Melewati sawah-sawah dengan padi yang kian menunduk pertanda memasuki masa panen itu aku melihat dari kejauhan rumahku begitu ramai. Banyak warga sekitar berkerumun.
Aku segera memarkir motor dan menuju pusat keramaian. Betapa terkejutnya aku ketika melihat anak buah pak Pasmudi yang kemarin kesurupan sedang mengayun-ayunkan sebuah katana, pedang samurai Jepang berukuran sekitar 70cm. Dia terus meracau dalam bahasa jepang yang tidak aku mengerti, hanya ada satu kata yang aku ingat karena diucapkannya berulang-ulang.
Shi!
Shi, shi, shi!
Begitu teriaknya hampir setiap kali saat mengayunkan katana. Tentu saja aku tak paham artinya.
Beberapa ibu-ibu berteriak histeris karena melihat salah seorang anak buah Pak Asmudi bercucuran darah di pahanya dan seorang lagi terluka di punggungnya. Sementara orang-orang tidak ada yang berani mendekat.
Segera aku mengambil tangga kayu di samping rumah dan meringsek ke arah anak buah Pak Asmudi yang kerasukan itu. Aku hantamkan dari sampingnya.
Brakkk!!!
Tangga yang terbuat dari kayu jati itu mengenai punggungnya. Dia terjatuh, dan juga katananya. Matanya melotot, terlihat begitu marah lalu berteriak dalam bahasa Jepang hendak menyerangku!
Kali ini pak Asmudi membantuku mengarahkan ujung tangga ke arahnya sebelum dia memungut katana itu kembali. Bersama-sama kami mendorongnya.
Sekarang dia terjepit diantara ujung tangga dan pohon asam. Anak buah Pak Asmudi yang lain segera membantu, menyingkirkan katana, dan menggotong korban luka. Warga kampung juga membantu kami membawa yang terluka ke rumah sakit.
Ada tetangga yang membawa tali tambang, dibantu oleh yang lainnya mengikat orang yang kerasukan itu di batang pohon asam tadi. Dia masih teriak-teriak dan berontak.
Semua terjadi begitu cepat. Aku merasakan pikiranku kosong, blank. Aku tidak mampu berlogika, apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah Pak RT datang dan mengendalikan keadaan, aku mengajak Pak Asmudi ke rumah sakit di mana warga membawa dua korban luka tadi. Mereka sudah dipindahkan dari UGD ke ruang perawatan. Dari penuturan mereka, ternyata katana tersebut ditemukan di bawah lantai kayu dapur.
Saat itu Rudi, anak buah Pak Asmudi yang dua kali kesurupan itu tanpa arahan tiba-tiba membongkar ubin kayu.
Saat itu Rudi, anak buah Pak Asmudi yang dua kali kesurupan itu tanpa arahan tiba-tiba membongkar ubin kayu. Ketika Kukuh dan Gito mendekatinya dan bertanya apa yang sedang Rudi lakukan, mereka melihat Rudi seperti diluar kesadarannya menggali tanah dengan cangkul seakan mencari sesuatu di bawah sana.
Bahkan dengan liar tangannya mengais dan membuat tanah berserakan di dapur itu. Lalu Rudi menemukan sebuah koper hijau dan mengambil katana dari dalam koper itu lalu tiba-tiba menyerang mereka dengan kesetanan.
"Aku akan menanggung semua biaya pengobatan ini," kataku kepada Pak Asmudi. "Untuk sementara Pak Asmudi tinggallah di rumah sakit ini merawat mereka."
***
Sesampainya di rumah ternyata sudah ada pihak kepolisian dan beberapa tokoh desa. Sedangkan Rudi yang tadinya kesurupan tampaknya sudah "dinetralkan".
Dengan terpaksa aku meminta beberapa anak buah Pak Asmudi untuk mengantarnya pulang karena memang di antara tenaga renovasi yang lainnya hanya dia yang kerasukan, bahkan dua kali.
Ditengahi oleh Pak RT, kami mengadakan rapat kecil. Pihak kepolisian dan tokoh-tokoh masyarakat menyarankan agar untuk sementara koper hijau itu aku simpan hingga pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya datang memeriksa.
Di hadapan kami koper hijau dari kain itu telah dibuka dan dikeluarkan semua isinya. Ada beberapa foto, kertas lilin, koran kliping, buku catatan, uang logam, serta tiga ikat uang kertas. Tiga ikat uang Jepang itu terdapat dua versi yaitu berbahasa Belanda dengan dengan satuan mata uang Gulden, dan bahasa Indonesia dengan satuan mata uang Roepiah.
Lalu bagaimana dengan katana?
