Andini

Dia Andini Larasati. Ia lahir dikala hari menjelang pagi. Saat ia lahir, ia tak sempat melihat wajah Ibunya. Karena Ibunya meninggal beberapa jam usai melahirkannya. Dan dari kecil, ia hanya tinggal dengan ayahnya. Ayahnya yang selalu ia panggil dengan sebutan Papa, Ayahnya yang sangat baik dan selalu bersikap ramah terhadap siapa pun, ayahnya yang menyayanginya dan ayahnya yang selalu memanjakannya karena ia anak satu satunya. Beberapa tahun setelah Andini lahir, ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang ia cintai. Yang selalu bersikap baik terhadap Andini. Ibu barunya ini tak seperti Ibu tiri Ibu tiri dicerita dongeng. Ibu tiri Andini ini seperti malaikat yang memang ditakdirkan tuhan untuk menjaganya. Perlahan-lahan Andini bisa menerima Ibunya yang baru, ia mulai dekat dan semakin dekat. Hingga Andini selalu ingin ditemani oleh Ibunya ke mana pun ia pergi.

Andini sangat pandai bermain catur. Andini belajar bermain catur dari kakeknya. Di mana kakeknya sering mengajaknya bermain catur bersama hingga Andini pandai. Waktu ia berusia 15 tahun ia pernah menjadi juara satu di daerahnya dalam pertandingan catur. Di mana orang tuanya sangat bangga terhadapnya saat itu.

Saat ini Andini pindah ke Bandung karena ikut dengan ayahnya. ayahnya yang selalu bekerja dari pagi hingga petang dan selalu pergi keluar kota untuk pekerjaannya. Dan kota tempat ayahnya bekerja kali ini adalah Bandung. Tapi kali ini, Andini harus ikut dengan ayahnya keluar kota untuk pekerjaan yang cukup lama. Dan mungkin Andini akan tinggal terus di Bandung.

Sebelum ia pindah ke Bandung dan pindah sekolah, dari kecil ia tinggal di Jakarta. Jakarta itu tempat di mana tangisan pertamanya berawal, tempat di mana kakinya melangkah untuk pertama kali, tempat di mana ia belajar catur dengan kakeknya. Dan tempat di mana segala kebahagiaan ia dapatkan. Dan karena hal itulah ketika ayah Andini memutuskan untuk pindah ke Bandung, Andini tak senang dengan keputusan itu. Ia sangat marah terhadap ayahnya. Menurutnya Jakarta itu tempat kebahagiaannya. Di mana ia dapat bermain catur dengan kakeknya, jalan-jalan dan bersepeda dengan temannya hingga sore lalu pulang dengan rasa lelah dan rasa senang. Tapi di Bandung, ia mungkin tak akan dapat melakukan semua itu lagi. Ia tak bisa bermain catur dengan kakeknya dan bersepeda hingga sore dengan temannya. Meski ia hanya punya satu teman di Jakarta, tapi ia sangat enggan berpisah dengan temannya. Karena temannya itu adalah satu satunya orang yang mengerti dan merasakan apa yang ia rasakan. Teman senasib katanya.

Tentang sifat Andini, Sifatnya ini bertolak belakang dengan ayahnya. Dingin, apalagi terhadap orang baru. Ia tidak bisa dan biasa bersikap ramah terhadap seseorang yang baru ia kenal. Tapi di hadapan ayah dan Ibunya, ia masih tetap seperti seorang anak kecil, sangat ceria dan senang menceritakan banyak hal. Terlepas dari sikap dinginnya, Andini ini seseorang yang pandai, kukuh terhadap pendiriannya dan berani mengambil keputusan.

Waktu hari pertama ia datang ke sekolah, ia bertemu dengan Fajar. Ia diajak oleh Fajar berkeliling. Dan dengan terpaksa, ia mengikuti Fajar meski ia tak mengiyakannya. Entah ada apa dalam diri Fajar. Saat pertama bertemu dengan Andini saja Fajar langsung mengatakan bahwa ia menyukai Andini, dan ya, saat itu Andini langsung membeku dan meninggalkan Fajar. Menurutnya, sikap Fajar itu sangat aneh.

"Udah SKSD. Pake bilang suka-suka segala lagi. Dih aneh emang." gumam Andini dalam hati.

Dalam mobil, saat ia bergegas untuk pulang, Andini memikirkan ucapan Fajar.

"An, kamu kenapa? Kok ngelamun?."

"Mmmm enggak Ma, enggak apa-apa. Ayo kita jalan." ucap Andini pada Ibunya.

Ibunya lalu menjalankan mobil dan melewati jalanan untuk pulang.

