Rhapsody Cinta Selia
Ini adalah hari kelulusanku, hari dimana aku bebas dari sekolah menengah atas khusus putri yang sudah memenjarakanku selama 3 tahun.
Bagaimana tidak? Eyang putri sangat membatasi pergaulanku dengan yang namanya pria dari sejak kecil. Alasan tersembunyi yang berhasil kucuri dengar saat Beliau bicara dengan ibunda adalah karena eyang tidak ingin aku jatuh cinta pada pemuda biasa.
Pemuda yang dimaksud eyang tentu saja yang tidak sederajat dengan kami yang berdarah biru. Strata yang aku rasa hanya eyang yang masih menjunjungnya.
Aku sendiri berpikir bahwa itu bukan hal yang begitu berarti, bahkan gelarku sama sekali tidak membuatku menjadi orang yang pemilih dalam pergaulan.
Meskipun aku dianugerahi nama indah karena turunan bangsawan oleh eyang, yaitu Raden Rara Handining Selia Anindita. Tapi panggil saja aku Selia tanpa embel-embel lainnya.
"Itu nama sekalian alamat?" Suatu kali ada yang iseng bertanya seperti itu karena aku menyebutkan nama lengkap.
Padahal itu belum termasuk nama ayahanda sebagai wali yang akan disematkan di belakang namaku saat menikah nanti. Sudahlah, biarkan calon mempelai priaku yang menghafalnya.
Aku hanya ingin seperti ibunda, menikah dengan pria pilihannya dan bahagia. Mendobrak adat perjodohan dalam keluarga Abisatya.
"Selia mau kuliah di Surabaya, Eyang!" Pintaku sore itu ketika berbincang santai di dapur.
"Banyak universitas di Yogya, Diajeng."
"Tapi Selia ingin tinggal bersama Ibunda, apalagi kondisinya sakit-sakitan. Setidaknya Selia bisa membantu merawat dan juga menjaga adik-adik di sana."
Sebenarnya selain tujuan utamanya adalah Ibunda, aku punya tujuan kedua yaitu agar aku bisa leluasa menghabiskan masa muda tanpa beban sebagai wanita dengan kodrat Jawa yang harus kujaga.
Menghindari segala bentuk tata krama dan usaha eyang untuk mencarikan aku pasangan yang setara.
"Boleh saja, tapi nanti malam kamu harus bertemu dan berkenalan dengan keluarga Hadiyata. Putranya sudah mapan dan siap berumah tangga." Eyang sudah mulai mengatur perjodohan konyol yang dulu dipaksakannya juga kepada ibunda.
Aku mengelus dada dan mengeluh, "Selia baru saja ulang tahun ke-17 tahun ini, Eyang. Terlalu kecil untuk memikirkan rumah tangga."
"Eyang dulu sudah menikah saat seumuran kamu, dan semua baik-baik saja. Lagian putra keluarga Hadiyata sudah matang, dia akan jadi kepala keluarga yang baik dan membimbingmu untuk menjadi istrinya."
Pria dengan selisih usia 10 tahun denganku itu sungguh tidak menarik untuk kupikirkan sekarang. Aku hanya ingin lari dan membebaskan diriku sampai usiaku cukup matang untuk menikah.
"Selia masih ingin melanjutkan pendidikan, Eyang."
"Diajeng hanya perlu menyetujui lamarannya, menikahnya bisa diatur tahun depan."
Aku menarik nafas panjang dan mencoba mendebat eyang, "Selia ingin menjadi wanita karir, Eyang. Wanita mandiri, wanita visioner dan memiliki kesetaraan gender dengan pria. Ini dunia modern, bukan dunia saat eyang remaja dulu."
"Siapa yang tidak memperbolehkanmu bersikap modern, Diajeng?" Pertanyaan eyang terasa menusuk dan menyakiti telingaku. "Eyang hanya ingin bahwa sebagai perempuan kamu tau apa itu feminisme. Hingga zaman ini berakhir pun tidak ada yang namanya perempuan itu setara dengan laki-laki, Diajeng." Sambung eyang santai.
"Tapi eyang…."
"Ingatlah asal usulmu, Diajeng. Wanita Jawa dengan segala adatnya, kamu itu warisan leluhur. Penerus keluarga Abisatya!" kata eyang penuh tekanan.
Aku jenuh dengan kata adat, sejak kecil aku dijejali dengan apa itu adat, apa itu tata krama, apa itu hak dan kewajiban wanita pada kedudukannya dalam rumah tangga, dalam keluarga bangsawan, juga dalam masyarakat yang masih mengikutinya.
"Iya, Eyang." Aku mengalah demi tidak memperpanjang urusan nasehat tentang wanita lagi. Bosan.
"Bagus…"
"Selia ada kegiatan menari sore ini, Eyang." Aku mencoba pergi menghindar dari pembicaraan ini secepatnya.
Eyang putri melihat jam dinding kuno yang berdentang empat kali dan melanjutkan bicara, "Tidak, sebaiknya hari ini kamu libur saja."
