"Dibandingkan dengan Rosyid dan Yanuar, hanya saya yang belum terlalu mabuk sehingga sayalah yang memboncengkan mereka berdua," ujar Panji mulai bercerita.
"Saat akan melintasi makam itu, Rosyid yang duduk di tengah berteriak karena melihat sosok perempuan berbaju merah itu. Saya tidak begitu jelas melihatnya. Sementara Rosyid meyakinkan saya, ternyata di hadapan kami ada barisan tentara menodongkan senjata pada satu tentara yang sedang membelah perutnya.
"Kejadiannya tepat di sebelah gapura makam. Kontan saja kami panik, saya pun memacu motor lebih kencang. Entah kecepatan 70 atau 80 km/jam saat sudah hampir melewati makam, saya kira sudah aman."
"Ternyata belum?" tanyaku menyela.
"Di jalan turunan itu justru kami celaka. Seperti ada bayangan sekelompok orang berdiri di tengah jalan menghadang kami. Begitu jalan menurun baru tersorot lampu motor bahwa orang-orang itu tidak menapakkan kakinya di tanah. Mereka masing-masing tergantung tali di lehernya, di pohon beringin tua itu. Seperti barisan orang dieksekusi hukuman gantung," lanjut Panji.
"Jadi kalian terjatuh karena menghindar dari hadangan mereka?"
"Betul sekali, Pak. Saya menghindari ke sisi kanan jalan, tetapi saya lupa kalau ada parit di situ. Kami pun terjatuh. Orangtua saya tidak akan pernah percaya cerita saya, tapi saya tahu pasti kalau Pak Dharma pasti percaya," kata Panji sambil menatapku.
"Saya tidak yakin, Panji. Tetapi jika penampakan itu hanya imajinasi, sepertinya tidak mungkin kita melihat hal yang sama," jawabku agak ragu.
"Pak, saya sejak kecil tinggal di sini tetapi baru kali ini saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Sebelumnya saya juga tidak percaya cerita-cerita orang tentang adanya hantu di makam itu," kata Panji meyakinkan aku.
"Baiklah, Panji. Saat ini fokuslah pada kesehatanmu. Cukup temanmu yang meninggal sia-sia. Buat masa depanmu lebih berarti," nasehatku padanya.
Kulihat Panji menitikkan air mata. Terlihat dari raut wajahnya ada penyesalan di sana. Apalagi ketika dia melihat ujung jempol kaki kanannya yang hanya tinggal separuh itu. Ditambah lagi ternyata tulang pahanya yang kiri retak. Aku pikir memang selalu ada hikmah di setiap kejadian. Kita hanya tinggal membuka hati untuk menyadarinya.
"Panji. Dengan luka-luka kamu saat itu, saya salut kamu sanggup berjalan mencari pertolongan begitu jauhnya. Ada lowongan teknisi di perusahaan saya, kami butuh orang-orang dengan semangat sepertimu," ucapku menghiburnya dan berusaha memberikan hal positif kepadanya.
"Terima kasih, Pak. Pasti saya masukkan lamaran kalau sudah agak sembuh!" jawabnya.
"Bagus, semangat ya!" seruku sambil memegang pundaknya.
"Pak, tahu teman saya yang meninggal itu?"
"Si Rosyid kan? Kenapa?"
"Terakhir kali saya meninggalkan mereka, sebetulnya karena saya melihat lagi perempuan yang berbaju merah itu berdiri di sebelah tubuh Rosyid," kata Panji.
Seketika aku merinding mendengarnya. Entah apa sebabnya. Ini terlalu aneh.
Yang aku tahu setiap orang sudah punya takdir kematiannya sendiri. Tidak akan bisa dimajukan ataupun dimundurkan. Tetapi kematian seperti ini? Apakah bisa disebut murni kecelakaan?
***
Kakiku kini tak begitu nyeri. Dua minggu sudah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Situasi rumah juga kondusif karena banyaknya anak buah Pak Asmudi, rumah ini begitu ramai. Aman. Semoga terus begini seterusnya hingga beberapa minggu ke depan sesuai jadwal renovasi. Aku pun bisa istirahat dengan santai. Tampaknya hal mistis di rumah ini sudah tiada lagi. Tidak ada peristiwa seram lagi. Semoga.
Saat ini jam kerja memang telah usai sore tadi tetapi beberapa orang belum juga mandi hingga selesai Isya ini. Kudengar beberapa kali anak buah pak Asmudi keluar masuk kamar sebelah untuk berganti pakaian ataupun mengambil sesuatu. Pakaian dan tas mereka di taruh di kamar nomor dua itu. Sedangkan mereka nanti tidurnya di ruang tamu. Lima belas orang dewasa, laki-laki semua.