Menurut salah satu polisi yang ada disana, katana tersebut adalah perlengkapan militer (Gunto). Karena dianggap cukup membahayakan, untuk sementara katana itu akan disimpan di kantor kepolisian. Aku sempatkan memfoto katana tersebut sebelum mereka bawa.
Sekarang tinggal empat anak buah Pak Asmudi dan aku di rumah ini. Kami sedang mengobrol ringan ketika Bu Aisyah, tetanggaku yang selama ini aku percayai memasakkan makanan untuk para tenaga itu datang membawa makan malam.
"Yang lainnya mana, Pak?" tanya Bu Aisyah kepadaku.
"Tiga orang pulang kampung, Bu. Sedangkan Pak Asmudi sedang menemani dua orang yang di rumah sakit."
"Sabar ya, Pak Dharma. Semoga kejadian-kejadian aneh cepat berlalu. Memang selama ini penghuni rumah tidak pernah ada yang betah. Sering diganggu!"
"Ibu kenal dengan Bu Martini?" tanyaku seketika teringat perkataan Pak Modin tentang Martini.
"Oh iya, Pak. Memang Bu Martini itu punya sejarah di tempat ini. Dia tinggal di desa sebelah. Rumahnya di ujung gang masjid besar itu", jawab Bu Aisyah.
***
Pagi-pagi Nirmala meneleponku, menanyakan rencana jalan-jalan malam minggu ini. Aku sadari karena kesibukan merenovasi rumah dan juga mengungkap misteri rumah ini telah mengalihkan perhatianku.
"Tentu saja sayang, nanti malam aku jemput ya," jawabku.
Sebenarnya aku ingin berbagi cerita yang kualami beberapa hari terakhir. Tapi bagaimana mungkin, ini akan merusak surprise pernikahan nanti. Jadi aku masih menyimpan rapat tentang rumah ini.
Empat orang tenaga sudah mulai bekerja memotong besi dan membuat rangka pondasi. Sedangkan aku berangkat mencari keberadaan Ibu Martini, saksi hidup sejarah kelam rumah ini. Aku membawa serta beberapa foto tua yang tertindih buku catatan di dalam koper hijau penemuan kemarin.
Setelah bertanya kepada beberapa orang akhirnya aku menemukan rumah Bu Martini. Rupanya berita kemarin membuatku sedikit terkenal hingga desa ini. Keluarga Bu Martini dengan ramah menyambutku.
"Silahkan diminum, Pak. Maaf cuma ada teh, tidak ada kopi," kata anak tertua Bu Martini.
"Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan. Saya juga lebih suka teh kok," jawabku sambil tersenyum ramah.
Beberapa menit aku menunggu Bu Martini yang sedang melihat foto-foto yang aku bawa tadi untuk mengembalikan ingatannya.
Wanita tua itu sekarang sudah lumpuh, hanya berbaring setiap harinya. Untuk duduk bersandar pun tadi dibantu anaknya. Bu Martini sudah berusia sekitar 85 tahunan. Sebetulnya aku merasa iba dan khawatir akan membuka luka lamanya. Tapi aku tidak punya pilihan karena hanya dia saksi hidup yang ku tahu.
"Terima kasih, Nak. Rahasia yang selama ini terkubur sudah ditemukan. Sekarang ibu sedikit lega," kata Bu Martini.
Aku terdiam, tak paham sama sekali apa maksudnya. Tentu saja aku terkejut melihat foto yang dipegangnya, sebuah foto gadis remaja berwajah bule cantik dengan pakaian ala Jepang.
"Andai saja dulu aku tak secantik ini" katanya sambil memperlihatkan salah satu foto dariku tadi, mulai bercerita sambil memegangnya.
***
Martini, seorang gadis keturunan campuran Indo-Belanda dari kakeknya. Saat itu bahkan baru berusia sembilan tahun ketika Pak Lurah datang bersama dua orang berpakaian dinas tentara Jepang lengkap dengan pistol dan samurai di pinggangnya. Kepada orangtua Martini, dikatakan bahwa dia akan dijadikan penyanyi. Orangtua Martini sebetulnya tidak percaya dan berdebat dengan Pak Lurah, tetapi mereka tidak berani melawan.
Lalu tentara-tentara itu membawa Martini kepada seorang komandan bernama Harada di barak militer, yang kini sebagian menjadi rumah baruku itu.
Malam pertama di sana Martini dimandikan, dikeramasi, dibedaki dan disalini baju oleh Harada persis seperti boneka. Martini takut kepada komandan itu tapi tidak berani berteriak ataupun menangis.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
IG: _anipri
inikah racauannya?
2023-03-09
0
Lusiana_Oct13
jadi kyk mengenang sejarah baca nya BAGOSSSSSS AKOH SYKAAAA
2021-09-26
0
Lusiana_Oct13
woooooowwwv bab ke 2 mkn bgs 👍👍👍👍👍👍
2021-09-26
0