Sepetak Ruang Gelap
Setelah sekian lama mencari di media sosial akhirnya aku menemukan iklan sebuah rumah dijual dengan harga yang terbilang murah. Dengan segera rumah itu aku beli karena ingin memberi surprise kepada calon istriku.
Memang dari beberapa komentar yang muncul, rumah tersebut dikenal angker atau semacamnya, tetapi aku adalah seseorang yang rasional sehingga tak percaya begitu saja. Bahkan menurutku ketika ada kejadian sebuah rumah kosong dijual dan beredar cerita horor atau mistis, itu adalah suatu trik yang diciptakan oleh beberapa orang supaya harganya semakin turun dan akan mereka beli dengan murah. Bisa juga cerita-cerita tersebut hanyalah imajinasi dengan tujuan mencari popularitas atau sensasi tersendiri.
Lokasinya agak terpencil, masuk beberapa kilometer dari pertigaan tugu batas kota. Sekitar sepuluh menit ke selatan dari jalan raya utama, melewati kampung yang cukup padat, lalu sekitar lima menit lagi mengambil arah timur melewati areal persawahan dan pemakaman.
Cukup mudah mencarinya karena tak jauh dari makam itu ada sebuah tower jaringan komunikasi dan 20 meter lagi sudah sampai di rumah ini. Hanya ada beberapa rumah di sekitar, yang terdekat berjarak tiga petak sawah. Tentunya suasana di sini relatif terasa sepi dan tenang. Sebuah suasana yang sangat kontras dibandingkan indekosku di pusat kota.
Namun, sepi dan tenang adalah dua hal yang berbeda. Itulah yang kurasakan saat sendirian di rumah baruku setelah membersihkan banyaknya sarang laba-laba dan lantai yang berdebu seharian tadi. Seperti orang-orang pada umumnya, untuk mengusir sepi aku membuka gawai, berharap ada notifikasi yang menarik di sana. Belum sempat membuka media-media sosial, tak sadar tiba-tiba aku tersenyum sendiri melihat foto calon istriku di wallpaper.
Terlintas sebuah kenangan tentang awal pertemuan kami yang sungguh tak terduga. Suatu ketika aku sedang mengerjakan sebuah proyek rigid pavement jalan raya beton. Saat itu progres satu bulan baru mencapai 25% dan aku agak frustasi karena proyek perubahan hanya berlangsung selama 90 hari, sedangkan jika terlambat tentu akan dikenai denda berjalan sekian persen dari nilai kontrak delapan miliar.
Situasi di lapangan sedang sibuk-sibuknya dan kiriman beton dengan truk mixer seolah tanpa jeda. Meskipun aku memiliki asisten tetapi memang kendala pekerjaan pasti datang silih berganti, maka dari itu aku seringkali hadir di lokasi. Butuh banyak pengalaman dan pikiran fresh agar bisa membuat keputusan yang efisien, apalagi ketika asistenku tidak dalam kapasitas membuat keputusan.
Beberapa orang kampung masih mengenakan sarung ataupun mukena sedang berdiri di depan rumah, melihat pekerjaan timku. Seketika aku teringat belum mengerjakan salat Isya, lalu aku berjalan cukup jauh dari lokasi pengecoran untuk mencari musala terdekat.
Seusai wudu aku memasuki musala yang sudah sepi itu, sebagian lampu sudah dimatikan, hanya bagian depan musala dan di bagian imam yang menyala.
Apa aku salah dengar?
Seperti ada suara perempuan menangis?
Tak ingin membatalkan niat salat, kusingkirkan pikiran-pikiran yang aneh itu lalu segera memulai rakaat yang pertama. Sepinya malam di desa yang diselingi suara tangis itu membuatku gemetar. Meskipun aku sadar sedang melaksanakan salat di musala, tempat yang "aman". Namun, aku hanya bisa pasrah.
