Anindya membawa nampan berisikan mangkuk dan gelas yang telah kosong itu keluar kamar. Ia terlihat bingung begitu keluar dari kamarnya. Rumah itu ternyata begitu besar dan luas. Anindya tampak kesulitan mencari dimana letak dapurnya. Mau bertanya juga tidak tahu pada siapa. Tak terlihat seorang pun di sana.
Ia lalu menuruni anak tangga dengan hati-hati karena jujur saja kepalanya masih terasa pusing saat ini. Ia bahkan berpegangan di dinding untuk menyeimbangkan langkahnya. Ia benar-benar tak bisa mengingat apa yang terjadi padanya kemarin malam. Ia bahkan tidak ingat jika dirinya sampai tidak sadarkan diri.
Kenapa tidak terlihat seorangpun disini? Apa mereka belum bangun?
Ia terus berjalan hingga sampai kelantai dasar, menelusuri seluruh seluk beluk rumah ini. Terlalu banyak ruangan didalamnya. Bahkan terlihat banyak sekali sofa besar disetiap ruangan.
Akhirnya ia menemukan seseorang disana. Seorang wanita yang sangat dikenalnya.
"Kau sedang apa disini? Kenapa kau tidak berbaring saja diatas ranjang? Kau baru saja sadar Anindya. Jangan memaksakan dirimu. Kemarikan nampan itu. Biar ibu saja yang membawanya. " tegur Sofia sembari mengambil nampan itu dari tangannya.
"Aku... " Anindya tidak sempat membantah perkataan Sofia karena wanita itu segera memotong pembicaraannya.
"Sudah! Jangan membantah. Jika kau bersikeras seperti ini. Kau sendiri yang akan kesusahan nantinya. Pergilah ke kamarmu. Kau butuh banyak istirahat untuk memulihkan keadaan fisikmu. Ingatkan apa yang nenekmu katakan. Kau harus melanjutkan hidupmu. Jalanmu masih sangat panjang. Jadi dengarkan apa yang ibu katakan."
Anindya terpaksa menuruti perkataan Anindya. Ia pergi dari sana dengan langkah pelan. Mungkin benar apa yang dikatakan wanita itu padanya. Ia masih harus melanjutkan hidupnya. Saat ini Ia harus berjuang seorang diri.
Saat ia hendak menaiki tangga ke lantai atas, ia berpapasan dengan seorang pria tampan yang pagi itu sudah berpakaian rapi dengan setelan jas berwarna blue navy dengan kemeja putih terbalut di dalamnya. Ia mengira mungkin pria itulah tuan muda di rumah ini. Kemarin ia memang tak sempat memperhatikan wajahnya karena terlalu takut. Tapi kini ia bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. Ia terlihat sangat tampan walaupun ekspresinya sedingin es. Membuat siapapun yang melihatnya akan takut.
Anindya seketika menghentikan langkahnya sembari menundukkan wajahnya saat mata mereka saling beradu. Ia membiarkan pria itu turun terlebih dahulu. Ia menggeser tubuhnya hingga merapat ke pegangan tangga. Padahal tangga itu sangat lebar, hingga bisa dilewati tiga orang sekaligus.
Saat sampai di anak tangga paling bawah, Adrian menghentikan langkahnya. Ia melirik wanita itu dengan tajam. Anindya seketika membeku saat pria itu melirik kearahnya. Ia semakin menundukkan wajahnya.
"Berapa usiamu? " tanyanya ketus.
Anindya tampak kaget hingga mendongakkan kepalanya untuk memandang wajah pria itu. Lalu menjawab pertanyaan dengan ragu. "Dua.. puluh tahun tuan. "
Pria itu seketika mendengus lalu menggeleng gelengkan kepalanya. Ia lalu pergi begitu saja dari hadapannya. Meninggalkan wanita itu yang tampak heran melihatnya. Anindya hanya bisa mengerutkan keningnya.
___________ My dearest wife
"Bagaimana keadaan Anindya?" tanya Zein pada Sofia.
Saat itu Sofia sedang menyajikan makanan kepada Zein dan Adrian diruang makan.
"Dia sudah sadar tuan. Dia juga menghabiskan makanan yang dibawakan pelayan untuknya. Dia jauh kelihatan lebih baik dari sebelumnya." jelasnya sambil tersenyum.
"Baguslah! Itu artinya dia benar-benar yakin dengan keputusannya. Dia hanya perlu mencari sesuatu untuk memicu semangat hidupnya. Bagaimanapun juga kondisinya masih sangat labil saat ini. Dia masih harus terus diawasi. Tetap dampingi dia Sofia." ucapnya lega.
"Iya tuan. Saya mengerti." sahutnya.
"Sepertinya wanita itu bisa merebut hati siapapun dengan mudah." sindir Adrian.
"Iya. Mungkin saja suatu hari nanti ia bisa merebut kembali hatimu yang sedingin es itu. " balas Zein sambil tersenyum kearahnya.
