(Revisi) Terlambat Menyesalinya
Namaku adalah Adinda Larasati, aku anak tunggal dari alm. Yahya (ayahku) dan alm. Yulia (ibuku). Kedua orang tuaku meninggal karna sebuah kecelakaan mobil tunggal, dan orang tuaku meninggalkan begitu banyak sekali harta untuk ku. Mulai dari restoran, kafe dan juga butik. Semua itu sekarang masih dikelola sama asisten orang tua ku yang sangat setia pada mereka dan dia juga yang selama ini merawat ku yang masih duduk di sekolah di bangku kelas 3 SMU dengan sangat sabar, seolah aku adalah anaknya sendiri.
Aku memiliki sifat yang mudah goyah dan juga sangat percaya dengan adanya sebuah kebaikan. Sehingga aku berfikir jika aku bertahan dan berbuat baik pada orang lain maka mereka akan baik padaku, sehingga dengan sifat ku itu tak jarang ada orang yang suka memanfaatkan ku. Walau aku mengerti dengan agama namun kadang aku juga melewati batasan dan terlihat tak berguna.
Selama kehilangan kedua orang tuaku yang begitu mendadak membuatku terguncang dan terganggu hingga aku kadang membutuhkan orang lain untuk bisa menopang ku dan memberiku sebuah keberanian.
"Dinda setelah kamu lulus sekolah nanti Om akan mengirim mu ke LA untuk masuk universitas ternama disana, dan mempelajari tentang segala bidang bisnis, agar kamu bisa mengelola semua aset peninggalan orang tuamu ini dengan baik" kata om Bambang panjang lebar pada ku.
"Tapi om dinda belum pernah keluar jauh dari rumah, bagaimana dinda akan menjalani hari-hari dan kehidupan dinda disana nantinya?" jawabku memelas karna sejujurnya aku takut jika harus bepergian jauh dari rumah, apalagi ini ke luar Negri.
"Kamu harus jadi gadis yang kuat dinda, kamu tidak boleh lemah dan mudah menyerah, kamu harus bisa menghadapi segala situasi apa pun itu yang nantinya mungkin menimpah mu. Apa lagi terlihat mudah ditindas oleh orang lain, jangan pernah itu muncul dan terlihat di dirimu. Ingat harapan orang tuamu hanyalah dirimu, maka kamu harus bisa mewujudkan segala keinginan dan harapan mereka yang belum terwujud dan terlaksana. Om yakin kamu bisa melewati semuanya dengan sangat baik, jangan pernah jadi orang yang mudah patah arang. Karna kamu gadis kecil Om yang hebat dan kamu harus kuat, kamu pasti bisa melewati ini semua. Anggaplah ini sebagai ujian untukmu untuk menuju sukses kedepannya nanti" Begitulah penjelasan dan nasehat Om Bambang yang berusaha menghibur dan menguatkan hati ku.
Ya setelah kepergian orang tuaku, hari-hariku selalu diliputi oleh kesedihan yang sangat berat dan memukul diriku dengan sangat kuat, aku merasakan sesak dalam dadaku yang teramat sakit saat membayangkan kehidupanku yang hanya sendiri tanpa mereka lagi, ingin rasanya aku mengikuti kepergian ke dua orang tuaku dan menyusul mereka.
Pagi itu ku lihat Om Bambang dan kedua anaknya memasuki halaman rumahku. Ya, sejak semalam aku tak bisa tidur, walau uda ku paksakan untuk menutup mata tapi tetap saja sulit, bayang-bayang kebersamaan ku beserta kedua orang tuaku selalu membayang dibenak ku.
"Pagi non, kenapa masih aja sedih begitu sih mukanya? Ayo harus jadi gadis yang kuat dan tegar, pasti orang tua non Dinda juga ingin kalau putri mereka jadi gadis yang kuat, tegar dan ikhlas" kata Om Bambang menegur ku yang baru saja turun dengan muka masam dan malas.
"Pagi Om. Bisa tidak untuk tidak memanggil ku dengan sebutan non. Tolong perlakukan Dinda seperti anak Om, Dinda uda gak punya siapa-siapa lagi Om. Dinda sekarang sendirian di dunia ini" isak tangis ku pecah dihadapan Om Bambang
"Baiklah, baiklah sesuai dengan permintaanmu sayang. Mulai sekarang Dinda adalah anak bungsu Om, sudah jangan menangis lagi. Bukankah ini hari peringatan 100 harinya ayah dan ibu Dinda? Ayo Dinda harus kuat ya sayang" Om Bambang memeluk dan menepuk punggungku dengan lembut.
