Memasuki gua, aku mulai arahkan senter ke sekeliling. Tak kusangka bagian dalamnya seluas ini, dengan atap mirip kubah masjid. Dihiasi dengan banyak stalaktit dan stalagmit berwarna putih kekuningan berbentuk runcing dengan ukuran panjang yang berbeda.
Beberapa menit aku berjalan mengikuti jejak Ibu Siti berakhir di sebuah aliran sungai sedimentasi dangkal. Mulai kebingungan, aku menyeberanginya.
Kusoroti sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan jejak ibu selanjutnya. Tak juga ada tanda-tanda. Seakan tak sadar aku juga soroti atap gua yang sebagian berwarna hijau lumut karena proses pelapukan organik itu.
Bodoh! Kenapa mencari ke atas? Mana mungkin ibu terbang? Tenang. Aku harus tenang, jangan panik.
Terlihat pancaran sinar rembulan dari beberapa lubang di langit-langit gua. Andai saja pagi atau siang hari, pasti menyenangkan berada disini menikmati ornamen dan kesejukan gua. Tak seperti malam ini bersama puluhan kelelawar yang sedang berterbangan dalam gua yang gelap gulita ini.
"Ibu! Ibu!"
Aku memanggil-manggilnya. Tak ada jawaban selain gema suaraku sendiri yang terpantul beberapa kali.
Aku terus mencari. Kedalaman gua yang kulalui baru sekitar 50 meter tampaknya sudah menemui jalan buntu. Merasa salah arah, aku berhenti sejenak, menyeka keringat dan bersandar di deretan bongkahan batu besar.
Kusorotkan senter ke beberapa arah. Buntu! Namun menurut Mas Damar gua ini sangat panjang dan bercabang. Dimana letak cabang-cabang itu?
Aku segera kembali ke aliran sungai dangkal tadi hingga menemukan sebuah tanda di ujung aliran. Tampak sebuah papan peringatan di sana, "Dilarang memasuki gua lebih jauh! Berbahaya!"
Di sisi aliran sungai yang menghilang di bebatuan itu, aku temukan sebuah lubang yang sepertinya menyempit karena longsoran. Tingginya tak sampai 1,5 meter hingga harus membungkuk untuk memasukinya.
Aku lepaskan jas hitam yang sejak awal kupakai untuk foto prewedding. Kugunakan sebagai penutup kepala, berjaga-jaga jika terjatuh karena batu gua yang kemungkinan licin, lapuk atau bergeser.
***
Beberapa menit berjalan membungkuk, dengan alas sepatu pantofel membuat begitu capek dan pegal. Namun, aku tak boleh menyerah untuk terus mencari. Demi ibu, demi Nirmala aku terus melangkah. Bau menyengat dari sisa-sisa kotoran kelelawar kuanggap bau parfum yang wangi, itu lebih baik.
Tik! Tik! Tik!
Suara air yang menetes memecah keheningan. Berkali-kali aku alihkan senter jauh ke depan. Panjang sekali gua kecil ini.
Gelap, panjang dan lorong yang sempit memaksaku istirahat sejenak, masih dalam keadaan membungkuk. Aku atur tempo pernapasanku yang mulai sesak.
Semakin jauh ke dalam, oksigen terasa semakin minim. Kepalaku mulai terasa pening. Kupicingkan mataku yang mulai kehilangan fokus. Apa itu? Ada sesuatu di sana!
Hihihi ... Hihiihi!
Terdengar suara anak kecil sedang bercanda dan berlarian.
Aku gelengkan kepala beberapa kali sambil memejamkan mata. Tak mungkin ada anak kecil di sini! Ini bukan taman bermain! Bahkan aku menampar kedua pipiku, agar tak kehilangan kesadaran.
Aduh! Senter Pak Ricky ini mulai meredup, mungkin lupa dicatudaya. Tak mungkin aku kembali tanpa hasil. Apa yang akan kukatakan pada Nirmala nanti? Ingin rasanya menangis dan menyerah tetapi aku laki-laki! Aku tak boleh berhenti di sini!
Terus kutelusuri lorong gua itu. Kemeja putih yang kupakai sudah tak karuan. Keringat, air, kotoran kelelawar jadi satu. Bahkan bagian siku kiri sudah robek karena terus tergesek dinding batu kapur.
Akhirnya aku menemukan ujung lorong sempit itu. Berakhir dengan empat cabang gua lainnya. Aku berhenti, duduk meluruskan kaki. Tampaknya salah satu dari empat cabang itu menembus ke permukaan, karena kurasakan tiupan angin segar tak seperti di lorong sempit tadi.
Astagfirullah! Senter yang kubawa semakin meredup! Aku harus segera menemukan ibu!
Trrrt! Trrrttt!
Kurasakan nada getar HP di kantong celana.
"Halo! Mas, kamu baik-baik saja? Ibu sudah bersamamu?" tanya Nirmala dengan suara cemas.
"Aku baik-baik saja! Aku sudah temukan jejak ibu!" Terpaksa aku berbohong.
"Haztk ... Cejtprs ... Apdrstz ...."
Entah apa yang dikatakan Nirmala, sinyal gawaiku mendadak hilang. Semoga dia mendengar perkataanku tadi agar tidak terlalu khawatir.
Senter Pak Ricky sudah makin redup dan perlahan padam. Astagfirullah! Bagaimana sekarang?
Kubuka aplikasi senter di HP sebagai gantinya. Jangkauan terangnya hanya beberapa meter. Harapanku mulai menipis seiring baterai HP yang sebentar lagi juga habis. Sedangkan di sini aku berhadapan dengan empat cabang gua yang belum tentu ada ibu di dalam sana.