Setelah beberapa menit aku berhasil menyelesaikan salat. Aku masih penasaran sebenarnya suara apa itu dan dari mana asalnya. Perlahan aku sibak kain pembatas shaf antara pria dan wanita.
Astagfirullah!?!
Ternyata ada sesosok dengan mukena putih di sana yang menatapku dengan mata merahnya. Kelopak matanya berkaca-kaca. Terlihat jelas memang dia menangis. Aku segera memalingkan muka, berjalan keluar musala dengan hati yang berdegup kencang. Perasaanku berkecamuk.
Inikah yang orang-orang sebut dengan jatuh cinta?
Begitulah awal pertemuanku dengan calon istriku, Nirmala. Di usia yang hampir 28 tahun ini akhirnya aku menemukan sosok idamanku. Perempuan dinikahi atas empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, atau karena agamanya. Tentu saja aku memilihnya karena ketaatannya dalam agama.
Kami sudah menentukan tanggal pernikahan saat lamaran, yaitu 29 Februari 2020. Uniknya, tanggal itu hanya muncul empat tahun sekali. Aku kembali teringat, tinggal tiga bulan lagi. Semoga renovasi rumah ini selesai tepat waktu, sebagai surprise pernikahan nanti.
Sore beranjak senja saat aku menghabiskan waktu di teras. Secangkir kopi menemaniku menunggu bak mandi terisi penuh. Beberapa tetangga yang sedang melintas atau pulang dari sawah menyapaku dengan hangat dan sopan, tipikal orang pedesaan. Bahkan beberapa dari mereka menyempatkan diri mampir sebentar. Aku mulai senang berada di sini, berharap istriku nanti juga betah.
Tiba-tiba listrik padam, padahal belum tuntas aku menikmati secangkir kopi itu. Hilang sudah mood-ku, karena suasana yang tenang menjadi terganggu oleh suara genset tower yang berdengung.
Ketenangan yang terusik?
Iya, setiap listrik padam pasti genset tower itu akan otomatis menyala. Suara dieselnya yang berisik memecah kesunyian. Suara itu akan berhenti jika listrik sudah menyala kembali.
Mumpung belum terlalu gelap aku bermaksud segera membersihkan diri di kamar mandi yang sebagian masih berdinding papan tua berlumut. Rupanya listrik terlanjur padam sebelum pompa air menyelesaikan tugasnya mengisi bak mandi. Memang di sini belum ada jalur PDAM. Namun, airnya jernih sekali, hanya rasanya sedikit asin.
Saat mandi tiba-tiba rasanya ada sesuatu tersangkut di tangan kananku yang sedang memegang gayung. Aku usap wajah dengan tangan kiriku agar bisa memandang lebih jelas.
Apa ini?
Ada seutas rambut melilit gayung dengan tanganku.
Rambutku tak sepanjang ini.
Bagaimana mungkin?
Darimana asalnya?
Apakah jatuh dari atap?
Apakah sejak semula di bak mandi?
Kutarik rambut itu, sekitar satu setengah meter panjangnya.
Belum tuntas aku memikirkannya, tiba-tiba di luar kamar mandi terdengar suara aneh berulang-ulang.
Krak!
Kiiiikk kiiikk
Kiiikkk!
Segera aku selesaikan mandiku. Keluar kamar mandi ternyata listrik sudah menyala sedangkan mesin pompa air tadi belum aku matikan. Jangan-jangan jadi rusak mesin pompa air ini. Ah, mesin pompa warisan pemilik rumah sebelumnya ini baru sehari aku pakai mengapa sudah rusak. Hatiku mulai merasa tak tenang.
Ketenangan yang terusik?
Di perjalanan pulang ke indekos, aku mulai berpikir apakah kehadiranku di sini juga mengusik ....
