NovelToon NovelToon

Rhapsody Cinta Selia

ch 01

Ini adalah hari kelulusanku, hari dimana aku bebas dari sekolah menengah atas khusus putri yang sudah memenjarakanku selama 3 tahun.

Bagaimana tidak? Eyang putri sangat membatasi pergaulanku dengan yang namanya pria dari sejak kecil. Alasan tersembunyi yang berhasil kucuri dengar saat Beliau bicara dengan ibunda adalah karena eyang tidak ingin aku jatuh cinta pada pemuda biasa.

Pemuda yang dimaksud eyang tentu saja yang tidak sederajat dengan kami yang berdarah biru. Strata yang aku rasa hanya eyang yang masih menjunjungnya.

Aku sendiri berpikir bahwa itu bukan hal yang begitu berarti, bahkan gelarku sama sekali tidak membuatku menjadi orang yang pemilih dalam pergaulan.

Meskipun aku dianugerahi nama indah karena turunan bangsawan oleh eyang, yaitu Raden Rara Handining Selia Anindita. Tapi panggil saja aku Selia tanpa embel-embel lainnya.

"Itu nama sekalian alamat?" Suatu kali ada yang iseng bertanya seperti itu karena aku menyebutkan nama lengkap.

Padahal itu belum termasuk nama ayahanda sebagai wali yang akan disematkan di belakang namaku saat menikah nanti. Sudahlah, biarkan calon mempelai priaku yang menghafalnya.

Aku hanya ingin seperti ibunda, menikah dengan pria pilihannya dan bahagia. Mendobrak adat perjodohan dalam keluarga Abisatya.

"Selia mau kuliah di Surabaya, Eyang!" Pintaku sore itu ketika berbincang santai di dapur.

"Banyak universitas di Yogya, Diajeng."

"Tapi Selia ingin tinggal bersama Ibunda, apalagi kondisinya sakit-sakitan. Setidaknya Selia bisa membantu merawat dan juga menjaga adik-adik di sana."

Sebenarnya selain tujuan utamanya adalah Ibunda, aku punya tujuan kedua yaitu agar aku bisa leluasa menghabiskan masa muda tanpa beban sebagai wanita dengan kodrat Jawa yang harus kujaga.

Menghindari segala bentuk tata krama dan usaha eyang untuk mencarikan aku pasangan yang setara.

"Boleh saja, tapi nanti malam kamu harus bertemu dan berkenalan dengan keluarga Hadiyata. Putranya sudah mapan dan siap berumah tangga." Eyang sudah mulai mengatur perjodohan konyol yang dulu dipaksakannya juga kepada ibunda.

Aku mengelus dada dan mengeluh, "Selia baru saja ulang tahun ke-17 tahun ini, Eyang. Terlalu kecil untuk memikirkan rumah tangga."

"Eyang dulu sudah menikah saat seumuran kamu, dan semua baik-baik saja. Lagian putra keluarga Hadiyata sudah matang, dia akan jadi kepala keluarga yang baik dan membimbingmu untuk menjadi istrinya."

Pria dengan selisih usia 10 tahun denganku itu sungguh tidak menarik untuk kupikirkan sekarang. Aku hanya ingin lari dan membebaskan diriku sampai usiaku cukup matang untuk menikah.

"Selia masih ingin melanjutkan pendidikan, Eyang."

"Diajeng hanya perlu menyetujui lamarannya, menikahnya bisa diatur tahun depan."

Aku menarik nafas panjang dan mencoba mendebat eyang, "Selia ingin menjadi wanita karir, Eyang. Wanita mandiri, wanita visioner dan memiliki kesetaraan gender dengan pria. Ini dunia modern, bukan dunia saat eyang remaja dulu."

