Ingin Sendiri

Hari ini Fajar bangun pagi-pagi sekali. Karena ia sedang tidak sekolah, jadi ia berencana untuk membersihkan kafe itung-itung sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Bang Ipan. Ia membawa sapu, kemoceng, lap pel dan ember yang ia isi dengan air. Karena tidak mau terlalu sepi di sana, Fajar menyambungkan sound sistem yang ada di sana dengan HP-nya. Sebuah musik dimainkan, lagu tentang rindu dari Virza. Sebuah lagu galau yang menemaninya bersih bersih mengalun diseisi kafe.

"Lagu galau aja. Biar tenang bersih bersihnya."

"Hmmm hmmm hmmm hmmm hmmm hmmm. Di setiap malam." Fajar mengikuti nyanyian dari lagu itu.

Fajar memulai pekerjaannya dengan membersihkan meja dan barang-barang yang ada diseisi kafe dengan kemocengnya. Setiap debu yang menempel ia bersihkan hingga semua barang yang tersentuh oleh kemocengnya mengkilat. Setelah selesai, ia lanjutkan dengan menyapu lantai di semua penjuru, Sesekali Fajar beristirahat untuk melepas penatnya. Lalu ia lanjutkan lagi pekerjaannya. Sudah hampir setengah jam, ia tetap bersemangat melakukan pekerjaannya. Dan sekarang, ia mulai mengepel lantai, ia memasukkan lap pel ke dalam ember yang berisi air dan mulai mengelapkannya pada seluruh lantai yang baru saja ia sapu. saat sedang mengepel, Bang Ipan datang dan menghampirinya.

"Eh pajar, kamu ngapain pake ngepelngepel segala. Udah, udah. Katanya lagi sakit."

"Enggak apa-apa bang. Saya kan udah tinggal di sini. Jadi saya bersih bersih aja biar kayak rumah sendiri. Kalau bersih kan enak, nyaman juga. Kaki saya udah agak sembuhan kok bang enggak apa-apa."

"Yakin enggak apa-apa?."

"Yakin bang bos. Udah abang duduk tenang aja di meja kasir atau siap-siap siapa tahu ada pelanggan. Buat saya mah gini doang enggak ada apa-apanya." Jelas Fajar meyakinkan. "Oke deh kalau gitu."

***

"Haduh. Capek juga ya." Fajar duduk dan rebahan di satu kursi untuk melepas penatnya. Ia meletakan tangannya di pinggiran kursi dan memejamkan matanya.

"Katanya gini doang enggak ada apaapanya. Nih minum!." Bang Ipan menghampiri Fajar dan memberikan air putih.

“Enggak berwarna bang airnya?."

"Kalau berwarna bayar!!."

"Oke. Bening aja. Sini!."

“Enggak. Bercanda doang!. Mau warna

apa?."

"Wah ijo aja. Yang ada busanya bang! Rasa alpukat."

"Oke. Tunggu." Setelah minuman sampai, Fajar meminumnya dengan segera. Bang Ipan berterima kasih pada Fajar karena telah membersihkan kafenya.

***

sepulang sekolah Rendy Refina dan Andini akan pergi ke rumah Fajar untuk membawa bajunya seperti yang Fajar perintahkan. Menurut mereka ini adalah hal yang mustahil. Karena mana mungkin Ibu akan memberikan baju Fajar begitu saja tanpa bertanya Fajar ada di mana, bagaimana keadaannya dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya. Sedangkan Fajar meminta untuk merahasiakan keberadaannya.

"Assalamualaikum. Ibu..... " ketiga orang itu mengetuk-ngetuk rumah bersamaan dengan berteriak memanggil Ibu. Ibu pun membuka pintu dan menyuruh mereka masuk. Tanpa pikir panjang dan tanpa basa basi, Rendy langsung membicarakan tujuannya datang ke rumah.

"Mmmm Bu. Rendy disuruh sama Fajar buat ambil beberapa bajunya sama peralatan sekolahnya. Dia katanya belum mau pulang untuk sementara."

