Pagi ini terlihat mendung. Sepertinya akan turun hujan. Anindya terlihat sedang menyiapkan sarapan untuk nenek dan kakek Zein dimeja makan seadanya diruang tamu. Ia lalu menemui neneknya didalam kamar yang masih tertidur pulas. Entah kenapa semakin hari neneknya semakin suka tidur. Mungkin karena penyakit diabetes yang dideritanya.
Anindya membangunkan neneknya dengan hati-hati agar tidak mengejutkannya. Butuh waktu lama untuk membangunkannya. Anindya memanggilnya agak keras agar wanita baya itu terbangun. Anindya melihat matanya yang tampak bergerak kekanan dan kekiri. Kirana tampak membuka matanya perlahan untuk menyesuaikan dengan kondisi cahaya yang mulai menyilaukan pandangan matanya.
"Akhirnya nenek bangun juga." ucap Anindya.
Kirana tersenyum. Anindya lalu membantunya untuk menyandarkan tubuh rentanya di ranjang.
"Apa nenek mau mandi?" tanyanya.
"Nanti saja. Nenek ingin duduk sebentar disini." jawabnya lesu.
"Apa nenek sakit? Wajah nenek terlihat pucat." tanyanya cemas sambil menempelkan punggung tangannya didahi Kirana.
"Tidak. Nenek hanya merasa lelah. Mungkin karena usia nenek yang semakin tua." jawabnya sambil tersenyum.
Kirana lalu memandang wajah Anindya yang duduk ditepi ranjang.
"Kenapa nenek menatapku seperti itu?" tanyanya heran.
"Kau sudah tumbuh dewasa sekarang. Kau terlihat semakin mirip dengan ibumu. Sangat cantik." pujinya sambil mencubit lembut dagunya.
Anindya tampak tersenyum. Sebenarnya ada sedikit kecemasan di hati Anindya tentang neneknya itu. Tapi ia tidak tahu tentang apa itu.
"Aku ini kan anak ibu. Sudah pasti aku akan mirip dengannya." ucapnya dengan penuh rasa bangga.
Kirana tersenyum mendengar perkataannya.
Ia lalu membelai wajahnya dengan lembut. Ia terus menatapnya tanpa henti.
"Anindya! Kau harus tetap semangat menjalani hidupmu. Jangan pernah menyerah sekalipun nenek tidak ada bersamamu lagi." pesannya.
Anindya seketika mengernyitkan dahinya heran. Ia tidak mengerti kenapa neneknya tiba-tiba berbicara seperti itu. Ia lalu hendak membantu neneknya untuk berjalan ke kamar mandi agar membantunya membersihkan diri. Tapi neneknya menolak. Ia ingin berbaring saja diatas ranjangnya. Karena ia merasa tidak sanggup lagi untuk berjalan.
"Apa nenek benar-benar tidak apa-apa? Apa perlu Anin panggilkan Bu dokter untuk memeriksa nenek?" tanyanya cemas.
"Tidak. Nenek baik-baik saja. Kau tidak perlu cemas. Mungkin nenek hanya lelah karena kemarin kita seharian bermain di pantai." jelasnya sambil berusaha menenangkan cucunya itu.
"Benar tidak apa-apa?" tanyanya lagi.
"Iya." ucapnya.
"Baiklah! Aku akan mengambil air hangat untuk membersihkan tubuh nenek. Sebentar ya!" ucapnya lalu pergi ke dapur.
Ia kembali dengan membawa wadah besar yang terisi dengan air hangat. Tak lupa ia membuka semua pakaian yang membalut tubuh renta wanita baya itu. Anindya lalu membasahi handuk kecil yang dibawanya dan memerasnya agak kering. Ia lalu mengaplikasikannya pada wajah neneknya. Dengan hati-hati, ia membersihkan seluruh wajahnya. Setelah itu ia kembali membasahi handuk itu dan memerasnya lagi. Ia beralih ke bagian lengan dan tubuh rentanya.
Kenapa tiba-tiba hatiku merasa tidak tenang? batinnya gelisah.
Ia menyelesaikan pekerjaannya. Lalu ia mengambil handuk kering yang ukurannya jauh lebih besar untuk mengeringkan tubuh neneknya yang basah. Setelah kering, ia mengaplikasikan minyak hangat pada tubuh neneknya lalu memakaikan pakaian padanya.
"Nek! Setelah ini Anin mau kembali ke pasar ya! Tadi ibu Sari menyuruh Anin untuk kembali secepatnya karena ia sangat kerepotan sendirian mengurus para pembeli. Kemarin malam suaminya mendapatkan ikan yang jauh lebih banyak dari biasanya. Mungkin Anin juga akan menerima uang yang lebih banyak dari biasanya." jelasnya antusias.
Kirana hanya tersenyum mendengarkan semua ucapan Anindya. Setelah selesai dengan urusannya, Anindya membawa kembali wadah air beserta pakaian kotor neneknya ke dapur.