"Siapa yang tidak memperbolehkanmu bersikap modern, Diajeng?" Pertanyaan eyang terasa menusuk dan menyakiti telingaku. "Eyang hanya ingin bahwa sebagai perempuan kamu tau apa itu feminisme. Hingga zaman ini berakhir pun tidak ada yang namanya perempuan itu setara dengan laki-laki, Diajeng." Sambung eyang santai.

"Tapi eyang…."

"Ingatlah asal usulmu, Diajeng. Wanita Jawa dengan segala adatnya, kamu itu warisan leluhur. Penerus keluarga Abisatya!" kata eyang penuh tekanan.

Aku jenuh dengan kata adat, sejak kecil aku dijejali dengan apa itu adat, apa itu tata krama, apa itu hak dan kewajiban wanita pada kedudukannya dalam rumah tangga, dalam keluarga bangsawan, juga dalam masyarakat yang masih mengikutinya.

"Iya, Eyang." Aku mengalah demi tidak memperpanjang urusan nasehat tentang wanita lagi. Bosan.

"Bagus…"

"Selia ada kegiatan menari sore ini, Eyang." Aku mencoba pergi menghindar dari pembicaraan ini secepatnya.

Eyang putri melihat jam dinding kuno yang berdentang empat kali dan melanjutkan bicara, "Tidak, sebaiknya hari ini kamu libur saja."

"Tapi…" Aku tidak berani membantah meskipun ingin. Jadi aku hanya diam menunggu alasan yang mungkin akan eyang sampaikan.

"Ki Joyo sebentar lagi datang, kamu akan menemani eyang untuk bertemu dengannya.

"Iya…" jawabku singkat.

Eyang putri masih saja percaya dengan pria tua tuna netra itu. Segala keputusan yang akan diambil biasanya selalu dikonsultasikan dengan orang yang katanya punya mata ketiga itu.

Meskipun tidak bisa melihat secara normal tapi penerawangannya tidak pernah meleset, dan itu juga yang membuat eyang putri masih menganggapnya ada sebagai abdi sepuh keluarga Abisatya.

Orang Jawa memang tidak luput dari segala macam kepercayaan, klenik dan sebagainya. Meskipun aku kadang menampik karena terbiasa hidup secara umum tapi bukan berarti aku mengabaikan sepenuhnya.

Eyang adalah orang yang kadang menggunakan kekuatan dibalik mata manusia untuk memuluskan tujuannya, termasuk mengatur kedatangan keluarga Hadiyata dengan cara yang hanya eyang pribadi yang tau. Apalagi kalau tidak dengan mantra?

Siapa pula yang tidak tau keluarga Hadiyata? Keluarga ningrat kaya raya dengan segala pengaruhnya. Putranya yang tampan dan mapan itu sudah menjerat eyang dengan pesonanya yang tak tertolong. Dan tentu saja aku adalah umpan segar agar bisa dimangsa olehnya.

Hanya dalam satu kali lihat saja aku bisa menilai bahwa calon yang disodorkan eyang bukan pria yang setia. Matanya yang terus jelalatan saat melihatku membuatku ingin lari darinya. Aku tau dia akan mencengkeramku dengan pernikahan dan mengikatku kuat dengan anak-anaknya. Oh tidak…!

Aku tidak akan siap dengan konsep keluarganya, mungkin aku adalah ratu dalam istananya. Tapi selir adalah bagian dari sistem yang dijalankan untuk memperbanyak keturunan agar tetap menjadi keluarga besar yang berjaya. Dan aku yakin aku tidak akan mampu berbagi. Apakah salah jika aku hanya ingin jadi satu-satunya dalam hidup pria yang menikahiku, meskipun itu hanyalah pria biasa?

Aku duduk di pendopo menemani eyang yang sedang bercengkrama dengan Ki Joyo, pria sepuh yang biasanya aku panggil dengan sebutan Mbah itu datang bersama anaknya.

"Ada apa Ndoro putri memanggil saya?" tanya Beliau sopan saat menghadapi eyang.

"Aku ingin kau melihat garis tangan cucuku," jawab eyang tanpa basa-basi.

