Pagi ini seperti biasa terlihat ramai. Para pelayan tampak sibuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Rumah ini terlampau besar sehingga membutuhkan belasan pelayan untuk membersihkannya. Belum lagi beberapa pengurus kebun dan penjaga rumah ini. Entah berapa besar gaji yang diberikan Adrian pada mereka.
Anindya tentu tak ingin ambil pusing memikirkan hal itu. Yang sekarang menjadi beban pikirannya adalah bagaimana caranya untuk keluar dari rumah ini tanpa menyakiti hati Zein. Ia tak ingin berlama-lama tinggal dirumah ini karena tidak ingin merepotkannya. Belum lagi ketidaksukaan Adrian padanya yang terlihat jelas dari sikapnya yang seperti membenci kehadirannya di rumah ini.
Setelah selesai sarapan, Anindya mohon izin pada Zein untuk bertemu dengan sahabatnya.
"Kau pergi dengan Adrian saja. Bukankah kampus temanmu itu searah dengan kantornya." Zein memberikan sebuah usul padanya.
Zein melirik kearah Adrian yang tampaknya tak pernah perduli pada apapun. Dia menunjukkan wajah dinginnya lagi.
Anindya juga melirik takut kearah Adrian. Astaga! Kenapa kakek malah menyuruhku untuk pergi bersamanya. Bagaimana jika dia menurunkanku ditengah jalan? Atau membuangku di tengah hutan yang banyak binatang buasnya? batinnya meronta.
"Ehm... Tidak usah kakek. Biar aku naik bus saja. Aku tahu jalan kesana." bantahnya sambil melirik kearah Adrian yang bersikap dingin padanya.
Pria itu hanya diam saja tanpa menyetujui ataupun membantah perkataan kakeknya.
"Tidak. Kakek sudah katakan kepadamu jika kau tidak boleh pergi sendiri." larangnya.
"Adrian!" serunya kearah pria itu.
"Hem...!" sahutnya datar.
Ia memakai kacamata hitamnya lalu dengan santainya berlalu begitu saja dari hadapan mereka.
"Pergilah bersamanya!" perintah Zein pada Anindya.
"Tapi kek. Dia tidak...."
"Pergilah! Dia sudah bersedia mengantarkanmu." Zein dengan cepat menyela pembicaraannya.
Ucapannya yang mana yang mengatakan setuju. Bukankah dia cuma mengatakan "hem" apa itu artinya setuju. Ah. Sudahlah. Aku ikut saja dengannya.
Anindya lalu segera pergi setelah berpamitan pada Zein. Ia berlari mengikuti Adrian yang sudah lebih dulu pergi.
Ia sampai di halaman. Adrian sudah duduk didalam mobil bersama supirnya. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang karena mesin mobil yang dibiarkan menyala. Tapi ia ragu karena tidak tahu harus duduk dimana. Tidak mungkin di kursi belakang karena Adrian duduk disana. Ia melihat kursi samping supir kosong. Sehingga ia memutuskan untuk duduk didepan saja. Saat hendak membuka pintu depan, seseorang berdehem dari arah belakang nya. Itu Romi, asisten pribadi Adrian. Kapan dia datang?
"Maaf nona! Biar saya yang duduk di depan. Sebaiknya anda duduk dibelakang bersama tuan." sarannya sambil tersenyum.
Anindya terdiam sejenak. Ingin membantah tapi tidak bisa. Seakan ada sesuatu yang tersangkut ditenggorokannya, sehingga sulit rasanya untuk mengeluarkan suara.
Adrian tampak melirik tajam kearah Romi. Sepertinya pria itu paham maksud lirikannya itu.
"Sebaiknya nona segera masuk kedalam sebelum tuan benar-benar.. . marah." ucap pria berkacamata itu dengan nada cemas.
Anindya akhirnya menurutinya. Ia duduk di samping Adrian dengan terpaksa. Pria itu sama sekali tak menoleh sedikitpun kearahnya.
_______________
Perjalanan ke Universitas membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Jalanan pagi ini tidak terlalu padat sehingga mobil mereka bisa menembus tanpa hambatan yang berarti.
Di sepanjang perjalanan, hanya ada keheningan yang tercipta didalam mobil sedan mewah berwarna hitam itu. Tak ada satupun dari penghuni mobil yang mengeluarkan sepatah katapun. Suasana jadi terasa mencekam. Anindya sedari tadi hanya memperhatikan keadaan luar yang terlihat dari kaca jendela sampingnya. Ia memperhatikan bangunan-bangunan besar yang membentang di sepanjang jalan.