"Tapi…" Aku tidak berani membantah meskipun ingin. Jadi aku hanya diam menunggu alasan yang mungkin akan eyang sampaikan.
"Ki Joyo sebentar lagi datang, kamu akan menemani eyang untuk bertemu dengannya.
"Iya…" jawabku singkat.
Eyang putri masih saja percaya dengan pria tua tuna netra itu. Segala keputusan yang akan diambil biasanya selalu dikonsultasikan dengan orang yang katanya punya mata ketiga itu.
Meskipun tidak bisa melihat secara normal tapi penerawangannya tidak pernah meleset, dan itu juga yang membuat eyang putri masih menganggapnya ada sebagai abdi sepuh keluarga Abisatya.
Orang Jawa memang tidak luput dari segala macam kepercayaan, klenik dan sebagainya. Meskipun aku kadang menampik karena terbiasa hidup secara umum tapi bukan berarti aku mengabaikan sepenuhnya.
Eyang adalah orang yang kadang menggunakan kekuatan dibalik mata manusia untuk memuluskan tujuannya, termasuk mengatur kedatangan keluarga Hadiyata dengan cara yang hanya eyang pribadi yang tau. Apalagi kalau tidak dengan mantra?
Siapa pula yang tidak tau keluarga Hadiyata? Keluarga ningrat kaya raya dengan segala pengaruhnya. Putranya yang tampan dan mapan itu sudah menjerat eyang dengan pesonanya yang tak tertolong. Dan tentu saja aku adalah umpan segar agar bisa dimangsa olehnya.
Hanya dalam satu kali lihat saja aku bisa menilai bahwa calon yang disodorkan eyang bukan pria yang setia. Matanya yang terus jelalatan saat melihatku membuatku ingin lari darinya. Aku tau dia akan mencengkeramku dengan pernikahan dan mengikatku kuat dengan anak-anaknya. Oh tidak…!
Aku tidak akan siap dengan konsep keluarganya, mungkin aku adalah ratu dalam istananya. Tapi selir adalah bagian dari sistem yang dijalankan untuk memperbanyak keturunan agar tetap menjadi keluarga besar yang berjaya. Dan aku yakin aku tidak akan mampu berbagi. Apakah salah jika aku hanya ingin jadi satu-satunya dalam hidup pria yang menikahiku, meskipun itu hanyalah pria biasa?
Aku duduk di pendopo menemani eyang yang sedang bercengkrama dengan Ki Joyo, pria sepuh yang biasanya aku panggil dengan sebutan Mbah itu datang bersama anaknya.
"Ada apa Ndoro putri memanggil saya?" tanya Beliau sopan saat menghadapi eyang.
"Aku ingin kau melihat garis tangan cucuku," jawab eyang tanpa basa-basi.
Mbah Joyo tersenyum tipis dan mengangguk setuju, matanya seperti melihatku dengan tajam. Aku bergetar merasakan ada hawa hangat yang tiba-tiba melingkupiku, aku yakin tengkukku sedang meremang.
"Apa yang ingin Ndoro putri ketahui sekarang?"
Eyang mendengus pelan dan menjawab, "Apa Hadiyata cocok untuknya?"
"Dalam penglihatan saya bukan Hadiyata yang akan mendampingi Den Rara, Ndoro!"
"Lalu siapa?"
"Pria dengan aura mistis, dengan ilmu kejawen tua. Penjelajah dua dunia."
"Dukun?" Tanya eyang panik tapi juga penasaran.
Aku menutup mulut dengan punggung tangan dan melengos ke arah lain untuk menutupi rasa geli dan menahan ledakan tawa. Masak iya yang akan mendampingiku seorang dukun?
Dalam bayanganku pasti beliau adalah aki-aki umur setengah abad keatas dengan kumis tebal, pakaian hitam dan tentu saja keris yang terselip di pinggangnya.
"Bukan, seseorang yang mengemban amanat dari leluhurnya untuk menolong sesama yang terjerat dengan masalah hitamnya hati manusia. Aura ksatria merembes dari dirinya tanpa bisa dibendung..." Terang Mbah Joyo lirih seraya menerawang jauh dengan mata batinnya. "Den Rara akan mengenalinya jika waktunya tiba," sambungnya.
"Dari mana asalnya?"
Mbah Joyo menahan nafas sebentar lalu menjawab, "Jawa Timur."
Good, itu bisa jadi alasan ketiga untukku bisa meninggalkan Yogyakarta.
Fix, aku akan kuliah di Surabaya untuk mencari si ksatria.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Hulatus Sundusiyah
Al... ini loo ndoro selia
2024-10-18
0
Bunda Silvia
tau2nya abang al kk dari temanmu sendiri seila
2024-07-15
0
Ass Yfa
beneran kisah Seila nggj ada sedikitpun di 21 lantaran mngkin pas main kerumah Ara dulu... seingatku...
2024-04-27
1