Mbah Joyo tersenyum tipis dan mengangguk setuju, matanya seperti melihatku dengan tajam. Aku bergetar merasakan ada hawa hangat yang tiba-tiba melingkupiku, aku yakin tengkukku sedang meremang.

"Apa yang ingin Ndoro putri ketahui sekarang?"

Eyang mendengus pelan dan menjawab, "Apa Hadiyata cocok untuknya?"

"Dalam penglihatan saya bukan Hadiyata yang akan mendampingi Den Rara, Ndoro!"

"Lalu siapa?"

"Pria dengan aura mistis, dengan ilmu kejawen tua. Penjelajah dua dunia."

"Dukun?" Tanya eyang panik tapi juga penasaran.

Aku menutup mulut dengan punggung tangan dan melengos ke arah lain untuk menutupi rasa geli dan menahan ledakan tawa. Masak iya yang akan mendampingiku seorang dukun?

Dalam bayanganku pasti beliau adalah aki-aki umur setengah abad keatas dengan kumis tebal, pakaian hitam dan tentu saja keris yang terselip di pinggangnya.

"Bukan, seseorang yang mengemban amanat dari leluhurnya untuk menolong sesama yang terjerat dengan masalah hitamnya hati manusia. Aura ksatria merembes dari dirinya tanpa bisa dibendung..." Terang Mbah Joyo lirih seraya menerawang jauh dengan mata batinnya. "Den Rara akan mengenalinya jika waktunya tiba," sambungnya.

"Dari mana asalnya?"

Mbah Joyo menahan nafas sebentar lalu menjawab, "Jawa Timur."

Good, itu bisa jadi alasan ketiga untukku bisa meninggalkan Yogyakarta.

Fix, aku akan kuliah di Surabaya untuk mencari si ksatria.

***

ch 02

Tinggal bersama Ibunda di Surabaya tidak buruk juga, apalagi menapaki dunia yang sangat baru bagiku. Dunia dimana aku bisa melihat pria dimana-mana.

Mengenyam pendidikan di sekolah khusus putri sejak kecil membuatku tidak familiar dengan yang namanya makhluk dengan jenis yang berbeda. Sehingga saat menjadi mahasiswi aku sering terpana saat melihat mahasiswa tampan di kampus dan diam-diam mengagumi mereka.

"Waktumu menemukan ksatria itu hanya sampai kuliahmu selesai, Diajeng!" Eyang memberikan ultimatum lagi kemarin malam mengenai batas waktuku.

"Iya eyang, Selia pasti akan menemukannya."

"Jika sampai Diajeng lulus dan belum bertemu dengannya, kamu tidak akan menolak siapapun yang akan eyang jodohkan denganmu."

"Iya, Selia masih ingat perjanjiannya."

Eyang menutup telepon setelah memberikan wejangan singkat padaku. Tanpa bosan mengingatkan siapa aku. Wanita yang akan melahirkan pewaris dan meneruskan trah Abisatya.

Huh, Mbah Joyo benar-benar membuat pusing. Dia tidak memberikan informasi tambahan mengenai penglihatannya. Rasanya seperti mencari semut di dalam tanah, semua tampak sama saja.

Ini sudah semester lima, dan tentu saja membuatku makin frustrasi karena belum juga bertemu si ksatria. Aku meluaskan pergaulan dengan mengikuti berbagai kegiatan dan berusaha berjumpa dengan banyak orang setiap harinya. Berharap bisa menemukannya.

Ngumpet dimana sih dia?

Aku bahkan menolak semua pria yang ingin dekat denganku hanya karena ingin fokus mencari pasangan hidupku. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali punya pengalaman pacaran tapi tetap saja aku tidak bisa mengabaikan pesan eyang. Jadi ya aku melewatkan banyak pria yang mengajakku berkencan.

