Pagi harinya aku terbangun. Laptop dalam kondisi standby. Saat aku aktifkan, ternyata media player-ku saat itu selesai memutar film horor.
Terdengar nada lowbat dari gawaiku. Aduh, ternyata Nirmala tadi malam misscall puluhan kali, sedangkan HP-ku dalam mode auto silent di malam hari jadi tidak terdengar.
Aku coba mengingat kejadian semalam. Mengurai dengan logika. Aku sedang menyiapkan laporan mingguan tugas kantor. Lalu aku streaming melihat film sekedar untuk hiburan. Di laptop sudah jelas adalah film horor yang aku putar. Jadi mungkin saja aku berhalusinasi melihat penampakan.
Ah, bukankah orang yang sudah meninggal itu berbeda alamnya? Mengapa hantu menampakkan diri mengganggu manusia? Kurang kerjaan.
Apakah aku mulai terpengaruh film atau bacaan tak masuk akal yang aku konsumsi sebagai hiburan itu? Sebaiknya aku berhenti menonton ataupun membacanya.
Segera aku telepon Nirmala dan meminta maaf bahwa semalam ketiduran waktu dia telepon. Dia bisa mengerti, dan menyuruhku jangan terlalu memforsir pikiran pada masalah pekerjaan. Tentu saja aku masih merahasiakan tentang rumah ini, untuk kejutan di hari pernikahan nanti.
***
Aku hanya sebentar di kantor karena ada janji siang harinya Pak Asmudi dan sembilan orang anak buahnya akan datang ke rumah. Sesuai kesepakatan, mereka akan merenovasi bagian belakang rumah. Mereka tenaga profesional yang paling bisa kuandalkan. Karena rombongan mereka dari kabupaten sebelah, daripada menyewa rumah lebih baik menginap di rumahku saja.
Sementara mereka mulai bekerja, akupun kejar tayang menyelesaikan pekerjaan kantorku. Tak kusangka, mendekati jam empat sore di halaman belakang rumah terdengar ribut-ribut.
Kepada salah satu anak buah Pak Asmudi aku bertanya, "Ada apa ini ribut-ribut?"
"Ada yang kesurupan di dekat pohon asam, Pak!" jawabnya sambil menunjuk kerumunan di halaman belakang.
Segera kudekati kerumunan itu. Kulihat anak buah Pak Asmudi yang katanya kesurupan itu terbaring dengan tangan bersedekap.
Tubuhnya terbujur kaku beralaskan tanah. Matanya melotot menampakkan urat-urat merah dengan tatapan kosong. Posisi kedua bola matanya juling, tidak sejajar dan melihat ke titik arah yang berbeda. Berkali-kali lidahnya menjulur keluar, meneteskan air liur di salah satu sudut mulutnya.
Sementara teman-temannya berusaha dan berdoa menyadarkannya, Pak Asmudi mendatangiku.
"Maaf, Pak Dharma. Saya harap kejadian ini tidak mengganggu pekerjaan," katanya lirih merasa bersalah.
Aku menghargai profesionalismenya. "Bagaimana dia, tidak apa-apa kah?"
"Biar kami atasi, Pak. Silakan di dalam rumah saja."
"Ya sudah, kalau butuh apa-apa bilang saja. Kasihan mungkin dia sedang sakit," balasku menenangkannya. Namun, sebenarnya aku tak habis pikir.
Bagaimana orang bisa kesurupan?
Apakah ada kelainan psikologi?
Sedang banyak beban masalah?
Apakah hal ini ilmiah?
Pura-pura?
***
Hari ini aku tidak ke kantor, sudah kukabari kepala produksi untuk meng-handle pekerjaan. Seperti biasa, akhir tahun tidak ada proyek pemerintah hingga bulan April. Sementara produksi beton ready mix hanya untuk melayani beberapa permintaan proyek swasta. Laporan mingguan sudah aku email ke kantor pusat.
