ch 02

Tinggal bersama Ibunda di Surabaya tidak buruk juga, apalagi menapaki dunia yang sangat baru bagiku. Dunia dimana aku bisa melihat pria dimana-mana.

Mengenyam pendidikan di sekolah khusus putri sejak kecil membuatku tidak familiar dengan yang namanya makhluk dengan jenis yang berbeda. Sehingga saat menjadi mahasiswi aku sering terpana saat melihat mahasiswa tampan di kampus dan diam-diam mengagumi mereka.

"Waktumu menemukan ksatria itu hanya sampai kuliahmu selesai, Diajeng!" Eyang memberikan ultimatum lagi kemarin malam mengenai batas waktuku.

"Iya eyang, Selia pasti akan menemukannya."

"Jika sampai Diajeng lulus dan belum bertemu dengannya, kamu tidak akan menolak siapapun yang akan eyang jodohkan denganmu."

"Iya, Selia masih ingat perjanjiannya."

Eyang menutup telepon setelah memberikan wejangan singkat padaku. Tanpa bosan mengingatkan siapa aku. Wanita yang akan melahirkan pewaris dan meneruskan trah Abisatya.

Huh, Mbah Joyo benar-benar membuat pusing. Dia tidak memberikan informasi tambahan mengenai penglihatannya. Rasanya seperti mencari semut di dalam tanah, semua tampak sama saja.

Ini sudah semester lima, dan tentu saja membuatku makin frustrasi karena belum juga bertemu si ksatria. Aku meluaskan pergaulan dengan mengikuti berbagai kegiatan dan berusaha berjumpa dengan banyak orang setiap harinya. Berharap bisa menemukannya.

Ngumpet dimana sih dia?

Aku bahkan menolak semua pria yang ingin dekat denganku hanya karena ingin fokus mencari pasangan hidupku. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali punya pengalaman pacaran tapi tetap saja aku tidak bisa mengabaikan pesan eyang. Jadi ya aku melewatkan banyak pria yang mengajakku berkencan.

Banyak pria? Tentu saja, wajahku sama sekali tidak jelek. Meskipun aku tidak mengikuti kegiatan membentuk tubuh ala eyang tapi bukan berarti aku tidak menarik secara fisik.

"Setelah lulus kuliah harus ikut kegiatan membentuk tubuh loh Diajeng, itu penting untuk keharmonisan rumah tangga nantinya, kamu harus bisa menjaga mata suamimu agar tetap padamu," pesan eyang di sela-sela telepon rutinnya.

Apaan sih? Eyang benar-benar menginginkan aku memiliki tubuh seperti model pakaian dalam yang super seksi itu? Yang bagian tubuhnya menonjol di sana sini dan di situ? Duh, membayangkannya saja aku malu.

Apalagi cara membentuknya nanti, aku harus rutin mengkonsumsi apapun minuman yang diramu Mbak Nuri. Lebih sering menari dan tentu saja stagen panjang bermeter-meter yang akan melilit pinggangku agar melekuk bak gitar spanyol dengan bagian dada membusung sempurna. Dan entah apalagi karena aku sudah bergidik tak ingin mendengarkan saat abdi dalem eyang itu merincikannya.

"Apa harus seperti itu, eyang?"

"Kecuali kamu ingin suamimu lebih suka memelihara banyak selir sebagai pemuas naf*sunya, maka kamu tidak perlu menjadi cantik luar dalam. Kamu tau kan maksud eyang?"

Aku mengangguk setuju, betapa aku masih ingat banyaknya pria dari kaum dengan strata yang sama yang memelihara wanita lebih dari satu dalam hidupnya. Baik yang secara terang-terangan dijadikan selir atau yang disembunyikan sebagai simpanan.

Dan tuntutan eyang padaku menjadi masuk akal sekarang. Bahwa aku disiapkan luar dalam untuk menjadi seorang permaisuri, bukan untuk menjadi selir apalagi cem-ceman.

Ibunda sendiri tidak kaget dengan peraturan atau keinginan eyang. Beliau anaknya, yang juga lelah dalam menjalani kodrat jawanya.

Apa yang ibunda sampaikan adalah perpanjangan dari kata-kata eyang sebelumnya. Di Yogya dan di Surabaya kalau masalah wejangan ya bisa dibilang nggak jauh beda.

"Perempuan itu nggak perlu banyak bicara, biasanya laki-laki malah tidak suka. Bicara secukupnya tapi dengan nilai pengertian yang tinggi. Laki-laki tidak suka diomeli, Diajeng! Apalagi didebat istri, mereka juga tidak mau dipinteri…" kata Ibunda ketika mengajarkanku untuk terbiasa di dapur. Memasak untuk suami.

"Iya, Bu."