"Iya sebentar." Ibu pergi ke kamar Fajar dan membereskan semuanya. Rendy, Refina dan Andini saling menatap heran. Kenapa Ibu tidak menanyakan apa pun tentang Fajar?.

Fajar, Ibu tahu kamu pasti sakit hati. Kamu pasti kecewa sama Ibu karena Ibu enggak pernah ngasih tahu kamu. Sekarang Ibu akan membiarkan kamu sendiri dulu jika kamu butuh waktu. Tapi Ibu harap, kamu bisa kembali lagi kesini. Jangan pergi lama-lama nak. Ibu sayang Fajar.

Dengan air mata yang sulit dihentikan, Ibu menuliskan hal itu dalam secarik kertas lalu memasukkannya ke dalam koper yang berisi baju Fajar dan peralatan sekolahnya. Ibu lalu bergegas keluar dari tangga dan memberikannya pada Rendy.

"Ini nak Rendy baju Fajarnya. Semuanya sudah ada di sini."

"I.... iya bu."

"Kalian bisa tunggu sebentar enggak? Ibu mau masak dulu buat Fajar."

"Baik Bu kami tunggu." Ucap Refina.

Ibu pergi ke dapur, memasakkan omlet kesukaan Fajar. Ibu memasaknya dengan penuh kasih sayang dan harapan bahwa Fajar akan kembali ke rumah. Ia tak pernah mengira kejadiannya akan seperti ini. Ia tak pernah mengira bahwa Fajar akan pergi meninggalkannya. Lagi-lagi ia mengingat kejadian semalam, saat Fajar tahu hal yang sebenarnya dan meninggalkan rumah.

Fajar.... kapan kamu pulang nak? Hati Ibu bergumam.

Omlet akhirnya selesai dimasak, Ibu memasukkannya ke dalam kotak makanan.

"Nak Rendy sama Refina bisa keluar sebentar? Ibu mau bicara sama Andini berdua saja."

"Iya Bu kami tunggu di luar."

Setelah Rendy dan Refina keluar Ibu berbicara dengan Andini.

"Andini, Ibu mau minta satu hal sama kamu."

"Apa Bu?."

"Ibu mau minta sama kamu, tolong ajak Fajar pulang ke rumah ini lagi. Ibu tahu kamu pasti bisa buat dia ngerti. Karena kamu adalah seseorang yang sangat spesial buat dia."

"Tapi Bu...."

"Tolong..... tolong Ibu." Pinta Ibu sedih.

"Baik Bu. Andini usahakan. Tapi sebelumnya Andini minta maaf jika Andini tidak bisa membujuk Fajar." Ibu mengangguk dan memeluk Andini dengan erat.

"Kamu kasih ini sama Fajar. Ini makanan kesukaannya." Ibu memberikan omlet itu pada Andini. Setelah itu Ibu mengantarkan Andini ke depan pintu. Rendy, Refina dan Andini berpamitan pada Ibu dan menenangkan Ibu agar jangan khawatir karena Fajar akan baik-baik saja. Mereka bertiga bergegas pergi ke kafe untuk menemui Fajar.

***

"Nih jar. Semuanya udah ada dikoper."

Ujar Rendy di ruangan tempat Fajar beristirahat. "Iya ren. Thanks ya kalian bertiga. Gue udah enggak ada baju lagi. Pake baju Bang Ipan aja kegedean nih."

"Iya, kayak orang-orangan sawah. Eh enggak deng. Masih mendingan orang-orangan sawah." Tukas Rendy.

"Iya lah. Gimana enaknya aja."

