Langit semakin terlihat gelap. Awan pun kini berubah warna menjadi hitam pekat. Tetes-tetes air mulai berjatuhan seiring ritme yang tampak beraturan. Anindya terlihat pulang lebih lama hari ini dari pada hari biasanya. Setelah menerima upah harian dan beberapa ikan segar untuk dibawanya, Anindya segera pamit karena sedari tadi ia merasa sangat gelisah.
Jalanan yang biasa ia tempuh saat pulang dari pasar terlihat sepi. Tidak seperti biasanya yang selalu terlihat ramai karena jalanan ini merupakan satu-satunya akses untuk mencapai pasar. Entahlah, mungkin dikarenakan efek akan turun hujan. Hingga membuat sebagian besar orang malas untuk keluar rumah.
Saat ia sudah menempuh setengah perjalanan menuju rumahnya, seorang pria remaja menghampirinya dengan berlari. Ia terlihat berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal saat berdiri dihadapan Anindya.
"Heru! Kenapa kau berlarian seperti ini? Ada apa?" tanyanya dengan nada cemas.
"Nenek... nenek Kirana.. dia..." Heru bahkan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya yang terbata-bata karena Anindya pergi meninggalkannya begitu menyebut nama neneknya.
Anindya yang memang sudah merasa gelisah sejak meninggalkan neneknya sejak pagi, seketika merasa cemas sekaligus takut membayangkan sesuatu terjadi pada neneknya itu. Ia berlari secepatnya menuju rumah yang tak jauh lagi dari tempatnya bertemu Heru tadi. Ia bahkan sempat terjatuh karena tidak sengaja menyandung ranting kayu sedang yang tergeletak di tengah jalan. Ia tidak memperdulikan lututnya yang mengalami luka. Yang ia pedulikan saat itu hanyalah secepat mungkin bertemu dengan neneknya.
Gerimis yang tadinya turun perlahan kini terlihat mulai mempercepat tempo lajunya hingga mengucurkan air yang sangat deras dari langit. Membasahi tubuh kurus Anindya yang masih berlari untuk mempercepat langkahnya.
Ia seketika memperlambat langkahnya saat melihat beberapa orang tampak berkerumunan diluar rumahnya sambil melindungi diri mereka dengan payung karena derasnya hujan. Pikirannya langsung berlarian kemana-mana. Dengan langkah ragu, ia mulai memasuki area rumahnya setelah melewati kerumunan orang yang berada di halaman rumahnya.
Ia melihat kakek Zein sedang duduk diatas kursi dengan memakai setelan kemeja berwarna hitam. Begitupun ibu Sofia yang berdiri mematung di sampingnya. Wanita paruh baya itu seketika menghampiri Anindya begitu melihat gadis itu hendak masuk kedalam.
"I... ibu Sofia! A.. apa yang sedang terjadi? Kenapa begitu banyak orang di rumahku? Nenekku ada dimana?" Anindya menghujaninya dengan rentetan pertanyaan.
Wanita itu hanya menangis. Ia tidak sanggup untuk berbicara saat melihat wajah polos gadis itu yang dipenuhi raut kecemasan. Sama halnya dengan Zein. Pria baya itu juga diam seribu bahasa ketika Anindya bertanya padanya.
Anindya semakin terlihat pucat. Kulitnya yang putih tetap tidak bisa menyamarkan rona pucat yang terpancar diwajahnya. Dengan langkah ragu, ia mulai menapaki area dalam dari rumah kecilnya itu. Ia melihat ada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas pembaringan sambil ditutupi dengan berlapis-lapis kain jarik beraneka warna sebatas lehernya. Sementara wajahnya hanya ditutupi dengan selembar kain bening yang menampakkan jelas wajah kakunya dengan mata terpejam.
Itu adalah tubuh seorang wanita yang sudah bertahun-tahun lamanya terus menemaninya selama ini. Mendampinginya sekaligus membesarkannya dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah padanya, hingga ia tumbuh menjadi gadis yang kuat dan selalu ceria sekalipun hatinya terluka dalam.
"Nenek!" panggilnya lirih pada tubuh kaku itu.
Anindya tampak duduk bersimpuh, mendekati wajah neneknya yang terlihat seperti seseorang yang tengah tertidur pulas diatas ranjang yang nyaman.
Ia perlahan membuka penutup wajah yang menghalangi pandangannya. Air mata yang ia tahan, akhirnya perlahan-lahan mulai menetes dari kedua sudut matanya yang sayu. Ia seketika menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara isakannya. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tubuhnya seketika gemetar.
Sofia ikut bersimpuh di sampingnya dan merangkul pundak gadis itu untuk memeluknya. Seketika tangis yang ia coba tahan sedari tadi, pecah hingga suara isakannya terdengar sampai kehalaman rumahnya.