Keadaan kota sungguh berbanding terbalik dengan keadaan di kampung halamannya dulu. Tidak ada bangunan besar seperti ini. Hanya ada rumah-rumah penduduk dan pantai. Karena memang jarak perkampungan mereka yang sangat jauh dari jalan raya. Bahkan saat sekolah dulu, anak-anak disana harus menumpang mobil pick-up untuk sampai ke sekolahan.
Sementara di kota, semua serba ada. Banyak angkutan umum yang tersedia sesuai dengan tujuan masing-masing si pengguna. Pusat perbelanjaan juga lengkap disini. Banyak tempat-tempat yang bisa dikunjungi.
Tapi sayangnya, Anindya belum pernah kemanapun selain ke pasar sejak tinggal disini. Sejujurnya ia merasa terkekang tinggal disini. Ia tak bisa keluar dengan bebas semaunya. Ia perlu izin untuk melakukan apapun yang dia suka. Dia tahu diri dengan keadaannya yang hanya menumpang tinggal bersama orang disini. Tapi bagaimanapun seseorang berhak atas kebebasannya sendiri, bukan? Karena itulah ia ingin sekali keluar dari rumah itu dan memulai kehidupannya sendiri dengan bebas seperti dulu.
Namun, bagaimana caranya? Tadi saja saat ia ingin pergi sendiri, Zein sangat melarang keras dirinya. Apa mungkin pria itu bisa mengizinkannya untuk hidup mandiri?
Tanpa sadar ia menghela nafas berat. Ia tak sadar jika sebenarnya pria disampingnya itu diam-diam mengawasinya.
Mereka akhirnya sampai di area kampus. Anindya turun dari mobil setelah berterima kasih pada Adrian karena sudah bersedia untuk mengantarkannya walaupun pria itu tak menyahuti ucapannya. Namun, saat ia hendak membuka pintu mobil, pria dingin itu berpesan padanya.
"Supir akan menjemputmu pukul sebelas nanti. Jadi tunggulah disini." ucapannya tanpa menoleh kearahnya.
Anindya hanya menganggukkan kepalanya. Ia lalu keluar dari sana. Mobil itu pergi setelahnya.
Anindya tampak bingung setelah sampai disana. Ia lupa menanyakan mereka akan bertemu dimana. Sayangnya Anindya tidak mempunyai ponsel sehingga ia tak bisa menanyakan keberadaan temannya itu. Ia memutuskan untuk berkeliling diarea kampus. Mungkin saja ia bisa bertemu dengannya. Ia menyusuri area taman, kantin hingga ke setiap kelas yang ada disana. Namun ia tidak juga melihat keberadaan temannya itu dimanapun. Ia menyerah. Akhirnya ia m memutuskan untuk duduk di kursid taman saja sembari menunggunya.
Ia memperhatikan mahasiswa dan mahasiswi yang lalu lalang di hadapannya. Mereka tampak sedang bersenda gurau. Anindya jadi merasa sepertinya kuliah itu sangat menyenangkan. Jika saja dulu ia punya banyak uang, mungkin ia akan seperti mereka sekarang.
Ia seketika termenung memikirkan seandainya ia adalah seorang mahasiswi di sebuah universitas kedokteran. Pastinya nenek dan ibunya akan merasa bangga padanya.
Lamunannya seketika terhenti saat dirinya ditepuk oleh seseorang dari arah belakang.
"Anindya!" seru seorang wanita.
Ia menoleh kearah sumber suara. Seorang wanita cantik berambut sebahu yang sangat dikenalnya. "Anne! Kau benar-benar Anne, kan?" tanyanya memastikan setelah beranjak dari tempatnya.
"Iya! Aku Anne." ucapnya lalu memeluk Anindya.
Anindya juga membalas pelukannya. Rasanya sudah sangat lama sejak pertemuan terakhir mereka. Anne adalah sahabatnya dulu saat duduk di bangku sekolah menengah atas. Mereka sangat dekat dulu. Sudah seperti saudara. Tapi mereka harus berpisah saat Anne memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di kota. Karena ia ingin mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang psikiater. Ia punya sebuah cerita dibalik cita-citanya itu.
Anindya dan Anne berpelukan sangat lama untuk melepaskan rasa rindu mereka.
-Anne
__________________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
[💝¹³_ALi💫¹⁶JaFar²⁰*💝
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
2021-08-28
0
Ida Thea
Kapan upnya thor
2020-06-07
1
Dinda Dede
masih setia menanti thor ceritanya
2020-06-04
2