ch 07

Ara menarik tanganku untuk ikut dengannya. Aku menjajarkan langkah dengan tergesa. Kami seperti detektif yang sedang mengejar sesuatu, tapi sayangnya aku tidak tau apa yang sedang Ara kejar dengan melibatkanku.

"Ra, kita ngapain?"

"Sssttttt… ikut aja." Telunjuknya menutup bibirnya sebentar untuk kemudian diteruskan pada sosok pemuda gondrong yang oke punya. "Itu namanya Yudha."

"Apa hubungannya sama kamu, Ra?"

"Dia temannya Al, aku naksir sama dia."

"Ohh ... trus?"

"Astaga Selia, ya bantuin aku rayu Al biar dia bolehin aku pacaran sama temennya itu!"

Aku mengerjap bingung sebelum bertanya, "Lah emangnya nggak boleh? Kenapa? Apa alasannya?"

"Badboy … tapi menurutku sih itu kakakku aja yang sengaja mengada-ada. Masak dia bilang kalau dekat sama Yudha siap-siap aja jadi ibu muda! Maksudnya apa coba?"

"Kamu tanya aku trus aku tanya siapa?" Jawabku balik bertanya. Tapi aku ingat sesuatu, "Mungkin gaya pacarannya bebas, Ra. Dan kurasa Al khawatir kamu bakal dipermainkan atau dimanfaatkan sama Yudha."

"Ehh … beneran gitu maksudnya?"

"Ya aku juga nggak tau, perlu aku tanyain?"

"Iya kalau kamu pas dating lagi sama dia tanyain ya? Soalnya kalau aku yang tanya dia nggak bakal ngomong jujur, cuma bikin kesel aja jawabannya."

Dating? Belum-belum sudah deg-degan. Inget kelakuannya membuatku berdesir, mules tapi kangen. "Ehm ... iya. Tapi belum ada rencana untuk ketemu sih, Ra."

"Gampang, ke rumah bawa diktat, modul dan kawan-kawannya. Belajar bersama, nginep lagi aja!" Seringai Ara keluar dengan gumaman jenaka.

"Duh Ra, itu kan bahaya .…" Aku yakin mukaku bukan hanya merona merah muda, tapi mungkin juga berwarna hijau pucat.

Ara cengar-cengir, "Heh … emang kamu udah diapain aja?"

"..." Aku hanya meringis.

"Gimana rasanya? Aku yakin bibir kamu itu udah nggak perawan. Ya kan?" Tanyanya dengan tawa cekikikan.

"Ara…," pekikku menutup mulut, sedikit meraba bibirku yang tidak tipis seperti bibir Ara dan kakaknya.

Ara masih saja tertawa, "Kakakku nggak mungkin tahan lihat bibir seksi kamu, aku yakin sekalinya nempel pasti susah dilepasnya."

Gila nih adik blak-blakan amat kalau ngatain kakaknya, tapi emang bener sih. Kakaknya juga gila, sekali mel*umat lupa kalau aku juga butuh jeda buat ambil udara.

"Udah Ra, jangan bikin malu aku. Itukan rahasia .…"

"Halahhh, nggak usah main rahasia sama aku. Apalagi soal kelakuan kakakku." Terang Ara mengambil nafas sebentar, "Kalau sampai perawan kamu diambil sama Al bilang langsung sama Mom. Nggak usah nunggu hamil!"

"Apaan sih, Ra?"

"Setauku dia juga laki-laki normal, Selia. Kita semua udah pada dewasa, nggak tabu sama hubungan atau pacaran dengan gaya bebas seperti yang kamu sampaikan tadi. Ya semoga aja dia ngelakuin itu nanti kalau kamu udah jadi istrinya!"

Aku melihat Ara skeptis, ngelindur apa ngelantur kok ngomongnya dalem banget sampai bahas jadi istri segala? Dia bisa baca masa depan juga?

Tapi dengan keadaan keluarganya yang istimewa, bukan mustahil sebenarnya Ara juga punya kemampuan merasa dengan batinnya.

Aku mengangguk canggung, tidak menyangka Ara akan mendukungku sebesar ini agar bisa bersama kakaknya.

"Ya aku juga nggak berharap itu terjadi, Ra!"

Emang aku bisa nahan dia buat nggak ngelakuin itu? Jelas-jelas kemarin aku pasrah di belai-belai sama dia. Dah kena mantra pengasihan jenis apa aku ini ya?

"Ya dah cabut yuk!"

"Kemana?"

"Coffee shop." Ara menjawab seraya menulis chat pada ponselnya. "Ehm … kamu jangan marah ya, Sel!"

"Kenapa emangnya, Ra?"

"Al dapat undangan dari Wulan. Pameran lukisan."

"Ya itu kan bukan alasan aku harus marah .…"

"Masalahnya kakakku datang ke acara itu sama Lucia." Ara mengamati ekspresi wajahku.

Aku kecewa tapi aku tutupi dengan tertawa, "Trus apa? Kan terserah Al mau ngajak siapa, Ra."

"Aku yang kasih ide buat ke pameran Wulan sama Lucia."

