Teman

Perlahan lahan, yang menutup hati akan meluluhkan hatinya sendiri

Diparkiran depan sekolah, Fajar sedang diam dan menunggu kedatangan seseorang. Siapa lagi jika bukan Andini. Setelah beberapa saat ia menunggu, gadis itu datang. Tapi kali ini ia tidak diantar oleh Ibunya dengan mobil. Ia datang dengan menaiki sepeda. Saat memarkirkan sepedanya, Andini tidak menyadari ada Fajar di sana. Hingga Fajar menyapanya.

"Tumben naik sepeda?. enggak dijemput?." Tanya Fajar Ramah.

"Terserah Gue lah." jawab Andini ketus.

"Sekarang kok judes. Padahal kemarin perhatian banget. Sampe aku mau ketabrak aja lari buat nolongin."

"KE PD AN. Lo tuh ya. Kan udah dibilangin. Kalau udah main kemarin jangan samperin Gue lagi!!."

"Aku enggak ganggu. Cuman pengen kita makin deket." jawab Fajar yang langsung berjalan menghampiri Andini.

"Apaan sih Lo. Udah Gue mau ke kelas." Andini meninggalkan obrolan di antara ia dan Fajar dan langsung pergi ke kelasnya.

 

Dikelas, pak kepala sekolah datang dan meminta izin pada guru yang sedang mengajar di sana untuk berbicara sebentar di depan murid muridnya.

"Andini. Di sini ada yang namanya

Andini?."

"Mmmmm. Saya pak." jawab Andini sambil mengacungkan tangan.

"Untuk hari ini dan seterusnya kamu pindah kelas menjadi kelas 12 IPS 5."

"Oh. Iya pak." Andini mengiyakan keputusan pak guru. Sebagai murid baru di sana, hal itu wajar. Mungkin ada beberapa alasan kenapa ia dipindahkan ke sana. Andini akhirnya berjalan ke kelas barunya ditemani oleh pak kepala sekolah. Sesampainya di sana, Andini melihat seseorang yang tak asing lagi yaitu Fajar.

Ia kaget sebelum kemudian menggelengkan kepalanya. Pak guru lalu memperkenalkan Andini dan setelah itu Andini mencari tempat duduk.

"Ren Lo pindah. Dia biar di sebelah Gue." Fajar berbisik pada Rendy.

"Dih enggak mau Gue."

"Cepet lah Lo kan temen Gue."

"Iye."

"Andini, di sini aja. Biar aku pindah." ucap Rendy.

"Lo pindah enggak apa-apa ya?. Gue pengen deket si Fajar biar bisa ngobrol." ucap Rendy pada seseorang yang sedang duduk di samping Refina. Orang itu langsung berdiri dan pindah ke belakang. Sementara Rendy sibuk mengurusi tempat duduknya, Andini menengok ke arah belakang, mencari kursi yang masih kosong, tapi tidak ada lagi kursi yang tersisa, hanya ada tempat yang tadi diduduki Rendy.

Dengan terpaksa, ia duduk di sana, bersebelahan dengan Fajar.

"Lo jangan ganggu Gue." tegas Andini.

“Enggak kok. Harusnya kamu bilang makasih sama aku, karena aku yang udah bikin kamu pindah kelas kesini. Jadi kita bisa makin deket."

"Jadi Lo yang.... hhhh." Andini terlihat heran dan marah.

Mereka belajar kembali. Di tengah tengah pelajaran, sesekali Fajar berbisik pada Andini.

“Enggak usah perhatiin guru. Perhatiin aku aja."

"Lo tuh ya." Andini mengepalkan tangannya.

Jika Andini sedang menulis, Fajar akan berbisik lagi padanya.

"Kalau sayang sama aku mah enggak usah ditulis. Langsung aja omongin. enggak apa-apa kok."

Bruk.... suara meja yang dipukul oleh Andini terdengar dengan keras. Seisi kelas memperhatikannya.

"Andini, Ada apa?." Tanya pak Jeni.

“Enggak pak. Saya permisi ke kamar mandi sebentar." Andini meninggalkan kelas untuk ke kamar mandi. Fajar hanya tersenyum memperhatikannya.

"Kenapa sih dia harus ada dihidup Gue dan gangguin Gue." gerutu Andini di Lorong kelas.