Banyak pria? Tentu saja, wajahku sama sekali tidak jelek. Meskipun aku tidak mengikuti kegiatan membentuk tubuh ala eyang tapi bukan berarti aku tidak menarik secara fisik.

"Setelah lulus kuliah harus ikut kegiatan membentuk tubuh loh Diajeng, itu penting untuk keharmonisan rumah tangga nantinya, kamu harus bisa menjaga mata suamimu agar tetap padamu," pesan eyang di sela-sela telepon rutinnya.

Apaan sih? Eyang benar-benar menginginkan aku memiliki tubuh seperti model pakaian dalam yang super seksi itu? Yang bagian tubuhnya menonjol di sana sini dan di situ? Duh, membayangkannya saja aku malu.

Apalagi cara membentuknya nanti, aku harus rutin mengkonsumsi apapun minuman yang diramu Mbak Nuri. Lebih sering menari dan tentu saja stagen panjang bermeter-meter yang akan melilit pinggangku agar melekuk bak gitar spanyol dengan bagian dada membusung sempurna. Dan entah apalagi karena aku sudah bergidik tak ingin mendengarkan saat abdi dalem eyang itu merincikannya.

"Apa harus seperti itu, eyang?"

"Kecuali kamu ingin suamimu lebih suka memelihara banyak selir sebagai pemuas naf*sunya, maka kamu tidak perlu menjadi cantik luar dalam. Kamu tau kan maksud eyang?"

Aku mengangguk setuju, betapa aku masih ingat banyaknya pria dari kaum dengan strata yang sama yang memelihara wanita lebih dari satu dalam hidupnya. Baik yang secara terang-terangan dijadikan selir atau yang disembunyikan sebagai simpanan.

Dan tuntutan eyang padaku menjadi masuk akal sekarang. Bahwa aku disiapkan luar dalam untuk menjadi seorang permaisuri, bukan untuk menjadi selir apalagi cem-ceman.

Ibunda sendiri tidak kaget dengan peraturan atau keinginan eyang. Beliau anaknya, yang juga lelah dalam menjalani kodrat jawanya.

Apa yang ibunda sampaikan adalah perpanjangan dari kata-kata eyang sebelumnya. Di Yogya dan di Surabaya kalau masalah wejangan ya bisa dibilang nggak jauh beda.

"Perempuan itu nggak perlu banyak bicara, biasanya laki-laki malah tidak suka. Bicara secukupnya tapi dengan nilai pengertian yang tinggi. Laki-laki tidak suka diomeli, Diajeng! Apalagi didebat istri, mereka juga tidak mau dipinteri…" kata Ibunda ketika mengajarkanku untuk terbiasa di dapur. Memasak untuk suami.

"Iya, Bu."

Tadinya aku pikir ayah menyediakan asisten rumah tangga yang tidak berguna di dapur karena Ibunda masih juga memasak. Ternyata itu adalah hal yang memang ingin dilakukan beliau. Menyenangkan suami lewat lidahnya, lewat makanan enak yang disajikan dengan cintanya.

Pada akhirnya bisa masak dan menguasai dapur itu wajib kupelajari, lupakan soal makanan beli apalagi masakan abdi untuk sang suami!.

"Masih ingat apa tugas perempuan yang sebenarnya, Diajeng?"

Aku mengingat wejangan kuno eyang, "Wong wedok kudu iso masak, macak lan manak, Ibu." (Wanita itu harus bisa memasak berdandan dan melahirkan)

Wejangan yang mungkin juga disampaikan oleh ibunya eyang saat Beliau muda. Dan turun temurun disampaikan kepada anak cucu wanitanya agar tidak lupa pada kodratnya.

"Ya kata orang tua dulu itu Ibu rasa ada benarnya juga. Kita tidak bisa memanjakan suami dengan gelar pendidikan yang kita punya, nyatanya gelar S2 Ibu tidak banyak berguna untuk ayahmu.

