"Kau tidak perlu mencemaskan hal itu. Anindya mengurus kakek dengan sangat baik. Ia juga membuatkan makanan yang sehat untuk kakek. Jadi kakek rasa, Sam tidak perlu repot untuk memeriksa kakek." Ia mencoba untuk membantah perkataan cucunya itu.
"Apa dia dokter?" tanya Adrian.
"Bukan." jawab Zein sambil menggelengkan kepalanya.
"Apa dia ahli gizi?"
"Bukan juga."
"Jika begitu tentu dia tidak paham dengan apa yang seharusnya kakek konsumsi maupun tidak. Jadi Sam tetap akan memeriksa kakek." sahutnya dengan nada meremehkan.
"Iya sudah! Terserah kau saja. Tapi belum tentu karena dia bukan seorang dokter ataupun ahli gizi, dia jadi tidak mengerti tentang kesehatan. Dia bisa mempelajarinya. Kau paham!" bantahnya kesal.
Sementara Sam yang sedari tadi hanya mendengar perdebatan antara kakek dan cucunya ini hanya diam tanpa berusaha untuk ikut campur dengan ketidaktahuannya itu.
Samuel, itu nama dokter yang selama ini menangani masalah penyakit jantung yang diderita oleh Zein. Selain sebagai dokter keluarga, ia juga sahabat baik Adrian karena mereka telah berteman sejak kecil. Jadi sudah pasti ia telah terbiasa mendengar segala perdebatan yang terjadi diantara kedua orang dihadapannya itu. Yang satu terlalu berlebihan jika menyangkut tentang kondisi kesehatan kakeknya, sementara yang bersangkutan selalu menolak untuk diperlakukan berlebihan oleh cucunya.
"Baiklah! Aku akan memeriksa kondisi kakek. Sebaiknya kita pergi ke kamar sekarang." perintahnya halus.
Adrian dengan sigap membantunya berdiri dari sofa. Biarpun terlihatlah arogan, namun ia begitu menyayangi pria baya yang selalu membuatnya pusing itu.
"Aku masih sanggup untuk berjalan sendiri." larangnya pada Adrian.
"Kakek mau menurut untuk kupapah, atau aku harus menggendong kakek dipunggung ku agar kakek tidak terus menerus membantahku." Adrian tampak menggerutu.
"Bagaimana jika kau menggendong kakek saja. Kakek rasanya terlalu letih untuk berjalan ke kamar." tawarnya dengan sikap manja layaknya anak kecil yang minta digendong oleh ayahnya.
Adrian seketika membungkukkan tubuhnya agar pria itu bisa naik ke punggung nya. Ia menggendongnya hingga masuk kedalam kamar. Samuel tampak tersenyum melihat kedekatan mereka.
Sesampainya di kamar, setelah merebahkan kakeknya itu diatas ranjang, Samuel segera memeriksakannya. Mulai dari tensi darahnya, gula darah serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi jantungnya. Semua masih dalam batas normal. Hanya saja
"Semuanya normal. Kakekmu sangat sehat. Dia hanya perlu istirahat saat ini karena kelelahan. Jadi kau tidak perlu cemas. Sepertinya wanita bernama Anindya ini akan menjadi perawat yang baik untuk kakekmu." jelasnya setelah melihat segala hasil tes yang dilakukannya sembari memuji wanita yang bahkan belum ditemuinya sama sekali.
"Kau dengar sendiri, kan! Bahkan ahli jantung terbaik seperti Sam saja memuji Anindya. Kenapa kau yang awam saja masih meragukan kemampuannya." Zein tampak kegirangan karena ada yang memihaknya.
Adrian tampak mendengus kesal sembari menatap Sam dengan tatapan tajamnya. Pria itu bukannya takut malah tersenyum lebar padanya.
Adrian menyuruh Samuel untuk keluar dari kamar dan membiarkan kakeknya beristirahat.
____________
"Jadi apa kakekmu berniat untuk menjodohkan dirimu dengan wanita bernama Anindya itu?" tanya Sam pada Adrian.
Saat itu mereka berdua ada di balkon lantai dua rumahnya. Adrian seketika menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya pada wanita itu.
"Sepertinya begitu." jawabnya datar.
Ia seketika tersenyum mendengarnya. "Astaga! Aku jadi ingin melihat wanita itu. Wanita seperti apa yang dipilihkan kakekmu untukmu." ucapnya antusias.
"Tidak perlu! Untuk apa kau melihat wanita itu?"
"Ck! Ayolah! Jika kau memang tidak tertarik padanya, mungkin aku bisa menggantikanmu." bujuknya sambil memohon.