Kusadari bahwa waktu terus berjalan, takkan menunggu di persimpangan. Sekarang, atau tidak sama sekali! Ini soal nyawa!
Shi!
Tiba-tiba aku ingat perkataan itu. Shi! Sebuah kata dalam bahasa Jepang yang diucapkan salah seorang tenaga Pak Asmudi yang kesurupan dengan menggunakan katana samurai. Kata Bu Martini, "Shi" mempunyai dua arti, yaitu "empat" atau "mati".
Aku segera membuat keputusan berdasar insting! Harus cepat, berpacu dengan waktu. Aku melangkah memasuki cabang gua ke-empat. Kususuri dengan cepat lorong yang cukup lebar dan tinggi itu tanpa menunduk.
"Ibu! Ibu di sini?" Ucapku sesekali berharap ada balasan.
Lagi-lagi hanya gema suaraku sendiri yang kudapati. Aku terus menyusuri lorong licin itu hingga beberapa menit kemudian terpaksa berhenti.
Aarrggg!
Seketika aku teriak sambil memukul dinding gua!
Dakk!!!
Bagaimana tidak? Ternyata aku berada di persimpangan cabang gua yang lainnya. Kali ini dengan ukuran yang lubang yang hampir sama semua!
Dengan napas terengah-engah aku berdoa sebisaku. Pikiran mulai liar, terbersit salah memilih jalan dan akhirnya aku mati di gua ini. Sendirian. Akankah seseorang akan menemukanku?
Tiba-tiba aku melihatnya! Aku sungguh kaget! Tak jauh dariku berdiri sosok pengemis tua yang siang tadi di lampu merah, sedang apa dia di sini?
Aku taruh senter Pak Ricky untuk menandai lorong yang kulewati tadi. Dengan mengandalkan senter HP, segera kuikuti sosok pengemis itu setengah berlari di cabang nomor dua persimpangan ini.
Cpak! Cpak!
Suara sepatuku di genangan air. Tampaknya aku bertemu aliran sungai dangkal lainnya.
Kemana dia? Dia menghilang!
Aku melangkah perlahan. Terlihat ada seseorang berambut panjang sedang duduk di pinggir dinding gua.
"Ibu? Ibu Siti?" panggilku lirih. "Ini saya Dharma, Bu!"
Menunggu jawabannya. Aku mendekati perlahan. Terlihat ia meringkuk seperti memeluk sesuatu.
"Ibu?" panggilku sekali lagi, masih tak dijawabnya.
Alhamdulillah, ini benar Ibu Siti calon mertuaku. Aku mengenalinya. Terlihat wajahnya pucat dan rambutnya terurai kusut.
Dia terdiam dengan sebagian kakinya terendam di sungai dangkal, tak berkata apa-apa. Tatapannya kosong.
Kulihat tangannya menggenggam sesuatu. Semacam kaleng tua kotak seukuran dompet wanita. Kaleng itu terbuka, ada sebuah surat, kertas foto, dan rajutan sapu tangan dengan inisial S di pangkuan Ibu Siti.
"Ibu! Sadarlah, Bu! Istighfar Bu!
Ingat Nirmala, dia mengkhawatirkan Ibu!" kataku sambil duduk di sampingnya.
Ibu Siti menatapku, lalu menangis.
"Bapak! Akhirnya aku menemukanmu, Bapak!" teriak Bu Siti tiba-tiba mengagetkanku.
Aku tak begitu mengerti perkataannya. Setelah itu dia pingsan. Celaka!
Masalah apa lagi ini? Gua mendadak berguncang seperti gempa. Tanah-tanah di atap dan dinding mulai longsor sedikit demi sedikit. Tak ada waktu lagi, harus membawanya keluar dari sini. Aku segera merapikan kaleng kecil itu dan memasukkan ke saku celana. Aku gendong bu Siti untuk segera keluar dari sini.
Tar! Tar!
Tiba-tiba terdengar suara cambuk atau mungkin pistol kecil menggema. Aku berjalan semakin cepat. Ini gila! Seakan-akan ada banyak orang di sini. Kudengar suara beberapa orang berteriak-teriak, diiringi suara peralatan logam memukul dinding kapur gua ini.
Tring! Trang! Trang!
Cepat! Aku harus cepat keluar!
Aku seakan sedang berlomba lari miring, dengan menggendong Ibu Siti di kedua pergelangan tanganku.
Kutemukan senter Pak Ricky yang kutinggal di persimpangan tadi, kuikuti lorong ini dengan yakin.
Aku semakin lelah, tetapi harus bertahan. Suara-suara itu kian menghilang tertinggal dan getaran gempa mulai mereda. Aku terus berdoa seiring langkahku.
Hingga tiba kembali di lorong sempit itu, aku berhenti sejenak mengatur posisi. Kurebahkan Bu Siti yang masih belum sadar. Kini satu-satunya cara membawanya keluar adalah dengan memanggulnya di punggung. Iya, meskipun aku harus merangkak! Kami berdua harus keluar dari sini! Segera!
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Anik New
ikut ngoss ngosan aku🤭🤭
2023-03-16
1
Lusiana_Oct13
Yg kayak pengemis itu pasti DIPO eh namanya DIPO jadi keingat sama mantan laki NIKTA MIRZANI ya DIPO LATIF 😂😂😂😂😂
2021-09-26
0
Isnaaja
gak kebayang kalau tersesat sendirian di dalam gua,,pasti tak mudah untuk menemukan nya.yang ada tinggal nama.
2020-12-01
0