Tentu saja aku kaget, "Oh gitu … lalu kenapa kamu bilang sama aku?"

"Ya aku merasa bersalah aja sama kamu, cuma nggak tau kenapa aku nggak rekomendasikan kamu yang menemani. Selain Wulan itu teman kita, ada yang nggak nyaman aku rasa … jadi aku takut aja kalau ada apa-apa."

Aku tidak mendengarkan Ara, aku cemburu pada Lucia. Meski aku tau cemburu itu adalah api yang dapat menghanguskan, tapi apa yang bisa kulakukan untuk mencegahnya? Bagaimana jika kakaknya itu jatuh cinta pada Lucia?

"Jadi aku harus bagaimana, Ra? Aku kan nggak tau maksud kamu sebenarnya apa. Aku cuma takut kalau akhirnya perjuanganku sia-sia. Jujur aja, aku belum siap patah hati, Ra. Ini cinta pertama… ya aku harap jadi cinta terakhir juga."

Ara tersenyum kasihan padaku, "Norak tau .…"

"Biarin!" Sahutku ketus walaupun akhirnya kami tertawa.

Lagi-lagi Ara memesan menu lebih dari dua. Dengan senyum nakal dia melirikku, mungkin sadar kalau aku curiga dengan jumlah kopi dan makanan ringannya. Yang kelihatan jumlahnya dua cuma es krim coklat vanila.

"Aku nanti pulang duluan ya!"

"Trus aku?" Sebenarnya sih udah nebak kalau aku akan pulang diantar kakaknya.

"Jangan pura-pura bego deh lo!"

"Ra, sopan dikit sama calon kakak ipar kenapa sih? Lagian nggak baik cewek ngomong kasar begitu!"

"Dih… kamu kan udah lama tinggal di Surabaya. Itu kan biasa, jangan disamain sama adat Yogya kamu dong!"

"Hm .…" Aku mengaduk-aduk es krim dengan tanpa minat.

"Kenapa sih kamu? Capek?"

"Iya. Capek pura-pura menikmati ini semua. Aku ingin bahagia seutuhnya, Ra!"

Ara dengan santai menyendokkan es krim ke mulutnya, "Aku nggak bisa janjikan apa-apa, Selia."

"Ya ya ya… aku tau kamu mau bilang apa, langit aja tak selalu biru kan?" Candaku melepas rasa cemburu.

"Bukan…"

"Trus apa?"

"Darah tak selalu merah," katanya sedikit sarkas. "Ada yang biru kayak punya kamu!"

"Apaan sih? Nggak penting banget, nggak ngaruh kali, Ra! Tahun berapa ini? Ada gitu yang peduli sama nama Raden Rara?"

"Siapa bilang nggak penting?"

"Tetangga sebelah…" sarkasku juga keluar dengan cuek.

"Kalau begitu kenapa kamu masih juga mikir bicara lemah lembut dan bergaya ala putri?"

"Wanita kan memang baiknya begitu, nggak ada yang salah dengan tata krama kan? Apalagi aku dibesarkan dengan mindset 'wanita jawa' yang njawani. Ada ruginya?"

"Sebenarnya aku salut, tapi aku nggak bisa seperti kamu."

Jangan Ara! Jadi wanita jawa seutuhnya seperti aku itu berat, kamu nggak akan kuat. Biar aku aja…!

Aku tersenyum geli lalu menjawab tegas "Kamu kan berdarah Yogya juga, Ra. Hanya saja mungkin kamu besar di lingkungan dan tuntutan yang tidak sama denganku."

"Aku pikir modernisasi sudah menggerus citra kita sebagai wanita. Bener nggak sih?"

Lagi-lagi aku tidak menyangkal, "Nggak juga, aku salah satu contoh yang memegang citra wanita dulu."

"Apa? Buktinya kamu sekolah tinggi!"

"R.A Kartini juga berpendidikan tinggi, tapi Beliau tidak meninggalkan citra wanita dan kebangsawanannya, Ara! Dan gelar yang kita punya nanti bukan untuk bersaing dengan pasangan hidup kita!"

"Jadi apa yang kita banggakan sebagai persembahan bagi calon suami kita?"

"Sederhana, sejatinya wanita itu cuma harus bisa masak, macak dan manak."

"L.O.L" katanya dibarengi semburan es krim karena tertawa lepas. Mungkin baginya tiga kata itu terdengar konyol di zaman sekarang.

Aku ikut terkikik melihatnya, walaupun setengahnya miris karena aku adalah pelaku juga. Setidaknya ada wejangan yang paling kubenci yang bisa aku bagi dengannya.

"Mampus nggak lo…! Makanya belajar masak!" kata satu suara yang tiba-tiba terdengar dan langsung mengambil duduk di sebelahku.

My lovely Al. Ksatrianya aku, Risa dan juga Lucia. Wulan juga?

***

Terpopuler

Comments

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

ksatria bersama itu sih namanya 😆

2022-12-15

0

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

versi dilan cwe 😆😆

2022-12-15

0

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

ga akan selll, tenangg

2022-12-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!