Pak Asmudi beserta anak buahnya melanjutkan pekerjaannya dengan progres yang baik. Jadi aku menyempatkan diri ke kelurahan untuk mengumpulkan administrasi kependudukan. Sekalian berkenalan karena aku warga baru di sini.
Para petugas di kelurahan sangat ramah. Mengetahui bahwa aku tinggal di rumah angker itu mereka merespon positif. Namun, sebagian ada juga yang nyinyir.
"Ah, paling seperti yang sebelum-sebelumnya, belum ada satu bulan sudah dijual lagi," tukas seorang ibu berseragam dan berkacamata.
"Itu lebih baik daripada yang akhirnya celaka?" jawab rekan di sampingnya.
"Sudah berapa kali yang celaka di situ?"
"Sampai lupa," sahut yang lainnya.
Dari bisik-bisik di kantor itu seakan aku menghadapi sebuah teka-teki. Aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri.
Mengapa begitu sering berpindah kepemilikan?
Apakah benar ada sebuah misteri tersembunyi di sana?
Benarkah selama ini cerita yang beredar tentang kejadian-kejadian di rumah itu nyata adanya?
Setelah keluar dari kantor kelurahan aku dikagetkan seseorang yang menepuk pundakku.
"Ayo silakan, Mas. Ngopi dulu!" desaknya.
"Terimakasih Pak Modin, kapan-kapan saya mampir lagi," balasku singkat dan bersiap menaiki motorku.
Namun, dia tak melepaskan tangannya dari pundakku. Orang tinggi hitam botak itu tersenyum kepadaku. Mata sebelah kanannya seperti terkena glaukoma dengan retina membengkak sehingga matanya terlihat seperti melotot. Pupilnya lebih dominan warna putih atau abu-abu. Dengan setengah terpaksa aku mengikutinya ke warung di bawah pohon beringin sebelah kelurahan.
Pak Modin, begitu orang-orang memanggilnya. Modin adalah istilah lain dari pamong desa. Pamong desa tidak digaji tetapi mendapat hak kelola sebidang lahan sebagai kompensasi, yang disebut tanah bengkok. Dimana tanah bengkok ini tidak dapat diperjualbelikan tapi boleh disewakan.
Siapa lagi yang lebih mengenal desa ini selain Pak Modin. Tidak ada! Bapak dan kakeknya secara turun temurun sudah pernah menjadi modin, bahkan dulu kakeknya adalah seorang kucho.
Tahun 1944 saat negeri ini masih dijajah oleh Jepang, dibentuk suatu sistem tata pemerintahan di mana setiap satu Tonarigumi (Rukun Tetangga) terdiri dari sekitar 20 rumah tangga. Setiap lima sampai enam Tonarigumi kemudian disatukan dalam satu struktur yang lebih tinggi, yang disebut Azzazyokai atau Chonaikai (Rukun Warga).
Sistem tata pemerintahan yang awalnya untuk kepentingan militer ini kemudian diadopsi untuk kegiatan administrasi kependudukan. Chonaikai itu dahulu sebenarnya ukurannya adalah satu kampung atau satu desa yang ketuanya disebut kucho (lurah), kakeknya Pak Modin dulu pernah dua kali menjadi kucho.
Jadi dia, Pak Modin adalah peluang satu-satunya untuk mendapat jawaban dari teka-teki tentang rumah yang itu. Tentu saja aku tidak ingin rumah tanggaku nanti bermasalah gara-gara tinggal di situ seperti pemilik-pemilik sebelumnya. Maka aku perhatikan dengan seksama cerita yang dia berikan.
Begini cerita yang disampaikan Pak Modin. Dahulu sebelum menjadi areal persawahan, daerah sekitar rumah itu adalah sebuah kamp militer Jepang yang dikelilingi hutan dan kebun tebu.