"Takdir." Balas Fajar yang ternyata mengikutinya dari belakang.

"Lo ngapain ngikutin Gue. Ya ampun Lo tuh ya. Hhhhhh."

"Apa?. Aku itu orang yang kamu sayang? Iya kan?."

“Enggak jelas sumpah." Andini berbalik arah dan kembali lagi ke kelas.

"Katanya mau ke kamar mandi. Kok balik

lagi?."

"Karena Lo." Teriaknya.

Fajar tersenyum lalu mengejarnya kembali ke kelas.

 

Di jam istirahat, semua siswa pergi keluar kelas. Kecuali Fajar dan Andini. Mereka sempat diajak ke kantin oleh Refina dan Rendy, tapi mereka menolak.

"Gue mau nanya sama Lo." Andini bertanya dengan serius.

"Iya aku sayang kok sama kamu."

"Hey. Gue belum selesai."

"Sebelum kamu selesai aku udah tahu jawabannya."

"Apa?."

"Kan udah tadi."

"Pertanyaan Gue bukan tentang itu!!." Andini kesal dengan Fajar.

"Iya apa atuh sok!."

"Kenapa Gue bisa pindah kesini? Tadi Lo bilng karena Lo."

"Iya emang. Jadi aku bilang sama kepala sekolah kalau kamu enggak punya temen dikelas itu, temen kamu satu satunya disekolah ini cuman aku. Jadi kamu pengen pindah ke kelas aku. Gitu."

"Astaga..... masa segampang itu pak kepala sekolah nyetujuin sih."

"Awalnya, pak kepala sekolah juga nanya kenapa enggak Andini langsung yang ngomong sama bapak. Ya aku jawab aja. Kamu maunya aku yang bilangin sama pak kepala sekolah. Dan kalau kamu gk pindah kelas. Kamu bakalan keluar sekolah."

"Lo bilang gitu? Gilaaaa...." Andini memegangi kepalanya.

"Emang kenapa? Yang penting sekarang kita udah sekelas. Jadi kamu enggak perlu takut bakalan jauh dari aku lagi."

"Terserah Lo."

"Kamu enggak ke kantin?."

“Enggak!."

"Ya udah nih makan ini aja. Waktu kita main kamu suka banget makan apel, jadi aku potongin lagi deh." Fajar memberikan kotak makanan yang berisi apel pada Andini. Andini hanya menatap pada Fajar.

"Hey. Kenapa?."

"Eh. enggak. Makasih ya." entah kenapa saat itu Andini tiba-tiba teringat dengan cerita Fajar bahwa ia tak dianggap sebagai anak oleh ayahnya. Seketika ia berpikir bahwa Fajar seperti hidup sendiri dan tak mempunyai tempat pulang.

Apa dia harus jadi temen Gue? Andini membatin. Apaan sih Andini, dia itu udah bikin Lo kesel mulu. Harusnya Lo ngebuat dia menjauh dari dunia Lo, bukan malah semakin masuk. Bantah Andini dalam hatinya.

"Andini.... hey.... kok ngelamun sih?." Fajar melambaikan tangannya di wajah Andini.

"Eh apa? enggak kok he he. Mmm jar."

"Iya."

"Kenapa Lo... tetep mau temenan sama Gue, ngasih Gue makanan, peduli sama Gue yang enggak punya temen dikelas. Padahal Lo udah Gue marah-marahin."

"Yeee kan udah dikasih tahu jawabannya kalau aku itu sayang sama kamu, aku pengen terus ada di samping kamu, aku enggak mau kamu kenapa-napa, aku..."

"Serius dong jawabnya ih." potong Andini.

"Itu udah serius."

"Ya udah jawaban yang lain selain itu."

"Dari awal aku liat kamu aku udah suka sama kamu karena kamu cantik. Tapi semenjak aku kenal kamu, tahu cerita kamu. Aku jadi suka sama kamu karena kamu suka SENDIRI."

"Maksudnya?."

"Iya. Karena kamu suka sendiri. Aku butuh kamu dalam hidup aku. Di saat aku enggak suka enggak dianggap dan dibiarin hidup sendiri tapi harus berusaha buat menghadapi itu, dan kamu datang di kehidupan aku sambil dengan santainya kamu bilang 'Gue enggak suka punya temen, Gue lebih suka sendiri'. Jadi aku butuh kamu buat jadi pelengkap dalam hidup aku. Aku butuh kamu biar aku tahu gimana caranya tetap bahagia meski sendiri. Dan aku butuh kamu buat nemenin aku di kesendirian yang kamu bilang kamu suka dengan hal itu." "Lo kan punya banyak temen."