"Jar. Ini dari Ibu. Katanya masakan kesukaan kamu." Andini memberikan omlet yang tadi diberikan Ibu. Fajar mengambilnya, ia menuju sebuah meja dan duduk di kursi. membuka kotak makanan itu dan langsung memakan omletnya. Dengan mata yang berkaca kaca, Fajar memakan omletnya dengan lahap, membuat mulutnya penuh. Ia tak memedulikannya, yang penting makanannya habis. Biasanya, jika Fajar makan dengan lahap, Ibu akan tersenyum bahagia. Dan semoga kali ini Ibu juga tersenyum bahagia saat Fajar memakan omlet buatan Ibu.

Refina, Rendy dan Andini menatap sedih pada Fajar. Hati mereka seperti ikut merasakan apa yang Fajar rasakan.

"Pelan-pelan jar." Refina mencoba menghampiri dan menenangkannya.

"Uhuk... uhuk..." Fajar tersedak. Tapi ia tetap tak peduli. Ia tetap memakan omletnya hingga omletnya habis. Andini segera mengambil air putih dan memberikannya.

Makanannya habis. Ia lalu melipat tangannya dan menunduk bersedih.

"Lo enggak pengen pulang jar?." Tanya Refina.

"Jar. Ibu pengen kamu pulang. Sebaiknya kamu pulang aja. Jangan berlarut larut lah jar. Ibu kamu itu sayang banget sama kamu." Andini mencoba membujuk Fajar untuk pulang. Fajar mengangkat wajahnya mengatakan apa yang ia ingin katakan.

“Enggak bisa ref, An. Sekarang Gue lagi ada diposisi yang sulit. Kalau Gue pulang, ayah Gue pasti enggak bakalan nerima Gue. Dia bakalan tetep marah-marah enggak jelas sama Gue dan Ibu."

"Tapi jar...." belum selesai Refina bicara, Fajar langsung memotongnya.

"Gue butuh waktu sendiri." Refina, Rendy dan Andini meninggalkan ruangan itu. Mereka mengerti bahwa saat ini Fajar memang membutuhkan waktu untuk sendiri.

Saat ini Fajar sudah berada dipuncak kesedihannya.

***

Malam-malam, Andini datang menemui Fajar di kafe. Ia menaiki sepedanya dan membawakan sesuatu untuk Fajar.

"Bang Fajar di mana?."

"Oh pajar? Dia ada lagi ke kamar mandi sebentar. Tunggu aja di meja sana. Dia tadi juga duduk di sana baca buku."

Andini mengangguk dan menurut. Ia duduk di tempat Fajar tadi duduk. Setelah lama menunggu, Fajar akhirnya datang.

"Eh an. Kamu ngapain di sini?."

"Kamu duduk dulu aja. Kakinya udah sembuh?"

"Udah dong."

"Mana sini liat." Fajar langsung duduk dan mengangkat kakinya ke paha Andini. Tiba-tiba, Andini memukul kakinya.

"Aduh.... sakit!."

"Katanya udah sembuh."

"Ya kalau digituin mah sakit. Eh kamu belum jawab pertanyaan aku. Kamu ngapain di sini?."

"Nih aku bawain makanan. Nasi goreng sama buah potong. Kemarin kan jatuh kayak di sinetron-sinetron. Nah sekarang aku bawain lagi."

"Wah. Enak banget nih. Buatan kamu?"

"Buatan bibi."

"Kirain buatan kamu."

"Kalau bukan buatan aku enggak mau dimakan nih?"

“Enggak ah."

"Kok gitu sih? Aku udah bawain kesini buat kamu."

"Yah ngambek. Liat sini."

"Apa?." Fajar tiba-tiba menyentuh hidung

Andini dengan jari telunjuknya, membuat Andini tersipu malu.

"Ih apaan sih? Udah makan aja makan!"

"Iya. Tapi berdua."

"Nanti kamu enggak kenyang."

"Nanti kamu laper."

"Keras kepala!."

Fajar mengambil sesendok makanan dan menyuapkannya pada Andini tapi Andini menolaknya.

“Enggak usah jar. Kamu aja. Aku makan

buah aja.!"

"Oh ya udah nih. Aaa." Andini menerimanya dan hanya menatap Fajar dengan tatapan kosong.