Suami lebih suka dimanja dengan makanan enak yang kita buat, Diajeng. Dengan penampilan kita yang selalu cantik saat di depannya, dan dengan memberikan dia keturunan yang baik dan sehat." Ibunda sambil tersenyum teduh saat menyampaikan itu.

Betapa sederhana kalimat Ibunda saat memberikan arti dari masak macak dan manak, aku mencernanya dengan sederhana juga. Bahwa bagaimanapun wanita tidak lepas dari tiga kata yang terbilang kuno itu jika ingin suaminya bahagia. Bahwa Ibunda juga melepaskan ambisinya saat muda yang ingin menjadi wanita karir nan modern hanya dengan menjadi ibu rumah tangga.

Aku membantu sebisaku, menyiapkan semua sayuran dan bumbu di dekat Ibunda. Mencuci ikan dan menggorengnya dengan cara yang diajarkannya. Dan memasak apapun yang diperintahkan Ibunda.

"Masakanmu lumayan enak loh, Diajeng!" Itu komentar Beliau saat mencicipi apa yang kubuat setiap harinya.

Aku hanya tersenyum dan berterima kasih untuk pengajaran yang tidak mudah ini. Karena sebenarnya aku tidak suka bau bawang merah dan merasa tersiksa saat mengirisnya.

"Kamu juga terbilang cantik," lanjut wanita yang melahirkanku itu.

Kecantikan yang sepenuhnya kuwarisi dari Beliau. Bahkan jika diamati aku seperti sketsa Ibunda waktu muda.

"Siapa dulu Ibundanya…" ujarku tertawa kecil melihat betapa ayu ibundaku, sama sekali tidak terlihat tua bagiku.

"Jadi, apa kamu sudah menemukan pemuda yang dikatakan peramal itu?"

"Belum, Ibu. Sekarang Selia jadi takut jangan-jangan Mbah Joyo salah saat membacakan garis tangan."

"Kalaupun dia salah, dia sudah menyelamatkan kamu dari menikah muda kan? Tetaplah berterima kasih pada idenya yang membawamu tinggal bersama Ibu beberapa tahun ini.

Karena jika dia tidak berkata seperti itu, kamu akan menetap di Yogya bersama eyangmu. Dan kesempatan Ibu untuk membimbing anak gadisnya jadi tidak ada. Jujur saja Ibu merasa bersalah karena tidak sepenuhnya ada untuk kamu selama ini.

Ibu harap kamu memahami konflik yang terjadi dulu antara Ibu dan eyang putrimu itu."

Dari kecil ikut eyang, jadi aku memahami dengan baik karakter Beliau. Sejak kehilangan suami, semua kendali keluarga Abisatya memang diatur eyang putri.

Dari alasan menjaga amanat dari suaminya, menjaga warisan, menjaga trah leluhur dan lain sebagainya membuat eyang putri bersikap layaknya kepala keluarga.

"Bagaimana jika Selia tidak bertemu dengannya sampai lulus kuliah, Ibu?"

Ibu mendekatiku dan mengusap bahuku dengan sayang, "Kamu akan menemukannya, Diajeng!"

Aku mengangguk meskipun dengan gelisah, berusaha percaya dengan naluri seorang ibu.

***

ch 03

Setelah makan malam aku masuk ke kamar, besok ada kuis. Meskipun sudah ada kisi-kisi dari Mister Abraham, tapi dengan materi sebanyak ini rasanya aku ingin menyerah saja.

Satu bab aku sama sekali tidak memiliki catatan, kok bisa? Aku baru ingat kalau dua minggu lalu aku tidak masuk kelas si Mister karena nganter Ibunda ke rumah sakit. Check up rutin kesehatan.

Aku mencari nama Lina dan menulis pesan kalau aku akan kesana untuk meminjam catatannya. Lama tak dapat balasan aku menelponnya.

"Aku sekarang lagi di luar beb, nanti malem kalau udah pulang aku fotoin ya!" Dia sengaja menyampingkan kamera agar aku tidak melihat dia sedang pergi dengan siapa. Pasti gebetan barunya.