Tadinya aku pikir ayah menyediakan asisten rumah tangga yang tidak berguna di dapur karena Ibunda masih juga memasak. Ternyata itu adalah hal yang memang ingin dilakukan beliau. Menyenangkan suami lewat lidahnya, lewat makanan enak yang disajikan dengan cintanya.

Pada akhirnya bisa masak dan menguasai dapur itu wajib kupelajari, lupakan soal makanan beli apalagi masakan abdi untuk sang suami!.

"Masih ingat apa tugas perempuan yang sebenarnya, Diajeng?"

Aku mengingat wejangan kuno eyang, "Wong wedok kudu iso masak, macak lan manak, Ibu." (Wanita itu harus bisa memasak berdandan dan melahirkan)

Wejangan yang mungkin juga disampaikan oleh ibunya eyang saat Beliau muda. Dan turun temurun disampaikan kepada anak cucu wanitanya agar tidak lupa pada kodratnya.

"Ya kata orang tua dulu itu Ibu rasa ada benarnya juga. Kita tidak bisa memanjakan suami dengan gelar pendidikan yang kita punya, nyatanya gelar S2 Ibu tidak banyak berguna untuk ayahmu.

Suami lebih suka dimanja dengan makanan enak yang kita buat, Diajeng. Dengan penampilan kita yang selalu cantik saat di depannya, dan dengan memberikan dia keturunan yang baik dan sehat." Ibunda sambil tersenyum teduh saat menyampaikan itu.

Betapa sederhana kalimat Ibunda saat memberikan arti dari masak macak dan manak, aku mencernanya dengan sederhana juga. Bahwa bagaimanapun wanita tidak lepas dari tiga kata yang terbilang kuno itu jika ingin suaminya bahagia. Bahwa Ibunda juga melepaskan ambisinya saat muda yang ingin menjadi wanita karir nan modern hanya dengan menjadi ibu rumah tangga.

Aku membantu sebisaku, menyiapkan semua sayuran dan bumbu di dekat Ibunda. Mencuci ikan dan menggorengnya dengan cara yang diajarkannya. Dan memasak apapun yang diperintahkan Ibunda.

"Masakanmu lumayan enak loh, Diajeng!" Itu komentar Beliau saat mencicipi apa yang kubuat setiap harinya.

Aku hanya tersenyum dan berterima kasih untuk pengajaran yang tidak mudah ini. Karena sebenarnya aku tidak suka bau bawang merah dan merasa tersiksa saat mengirisnya.

"Kamu juga terbilang cantik," lanjut wanita yang melahirkanku itu.

Kecantikan yang sepenuhnya kuwarisi dari Beliau. Bahkan jika diamati aku seperti sketsa Ibunda waktu muda.

"Siapa dulu Ibundanya…" ujarku tertawa kecil melihat betapa ayu ibundaku, sama sekali tidak terlihat tua bagiku.

"Jadi, apa kamu sudah menemukan pemuda yang dikatakan peramal itu?"

"Belum, Ibu. Sekarang Selia jadi takut jangan-jangan Mbah Joyo salah saat membacakan garis tangan."

"Kalaupun dia salah, dia sudah menyelamatkan kamu dari menikah muda kan? Tetaplah berterima kasih pada idenya yang membawamu tinggal bersama Ibu beberapa tahun ini.

Karena jika dia tidak berkata seperti itu, kamu akan menetap di Yogya bersama eyangmu. Dan kesempatan Ibu untuk membimbing anak gadisnya jadi tidak ada. Jujur saja Ibu merasa bersalah karena tidak sepenuhnya ada untuk kamu selama ini.

Ibu harap kamu memahami konflik yang terjadi dulu antara Ibu dan eyang putrimu itu."

Dari kecil ikut eyang, jadi aku memahami dengan baik karakter Beliau. Sejak kehilangan suami, semua kendali keluarga Abisatya memang diatur eyang putri.

Dari alasan menjaga amanat dari suaminya, menjaga warisan, menjaga trah leluhur dan lain sebagainya membuat eyang putri bersikap layaknya kepala keluarga.

"Bagaimana jika Selia tidak bertemu dengannya sampai lulus kuliah, Ibu?"

Ibu mendekatiku dan mengusap bahuku dengan sayang, "Kamu akan menemukannya, Diajeng!"

Aku mengangguk meskipun dengan gelisah, berusaha percaya dengan naluri seorang ibu.

***

Terpopuler

Comments

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

sarua henteu sih jeung dapur sumur kasur 🤔

2023-05-16

0

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

manjakan pasangan mu dari perutnya
lalu.......

2023-05-16

0

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

stagen itu kaen bengkung kyk nya
yg pnjng bwt ngeglibet di perut kan yak

2023-05-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!