Aku keluar dari kamar, kulihat ada yang rebahan menonton TV. Beberapa nongkrong di teras sambil ngopi dan bermain gitar. Ada juga yang menyendiri di samping rumah, sibuk menelepon atau bergawai ria.
Aku dan Nirmala yang sedang chat di gawai begitu bersemangat untuk besok pagi. Setelah penundaan jadwal beberapa kali dan negosiasi dengan fotografer, akhirnya kami sepakat. Besok adalah jadwal sesi foto preweddingku dengan Nirmala. Lokasinya sudah kami tentukan di pantai dengan dua sesi pemotretan yaitu sore dan malam hari.
***
"Pilihan yang tepat, cocok buat foto prewed. Pasti hasilnya nanti bagus!" seru Pak Ricky sopir carteranku saat kami memasuki wilayah kabupaten sebelah.
"Iya tentu, itu lokasi terbaik selama ini," jawab Mas Kukuh fotografer kami yang duduk di kursi belakang bersama asistennya.
Nirmala yang duduk di kursi tengah di antara aku dan Bu Nopi perias beberapa kali bertanya, "Ibu masih tahan kan?" Terlihat ibu hanya mengangguk.
"Masih jauh, Pak? tanyaku pada pak sopir.
"Dua puluh menit lagi sudah sampai kok," jawabnya.
Wajar saja aku bertanya karena khawatir akan Bu Siti. Calon mertuaku itu terlihat kurang enak badan. Meskipun duduk di depan tetapi memang beliau selalu mabuk jika naik mobil.
Nirmala yang begitu menyayangi ibunya tentu tidak bisa menolak saat ibu ingin ikut menyaksikan pemotretan prewed anak satu-satunya itu.
"Atau kita berhenti dulu cari angin?" tanya Pak Ricky.
"Tenang saja. Ibu ga apa-apa kok. Sekalian rekreasi ini," jawab ibu mencoba menghibur kekhawatiran kami.
Sebagai suatu momen sekali seumur hidup, sudah sepantasnya kami persiapkan pernikahan ini secara matang. Foto prewedding pun perlu direncanakan sedemikian rupa sebagai bagian tak terpisahkan dalam prosesi pernikahan. Aku dan Nirmala seperti umumnya orang-orang jaman sekarang menganggap prewedding sebagai suatu momen istimewa.
Setelah mempertimbangkan beberapa lokasi foto prewed, akhirnya kami memilih Pantai yang terletak di Desa W*t*s yang ada di kabupaten sebelah.
"Nah setelah tikungan itu kita sampai," kata Pak Ricky saat sampai di perempatan lampu merah. Antrian di depan cukup panjang dan terlihat timer lalu lintas masih 50 detik lagi sebelum berganti lampu hijau.
Tiba-tiba seseorang menggebrak kaca samping mobil kami.
"Kembali! Kembali! Jangan ke sana!" teriaknya.
Kami semua kaget. Orang itu terus berteriak, sementara kami tidak paham apa maksudnya. Nirmala mengeluarkan selembar uang karena mengira orang itu pengemis, dan memang penampilannya layaknya pengemis. Tetapi orang itu tidak mengambilnya.
Lampu lalu-lintas sudah berubah hijau, mobil kami mulai berjalan tetapi orang itu masih mengikuti dan terus mengetuk jendela.
"Jangan ke sana! Kembali! Kembali Sridiah!" teriak sosok pengemis itu terakhir kali sebelum mobil kami meninggalkannya dan berbelok ke arah pantai.
"Aneh-aneh saja orang sekarang. Ngemis kok dikasih uang tidak mau?" gerutu pak Ricky.
"Mungkin orang gila itu, Pak!"
"Wong edan kui bebas. Hahaha!" sahut mas Kukuh dan asistennya
Hoekk!
Hoeekkk!
"Yaaah ... sudah hampir sampai malah muntah, Ibu," kata Nirmala yang sedang memijat pundak dan leher ibunya sambil mengoleskan minyak masuk angin.
"Maaf ya, semuanya! Maklum ibu saya ini memang tidak biasa naik mobil. Malahan dulu waktu bapak kerja di luar pulau diajak naik pesawat atau kapal juga ga berani," tambahnya.
"Ah, sudah biasa itu. Ibu saya malah tidak berani angkat telepon di HP," sahut pak Ricky yang membuat seisi mobil tertawa terbahak-bahak.
Kecuali aku.
Iya, aku tak ikut tertawa.
Aku masih memikirkan perkataan pengemis tadi. Aku mendengar dengan jelas kata-kata terakhirnya tadi: "Jangan ke sana! Kembali! Kembali Sridiah!"
Sridiah?
Bukankah itu nama jugun ianfu yang meninggal secara tragis itu?
Bukankah itu adalah nama nenek Nirmala yang bahkan Bu Siti sendiri belum tahu?