Saat malam tiba, ayahnya tak juga pulang ke rumah. Andini selalu menunggu ayahnya meski hingga larut malam hanya untuk memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja. Jika sudah pulang, kebiasaan Andini adalah menyiapkan segelas teh lalu bercerita dengan ayahnya. Ayahnya selalu meluangkan waktu meski hanya sebentar.

"Pa, sekolah baru yang papa bilang itu tadi aku udah dateng ke sana."

"Gimana, kamu suka?."

"Mmmmm. Suka sih."

"Suka sih? Berarti ada yang enggak sukanya."

“Enggak sukanya, karena murid-muridnya orang-orang baru." jelas Andini pelan.

“Enggak apa-apa. Kamu pasti bisa terbiasa. Coba deh kamu kasih senyum sesekali sama orang-orang kalau ketemu mereka."

"Ngapain? Nanti dikira SKSD."

"justru, dibandung hampir semua orang kaya gitu. Ramah, bahkan sama seseorang yang baru ia kenal. Kayak Ibu kamu"

"Ibu? Ibu yang mana?."

"Ibu kamu. Ibu yang melahirkan kamu."

"Emang Ibu aku itu gimana?."

"Dia itu ramah, baik sama semua orang, pertama kali kita ketemu itu Ibu kamu nolongin papa waktu keserempet motor. Dia bawa papa ke rumahnya dan ngobatin luka papa padahal kita enggak saling kenal."

"Oh gitu ya. Berarti Ibu itu cinta pandangan pertama papa. Ha ha."

"Ish kamu ini. Udah cepet tidur." ucap ayah Andini sambil pergi menggelengkan kepala dan meninggalkan Andini ke kamarnya.

Andini lalu pergi ke kamarnya dan lekas tidur.

Esoknya, pagi-pagi sekali Andini bangun. Ke kamar mandi, lalu Shalat subuh. Setelah selesai, ia duduk kembali di kasur dan memainkan HP-nya untuk berselancar di instagram. Saat membukanya, di daftar DM ada seseorang yang mengirim pesan padanya.

"Hai Andini, ini aku yang kemarin nganterin kamu keliling sekolah."

Pesan itu dari Fajar. Andini berpikir sejenak.

Gak usah dibales lah ngapain juga. Gue kan enggak kenal dia. Andini membatin.

Beberapa menit setelah memainkan HP-nya. Andini membuka jendelanya untuk menghirup udara segar dan menyaksikan sang Fajar terbit dari arah timur. Tak lama kemudian, Ibunya datang untuk mengajaknya pergi sarapan.

“Sebentar Ma, Andini mau mandi dulu!.” Ucapnya.

Andini lalu mandi, beberapa menit setelahnya ia langsung berganti baju, menyiapkan buku, dan mengikat rambutnya seperti biasa lalu lari ke meja makan untuk sarapan.

Mereka bertiga makan di satu meja. Satu hal yang menyenangkan bagi sebuah keluarga. Masakan dari seorang Ibu dan obrolan-obrolan menyenangkan yang keluar dari mereka adalah sebuah kebahagiaan sederhana yang tak bisa didapat di tempat lain.

Sarapan berakhir, Andini berpamitan kepada ayahnya. Karena ia akan berangkat dengan Ibunya. Karena tempat bekerja ayahnya berbeda arah dengan sekolah Andini. Jadi Andini harus diantar jemput oleh Ibunya. Sesampainya disekolah, Andini turun dari mobil dan berpamitan kepada Ibunya. Setelah itu, ia berjalan perlahan menuju ruang kepala sekolah untuk menanyakan di mana kelasnya berada. Ia berjalan sambil sesekali memperhatikan ke arah kiri dan kanan.

"Hmmmm, ini hari pertama sekolah. Semoga menyenangkan!." Senyum bahagia muncul dari bibirnya.

"Hai Andini." Sapa lelaki yang sudah tak asing lagi bagi Andini. Yaitu Fajar. Wajah Andini berubah, dari yang tadinya tersenyum bahagia sekarang cemberut dan sangat marah.

"Apaan sih ganggu banget Lo."

"Kok Lo sih manggilnya. Aku kamu dong!."

“Enggak!."

"Ayolah."

“Enggak!."

"Kita ini baru kenal masa kamu kayak gitu."

“Enggak!."

"Jadi...."

“Enggak!."

“Enggak!." canda Fajar.

Mendengar ucapan itu Andini menahan tawa. Ia mencoba untuk bersikap tidak peduli pada Fajar agar Fajar segera menjauhinya. Karena takut Fajar mempunyai niat buruk.

"Dasar aneh!."