"Pacaran aja terus. Makan aja pake suap suapan segala." Hardik Bang Ipan. Fajar dan Andini hanya tersenyum.

"Sini bang mau Fajar suapin? Aaaaa..." Fajar menodongkan sendoknya ke arah Bang Ipan yang sedang ada di belakang meja kasir.

"Nantangin nih nantangin. Mau dipecat?."

"Ya maaf bang. Nih an makan lagi. Aaaa.." Fajar menyuapi Andini lagi dan membuat Bang Ipan semakin kesal.

"Malah makin bikin kesel. Mau di baku hantam nih kayaknya." Bang Ipan menggulung lengan bajunya ke atas. Bersiap siap menghampiri Fajar.

"Mas saya mau bayar." Ucap seorang pelanggan.

"Eh iya mbak."

"Fokus kerja. F O K U S!." ejek Fajar. Bang Ipan mengentakkan kakinya dan melotot pada Fajar.

"Eeeeehhh mentang-mentang punya pasangan. Kerjaannya manas-manasin yang jomblo."

***

"Udah deh~. Makasih ya an. Enak makanannya."

"Iya sama-sama. Aku pulang ya?."

"Cepet banget."

"Ya mau ngapain lagi?. Kan tujuan aku kesini cuma mau kasih kamu makan."

"Ya udah iya. Kalau mau pulang peluk aku dulu."

"Ngarep."

"Kemarin enggak apa-apa."

"Ya itu kan kemarin. Kalau sekarang beda lagi. Udah ah. Mau pulang. Kamu juga mau pulang?.” Andini tetap mencoba membujuk Fajar. Tapi Fajar tetap menolaknya dengan menggelengkan kepala dan tersenyum

“Ya udah, Selamat malam matahari terbit. Dadah!."

"Besok aku mau makanan buatan kamu." Fajar berteriak tapi Andini tidak menggubrisnya, ia terus berjalan keluar dan tak memedulikan Fajar.

"Fajar, dia teh pacar kamu?." Bang Ipan menghampiri Fajar yang sedang melanjutkan membaca buku yang dari tadi ia simpan.

"Hmmm apa? Andini? Belum."

"Belum gimana?."

"Ya belum jadi pacar saya."

"Kenapa?."

"Iya ya. Kenapa?."

"Ahhh kamu mah. Aneh!!."

"Ha ha. Abis saya juga bingung. Emang kalau mau bikin dia jadi pacar saya itu gimana bang?."

"Kamu bilang aja kalau kamu sayang, cinta sama dia."

"Udah bang."

"Emang gimana kamu bilangnya?."

"Ya ngomong aja. Aku itu sayang sama kamu. Udah sering malahan saya ngomong gitu.

Apalagi kalau lagi ngobrol."

"Haduuh." Bang Ipan menepuk jidatnya.

"Ya iya lah dia enggak akan nerima kamu. Kamu ngomongnya aja kayak bercanda. Lagi ngobrol tiba-tiba bilang sayang apa segala macem."

"Emang harusnya gimana?."

"Kamu jalan berdua sama dia. Terus kamu ungkapin sama dia perasaan kamu kayak gimana. Kalau perlu sambil kasih dia sesuatu yang bakal dia inget gitu."

"Ah kayak sinetron aja. Gimana nanti aja lah bang." Fajar pergi meninggalkan Bang Ipan sendiri di sana.

"Yeee dikasih tahu malah kayak gitu. Kalau enggak dipastiin sekarang nanti keburu direbut Loh."

“Enggak akan bang. Andini enggak akrab sama siapa-siapa lagi kecuali saya.!" Ujar Fajar yakin.

"Yakin bener."

"Emang iya."

"Terserah lah. Abang mau pulang."

Seseorang yang tidak suka sendiri, kadang membutuhkan waktu untuk sendiri. Apalagi di saat orang-orang yang mengelilingi, tidak mengerti perasaannya dalam hati. – Fajar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!