Aku yakin aku tidak salah dengar. Pengemis tadi menyebut nama "Sridiah" dengan sangat jelas.
Ada apa ini sebenarnya?
Apakah sebaiknya aku ceritakan yang sebenarnya kepada Bu Siti dan Nirmala sekarang?
"Ayo, Mas. Sudah sampai hotel kok malah bengong. Kamu kenapa?" tanya Nirmala kepadaku ketika yang lainnya turun dari mobil.
"Oh i--iya. Tidak apa-apa kok," sahutku terkaget.
***
Kami memulai sesi pertama di kawasan konservasi mangrove, terdapat jembatan dan cerobong pembakaran tua yang menjadi 'ikon' spot yang fotogenik. Apalagi ditambah dengan adanya pepohonan bakau di samping kanan dan kiri membuat terasa lebih naturalis.
(ilustrasi)
Terletak persis di tepi jalan pantura dengan suguhan panorama alami berupa kolaborasi antara pasir putih dan bebatuan karang yang indah. Seakan seperti berada di atas bentangan gurun pasir. Di sini terdapat timbunan pasir putih yang berjajar apik seperti deretan pegunungan sehingga tampak cantik. Panorama pasir putih menambah eksotisme pantai bak pemandangan di Raja Ampat atau Tanah Lot.
Tetapi semua keindahan itu tak bisa mengalahkan pesona Nirmala di mataku. Penampilannya dalam balutan gaun panjang sutra warna putih dengan aksen bunga mini bahan logam di seluruh gaun dengan lengan panjang mengembang. Kerudung putih transparan yang dia kenakan membuatnya terlihat sangat memesona.
"Cerobong pembakaran tua ini bisa menjadi lambang bahwa kelak hubungan Pak Dharma dengan Ibu Nirmala akan tetap langgeng dan kokoh meskipun telah lama berumah tangga," kata Mas Kukuh saat menyiapkan peralatan bersama asistennya.
"Amin ... terima kasih doanya," jawab Nirmala yang masih dibenahkan bedaknya oleh Bu Nopi perias.
Ibu Siti pun tampak begitu bahagia meski wajahnya masih agak pucat, mungkin sisa mabuk di perjalanan tadi.
(ilustrasi)
Alhamdulillah sesi pertama berjalan lancar. Setelah ishoma, kami bersiap melakukan pemotretan sesi kedua, sekaligus sesi terakhir. Mas Kukuh memang benar, di kala sunset kesan tenang dan tenteram pantai ini lebih terasa dengan ditemani deburan ombak lautan dan hiasan bintang-bintang di langit. Terlihat background panorama sunset jingga merona yang indah ditambah dengan semilir tiupan alami angin laut dan deburan ombak.
(ilustrasi)
Kami sedang melakukan beberapa shoot dengan latar romantis ditemani keindahan alam yang menakjubkan. Hingga tiba-tiba Mas Kukuh berhenti menggunakan kameranya. Celingukan seperti ada obyek yang mengganggu di belakangku dan Nirmala.
"Lho, Bu Siti mau ke mana itu?" ucap asisten Mas Kukuh yang sedang memegang lampu efek.
Aku dan Nirmala menengok kebelakang. Khawatir dengan ibu yang berjalan sendiri ke bibir pantai.
"Bu! Ibu mau kemana?" seru Nirmala yang tak dihiraukan ibunya.
Tentu saja kami semua panik karena ibu tak menjawab, bahkan terus menjauh ke arah pantai yang gelap.
Melihat akan kemungkinan bahaya, aku pun berjalan agak cepat ke arah Bu Siti meninggalkan Nirmala berdua dengan Bu Nopi. Di belakangku ada Mas Kukuh dan asistennya yang mengikuti. Tetapi Ibu Siti tak pedulikan panggilan kami.
Kami terpaksa berlari sambil berteriak memanggilnya. Semakin menjauh dari penerangan lokasi pemotretan dan sunset yang kian tenggelam membuat Bu Siti yang terus berjalan semakin tak terlihat.
"Ibu! Ibu di mana?" teriakku sambil terengah-engah dan berhenti persis di hempasan ombak. Pak Ricky yang semula standby di mobil juga iku mengejar sambil membawa senter. Mas Kukuh dan asistennya kebingungan mencari jejak ibu Siti.
Hilang!
Ini tidak mungkin!
Ibu hilang begitu saja!
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Lusiana_Oct13
isssss dah di cakap tak usah kesane same pengemis tu masih je kesane geram ee
2021-09-26
0
silviaanugrah
Hai thor, 10 like mendarat di ceritamu. 😍
Semangat yaaa. Feedback ke cerita aku yaa, kita saling support 😍
2020-12-24
1
Mei Shin Manalu
Nahhh ibunya ke mna tuh??? 😱
2020-08-15
0