ch 05

Aku merasakan sentuhan lembut di lengan, lalu di bahu. Awalnya pelan, kemudian menjadi goncangan keras. Tepukan di pipi kanan dan kiri dan beberapa kali panggilan yang akhirnya menyadarkanku. Aku terbangun dengan nafas tersengal dan mata membelalak.

Ara kembali menyentuh lenganku, matanya mengantuk saat melihatku. Tapi dia berusaha tetap terjaga dengan beberapa kali mengedip dan mengerutkan dahinya. Aku duduk bersandar headboard ranjang seraya memeluk bantal.

"Mimpi buruk?" tanya Ara dalam gumamannya.

"Mimpi aneh," kataku pelan. Aku lelah dengan mimpi ini.

"Bukankah itu mimpi yang sama yang menghantuimu dari dulu?"

"Bagaimana kamu tau, Ara?" Aku bertanya dengan letih dan ngilu.

"Hanya menebak. Tidurlah lagi, Selia. Kamu akan baik-baik saja!" Ujar Ara kembali merapatkan selimut dan tidur memunggungiku.

Hutan belantara dengan cahaya remang-remang, jika sebelumnya aku hanya berdiri di tepian. Malam ini aku masuk ke dalam kegelapan dan tersesat di sana. Tangan yang biasanya menggapaiku justru menggapai tangan lain yang menyembul timbul tenggelam pada lumpur hitam. Lumpur hidup.

Aku menghela nafas berat dan kembali menyusun bantal dan menyusul Ara, berharap mendapatkan mimpi indah di sela-sela malam yang dingin.

Rumah ini terasa nyaman, sekaligus terasa lebih hangat dari hawa yang semestinya. Berbeda dengan rumah siapapun yang pernah aku datangi.

Tiba-tiba aku teringat kakak Ara. Aku yakin dia tidak sedang tidur, hawa dari kamarnya membuat kulitku meremang, sama seperti ketika dia ada di sekitarku.

Mendadak rasa kantuk menyerang, dan aku langsung terlelap dengan nyenyaknya. Seperti terkena sirep. Memang apa yang sedang dilakukannya di kamar? Semedi? Merapal mantra?

Paginya saat sarapan aku tidak bisa menyimpan rasa kaget. Betapa rumah Ara jadi begitu ramai. Jam berapa Risa dan Lucia datang hingga kami bisa duduk bersama di meja makan?

Al datang terlambat, wajah mengantuknya masih kelihatan nyata meskipun rambutnya basah karena habis mandi. Dan tidak bisa dipungkiri dia tetap saja tampan dengan muka bantalnya. Born to be awesome namanya, kalau nggak salah istilahnya gitu.

Matanya menyapu kami secara bergantian, menyembunyikan senyum tipisnya. Senyum bangga kalau pagi ini ada tiga dara yang numpang sarapan di rumahnya. Mungkin.

Dasar Playboy!

Kami sarapan dalam diam, hanya Ara dan Mom yang bertukar cerita di meja makan. Aku malu, rasanya aku menginap di saat yang tidak tepat. Aku ingin makan pagi ini segera berakhir agar aku bisa pulang dan berdiam diri di kamarku.

Orang tua Ara akhirnya undur diri karena sudah selesai, meninggalkan kami yang saling diam. Aku benci lihat Al yang terlihat kikuk, aku penasaran apa yang sedang dipikirkannya sekarang.

"Aku mau pinjem meja, numpang nggambar," Risa pamit meninggalkan kami setelah Al menunjukkan letak meja gambar dan mempersilahkan untuk menggunakannya.

Aku juga langsung pamit dengan alasan mau mengerjakan tugas, dan dia hanya mengangguk tanpa bersuara. Aku malas melihatnya, lebih tepatnya kesal karena sikapnya.

Apalagi selanjutnya aku dengar dia dan Lucia mengobrol dengan akrabnya.

"Aku kesini karena anakku kangen sama kamu, Al." Aku dengar Lucia tertawa bahagia saat mengucapkan kalimat manja itu.

"Anaknya apa emaknya?" Tanya kakak Ara terdengar meledek. Al … aku sebel sama kamu! Jeritan hatiku merana.

Selanjutnya mereka membahas kehamilan Lucia. Hah … anak siapa itu?

Moodku langsung ambyar mendengarnya, rasanya wajahku memerah karena menahan semua perasaan yang sulit aku jelaskan.

"Ra, aku nggak salah dengar kan? Itu Lucia sedang hamil?" Aku mendekati Ara dengan penasaran.

"Muka kamu itu biar kesel juga tetap kayak barbie ya?" Ara ngakak melihat ekspresi kaku dan marahku.

"Nggak lucu! Lagi nggak bercanda ini, Ra. Aku serius … tuh cewek?" Aku meletakkan tangan di depan perut dengan posisi melengkung seperti mengelus perut dari atas ke bawah.

