah yang saya lihat, Pak Dharma? Itu kan pengemis yang di lampu merah tadi siang?" tanya Mas Kukuh.
"Benar sekali, Mas! Siapa dia sebenarnya?" Aku begitu penasaran.
Tak lama kemudian sosok pengemis itu pergi, menghilang di kegelapan pohon-pohon sekitar gua. Pak Edi memanggil kami.
"Ibu mertua kamu diganggu gerombolan makhluk halus. Justru dia diselamatkan oleh penjaganya dengan disembunyikan di gua ini," ucap Pak Edi.
"Siapa tadi, Pak? Apa maksudnya penjaga?" tanyaku kebingungan.
"Kamu tidak perlu tahu. Hanya ada satu orang yang boleh masuk untuk menemukannya dan mengungkap kejadian ini. Sementara saya harus berjaga di pintu gua ini," lanjut Pak Edi.
Aku, Kukuh, dan Damar saling berpandangan. Bagaimana sekarang?
"Biar saya yang masuk mencarinya, saya yang bertanggung jawab atas pemotretan ini!" kata Mas Kukuh.
"Tidak bisa!" sela Damar. "Hanya saya satu-satunya yang paham arah cabang-cabang di dalam gua ini. Kalaupun tersesat apakah kamu bisa bertahan hidup dan keluar dari gua?"
"Tapi ini bahaya, Mas!" Aku menahan pundaknya.
"Kamu tahu ujung gua ini? Kita berada di salah satu dari tiga ujung gua di utara. Kalaupun bisa bertahan hidup, bagaimana jika jauh tersesat ke arah selatan? Kamu bisa sampai Pulau Madura. Saya juga yang memberi lokasi pemotretan ini. Jadi saya yang seharusnya masuk!" Mas Damar bersikeras.
"Cukup! Tidak perlu berdebat! Dia ibu mertua saya. Apapun risikonya, sayalah yang bertanggung jawab! Apalagi jika terjadi sesuatu pada kalian nanti?" kataku dengan agak emosi.
Mereka terdiam. Aku melangkah ke pintu gua, menyalakan senter milik Pak Ricky yang masih kugenggam. Aku mantapkan niat. Menarik nafas panjang, menenangkan diri dan berdoa. Bagaimanapun aku harus menemukannya.
"Bismillah ...."
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Jans🍒
scara ga lgsung w blajar sjarah, cara jitu bljar sjarah biar ga ngantuk
2021-11-15
0
Asih
nah kpan hari kawanku ada main ke pantai R ini, lha lokasine ki enek di pantai R kah mas othor, atau beda. soalnya aku ada rencana pengenain kesana 😍😍😍
2021-06-17
2
Isnaaja
keren ceritanya.perpaduan sejarah dan misteri.👍👍
2020-12-01
0