Aku kebingungan, tak tahu harus bagaimana. Tak mungkin suster itu tak merasakan luka di punggungnya. Kecuali ....
Kecuali dia juga hantu!
Aku tersentak saat dia menolehkan mukanya. Dari sudut mata dan mulutnya juga ada tetesan darah!
Gila!
Apalagi yang harus kuhadapi ini? Dia mendatangiku dan tangannya memegang kedua pundakku. Aku berontak, mendorong-dorongnya.
Pergi! Pergi kau!
***
"Pak! Pak Dharma! Bangun, Pak!" Kudengar suara Mbak Rini membangunkanku. Aku masih kebingungan. Kulihat Pak Asmudi tidur di sofa. Syukurlah.
"Mimpi buruk ya, Pak?" tanya Mbak Rini perawat itu.
"Iya, Mbak Rini. Buruk sekali." Sambil mengelap keringatku.
"Kok Mbak Rini di sini?"
"Tadi saya kebetulan lewat habis salat Subuh, dengar suara Pak Dharma mengigau."
"Shift apa, Mbak?"
"Malam hari, Pak. Jam 23.00 Sampai nanti jam 07.00 nanti"
"Oiya, kemarin pagi juga Mbak Rini kontrol ke sini."
"Iya, Pak Dharma."
"Omong-omong, saya mimpi didatangi perempuan yang punggungnya terluka."
"Bekas tembakan?"
"Hah? Kok tahu, Mbak?" tanyaku penasaran.
"Wah sudah lama sekali tidak ada yang ditemuinya di mimpi, Pak."
"Ada apa sebenarnya?"
"Maaf, tapi saya tidak seharusnya cerita. Nanti malah pasien-pasien yang lain terpengaruh. Apalagi kalau terdengar masyarakat."
"Saya janji tidak akan memberitahu siapa pun."
"Hmm ...." Suster Rini berpikir agak lama. "Setahu saya belum pernah ada pasien yang mengalaminya, baru Bapak saja."
"Maksudnya?" aku semakin penasaran.
"Dia itu entah arwah atau jin, tapi sebetulnya baik kok. Sudah jadi legenda di kalangan pegawai rumah sakit ini. Kalau pegawai sini sudah paham, selama ini tidak pernah menakuti pasien atau pengunjung kok."
"Kok bisa? Cerita dong, daripada saya penasaran."
"Ceritanya sih panjang, Pak. Saya kasih singkat saja ya?"
"Oke ga papa," jawabku memaklumi.
"Jadi dulu itu sejarah rumah sakit ini adalah salah satu markas rahasia para gerilyawan, strategis karena di sini sudah terdapat Panti untuk kegiatan Palang Merah Remaja,” Rini mulai bercerita.
"Setelah Jepang dibom atom dan mengaku kalah, secara otomatis Indonesia dianggap menjadi milik Belanda lagi. Akibatnya, negara kompeni itu kembali ke Indonesia dengan agresi militernya, salah satunya tentara KNIL.
"Tentu saja rakyat kita yang sudah merdeka tidak ingin dijajah lagi dan melakukan perang gerilya mempertahankan wilayah vital. PMR yang sejatinya masih pelajar ikut berjuang sesuai kemampuannya. Sedangkan rumah sakit ini difungsikan sebagai tempat perawatan gerilyawan dan korban perang.
"Tetapi KNIL sendiri juga punya anggota mata-mata masyarakat pribumi, sehingga rahasia adanya gerilyawan di sini bocor. KNIL datang untuk memburu anggota gerilyawan dan menebar teror, ada desas-desus juga bahwa mereka mencari harta karun peninggalan Jepang. Satu kompi KNIL menyerang dengan tembakan-tembakan senjatanya. Mengobrak-abrik balai pengobatan, merampas obat-obatan dan memaksa semua penghuninya keluar.
"Para pelajar yang saat itu bertugas sebagai relawan PMR, pasien dan warga diperintahkan berjongkok berderet di depan balai pengobatan. Lalu, seluruh tangan mereka diikat dengan kabel dan dirangkai menjadi satu. Namun, karena kurang panjang, kabel tidak bisa mengikat beberapa anggota PMR dan warga. Mereka disuruh berlutut dengan posisi kepala di tanah sambil meletakkan tangan di kepala.
"Mereka kemudian memisahkan para relawan PMR dengan membedakan jenis kelamin. Tawanan pria dibunuh dengan membabi buta menggunakan granat dan yang masih hidup ditembaki. Tawanan wanita diperkosa beramai-ramai dibawah todongan senjata. Beberapa tawanan wanita kemudian meninggal dengan luka tembakan, sedangkan yang berhasil diselamatkan pun sudah tertembak di bagian perut atau pelipis," tutur Rini menutup ceritanya dengan lirih.
Kulihat dia mengusap sudut kepolak matanya yang sembab. Aku mengerti yang sedang dia rasakan. Kusodorkan tisu padanya.
Ah, tidak di rumah tidak di sini semua ada misterinya. Selain itu sejarah, mengingatkanku betapa beruntungnya aku yang hidup di jaman merdeka ini.
"Huahhem," Pak Asmudi menguap.
Momen aku dan Mbak Rini seketika menjadi canggung. Beberapa kali Pak Asmudi membetulkan sarung selimutnya kemudian tidur lagi. Cuma aku lirik saja, mau tertawa tapi tidak enak hati dengan Mbak Rini.
"Saya kembali ke kantor dulu ya, Pak. Masih harus standby soalnya," pamit mbak Rini sambil agak tersenyum dengan mata yang masih kemerahan.