Tak lama terdengar suara ketukan di pintu depan.
"Itu pasti kakek dan ibu Sofia." gumamnya sambil tersenyum lalu segera berlari kedepan untuk membukakan pintu.
Baru beberapa hari saja mereka disini, Anindya sudah merasa dekat dengan mereka berdua. Sore ini rencananya, mereka berdua akan pulang dan kembali ke kota. Anindya seketika merasa sedih. Tapi bagaimanapun juga tempat mereka bukan disini. Mereka punya kehidupan lain di kota bersama keluarganya.
"Kakek sudah datang?" tanyanya begitu melihat pria baya itu berdiri didepan pintu dengan antusias.
Tapi ia hanya datang seorang diri bersama supirnya. Sementara Ibu Sofia sama sekali tidak terlihat disana.
"Ibu Sofia tidak datang kakek?" tanya Anindya setelah mengajaknya masuk sambil menggandeng tangannya.
"Tidak. Ia sedang mengurus sesuatu. Nanti setelah selesai ia akan menyusul kemari." Jelasnya.
"Oh begitu ya. Ayo kek! Anin sudah memasak makanan yang enak untuk kakek." ajaknya lalu membantunya untuk duduk dimeja makan.
Ia juga memanggil neneknya untuk makan dan memberitahukannya jika kakek Zein sudah datang. Mereka bertiga mulai memakan makanannya. Zein begitu lahap memakan masakan Anindya. Ia sepertinya terlihat cocok dengan segala makanan yang dimasak oleh gadis itu. Namun berbeda dengan neneknya.
Wanita baya itu tampak tidak bersemangat hari ini. Ia hanya sedikit memakan makanannya. Sepertinya ia tidak begitu selera makan hari ini. Anindya terus membujuknya agar ia mau diperiksa oleh dokter. Tapi ia tetap saja bersikeras jika dirinya baik-baik saja. Anindya merasa cemas melihat neneknya seperti itu.
Tak lama ibu Sofia datang dan membawakan sebuah kotak besar untuk Anindya. Ia lalu membuka kotak itu, isinya sebuah gaun selutut berwarna merah muda dan sepasang sepatu dengan warna senada untuknya.
"Ini benar-benar untuk Anin? Bagus sekali. Tapi.. Anin sepertinya tidak pantas memakainya. Ini pasti harganya mahal sekali." tolaknya sopan.
Kakek Zein membujuknya agar menerima pemberiannya itu. Kakek Zein sudah menganggap Anindya seperti cucunya sendiri. Ia berharap gadis itu tidak menolak hadiah darinya. Akhirnya dengan terpaksa, Anindya menerima gaun dan sepatu itu. Ia lalu pergi ke kamar untuk menyimpannya. Setelah itu, ia pamit pada mereka untuk kembali lagi ke pasar. Sebelum pergi ia menatap wajah neneknya agak lama dan memberi ciuman di dahinya. Ia juga memeluk tubuh rentanya dengan erat seakan-akan itu adalah saat terakhir dirinya bertemu dengan wanita baya itu.
_________
"Zein! Aku merasa waktuku sudah semakin dekat." ucapnya lirih.
Saat itu mereka berdua berada didalam kamar. Kira sedang duduk menyandar diatas ranjangnya, sementara Zein duduk di atas kursi tak jauh dari ranjang itu. Sofia terlihat berdiri menyandar di pintu kamar yang sengaja dibiarkan terbuka.
"Jangan bicara sembarangan seperti itu. Beristirahatlah jika kau lelah." tegurnya marah.
Kirana tersenyum padanya. Lalu meminta Sofia agar mengambilkan sesuatu dari bawah bantalnya karena ia tidak sanggup mengambil sendiri. Sofia melakukan apa yang diminta wanita itu. Ia melihat apa yang ada dibalik bantal lusuhnya. Sebuah kertas yang terlipat rapi. Ia lalu memberikan kertas itu pada Kirana.
"Zein! Tolong berikan surat ini pada Anindya saat aku pergi nanti." ucapnya lirih sambil memberikan surat itu pada Zein.
"Kenapa tidak kau berikan sendiri?" tanyanya heran.
"Aku takut tidak akan sempat menemuinya lagi." jawabnya.
"Kirana! Berhenti bicara seperti itu." tegurnya lagi.
"Zein. Aku sudah lelah. Aku ingin beristirahat dengan tenang sekarang." ucapnya dengan tatapan kosong seperti orang yang kehilangan arah.
Ia meminta Sofia untuk membantunya berbaring. Dan Sofia melakukan permintaannya itu. Sepertinya Sofia juga sudah merasa jika itu adalah saat terakhirnya untuk membantu wanita baya yang baru beberapa hari ini dekat dengannya.
Kirana tampak memejamkan matanya dan melipat kedua tangan diatas perutnya. Ia tidur dengan tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Rita Ulia
suka thor visualnya
2021-01-05
2