Kepalaku semakin pening kekurangan oksigen. Apalagi dalam keadaan merangkak dan menggendong seperti ini. Berkali-kali aku berhenti, mengatur napas. Hingga akhirnya aku mendengar suara aliran sungai. Sudah dekat!
Aku bergegas dengan sisa tenaga yang kupunya. Tak lama kemudian kami berhasil tiba di gua utama. Beberapa langkah kemudian aku limbung, jatuh tersungkur di sungai dangkal itu.
Ibu Siti tersadar. "Di mana ini, Nak? Apa yang terjadi?"
Aku kehabisan nafas dan bingung harus menjawab apa.
"Katakan, apa aku sedang bermimpi?" desak Bu Siti yang juga basah kuyup di sebelahku.
"Tidak, Bu. Pokoknya kita keluar dulu dari sini. Nanti saja ceritanya."
Kembali aku kumpulkan napas dan tenaga untuk mencapai mulut gua. Kami disambut beberapa orang yang berkumpul di sana. Nirmala, Kukuh, Pak Ricky, Bu Nopi dan masih banyak lainnya entah siapa.
Alhamdulillah! Kulihat Nirmala memeluk ibunya ketika Mas Damar, Kukuh dan Pak Ricky memapahku sesaat sebelum aku pingsan.
***
Aku terbangun di kamar hotel. Kudengar beberapa orang sedang berdiskusi sambil melihat hasil foto di kamera mas Kukuh. Mereka sedang berbicara tentang foto-foto yang tertangkap kamera.
Mereka berbicara dalam bahasa Inggris, tak begitu jelas terdengar meskipun pintu kamarku terbuka. Satu suara yang kukenal sepertinya Mas Damar si ahli geologi itu. Sedangkan lawan bicaranya menggunakan aksen Jepang.
Aku mendongak dari tempat tidurku. Hanya tampak bayang-bayang empat orang di balik jendela yang tertutup kelambu.
"Sudah sadar, Pak?" tanya Mas Kukuh mengagetkanku. Ternyata dia sedari tadi duduk di samping ranjangku.
"Ah, ngagetin aja kamu. Nirmala dan Bu Siti mana?"
"Sedang sarapan di restoran hotel. Saya baru saja menggantikan Bu Nirmala menunggui Pak Darma."
Tiba-tiba Damar dan teman-temannya memasuki kamar. Satu orang sesuai dugaanku adalah orang Jepang. Dua orang lainnya tampak seperti orang Filipina. Aku cukup heran, sedang apa mereka di sini?
"Pak Dharma, bisakah Bapak ceritakan apa saja yang Bapak lihat dan temukan di dalam gua semalam?" tanya Damar penuh selidik.
Aku terdiam, menatap ketiga temannya. Tampaknya serius sekali. Apa memang geolog seperti ini tipe orang-orangnya?
"Saya kira anda lebih mengerti daripada saya. Ya, begitulah. Gua dengan banyak cabang, stalaktit, stalagmit, sungai dangkal, dinding dan batu-batu kapur besar. Hemm, sepertinya hanya itu saja," jawabku sambil mencoba mengingat semuanya.
"Is there something strange?" [Apa ada sesuatu yang aneh?]
Orang Jepang itu duduk di ranjangku.
"Nope, I'll tell you if I remember anything," jawabku padanya.
[Tidak, saya akan beritahu anda jika saya ingat]
Dua orang Filipina di belakang mas Damar saling berbisik dalam bahasa yang tak kupahami. Serius amat ya? Ucapku dalam hati.
"Excuse me, I want to take a bath."
[Permisi, saya mau mandi.] Aku meninggalkan mereka karena mulai merasa tak nyaman.
Kurasakan badanku pegal dan memar, guyuran shower air hangat ini sedikit menyegarkanku. Terlintas di pikiranku kata-kata Bu Siti saat aku temukan di dalam gua itu.
"Bapak! Akhirnya aku menemukanmu, Bapak!" ucapnya saat itu.