"Iya. Tapi enggak ada yang kaya kamu. Mereka semua hanya bisa bikin bahagia di saat aku sama mereka. Kalau di rumah, semuanya sama aja. Sakit. Jadi selain aku sayang sama kamu, ada satu hal yang pengen aku tahu dari kamu yaitu bagaimana caranya bahagia di saat kamu tidak bersama siapa-siapa."

"Oh gitu ya? Kenapa harus sama Gue."

"Karena kepaksa. enggak ada lagi yang aku kenal soalnya."

"Yee. Lo tuh gitu ya. Bikin Gue kesel mulu."

"Ya udah aku minta maaf deh."

“Enggak!."

"Aku kasih lagi apel yang banyak deh."

“Enggak!."

"Hari minggu kita sepedaan bareng deh."

“Enggak!."

"Aku pergi deh."

“Enggak!."

"Oh enggak pengen aku pergi? Ya udah aku temenin."

"Hhhhhh." sial, Andini malah terjebak dengan ucapan Fajar.

 

Sepulang sekolah, Fajar dan Andini keluar dari kelas bersama Rendy dan Refina. Mereka berjalan menuju parkiran. Kali ini Andini tidak menolak saat Fajar bersamanya. Sesampainya diparkiran, Rendy dan Refina berpamitan untuk pulang lebih dulu sementara Fajar dan Andini mengobrol sebentar.

"Jar. Lo jangan langsung pulang ya?."

"Mau apa? Iya, iya enggak akan. Asalkan sama kamu."

"Tolong. Berhenti gombal-gombal enggak jelas bisa enggak?."

"Gombal apa?."

"Itu bilang 'asal sama kamu' apaan." ucap Andini dengan nada mengejek.

"Bukan gombal. Itu emang bener."

"Iya udahlah terserah. Gini. Gue mau Lo temenin Gue ke tempat yang waktu itu kita main."

"Oh baik An."

"Jangan panggil Gue nama itu. Itu khusus buat keluarga Gue. Ayo berangkat."

"Siap An!."

Mendengar Fajar memanggil namanya An lagi Andini menatapnya tajam lalu menaiki sepedanya dan meninggalkan Fajar. Fajar mengarahkan Andini ke mana jalan yang harus ia tuju, sesekali mereka saling susul menyusul atau bercanda. Apakah sekarang hati andini sudah luluh?. Kita lanjutkan.

"Andini.... berhenti dulu sebentar.... hey!." teriak Fajar di belakang Andini yang membuat Andini berhenti secara tiba-tiba.

"Apaan?." Saat Andini melihat ke arah Fajar, Fajar mengayuh sepedanya dengan cepat dan menyusul Andini.

"Yeee bambang!!." Hardik Andini.

"Wleee." Fajar menjulurkan lidahnya pada Andini dengan kaki yang terus mengayuh sepeda.

"Jar.... bentar Gue mau minum dulu haus." teriak Andini di belakang Fajar.

Fajar berhenti dan melihat ke arah Andini. Ia langsung berbalik arah menyusul Andini.

"Ayo. Gue udah selesai." ucap Andini.

"Lah. Aku baru juga nyampe. Haus juga

nih."

"Iya nih minum." Andini memberikan satu botol minuman dingin pada Fajar.

"Makasih." Fajar tersenyum dan merasa heran kenapa Andini begitu baik.

"Gausah GR. Gue cuman kasian. Ayo

cepet berangkat lagi."

Saat Fajar baru menaiki sepedanya, ia mendapati ban sepedanya kempes.

"Yah an. Ban sepedaku kempes nih!."

"Ya udah, tinggalin aja di sini. Lo naik sepeda Gue, biar Gue di belakang berdiri."

"Eh... serius?."

"Iyaaa. Mau enggak nih. Kalau enggak Lo dorong aja sepeda Lo."

"Iya, iya. Ayo!."