***
Sepulang kerja, alih-alih ke indekos aku kembali ke rumah ini setelah dua hari yang lalu. Kali ini terpaksa menginap karena tadi terlalu lama berkeliling mencari tukang dan kuli lokal untuk merenovasi rumah ini, tetapi belum dapat orang juga.
Halaman samping dan belakang masih sangat luas. Beberapa pohon yang cukup besar membuat rumah ini sejuk. Bagian dapur dan kamar mandi yang sebagian hanya berdinding papan dan bambu rencananya akan aku bongkar. Melihat kondisinya begitu memprihatinkan seperti mau roboh. Hanya bagian depan rumah ini yaitu ruang tamu dan dua kamar tidur yang berdinding tembok.
Dengan bekal informasi dari tetangga, aku sudah mencari tukang yang bersedia. Beberapa tukang beralasan masih ada pekerjaan di tempat lain. Namun, ada hal yang janggal, tukang yang terakhir kali kutemui berkata bahwa sebenarnya tidak akan ada penduduk di sini yang berani mengerjakan rumah tersebut. Lagi-lagi dengan alasan angker. Pemikiran yang tidak logis.
Ya sudahlah besok cari di kota atau aku hubungi mandor proyek langgananku saja.
"Selamat beristirahat, Sayang. Assalamualaikum. Mmmuach!" Itulah kalimat terakhir dari calon istriku sebelum aku menjawab salam lalu tertidur di kamar nomor dua rumah ini. Lelap.
Tak tahu mengapa aku seperti secara tiba-tiba dibangunkan.
Aku buka mataku dengan disambut cahaya lampu kamar yang agak silau. Kulirik jarum jam dinding yang menunjuk pukul 01.00 lebih sedikit.
Aku beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil. Meskipun kata orang-orang bagian belakang rumah ini terkesan seram tapi menurutku biasa saja.
Toh semua lampu selalu aku biarkan menyala. Buktinya semua baik-baik saja. Justru aku takutnya kalau semisal ada ular atau binatang buas lainnya, kalau hantu-hantu sih bullshit.
Selesai dari kamar mandi aku kembali ke kamar tidur nomor dua itu.
Aku nyalakan lampu kamar dan berbaring kembali.
Tunggu ....
Aku tidak ingat apakah tadi aku mematikan lampu kamar?!?
Aku termangu cukup lama, tidak biasanya aku jadi pelupa seperti akhir-akhir ini.
Ah, mungkin tadi aku secara refleks mematikannya, bukankah kemarin aku juga lupa mematikan mesin pompa air saat listrik padam. Aku tidak suka hal-hal mistis merasuki pikiran logis, tidak akan kuberi ruang sedikitpun.
***
Siang ini cukup terik meski sedikit awan mendung berarak seiring desah napasku di sudut kota kecil ini. Sebetulnya tabunganku lebih dari cukup untuk membeli mobil mewah, tetapi aku lebih memilih membeli rumah. Selain itu juga masih nyaman dengan motor matic kesayangan.
Setelah meeting dan presentasi yang cukup melelahkan di kantor Dinas Pekerjaan Umum tadi, aku mampir ke indekos untuk mengambil barang-barang yang masih tersisa sekalian berpamitan dengan pemilik indekos.
Hari sudah petang ketika semua barang terkemas dalam kardus dan aku ikat di jok belakang motor matic-ku. Untung saja kandar kilas USB atau yang biasa orang sebut flash disk yang tergantung di balik pintu tidak terlupa. Langsung saja aku kantongi di jaket dan meluncur pulang.
Begitu melewati kampung depan ternyata mulai hujan gerimis. Jas hujan sebenarnya ada di jok, tetapi terlanjur ada kardus yang tertali di atas jok. Maka aku pacu motor sedikit lebih kencang. Sebentar lagi gelap. Sebagian permukaan jalan masih asli dari tanah dan batu, terutama yang sekitar makam, jadi harus hati-hati juga.