"Hai jar!." sapa kedua teman Fajar. Rendy dan Refina.

"Ini siapa?." Tanya mereka berdua.

“Ini Andini.”

“Oh yang Lo bilang kemarin suka sama dia?.” Ucap Rendy lantang. Mendengar hal itu Fajar langsung memukul Rendy.

“iya Andini. Katanya Fajar suka sama kamu!.” Refina memberikan ucapan yang membuat Andini tertegun seperti kemarin. Dan lagi-lagi, setelah mendengar ucapan itu Andini langsung pergi buru-buru. Meninggalkan mereka bertiga di sana. Dari kejauhan terdengar perdebatan antara Fajar, Rendy dan Refina.

"Lo kok bilang kalau Gue suka sama dia sih. Jadinya dia ninggalin Gue kayak kemarin." protes Fajar ketus.

"Kemarin? Jadi Lo udah bilang suka sama dia. W-O-W-B-G-T." Refina kaget dan mengeja ucapannya.

"Gila sih Lo jar padahal dia murid baru yang baru Lo temuin 1 hari." Rendy bertepuk tangan beberapa kali karena kagum.

Bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelasnya masing-masing. Andi masuk ke kelas 12 IPS 3 dan diantar oleh Pak kepala sekolah.

"Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan, ini teman baru kalian. Namanya Andini. Mulai sekarang dia akan belajar dikelas ini. Silakan Andini memperkenalkan diri."

"Hai semuanya, nama saya Andini, saya pindahan dari Jakarta."

"Ada yang mau ditanyakan? Kalau enggak ada saya tinggal ya. Silakan Andini duduk."

Andini duduk di kursi paling belakang yang masih kosong. Karena jam pertama pelajaran adalah jam kosong dan guru tidak memberi tugas, semua siswa hanya mengobrol saja. Kecuali Andini, entah kenapa seperti ada batas di antara Andini dan orang-orang baru. Ia tak pernah berani untuk berkata "hai" kepada satu orang pun di sampingnya. Saat perkenalan tadi saja, tatapan orang-orang padanya seperti menyuruhnya untuk menjauh. Tapi hal itu adalah hal yang biasa dan merupakan hal yang ia senangi. Ya, ia senang jika tak ada yang mau berteman dengannya. Karena menurutnya untuk apa punya banyak teman. Toh kalau dia sedang susah juga, ujung ujungnya mereka yang dianggap teman akan menjauh entah ke mana, tak akan ada yang mau membantunya satu pun. Meski begitu, Andini selalu mempunyai kesenangan dikala ia sendiri yaitu menggambar. Ia selalu menggambar di waktu luang atau di waktu seperti ini, di mana ia merasa sendiri di keramaian.

Usai pelajaran selesai, Andini keluar dari kelasnya. Ia menggendong tas lalu melewati pintu dan berlari ke arah parkiran. Dan di sana Ibunya belum ada. Tapi ia akan menunggu. Tiba-tiba laki-laki itu muncul lagi.

"Hai Andini. Lagi nungguin jemputan ya?."

"Hhhh. Kenapa sih di setiap sudut sekolah ini ada Lo mulu. Siapa nama Lo? Gue lupa."

"Fajar. Ya kan aku udah bilang kalau aku suka sama kamu."

"Terserah Lo."

"Ya udah aku temenin ya sampai Ibu kamu dateng."

“Enggak!."

"Gitu mulu. Ya udah aku duluan. Tapi hati-hati kalau sendirian di sini. Kan semua orang bakalan langsung pulang. Hiiii. Dadah!." Fajar menakut-nakuti Andini sambil naik ke atas sepeda.

"Eh jangan nakutin Gue. Ya udah Lo temenin Gue di sini. Tapi diem doang jangan ngomong apa pun. Diem di sini!." tegas Andini sambil menunjuk ke arah sampingnya.

"Iya deh iya. Penakut!."

"Apa Lo bilang. Hhhh!!." Andini mengepalkan tangannya.

Beberapa menit kemudian, Ibunya datang, Andini naik ke atas mobil dan meninggalkan Fajar sendiri di sana.

"Dadah Andini!."

"An itu siapa?." Tanya Ibu Andini

“Enggak tahu. Dia sok kenal gitu. Udah ayo cepet Ma. Aku udah laper."

"Ya udah berangkaaaat."

Ibu Andini menyetir mobilnya dan cepat-cepat pulang ke rumahnya.

Untuk apa punya banyak teman. Toh kalau kita sedang susah juga, ujung ujungnya mereka yang dianggap teman akan menjauh entah ke mana, tak akan ada yang mau membantu satu pun. -Andini

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!