Apa mungkin Bu Siti kerasukan, atau memang dia telah bertemu bapak kandungnya di alam lain? Mungkinkah itu terjadi? Aku ingin segera bertanya padanya nanti.
Keluar dari kamar mandi ternyata masih ada Damar dan teman-temannya.
"Maaf, mungkin kami tadi terlalu ingin tahu. Selama ini kami belum selesai trace (menyusuri/melacak) semua cabang gua tersebut. Kalau ada hal lain yang Bapak Dharma ingat, silakan hubungi nomor ini," kata Mas Damar sambil menaruh sebuah kartu nama di meja.
"Kami akan sangat mengapresiasi penjelasan Bapak lebih lanjut demi kemajuan penelitian gua tersebut," imbuhnya.
"Baiklah ..." jawabku yang masih mengenakan handuk saja, "sekarang saya bisa ganti baju?"
"Hahaha, tentu saja. Kami permisi dulu, Pak." Mereka keluar dari kamar bersama-sama.
"Arigatou!" [Terima kasih!] kata pria Jepang itu berbalik sambil membungkukkan badannya.
"Douitashimashite!" [Sama-sama] jawabku spontan dan ikut membungkukkan badan. Sial! Ternyata handuk yang kupakai lepas dan melorot. Duh! Ngacir ke kamar mandi.
***
"Nah, itu yang ada suraunya," kata Mas Kukuh.
Pak Ricky segera memarkirkan mobilnya di halaman. Tampak sebuah rumah kayu yang sederhana dengan surau kecil di tepi jalan. Halamannya luas dan tampak asri dengan barisan bermacam-macam pohon. Siang yang terik pun terasa sejuk di sini.
"Wa'alaikum salam. Silakan, silakan duduk," sambut seorang wanita setengah baya yang juga sedang bertamu dengan keluarganya.
Agak aneh saja melihat suasana disini. Banyaknya tamu yang menunggu seperti sedang berkunjung ke dokter praktik umum. Hanya saja kami tidak perlu mendaftar dan ruang tunggunya hanya lesehan di teras.
Di hadapan kami sudah ada beberapa tamu menunggu. Salah satu dari mereka menarik perhatianku. Seorang pria yang dengan tubuh tegap dan kekar duduk di pojok teras itu, serasa tidak sepatutnya berada di sini. Tidak seperti tamu yang lain yang datang bersama keluarganya, dia terlihat hanya sendirian. Mengapa pula ia terus memandangi ibu yang sedang melihat isi kotak kaleng dari gua semalam? Seakan mengingatkanku bahwa benda itu begitu penting.
Aku pun memperhatikan Bu Siti, calon mertuaku itu. Aku mengerti betul apa yang ibu rasakan, selama hidupnya tak pernah mengenal orangtuanya sama sekali.
Sepertinya aku sedikit lebih beruntung daripada Bu Siti karena meskipun aku anak yatim piatu tanpa saudara, tetapi sempat merasakan kasih sayang orang tua sebelum kecelakaan pesawat merenggut mereka 20 tahun yang lalu. Hingga selama ini aku dibesarkan oleh almarhum paman.
Sedangkan Ibu Siti, semenjak bayi sudah kehilangan kedua orangtuanya. Hanya hidup dengan Kakek Dipo yang konon sahabat orangtuanya. Jika memang benar kaleng kotak seukuran dompet wanita itu adalah peninggalan ayahnya, tentu akan sangat berarti baginya.
Sebenarnya tujuan kami kesini hanya sekedar ingin mengucapkan terima kasih kepada Pak Edi yang semalam membantu kami menemukan Bu Siti. Selain itu kami juga penasaran akan sosok Pak Edi yang bisa dengan cepat dan tepat mengetahui keberadaan Bu Siti.