"Iya, insya allah. Makasih ya Om selalu ada untuk Dinda selama ini. Andai Dinda punya saudara mungkin Dinda gak akan sendirian seperti sekarang, hanya ditemani bi Sum dan man Ujang" jawabku sambil sesenggukan.
"Hay... Siapa bilang seperti itu. Kan masih ada mas Didi dan juga mas Dido, emangnya kami tidak kelihatan ya? Dan mulai sekarang kamu adalah adik kami yang paling cantik di dunia ini. Jadi gak boleh lama-lama bersedih. OK" ucap mas Didi dan mas Dido putra kembar Om Bambang yang beda 8 tahun dengan ku.
"Terima kasih, tolong bantu dinda ya untuk kedepannya dan tolong jangan tinggalkan Dinda sendiri" ku peluk erat mas Didi dan Dido dalam rangkulan ku.
Acara tahlilan 100 hari kematian ayah dan ibu malam itu pun berjalan sangat lancar dan hikmat. Dan sebulan lagi adalah hari kelulusanku. Om Bambang yang selalu datang tiap 3 hari sekali untuk melihatku sangat membantuku yang merasa kesepian, begitu juga dengan ke dua putranya, mereka selalu menemani ku dan banyak mengajari aku tentang segala hal, termasuk bermain musik seperti gitar dan piano yang kata mereka itu bisa membuatku untuk melampiaskan segala kesedihanku.
Dengan ketrampilan ku itu aku pun merasa sedikit terhibur karena aku mempunyai pelampiasan saat aku merasa sesak mengingat kepergian kedua orang tuaku.
"Ayah, ibu tak terasa uda 100 hari kalian meninggalkan aku sendirian di dunia ini, apa kalian tau kalau aku sangat merindukan kalian. Apa yang harus aku lakukan tanpa kalian? Aku harus bagaimana nantinya? Kenapa kalian pergi meninggalkan aku begitu cepat. Ibu tolong bantu Dinda bu" aku terisak menatap dan membelai foto kedua orang tuaku, rasanya aku masih belum bisa ikhlas dengan kepergian mereka yang begitu mendadak.
Aku selalu berusaha untuk kuwat walau aku sering menangis di malam hari tanpa sepengetahuan orang lain, karna rasa ditinggal orang yang menjadi panutan adalah hal yang sangat menyakitkan. Yang ada hanya kebingungan, walau ada banyak orang yang mendukung tapi rasanya sungguh sangat berbeda dengan dukungan dari orang tua secara langsung.
Kepergian orang tuaku yang mendadak membuatku terpaksa menjadi jiwa yang mandiri dan dewasa dengan instan, bagai buah yang matang karna karbitan. Hal itu juga yang pada akhirnya membuat diriku terkadang jadi labil dalam memutuskan segala keputusan.
Miris. Rasa sakit yang tak seorang pun tau, dan luka yang tak berdarah ini selalu menyesakkan dada setiap saat. "Ayah, Ibu Dinda merindukan kalian" lagi-lagi aku menyuarakan rasa rinduku untuk kedua orang tuaku pada hatiku.
Setiap malam ku lantunkan do'a untuk mereka berdua. Aku bercerita dan mengadu tentang rasa sakit yang ku rasakan ini pada yang kuasa, ku ceritakan dan ku tumpahkan segala rasa sesak dalam dadaku yang seolah berusaha merobek jantungku.
Ku ingat masa kecilku dulu
kau timang timang dan memanjakan ku, bila aku menangis kau peluk tubuhku
itulah masa kecilku
kini ku jauh dari peluk mu ibu
aku rindu belaian kasih sayangmu
tunggulah kepulangan anakmu ibu
kan ku sujud di kakimu ibu
maafkan aku oh ayahku
belum sempat ku balas jasamu
maafkan aku oh ibuku
yang selalu melukai hatimu
ayah dengarkanlah anakmu
sungguh aku rindu ingin bertemu
untuk ibu maafkanlah anakmu
belum bisa ku membalas jasamu.
Malam itu ku lantunkan sebuah lagu dari Laoneis Band - Rindu Ayah Dan Ibu lirik lagu untuk menyampaikan segala rasa maaf ku kepada kedua orang tuaku yang belum bisa ku balas segala jasa mereka padaku.
Aku berusaha mengenang semua kenangan dan jerih payah mereka dalam mengasuh, merawat dan membesarkan ku selama ini. Jasa-jasa mereka yang mungkin tak bisa ku balasan sampai kapan pun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Diva Kurnia sari
aku mampir ya Thor jangan lupa mampir di novel ku
2023-05-31
2
Diana Susanti
lanjut kak
2023-03-05
1
Oh Dewi
baru baca, dan suka sama ceritanya...
Kaya novel yang judulnya (Siapa) Aku Tanpamu juga bagus banget
2022-06-21
1