Dia mengangguk membenarkan, "Iya, Lucia lagi hamil."

"Mereka akan menikah?" Tanyaku dengan hati deg-degan. Aku tidak siap disambar petir sepagi ini.

"Nggak tau kalau soal itu, tapi sepertinya sih nggak ada pembicaraan keluarga untuk ke arah sana. Lucia hamil bukan karena kakakku, Selia. Anggep aja kecelakaan. Aku nggak bisa ceritain ke kamu, itu aib orang. Aku juga nggak mau menghakimi .…"

Ada kelegaan mendengarnya, tapi juga ada was-was untuk kejadian yang tidak terduga berikutnya.

"Ya udah aku pulang sekarang aja ya! Aku malu, Ra. Rumahmu dah kayak hareem pribadi kakakmu aja …," candaku sebal.

Ara menggerutu padaku, "Gitu bilang mau berjuang, belum-belum udah merasa kalah duluan. Gimana sih kamu itu? Padahal aku dukung kamu!"

"Aduh Ra, ini muka mau ditaruh mana?"

"Ya taruh tempatnya lah, masak di dalam kulkas?"

"Aku serius. Kamu nggak bisa bayangin gimana perasaan aku karena kamu nggak menjalaninya."

"Semoga aku nggak nemu yang flamboyan kayak gitu sih …," kekeh Ara sengit. "Tapi sebagai sesama wanita aku merasa kamu patut berjuang. Kakakku itu layak kamu dapatkan, Selia." Lanjut Ara serius.

Aku menghela nafas dan menghembuskannya dengan berat, "Jadi aku harus gimana, Ra?"

"Ayo kita ngemall aja siang ini! Makan, nonton … pokoknya senang-senang."

Aku benar-benar nggak tau apa yang direncanakan Ara, setelah sedikit melakukan perawatan di salon kami pergi ke mall untuk sekedar senang-senang.

Hal yang aku suka dengan Ara adalah dia sepertiku, tidak terlalu pusing dengan status tidak punya pacar. Dia juga cantik, tapi kriteria cowok idamannya adalah yang seperti Om Andric, Daddy nya.

"Makan apa kita, Ra?" tanyaku setelah berputar-putar dan membeli beberapa kebutuhan perempuan.

"Ramen mau?" Idenya seraya menunjuk tempat makan nuansa Japanese yang tidak begitu penuh pengunjung.

"Sip … laper berat nih," sahutku dengan semangat mendahului Ara.

"Porsi dobel ya?" Ara memilih makanan untuk 4 orang. Begitu juga minumannya.

Aku langsung protes, "Ra, siapa yang mau ngabisin makanan sebanyak itu? Laper sih laper tapi gila aja kalau harus makan semua."

Ara cekikikan nggak peduli dengan protesku, sibuk membalas chat di ponselnya. "Santai ... habis itu nanti. Aku jamin!"

"Kamu ya yang habi .…" Lidahku langsung kelu tak sanggup meneruskan apa yang ingin kusampaikan pada Ara.

Kakaknya mendekat, berjalan ibarat model dengan mata yang menyorot tajam padaku. Tanpa permisi langsung duduk diantara aku dan Ara. Aku melirik Ara yang mengulum senyum, aku ingin menjitaknya. Iseng banget sih dia!

"Kamu nggak usah kuatir. Aku udah undang tukang makan buat bantu kita ngabisin pesanan …," ujar Ara dengan seringai licik.

Seingatku pagi tadi, playboy ini berangkat bareng Om Andric meninggalkan haremnya dengan tidak bertanggung jawab.

"Kok tiba-tiba aja ada di sini?" Aku beranikan diri bertanya untuk mencairkan suasana. Lagian aku nggak suka dia terus melihat dengan senyumnya yang ditahan itu. Gatel.

"Ya kan diundang Ara makan, sayang kalau ditolak!"

Good, sekarang aku tidak tau harus mengucapkan terima kasih atau ngomel pada Ara karena sudah membuat rencana ini.

Aku mengangguk saja, melirik Ara yang cuek dengan keberadaan kami. Sehingga aku harus mencari obrolan dengan kakaknya. Sialnya hingga selesai makan, Ara masih saja seperti obat serangga. Diam, tanpa suara, pendengar setia.

"Kak, anter Selia pulang ya! Ara dicari mom nih, urgent." Ara tiba-tiba berdiri bersiap pergi. Mendekat padaku hanya untuk berbisik, "Happy dating, Sister!"

"With pleasure …," jawab kakaknya seraya melirikku penuh makna.

Ara…!

***

Terpopuler

Comments

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

sengaja tuhh biar kmu bisa ngobrol bnyk sma si softboy

2022-12-15

0

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

jomblange adiknya sendiri

2022-12-15

0

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

berat yaa klo tipenya kya dady nya

2022-12-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!