Kami melongo, tak percaya dengan apa yang kami lihat.
"Kamu orang apa setan?" seru Eko.
"Tolong, Pak! Saya habis kecelakaan," kata pemuda itu sambil memegang dahi dengan tangan kanannya. Tak lama kemudian dia pingsan di halaman rumah.
Kami segera membopongnya ke teras. Meletakkannya di sebelah Bambang yang sedang tertidur pulas.
Lukanya cukup parah. Gumpalan merah hitam nan kenyal pada rambutnya membasahi sebagian dahi, bisa dipastikan ada yang bocor pada kepalanya. Pakaian yang robek-robek menyingkap lapisan daging putih berlumur darah pada pundak, siku, dan dengkulnya yang terkelupas. Pemandangan yang sangat ganjil kami dapati pada jempol kaki kanannya yang tinggal separuh. Entah dia sadari atau tidak saat menuju ke sini.
"Ternyata ini si Panji anak Bu Aisyah tukang masak kita. Eko, tolong ambilkan P3K di dekat almari," kataku setelah memperhatikan pemuda yang terluka itu.
Tiba-tiba Bambang yang sedang tidur tadi bangun, tepat di sebelah Panji yang sedang berdarah-darah. Sontak dengan reflek Bambang meloncat dan membuat camilan-camilan kami berantakan.
"Astagfirullah!" pekiknya.
"Makanya kamu itu jangan tidur terus!" sahut Eko yang sedang membuka kotak P3K.
"Dasar kau tukang tidur!" sentak Udin kesal.
Tiba-tiba Panji bangun dan berkata, "Teman-teman saya mana, Pak? Yang saya boncengkan tadi?" Setelah itu dia pingsan lagi.
Kami pun bengong. Saling berpandangan. Berarti jangan-jangan temannya masih di lokasi kejadian, mungkin terluka parah.
"Temannya gimana pak?" tanya Agung.
"Ayo kita lihat ke sana! Udin telepon ambulan ya! Nomor teleponnya di dekat kalender. Bambang, kamu kabari Bu Aisyah cepat!"
Segera aku mengambil senter lalu memboncengkan Agung menyusuri lokasi. Motorku berjalan agak pelan di sisi kiri jalan sementara Agung menyoroti sisi kanan dengan senterku tadi. Di belakang kami agak jauh tampaknya si Udin menyusul dengan motornya dan mengenakan senter kepala.
"Mana ya, kok tidak ada bekas kecelakaannya?" kataku beberapa saat setelah kami melintasi tower.
"Coba jalan terus, Pak. Mungkin dekat makam!" seru Agung di belakangku.
Kami terus mencari di antara sawah-sawah yang sedang dalam masa panen itu. Khawatir jangan-jangan motornya tercebur ke sawah, aku amati juga padi-padi yang mungkin menunjukkan bekas tertindih motor. Tidak ada!
"Nah itu di sana, Pak!" seru Agung mengagetkanku.
Ternyata benar, mendekati tanjakan menikung tepat sebelum makam terlihat sekilas sepeda motor yang terperosok di parit persis di bawah pohon beringin tua.
"Wah rupanya dua orang, berarti mereka boncengan tiga tadinya," kata Agung saat turun, sedangkan aku mendorong motor berputar arah.
"Bagaimana ini Pak ...," tanya Udin yang baru datang, "kita bawa mereka atau kita tunggu ambulan? Tadi sudah saya telepon."
"Sebaiknya kita bawa ke rumah untuk pertolongan pertama," usulku setelah mempertimbangkan beberapa hal.
Agung segera mengangkat salah satu teman Panji ke atas motor, mengapitnya di belakangku. Darahnya agak deras menetes membasahi bajuku. Tercium aroma minuman keras dari mulut pemuda itu. Dasar anak-anak pemabuk, kalau celaka seperti ini orang lain juga yang repot.
"Tunggu, yang satunya bagaimana?" tanya Udin kebingungan.
"Ya, Kamu tungguin dulu di sini, sebentar aja kita balik lagi," jawabku.
Udin dengan ragu berkata, "Tapi saya takut, Pak. Ini kan dekat makam?"
"Ya sudah, kamu yang yang pegangin aja, biar aku tunggu di sini. Dasar penakut!" sahut Agung sambil turun dari motor.
Belum sempat aku menyalakan motor, Agung melepaskan pegangannya pada teman Panji yang yang terluka tadi. Sedangkan Udin juga belum naik menggantikan Agung.
"Kalian bagaimana sih, ini pegangin dulu!" kataku pada mereka karena teman Panji yang pingsan tadi terasa berat bersandar pada punggungku.
Aku tak tahu kenapa mereka terdiam dan melangkah mundur sambil memegang tanganku.
"P-- Pak! Pak! Itu apa, Pak?" tanya si Udin sambil gemetar.
"Apa'an sih? Agung, si Udin kenapa?" tanyaku penasaran.