"Dasar tidak waras. Apa kesendirian itu begitu menyiksamu hingga kau merasa putus asa. Carilah wanitamu sendiri sana!" ledeknya sambil tersenyum sinis kearahnya.
"Ck! Sialan kau!" geramnya sambil memukul bahu Adrian.
Adrian menarik satu sudut bibirnya.
"Oh ya! Kapan Arkan menyelesaikan studinya di Amerika?" tanyanya.
"Beberapa bulan lagi. Mungkin pertengahan tahun ini ia akan pulang."
Samuel tampak menganggukkan kepalanya. Mereka berdua melanjutkan obrolan ringan mereka diatas sana sambil menikmati secangkir kopi panas yang dibawakan pelayanan.
_______________
Malam semakin larut. Bulan masih bersinar terang diatas sana. Anindya belum juga bisa memejamkan matanya. Rasanya beberapa hari belakangan ini, ia memang tidak tidur sama sekali. Ia masih takut jika tiba-tiba ia harus bertemu dengan neneknya di alam mimpi. Karena sesungguhnya walaupun ia mencoba untuk bersikap tegar, tetapi pada kenyataannya ia masih belum sanggup jika harus hidup sendirian.
Sejak ibunya meninggal, ia berusaha untuk tetap tegar karena ia masih memiliki nenek yang akan menemaninya menjalani hari-hari yang sulit baginya. Ia masih merasa memiliki seseorang untuk menyemangati hidupnya. Tapi kini satu-satunya orang yang menjadi sandaran hidup baginya telah pergi meninggalkannya seorang diri. Rasanya ia tidak akan sanggup untuk bertahan.
Ia mengalihkan pandangannya kearah figura yang sedang didekapnya. Didalamnya terdapat sebuah foto yang diambil saat ia berusia tujuh tahun. Saat itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Ia berfoto bersama ibu dan juga neneknya. Mereka bertiga tersenyum lebar.
Anindya masih ingat dengan jelas saat-saat itu. Saat itu dengan uang seadanya, ibunya membuatkan sebuah pesta ulang tahun sederhana dirumah kecil mereka. Ada beberapa teman dekatnya yang diundang. Biarpun sederhana, Anindya merasa sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan orang-orang yang dicintainya.
Tapi kini, keduanya telah pergi dari sisinya untuk selama-lamanya. Tak terasa lagi-lagi airmata kembali jatuh dari sudut matanya. Ia merasa tidak sanggup jika harus hidup seorang diri.
"Ibu! Nenek! Kenapa kalian tidak mengajakku? Aku kesepian. Aku takut hidup sendirian disini. Tolong kembalilah!" pintanya sambil berusaha untuk menahan isakan yang hampir saja lolos dari mulutnya.
Untuk beberapa saat ia menangis tanpa suara. Agar tidak membuat keributan di rumah itu. Setidaknya dengan menangis ia bisa mengurangi beban dihatinya.
Setelah merasa sedikit tenang, ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Diluar sangat gelap karena semua lampu sudah dipadamkan. Sepertinya semua penghuni rumah ini sudah terlelap dalam tidurnya. Hanya ada penerangan dari lampu yang menyala diluar rumah. Anindya tampak kepayahan untuk mencari tangga karena minimnya penerangan. Ia tampak meraba-raba dinding untuk menuntun jalannya. Akhirnya ia menemukan tangga dan menuruninya dengan hati-hati agar tidak jatuh.
Kepalanya tiba-tiba mendenyut dengan kuat. Pandangannya terlihat buram. Mungkin akibat tekanan darahnya yang rendah. Sejak kematian neneknya, ia memang tidak makan dengan benar. Tidurnya juga kurang. Mungkin tubuhnya baru saja memberontak terhadapnya saat ini. Semakin lama pandangannya semakin kabur. Ia hampir saja terjatuh dari tangga jika seseorang tidak dengan sigap menopang tubuhnya.
Sepintas terlihat seperti seorang pria yang ada dihadapannya. Ia berusaha untuk melihat wajahnya dengan jelas. Tapi terhalangi dengan pandangannya yang semakin kabur. Tapi setidaknya ia berhasil menghirup aroma tubuh pria itu karena jarak mereka yang sangat dekat dan berhasil mengingatnya dengan jelas sebelum akhirnya ia terjatuh semakin dalam dipelukan pria itu karena tidak sadarkan diri. Aroma tubuhnya terasa menenangkan.
_______________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Eldesa
favourite😊
2021-03-28
2
Kastinah
lanjut kuy,,!
2020-11-21
1
Tri Lastri
aq suka tor
2020-10-30
1