Adrian tersenyum sinis. "Jadi kakek memang memiliki maksud lain saat membawa wanita itu kerumah ini? " tanyanya.
"Tidak. Kakek membawanya kemari hanya untuk menepati janji pada seseorang. Dia membutuhkan seseorang untuk mendampinginya." Zein tampak serius dengan perkataannya.
"Baguslah jika hanya itu alasannya. Karena aku sedang tidak ingin berdebat dengan kakek pagi ini. Jadi tetaplah seperti itu." ucapnya.
"Kau tenang saja. Kakek akan memastikan jika hal itu tidak akan terjadi. " Zein terlihat sangat yakin.
Adrian segera pamit begitu ia menyelesaikan makan paginya. Ia ada banyak pekerjaan hari ini.
"Ehm... tuan! Apa tuan yakin akan melakukannya? Saya hanya takut jika nantinya Anindya lah yang paling terluka dalam hubungan ini. " ucap Sofia cemas setelah melihat Adrian keluar dari rumah.
"Kita lihat saja nanti. Aku yakin Anindya bisa meluluhkan hatinya yang sekeras batu." ucap Zein.
Entah apa yang terbesit di dalam pikiran pria bayar itu. Apa ia berniat untuk menjodohkan Adrian dengan Anindya?
_________ My dearest wife
Adrian lansung pergi setelah berpamitan pada kakeknya. Diluar rumah Romi sudah terlihat menunggu di teras rumahnya yang luas. Pria berkacamata itu tampak sedang menantinya dengan sabar. Ia berdiri disamping mobil sedan mewah berwarna silver yang biasanya selalu digunakan tuannya untuk pergi ke kantor.
"Selamat pagi tuan! " sapanya dengan penuh hormat.
Adrian hanya menganggukkan kepalanya untuk membalas sapaan asisten pribadinya itu. Romi dengan sigap membuka pintu belakang agar atasannya itu bisa naik.
"Apa kau sudah membereskan tuntutan para warga?" tanya Adrian sebelum masuk kedalam mobil.
"Sudah tuan. Semuanya sudah beres. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan." jawabnya.
"Bagus! Aku tidak ingin mendengar masalah apapun lagi yang berkaitan dengan pembangunan."
"Baik tuan!" sahut Romi.
Adrian langsung masuk kedalam mobilnya. Begitupun dengan Romi. Yah, selain sebagai asisten pribadinya, Romi jugalah yang selalu bertugas untuk mengantarnya kemanapun selama itu berhubungan dengan pekerjaan. Sudah sepuluh tahun lebih ia bekerja dengan Adrian. Tak pernah sekalipun ia terlihat mengeluh dengan sikap Adrian yang terkadang sangat Arogan. Ia sepertinya sudah hapal betul dengan sikapnya. Ia tahu jika sebenarnya Adrian adalah orang yang baik. Ia selalu memperdulikan para karyawan yang loyal terhadapnya. Ia bahkan memberikan bonus tahunan kepala mereka jika mereka disiplin terhadap waktu. Romi tiba-tiba teringat sesuatu. Namun tampaknya ia ragu untuk mengatakan hal itu kepada Adrian.
"Ehm... maaf tuan! Ada sesuatu yang harus saya sampaikan pada tuan."
"Ada apa?" tanyanya sambil melihat ponselnya.
"Ehm.... ini mengenai nona.. Natasha. Ia kembali ke kota ini." jawabnya ragu.
Adrian seketika menghentikan aktivitasnya. Ia terdiam sejenak. Namun seketika ia kembali bermain dengan ponselnya. Ia tampak bersikap biasa di depan asistennya itu.
"Biar saja! Apa kau tidak punya hal penting lain yang perlu kau urus? " tanyanya.
"Maaf tuan! " pintanya.
Romi segera menyalahkan mesin mobil dan segera pergi dari sana. Adrian sendiri tampak berkutat dengan pikirannya saat nama wanita itu kembali disinggung di hadapannya. Satu nama yang sudah sejak lama ia coba untuk melupakannya.
Bukankah ada yang bilang jika cinta pertama itu sulit untuk dilupakan?
__________ My dearest wife
*
*
*
*
*
Hai! para pembaca tersayang. Terima kasih 😘💕karena tetap setia ngikutin ceritanya. Terima kasih juga atas segala bentuk dukungan yang diberikan.
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan vote sukarela nya untuk karyaku ini. Apalah aku tanpa kalian. 😘
Semoga tetap setia nungguin up selanjutnya ya.
salam sayang
-Thiea 🌸
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Jihan Riski
hai Thor...slm kenal y,, smpe bab ini aku suka ceritanya...💪💪👌
2023-06-21
0
Thiea
Terima kasih semuanya.. 🙏🥰
2021-10-05
1
Lidiaa PJM
Novel author bagus bnget cerita nya tp knp sedikit peminat nya?
Pokok nya semangat trus bkin cerita nya thor
2021-10-05
1