Huh, kencan melulu ni anak. "Siapa lagi tuh?"

Lina cekikikan dan berbisik mendekatkan wajahnya ke layar, "Besok aku ceritain! Dah ya beb, kamu ganggu orang dating aja deh…" sambungnya dengan nada manja.

Aku mengangkat alis dan mematikan panggilan videoku. Malam jam berapa dia pulang? Bisa-bisa nggak sempet baca materinya nanti.

Akhirnya aku menemukan nama Tiara setelah mengingat teman wanita yang ambil kelas yang sama mata kuliah itu. Akupun menelponnya segera.

"Ra, pinjem catatan dua minggu lalu dong!" Aku menyebutkan tanggal kapan aku tidak masuk.

"Mau difotoin?" Ara menawarkan kebaikannya.

"Boleh deh."

"Atau kamu ke rumahku aja? Kita belajar bersama, rumit juga nih materinya." Suara Ara terdengar mengecil dari seberang telepon karena dia sedang sibuk mencari materi yang aku minta.

Waktu menunjukkan pukul 19.20. Aku memakai sweater dan meminta izin ayah yang sedang sendirian menonton televisi untuk keluar ke rumah Tiara. Dan motor maticku dengan cepat membelah kota Surabaya selama 20 menit.

Tiara langsung membawaku ke kamarnya, kertas berserakan dimana-mana. Ini cewek nggak rapi banget.

"Itu materinya…" tunjuknya padaku.

Aku membaca dan akhirnya serius mendiskusikannya dengan Ara. Idenya untuk belajar bersama ternyata jauh lebih masuk akal, karena kami sama-sama mengerti dan memahami kisi-kisi kuis dengan lebih baik.

Entah mengapa aku tiba-tiba berdebar. Tanpa sebab dan tanpa alasan yang jelas.

"Sel…" Ara memanggil dan menepuk bahuku pelan. Bagaimana bisa aku kehilangan fokus dan kehilangan diri barusan?

Aku mengerjap beberapa kali untuk memastikan debaran aneh yang sesaat lalu menghampiriku. "Iya, Ra?"

"Kamu kenapa?"

"Aku juga nggak tau, Ra."

"Kamu aneh, tiba-tiba diem kayak orang nggak sadar. Bikin takut aja," gumam Ara seraya memperhatikanku dengan lebih seksama.

Hawa aneh yang tidak bisa dijelaskan, mendebarkan dan membuatku panas dingin dengan tiba-tiba. Masak iya rumah Ara ada hantunya?

Kami menyudahi belajar ketika jam menunjukkan hampir jam sepuluh.

"Aku pulang Ara, udah malem banget."

"Udah nginep aja!"

"Nggak ah, tadi bilang pulang sama ayah. Nanti ditungguin." Belum pernah seumur hidup aku menginap di rumah orang. Terlebih rumah ini membuatku merasa aneh.

"Mau hujan itu loh, apalagi kamu naik motor…" protes Ara karena aku keras kepala.

"Ngebut, Ra. Cuma 20 menit ini." Aku nggak mau Ara tau kalau ada perasaan tak nyaman di rumahnya.

"Gila kamu ya?"

"Waras, Ra." Aku memakai sweater dan helm. Nekat meski gerimis mulai turun.

"Aku antar dah! Motormu masukin aja…" paksanya dengan wajah ditekuk. Ternyata teman yang tidak kukenal dekat ini baik juga.

"Kak… ayo temani Ara nganterin temen pulang!" Suara Ara terdengar menggema di ruangan tamu. Dan selanjutnya suara gedoran pada pintu. Mungkin kamar kakaknya. Dia tidak pernah cerita kalau punya kakak.

"Apaan sih, Ra. Udah malem, suruh nginep aja! Aku capek baru pulang…" jawab suara cowok setelah terdengar pintu terbuka.