Ditambah lagi teka-teki tentang pengemis yang berbicara dengan Pak Edi di mulut gua. Pengemis yang sebelumnya menggedor mobil kami dan melarang kami ke pantai itu dengan menyebut nama "Sridiah". Aku belum berani bercerita tentang Sridiah kepada bu Siti ataupun Nirmala. Meskipun aku yakin bahwa Sridiah adalah nenek dari Nirmala, kisahnya terlalu tragis untuk diceritakan meski aku belum tahu versi lengkapnya.
***
Arrrg!!! Whoaaa!
Tiba-tiba terdengar raungan dari dalam rumah. Para tamu pun berdesakan di pintu dan jendela karena penasaran.
Brak! Bruakk!!! Brakk!!!
Suara hentakan seorang pria yang sedang terbaring di atas ranjang kayu. Nirmala duduk mendekat pada ibunya sementara aku berdiri melihat kondisi dalam rumah dari sebuah jendela. Tak ada tamu yang berani masuk.
Entah apa yang merasuki pria di ranjang itu, tiba-tiba ia berbalik posisi seperti orang bersujud tetapi tangannya menjulur ke samping. Jari-jarinya kaku menggaruk-garuk papan ranjang kayu itu.
"Keluarlah kamu dari tubuhnya!" perintah Pak Edi lantang.
Aurmm! Rrrr!
Pria yang kerasukan itu mengeram. Dua laki-laki yang tampaknya bapak dan adik dari pria yang kerasukan itu bahkan terlempar beberapa meter, tak lagi mampu memegangi tangannya. Sementara ibunya begitu ketakutan dan berlari ke belakang Pak Edi.
"Kamu jin atau siluman?" tanya pak Edi yang berdiri tenang di hadapannya.
"Aku adalah macan putih! Utusan Prabu Siliwangi! Raja Pajajaran!" erang pria itu sambil melotot ke arah pak Edi.
Beberapa kali dia melirik dan sedikit menengok ke arah bapak, ibu dan adiknya. Mulutnya menyeringai persis seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya.
"Kamu jangan bohong! Kalau kamu tidak keluar baik-baik, terpaksa saya hancurkan kamu!" bentak Pak Edi garang.
Aku masih setengah tak percaya, apakah ini kejadian nyata atau rekayasa? Hingga kulihat dengan mata kepalaku sendiri pria itu melompat begitu tinggi menerkam pak Edi dan ibunya sendiri. Dengan sigap pak Edi menghindar sambil menangkis dan membuat "macan putih" itu terguling-guling di lantai namun segera bangkit lagi dengan gerakan persis seekor macan.
Harggghh!! Roarrrr!!!
Dia melesat begitu cepat melarikan diri ke arah pintu hingga para tamu yang menonton berteriak dan berhamburan. Beberapa pria yang menghalanginya keluar pun tesingkir oleh kebuasannya.
"Awas!!! Awasss!!!" teriak tamu-tamu wanita.
Celakanya di teras itu masih ada ibu dan Nirmala! Tepat berada lurus dengan pintu, dan "macan putih" itu sedang menerjang ke arah kepada mereka yang sedari tadi duduk di sana. Aku segera berlari ke arah Nirmala, tetapi "macan" itu lebih cepat!
Rrroarrr!!!
Seketika "macan putih" itu melompat menerjang Ibu Siti dan Nirmala.
Brakkk!!!
Kami semua terpana. Seseorang telah menaklukkan "macan putih" itu seketika. Pria kekar yang semula di pojok teras itu membantingnya. Semacam gerakan judo yang begitu efektif. Luar biasa, sekaligus ironi. Bagaimana bisa orang yang kesurupan macan langsung di-K.O. begitu saja? Ini lebih sulit lagi untuk dipercaya.
Meskipun begitu, aku sangat berterima kasih kepadanya. Namanya agak susah diingat, Pak Kawilarang.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Lusiana_Oct13
No comment la ikotkan aje alurnya
2021-09-26
0
Mirai Amthy
Chapter ini mengingatkan aku kepada film "Raden Kian santang"
2021-04-19
2
Indahsuryasari
aku sudah sampai ke bagian ini...aku beri like buatmu kak dan vote juga
2020-10-11
0