"Nenek! Jangan tinggalkan Anin! Anin masih membutuhkan nenek!" serunya sambil mengguncang tubuh kaku Kirana.
"Anin! Jangan seperti itu! Ikhlaskan kepergian nenekmu. Ia sudah tenang sekarang." hibur Sofia sambil mengelus punggungnya.
Di menit berikutnya, Anindya kehilangan kesadarannya. Ia terjatuh di dalam pelukan Sofia.
_______________
Suasana pemakaman umum perlahan mulai sepi. Beberapa pelayat tampak sudah kembali kerumahnya masing-masing. Saat ini di pemakaman hanya tersisa Sari beserta suaminya, Sofia, Zein dan tentu saja Anindya. Hujan deras kala itu juga sudah berhenti.
Semenjak sadar dari pingsannya, gadis itu hanya diam seribu bahasa. Ia sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun. Tatapan matanya kosong. Seperti seseorang yang tidak memiliki harapan hidup lagi.
Ia terlihat memandangi pusara neneknya itu. Tapi anehnya, ia sama sekali tidak menangis seperti tadi. Ia hanya diam. Sofia dan Sari berulang kali membujuknya untuk pulang. Tapi gadis itu hanya diam sambil terus menatap pusara berwarna putih itu.
"Biarkan dia sendiri!" seru Zein lalu menyuruh mereka semua pergi.
Kini hanya tinggal Anindya seorang diri di sana. Ia masih tak bergeming dari posisinya memandangi tanah kuburan yang masih basah.
"Nenek! Apa nenek ingat saat aku kehilangan ibu. Nenek pernah bilang jika nenek akan selalu menemaniku dan tidak akan pernah membiarkanku sendirian. Lalu kenapa sekarang nenek tiba-tiba pergi. Apa nenek tidak sayang lagi padaku." ucapnya lirih.
Anindya terlihat berusaha keras untuk tidak menangis. Ia berusaha kuat.
"Nenek, dulu aku kehilangan ibu. Sekarang aku juga harus kehilangan nenek. Kenapa kalian berdua meninggalkan Anin sendirian. Anin tidak punya siapa-siapa lagi nenek. Anin takut!" tangisnya seketika pecah.
Ia menyandarkan kepalanya di atas makam neneknya. Menangisi seseorang yang teramat sangat dicintainya. Rasanya ini terlalu berat baginya. Dengan tiba-tiba lagi, ia harus kehilangan untuk kedua kalinya.
____________
Anindya duduk termenung di tepi ranjang yang biasanya ditiduri oleh neneknya. Ia mendekap sebuah foto lama yang memajang wajah ibu, nenek beserta dirinya yang masih kecil.
Sofia dan Zein masih berada diruang tamu untuk menemaninya. Zein memutuskan untuk mengundurkan kepulangannya karena tidak mungkin ia meninggalkan Anindya seorang diri. Apalagi Kirana pernah berpesan bahwa dia harus menjaga gadis itu begitu ia meninggal. Kata orang, seseorang bisa mempunyai firasat kapan dirinya akan dipanggil. Mungkin Kirana telah menyadari jika waktunya akan habis dan sudah menyiapkan wasiatnya jauh-jauh hari.
Zein menemui Anindya didalam kamar. Gadis itu sedang termenung. Matanya terlihat sembab karena terlalu banyak menangis. Zein mendekatinya dan mengusap lembut kepalanya.
"Anin! Ikhlaskan kepergian nenekmu. Dia sudah tenang sekarang." bujuknya.
Anindya masih diam. Tak ada reaksi darinya. Tatapan matanya terlihat kosong. Tidak ada lagi tawa ceria yang menghiasi bibir tipisnya. .
"Merelakan seseorang yang sangat berarti dalam hidup adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Tapi bukan berarti kita harus terus-menerus larut dalam kesedihan. Belajarlah untuk merelakan kepergiannya. Dia mungkin pergi dari dunia ini, tapi tidak dari hatimu. Selamanya ia akan tetap ada disana. Menjagamu dan memperhatikanmu dari sana."
Pria baya itu lalu merogoh saku celananya. Ia mengambil sebuah kertas yang terlipat rapi dari dalam sana.
"Ini adalah surat yang dititipkan oleh nenekmu sebelum dia pergi. Ia ingin agar kakek menyerahkan surat ini padamu." jelasnya sambil meletakkan kertas itu diatas meja samping ranjangnya.
Zein kemudian keluar dari kamar dan membiarkan gadis itu sendirian di kamarnya.
____________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
[💝¹³_ALi💫¹⁶JaFar²⁰*💝
😭😭
2021-08-28
2
Riry Setya
huaaaaa.. sedih Thor
2021-04-04
1
kiran
nyesek thor,aduh mewek terus ni😭😭😭😭😭😭😭
2021-01-01
1