Setelah mandi dan berganti pakaian kunyalakan laptop untuk mencari hiburan dulu sebelum mengerjakan tugas file laporan minggu ini. Aku duduk lesehan membelakangi pintu kamar yang tertutup separuh.
"Wa'alaikum salam," sahut Nirmala di hpku. "Ada apa, Mas? Tumben telepon. Kangen ya?" candanya.
Kami pun mengobrol ringan sambil aku menyiapkan laptop untuk membuat laporan mingguan. Sebuah notifikasi muncul di layar laptop, rupanya ada iklan film box office terbaru yang belum aku lihat. Akhir-akhir ini aku memang suka streaming film sekedar untuk hiburan. Lumayan biar tidak terlalu stres, jadi laporan kukerjakan nanti saja pikirku.
"Sudah makan, Mas?" dia bertanya.
"Iya, tadi sudah. Ini sedang istirahat sebentar nanti mau kerjakan laporan."
Nirmala sedikit protes, "Sudah pulang tapi masih kerja juga. Ingat istirahat yang cukup ya, Mas."
"Iyaaa, eh malam Minggu nanti jalan yuk?" pintaku sedikit merayu.
"Boleh, Mas. Sekalian survei undangan yuk" jawabnya.
"Iya, di dekat taman kota itu ada kayaknya paling lengkap," kataku sambil mengingat kalau file laporan ada di flash disk yang kusimpan di saku jaket hitamku saat di indekos tadi.
Di layar laptop yang agak mendongak ke atas, terpantul bayangan jaket hitamku tergantung di belakang pintu kamar.
Aku berdiri hendak mengambilnya. Belum sempat berbalik, ternyata kulihat jaket itu tergantung dekat lemari baju, tepat di seberangku yg sedang berdiri di hadapan laptop. Aku jadi ingat betul tadi memang aku taruh di situ.
Iya, benar. Tadi aku taruh di situ!
Lalu apa itu yang di belakang pintu?
Jantungku berdegup kencang. Bahkan suara Nirmala yang sedang bicara di HP yang menempel telingaku mulai tak jelas kudengar. Aku mengernyitkan dahi, mencoba tenang dan duduk kembali.
Kulirik bayangan hitam di laptop itu sudah tidak ada. Bahkan untuk memastikannya aku menengok ke belakang.
Aman ....
Mungkin cuma halusinasiku saja. Hmm mungkin aku terlalu capek fokus pekerjaan selama ini.
Kuhadapkan pandangan kembali ke streaming film di laptop. Tiba-tiba listrik rumah padam. Hanya ada cahaya HP dan layar laptopku saja.
Aku baru saja mau menyambung percakapan dengan Nirmala. Tapi mulutku tak bisa bergerak. Tubuhku gemetar antara kaku dan lemas.
Tepat di atas laptop ada seonggok kepala berwajah pucat. Dia menatapku dengan mata kiri yang seperti putih telur rebus dikupas. Perlahan mulutnya yang sobek hingga ke tengah pipi menyeringai, menertawaiku. Rambutnya yang tebal, kusut dan panjang berantakan menjuntai hingga keyboard laptop.
Seketika pandanganku buram. Nafasku pendek tersengal-sengal, kembang kempis tak karuan. Kosong, aku tak bisa berpikir apa-apa. Bergerak pun tidak sanggup. Seakan tempat dan waktu berhenti di sini.
Brukkk!
Sepertinya aku tergeletak, kepalaku terantuk lantai. Kudengar sayup-sayup suara Nirmala memanggil, "Mas! Mas Dharma! Halo, Mas ...."
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Sinta Dwi lestari
g
2024-02-09
0
IG: _anipri
kalau aku takutnya kalau ada katak? hii, takut katak aku. apalagi rumahnya banyak lumut dan masih lembap
2023-03-07
0
deyura
Aku berhari hari maraton dan belum sempet like, huhu. Sukaa! plot twist banget ceritanya. Semangat Thor!
2022-12-20
0