"I-- Itu, Pak! Mereka menuju kesini, Pak!" sahut Agung.
Aku lihat kaca spion kiri dan kanan, hanya gelap, tidak terlihat apa-apa. Ingin aku menengok ke belakang tapi khawatir nanti teman Panji yang bersandar di punggungku ini nanti terjatuh. Suasana mendadak sunyi, hanya suara gesekan dedaunan tertiup angin.
Dan juga dahan pohon-pohon besar yang berderit di sekitar makam ini, menambah suasana mencekam. Lalu terdengar derap langkah seperti orang-orang berbaris.
"Te-- tentara buntung! Tidak ada kepalanya semua, Pak!"
"Ha-- han-- hantu, Pak!" pekik si Udin
"Bagaimana ini, Pak?" Agung juga histeris.
Antara percaya dan tidak, sedangkan aku dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk menoleh, aku baca ayat-ayat suci dengan agak keras. Sontak diikuti oleh Agung dan Udin yang sedang berdesakan di depan motorku.
Kami bertiga gemetar ketakutan, tapi tidak mungkin aku tancap gas meninggalkan mereka semua, apalagi menjatuhkan teman Panji yang di belakangku.
Kami terus komat-kamit membaca doa. Berharap ini semua cepat berlalu. Aku tidak begitu percaya ada barisan tentara hantu tanpa kepala di belakakangku, tetapi reaksi Agung dan Udin juga mempengaruhiku. Entah apa yang mereka lihat sebenarnya. Yang jelas mereka begitu ketakutan. Jadi kami terus menerus berdoa. Hingga terdengar dari kejauhan suara sirine ambulan dari kejauhan memecah keheningan.
Wiw
Wiw
Wiw
Ambulan itu semakin mendekat, membunyikan bel dan memecahkan seasana yang tadi mencekam.
"Sudah hilang, Pak! Alhamdulillah!" seru Udin.
"Sepertinya mereka berbelok masuk ke areal makam, hilang di kegelapan itu," kata Agung sambil menyorotkan senter ke makam.
Tak lama kemudian mobil ambulan berhenti di samping kami. Kami mengangkat dua pemuda korban kecelakaan tadi ke ambulan dan memberitahukan bahwa masih ada korban satu lagi. Karena sepeda motor Panji rusak parah maka kami tinggal, sedangkan Agung ikut naik ambulan.
Udin sudah melaju di depanku mengikuti ambulan. Sedangkan aku yang baru beberapa meter dari lokasi itu sekilas melihat sesuatu yang tak lazim. Aku pelankan motorku lalu berhenti. Aku menengok. Sepertinya di pohon terakhir yang aku lintasi tadi ada seseorang.
Aku standarkan motor, otomatis mesin mati namun lampu depan masih menyala. Kuambil senter dari laci.
Beberapa detik aku ragu. Seseorang tergantung di pohon? Apakah aku harus memastikan penglihatan sekilasku tadi benar atau tidak?
Dengan keberanian dan logika yang ada, aku berjalan mendekat. Khawatir jika itu memang seseorang yang dicelakai orang lain dan membutuhkan bantuan.
Aku masih memegang senter itu. Kurasakan hawa yang dingin berubah menjadi aneh. Tidak ada suara-suara hewan nocturnal sama sekali, tak seperti biasanya.
Hening. Begitu hening. Hingga tiba-tiba kudengar ....
Krettt!
Kreett!
Kret!!!
Terdengar suara seperti gesekan tali tambang. Aku menengok sambil menyalakan senterku. Sekali lagi kudengar suara itu ....
Kriettt!!!
Aku mendongak ....
Astagfirullah?!
Sekitar 5 meter di hadapanku, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri !?!
Itu sesosok tubuh laki-laki separuh baya dengan leher terikat tergantung pada pohon, sedang terputar hingga wajah dan tubuhnya berhadapan denganku.
Tiba-tiba sosok itu menggeliat dan seperti orang kejang dia menendang-nendang dengan cepat di udara. Sangat cepat.
Tanganku bergetar memegang senter yang aku arahkan kepadanya. Terlihat darah mulai keluar dari mata dan hidungnya. Kedua tangannya yang semula memegang tali di lehernya kini sudah lemas. Mengayun ke bawah dengan lunglai.
Aku ingin segera pergi dari sini, tetapi langkah ini terasa berat. Ingin berteriak pun tak kuat seperti tercekat. Hanya deru nafasku sendiri yang terdengar saling berkejaran dengan detak jantung. Sedangkan ambulan dan motor Udin sudah melaju cukup jauh. Aku benar-benar sendirian disini.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Nur Hayati
merinding tau thor
dah baca sendirian lg
2021-04-04
3
redrose
kereeennnn sy syyuuka sy syuka
2021-01-31
1
Isnaaja
di baca serem gak di baca penasaran,, aku sampai nahan napas bacanya,,serem banget
2020-11-30
0