Fajar menaiki sepeda Andini dengan Andini berdiri menginjak step sepeda di belakangnya. Andini memegang pundak Fajar, menikmati angin yang berembus melewati setiap rambut yang menutupi telinganya. Sesekali Andini membentangkan tangannya sambil berteriak “FAJAR JELEEEK!!.” Fajar hanya tersenyum dan menggelengkan kepala saat Andini seperti itu.

Mereka pun sampai di tempat yang mereka tuju. Tempat di mana Andini dan Fajar bersepeda untuk pertama kalinya. Mereka turun dari sepeda, lalu duduk di bawah pohon.

"Nih jar makan!." Andini memberikan sebuah makanan.

"Buah lagi? Kaya monyet ragunan aja makan buah mulu."

"Mau enggak?."

"Mau, mau. Dapet dari mana?."

"Tadi di jalan."

"Kapan? Cepet banget."

"Makan aja. Gausah banyak ngomong!. Ini sebagai ganti karena Lo udah ngasih Gue buah."

"Mmmmm." Fajar tak menggubris ucapan Andini, ia sibuk dengan buah yang ia makan.

"Yeee. Monyet ragunan! Laper apa

gimana?."

"He he. Iya laper. Eh ngomong-ngomong, mau apa kita kesini?."

"Ada yang mau Gue tanyain sama Lo."

"Iya aku juga sa...."

"Bukan soal Lo sayang sama Gue ih." hardik Andini sebelum Fajar menyelesaikan perkataannya.

"He he. Iya apa?."

"Mmmmm. Gimana ya ngomongnya?.

Gini, kalau Lo temenan sama Gue..."

"Iya mau."

"Belum selesai Fajar."

"Oh iya apa, apa?."

"Kalau Lo temenan sama Gue...."

"Iya mau."

"Gue tonjok nih lama-lama."

"Iya apa?. He he."

"Kira-kira, Lo bakal ada terus buat Gue?. Di saat Gue susah atau seneng."

"Iya, terus."

"Dan kalau Gue ninggalin Lo secara tibatiba, Lo bakal sedih enggak?."

"Kayaknya sih."

"Kayaknya? Berarti udah. Kita enggak usah temenan."

"Kenapa?."

"Kan Gue udah bilang, Gue enggak mau temenan kalau suatu saat Gue ninggalin temen Gue mereka bakalan sedih. Gue enggak suka!."

"Ya udah. Aku enggak akan sedih kalau kamu tinggalin aku. Tapi aku akan ikut ke mana pun kamu pergi."

Andini kaget dengan jawaban Fajar, ia lalu menatap Fajar dan tersenyum padanya.

"Iya, kita temenan sekarang. Inget ya TE

ME NAN. Dan Lo enggak usah ikut ikut Gue."

Tunggu Andini, emangnya keputusan ini udah bener ya? Yakin Lo mau temenan sama dia. Oke. Tujuan Lo cuman wujudin apa yang dia mau. Kalau dia pengen bahagia di kesendirian. Setelah itu, Dia mungkin bakal ngejuhin Lo Andini. Abis itu Lo lupain dia di kehidupan Lo. Andini bergumam dalam hatinya.

"Iya sekarang TEMENAN aja. Besok atau lusa

mah enggak tahu."

"Tetep TEMEN. Udah pulang!!."

"Itu doang?. Bilang jadi temen aja? enggak mau peluk atau semacamnya gitu?."

“Enggak!! P U L A N G."

"ha ha. Iya deh iya."

Mereka pulang, sebelum itu Fajar membawa sepedanya ke tempat ia tadi meninggalkannya. Setelah sampai di tempat itu, ia berjalan mendorong sepedanya. Andini juga tidak menaiki sepedanya, ia melakukan hal yang sama dengan Fajar.

"Temen itu harus sama-sama kan?." Ucap Andini dengan tegas.

"An. golongan darah kamu apa?."

"Ini apaan lagi sih? Random banget pertanyaan Lo. Bisa diem aja gak?."

"Jawab dulu!."

"O."

"Sama dong. Aku juga O. Kita jodoh."

"Fiks ini mah Lo gila!. Terus kalau rambut kita sama warna item juga kita jodoh? kalau sepeda kita bannya bulet juga kita jodoh?. Ngawur!!."

"Hahaha. Ya bisa aja kan?."

Aku hanya ingin dekat denganmu untuk beberapa waktu. Jadi kuharap kau tidak berharap lebih selain menjadi temanku. – Andini

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!