"Nggak mau... anaknya ngeyel mau pulang hujan-hujanan. Ayolah, Kak!"

"Duh kamu ini kalau nggak merepotkan orang kenapa sih?"

"Nggak bisa, udah takdir kalau kakak itu wajib bantu adiknya. Kakak tega Ara ngenterin sendiri malam-malam begini?"

"Iya… iya… dah sana, berisik!"

Aku masih sibuk membahas materi dan kisi-kisi kuis besok dengan Ara di dalam mobil. Dan kakaknya itu hanya diam tanpa suara sedikitpun. Ekspresinya pun datar saja saat pandangan kami bertemu sekilas sebelum berangkat tadi.

Konsentrasiku sedikit buyar dan kadang nggak nyambung hingga Ara beberapa kali protes dan membenarkan pokok bahasan kami. Apa lagi penyebabnya kalau bukan kakaknya?

Cowok yang tingginya mungkin hampir 180 cm dan sedang mengemudi ini sangat menggangguku. Aku Mengamati wajah Ara demi membandingkan dengan kakaknya, karena mereka memang mirip.

Alasan lainnya sebenarnya aku ingin melihat wajah kakaknya tapi aku malu dan tak berani mencuri pandang. Sehingga melihat Ara adalah cara teraman membingkai wajah tampan yang ada di depan layaknya supir taksi online itu.

"Ada yang aneh di mukaku?" Tanya Ara penuh selidik.

Aku menggeleng dan nyengir tanpa merasa bersalah sudah mengamati wajah Ara, "Nggak ada."

"Kok gitu amat ngeliatnya? Kamu jadi aneh tau nggak sih…" Ara menempelkan telapak tangannya di dahiku.

Aku tertawa kecil, apa dikira aku hilang ingatan atau sedang demam? "Aku baik-baik saja, Ara."

"Besok kamu ke kampus naik apa? Motormu kan di rumahku!"

Aku nyengir senang karena ada alasan untuk datang lagi ke rumah Ara. "Ojek online, pulang dari kampus baru aku ambil. Nggak apa-apa kan, Ra?"

"Ya nggak apa-apa, atau besok bareng aku aja! Kita kan kuis pagi bersama, jadi berangkatnya aku jemput."

"Nggak ah, merepotkan kamu aja. Santai aja kali, Ra!" Ehm sebenarnya ngarep sih dibarengi Ara ke kampus. Ngarep lagi kalau Ara ke kampusnya dianterin supir ganteng yang dari tadi diam aja.

"Bisa kan kak besok kita lewat rumah Selia pas berangkat?" Tanya Ara pada kakaknya. Aku jadi deg-degan ingin dengar suaranya.

"Hm…"

Astaga, cuma gitu doang tanggapannya? Irit banget bicaranya, lagi sakit gigi apa lagi sariawan ya dia?

"Nggak usah, Ra. Serius ini…" aku masih saja menolak kebaikan Ara. Terlebih jawaban kakaknya yang singkat itu, bikin kesel hatiku secara tiba-tiba.

Setelah berdebat sebentar dengan Ara, akhirnya dia setuju kalau aku besok berangkat sendiri saja.

Aku mengucap terima kasih pada Ara, dan mengangguk sopan pada kakaknya.

Bagaimana aku merasa langsung tertusuk hanya dengan pandangan singkatnya? Senyuman tipis seraya mengangguk menjawab ucapan terima kasihku itu sungguh mendebarkan.

Hati, diamlah!

Dengan linglung aku masuk ke dalam. Ada yang hilang saat Ara dan kakaknya pergi meninggalkanku di depan rumah. Perasaan ini tidak pernah ada sebelumnya, aku yakin tidak pernah mendapat getaran ini saat berdekatan dengan siapapun.

Bukankah peramal itu mengatakan aku akan mengenalinya jika bertemu dengannya? Apakah ini pertanda kalau dia adalah sang belahan jiwa?

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!