Dahulu ada banyak sekali romusha yang dikumpulkan secara acak oleh militer Jepang dari desa-desa lain. Rata-rata berumur 15 hingga 50 tahun, mereka diangkut dalam gerbong-gerbong kereta yang tertutup rapat hampir tanpa udara. Untuk memperkuat kedudukannya di Indonesia, pihak Jepang membutuhkan banyak tenaga romusha untuk kerja paksa membangun kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang senjata, gedung bawah tanah, jalan raya, rel kereta, jembatan, dan lain-lain di berbagai daerah strategis.
Para romusha yang berasal dari daerah sini awalnya diberi janji-janji upah yang menarik dan gelar "Pahlawan Kerja" tetapi pada kenyataannya mereka dijadikan budak. Kakeknya Pak Modin sendiri yang mendaftar mereka karena perintah komandan tentara Jepang.
Apa yang mereka bangun di desa ini pertama kali adalah gudang bawah tanah, sayang sekali belum pernah terungkap keberadaannya di sisi sebelah mana. Gudang bawah tanah itu sangat dirahasiakan demi kepentingan divisi khusus tentara Kekaisaran Jepang.
Mereka yang menjadi budak romusha atau yang pada jaman Belanda disebut "Kerja Rodi", dalam keadaan memprihatinkan. Hanya terlihat seperti kulit membungkus tulang tanpa daging, begitu kurus, kering. Bagi yang meninggal saat bekerja, atau yang dibunuh karena sudah kehabisan tenaga akan dibuang bertumpuk begitu saja di suatu galian. Itupun yang membuat galian dan membuang mayat adalah tenaga romusha yang lain, bukan tentara mereka. Hingga saat ini lokasi galian pembuangan mayat-mayat itu menjadi makam desa yang ada di dekat rumahku.
Sedangkan rumah yang aku tempati itu sendiri adalah bagian dari Ianjo (Rumah Bordil Militer) yang dulunya cukup besar. Rumah itu berbentuk memanjang yang telah disekat menjadi sekitar 36 kamar dengan dua lajur, yaitu 18 kamar di sisi kiri dan 18 kamar di kanan. Rumah panjang itu lebih mirip sebuah barak tentara.
Saat melakukan penyerangan melawan pihak sekutu di banyak tempat di Asia, para tentara Jepang menjadi jauh dari keluarganya selama berbulan-bulan. Keadaan ini membuat kondisi mental mereka mengalami gangguan, terlebih mereka yang sudah memiliki keluarga dan tidak bisa menyalurkan hasrat biologisnya. Untuk memenuhi kebutuhan seksual para prajuritnya, pimpinan militer Jepang menangkap gadis-gadis lokal untuk dipaksa menjadi budak pemuas nafsu seksual para prajuritnya. Gadis-gadis itu disebut "Jugun Ianfu" atau wanita penghibur yang harus melayani puluhan tentara setiap harinya.
Celakanya, gadis-gadis yang mereka pilih adalah yang cantik dan masih muda, berusia 10 sampai 25 tahun, terutama yang belum menikah.
Cerita dari Pak Modin belum tuntas ketika Pak Asmudi menelepon karena keadaan darurat dan memaksaku segera pulang. Aku segera membayar minuman di warung itu lalu berpamitan.
Pak Modin sempat berkata, "Namanya Martini, dia tinggal di desa sebelah. Cari saja! Dia mantan Jugun Ianfu. Semoga belum kehilangan kewarasannya".
"Baik. Terima kasih infonya, Pak. Saya permisi dulu. Assalamualaikum." Aku pacu motor matic-ku, karena penasaran apa yang terjadi di rumah.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
One Tie
Ini namanya menyelam sambil minum air, dpt hiburan cerita hrornya, jg dpt makna sejarahnya..... Good job thorr 👍👍👍
2021-09-25
1
Sofa Lina
kang'Thoor..Jugun lanfu jugak di sebelah ada yg make sbg judul cerita
tapi g tauk deeh ttg isinya .soal nya blm aqu baca☺️
2021-03-25
3
Isnaaja
ini cerita nyata bukan kak? ada sejarah nya
2020-11-30
0