"Iya, maaf merepotkan ya. Terimakasih sudah dibangunkan dari mimpi buruk," kataku kepadanya. Lalu dia keluar ruangan, meninggalkan aku dan Pak Asmudi yang mendengkur di sudut sofa.
Grokkk!
Grook!!!
***
Setidaknya kupikir aku masih satu atau dua hari lagi di sini. Menunggu kaki agak sembuh baru minta pulang. Langit mulai agak terang, kubuka jendela dan kulihat di taman itu banyak burung-burung kecil yang singgah mencari makan.
Beberapa orang sudah lalu-lalang. Kunyalakan HP-ku, hari ini Senin jam 05.20 lalu kugerakkan badanku untuk sekedar olahraga sederhana. Lalu sambil menunggu sarapan tiba dan Pak Asmudi bangun, aku menonton TV saja.
***
Pekerjaan renovasi berjalan lancar, tambahan sepuluh pekerja sudah mengganti keterlambatan kemarin. Dua orang yang di rumah sakit sudah pulang. Sekarang total ada empat belas anak buah Pak Asmudi menyelesaikan renovasi dapur dan kamar mandi sesuai permintaanku. Bagian belakang yang dulu hanya 15x10m kini sudah bertambah lebar menjadi 15x30m hingga rumah yang sebelumnya memanjang ke belakang ini sekarang berbentuk letter L. Sesuai rencana sudah termasuk satu kamar khusus pembantu di bagian belakang itu.
Minggu depan akan kubuat letter U dengan menambahkan ruang tamu dan kamar tidur utama di sisi barat karena memang masih banyak space kosong tanah yang kubeli ini. Bagian tengahnya letter U akan aku buat taman dan kolam ikan plus miniatur air terjun. Hmm pasti Nirmala akan suka tinggal di sini. Sedangkan bangunan lama bagian depan yang ada di sisi timur ini akan aku pakai sebagai garasi.
Ramai sekali sekarang, dan pekerjaan berjalan lancar. Tentu saja menguras tabungan yang kusimpan dari kerja kerasku selama ini, tapi ini akan sepadan. Tak hanya untuk aku dan Nirmala, juga untuk anak cucu kami nanti.
Aku sedang duduk di samping rumah saat beberapa tetangga datang menjenguk. Satu persatu tetangga datang silih berganti, menandakan keramahan warga desa ini yang membuatku nyaman.
"Bagaimana keadaan Panji sekarang, Pak?" tanyaku kepada Pak Amir, suami Bu Aisyah.
"Masih trauma, Pak. Tapi sisi baiknya sekarang Panji sudah kapok tidak mau bermain dengan teman-teman pemabuknya lagi," jawab Pak Amir.
"Syukurlah kalau begitu. Temannya juga pasti kapok sekarang."
"Nah itu, Pak. Yang satu tidak tertolong. Meninggal! Kata pihak rumah sakit dadanya terbentur setang motor sehingga ada luka dalam yang parah!"
"Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Kasihan, masih muda belum sempat bertobat meninggal dalam keadaan seperti itu ...."
"Ya begitulah, Pak. Umur seseorang tidak ada yang tahu."
"Benar juga, untung saya masih selamat!"
"Memang tanjakan makam itu slintru sejak dulu, Pak!" kata Bu Aisyah yang baru datang membawa makan siang tenaga renovasi rumah.
"Jangan begitu, Bu. Memang anak-anak sendiri yang kurang hati-hati. Boncengan tiga dalam keadaan mabuk ya pasti celaka," sahut Pak Amir sambil membantu Bu Aisyah menyiapkan makan siang.
"Sekarang Panji di rumah, Pak?" tanyaku.
"Iya, di kamar terus. Kadang-kadang seperti orang linglung," jawab Pak Amir.
***
"Panji, bagaimana lukamu?" tanyaku saat memasuki kamarnya.
"Sudah baikan, Pak. Bapak sendiri bagaimana?" jawab Panji yang sedang melamun sempat kaget atas kedatanganku.
"Alhamdulillah. Ini cuma tinggal kaki masih nyeri kalau jalan," jawabku sambil mengamati luka jahitan di kepalanya yang dibotaki.
Kuperhatikan juga perban baru di jempol kakinya. Agak ngilu jika teringat malam itu kulihat jempol kakinya putus separuh berdarah-darah.
"Jangan mabuk-mabukan lagi, Panji. Sudah tahu akibatnya sendiri kan sekarang?" nasehatku padanya.
"Sumpah, saya sudah kapok."
"Syukurlah kalau begitu."
"Tapi saya kira Bapak juga sudah tahu kenapa kami kecelakaan. Bapak sendiri juga mengalaminya walau tidak sedang mabuk," kata Panji mengagetkanku.
"Maksud kamu ...," desakku, "kamu juga melihat apa yang saya lihat malam itu?"
"Entah sama atau tidak, Pak. Saya terjatuh di tempat saya lihat beberapa orang digantung."
"Iya betul, Panji. Persis di sekitar pohon beringin tua itu," jawabku keheranan.
"Tapi sebelum itu juga ada, Pak"
"Ada apa maksudnya?"
"Ada penampakan wanita berbaju merah darah dan di depannya ada tentara Jepang sedang membelah perutnya sendiri. Disaksikan tentara yang lainnya sedang menodongkan senjata padanya."
"Harakiri maksudmu? Di sebelah mana?" aku semakin penasaran.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Tria Juwita
makin hati" geser nya,,, krna sllu d kaget kan sama gambar penampakan nya😱😱
2021-02-12
2
Mei Shin Manalu
Aku hadir kembali di sini ♥️
2020-08-15
0
yulia ari
semangatt kak..🙏
2020-07-27
0