Kenyataan

"Bu... ayah pulang!." Ayah membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Baru sampai diruang tengah, ia berpapasan dengan Fajar. Belum jauh ayah berjalan melewati Fajar, Fajar melontarkan pertanyaan.

"Ayah enggak inget kemarin hari apa?." Ayah berhenti dan melirik ke belakang.

“Enggak." Ayah melanjutkan berjalan. Tapi Fajar tak berhenti bicara.

"Kenapa? Padahal Ibu udah nyiapin semuanya, pake baju bagus, masak masakan yang enak-enak, bahkan Ibu sampe nungguin ayah di luar cuma buat hari kemarin." Tutur Fajar sambil mencoba berdiri dan menghampiri ayahnya. Dengan berjalan pincang, ia perlahan lahan mendekat menuju ayahnya. Sekarang, ia sudah berada di belakang ayahnya. Ibunya yang melihat hal itu langsung menghampiri mereka berdua dan hanya menatap mereka berdua dengan tatapan khawatir.

Jika menyangkut masalah Ibunya, Fajar akan membelanya. Ibunya adalah satu satunya orang yang menyayanginya di keluarga ini. Kali ini ia ingin mempertahankan kebahagiaan seseorang yang menyayanginya meskipun ia harus bicara dengan seseorang yang paling ia benci.

"Ayah inget enggak kemarin hari apa? Jawab!!." Nada suara Fajar meninggi. Ayah mulai berbalik menghadap Fajar. Dengan mata yang penuh amarah ia membentak.

"Kamu dengerin ya. Terserah saya mau inget atau enggak. Kalau ngomong sama orang tua itu biasa aja nada bicaranya!!." Bentak ayah tak mau kalah. Api kini bertemu api. Tak ada yang bisa melerai mereka berdua. Ibu pun tak bisa, sekalinya Ibu bicara, ayah akan membuatnya diam tanpa kata.

"Oh gitu ya?. Biar aku ingetin aja. Kemarin itu hari jadi pernikahan kalian Loh."

"Iya. Ayah tahu."

"Kok bisa tiba-tiba tahu gitu. Aneh ya Bu?. Hari jadinya yang ke berapa emang?."

Ibu menunduk dan memegang tangannya sendiri. Merasa khawatir akan terjadi apa-apa pada ayah dan anak itu.

"...."

"Tuh kan diem. enggak tahu berarti. Ayah itu suami Ibu atau bukan?!."

Plak.... sebuah tamparan muncul

"Fajar......" teriak seseorang dari luar. Dia adalah Andini, ia datang dengan membawa kotak makanan yang dengan tak sengaja jatuh menghantam lantai. Ibu berjalan menuju Andini dan mencoba menahannya untuk tidak menghampiri ayah dan Fajar.

"Pukul aja terus. Sampe puas!! Kenapa? Kenapa ayah sebegitu bencinya sama Fajar? Bahkan sama Ibu juga ayah gitu. Kenapa?. Apa yang salah dari Ibu sama Fajar?. Apa emang ayah enggak pernah cinta sama Ibu dan lebih mementingkan perempuan lain. Gitu?." Setelah Fajar berkata begitu, sebuah tamparan mendarat lagi di pipi Fajar.

"Dengerin ini. Kamu itu..." ayah mencoba membicarakan satu hal pada Fajar. Ia mengertakkan giginya sekuat tenaga sambil bicara.

"Udah yah. Udah..." Ibu berteriak sambil terus memegang Andini. Andini yang ada di sana hanya diam tanpa kata melihat pertengkaran hebat antara Fajar dan ayahnya.

"Kamu itu.... bukan anak saya!!. Kamu cuma anak yang diambil sama Ibu kamu dari panti. Dan karena Ibu kamu ngambil kamu, saya jadi benci sama kamu dan Ibu kamu!!." Tutur ayah.

Setelah kalimat itu keluar dari mulut ayahnya. Fajar tertegun diam. Ibu menunduk dan terus menahan air matanya agar tak keluar.

Kini Fajar sudah tahu yang sebenarnya. Ia sudah tahu apa alasan ayahnya selama ini sangat membencinya. Ia sangat ingin marah, tapi harus kepada siapa?. Di rumah ini saja ia bukan siapasiapa.

Fajar langsung berjalan keluar. Sambil merintih kesakitan karena kakinya yang belum sembuh, ia mencoba berjalan secepat mungkin. Meninggalkan semua hal di rumah itu.

"Fajar, kamu mau ke mana nak? Jangan tinggalin Ibu. Ibu sayang banget sama kamu." Ibu mencoba menahan Fajar saat Fajar ingin pergi. Air mata keluar melewati pipi Ibu. Tak bisa tertahan lagi, sebuah tangis pecah dan hanya itu yang bisa Ibu lakukan.

"Udah Bu. Biarin, anak enggak tahu diuntung. Sukur-sukur dia dikasih tempat tinggal di sini. Pergi kamu sana!!. enggak ada yang peduli kamu di sini!!." Ujar ayah.

Fajar tak bisa ditahan. Ia bahkan tak menjawab pertanyaan Ibu. Rasa sakit sudah menghantam hatinya dengan keras.

Menghancurkan setiap kasih sayang yang ia bangun terhadap Ibunya. Ia mengambil sepedanya lalu mengayuhnya dengan satu kaki sebisa mungkin.

"Fajar. Mau ke mana jar?." Teriak Andini. Andini menaiki sepedanya dan mengikuti Fajar. Andini khawatir. Ia tak ingin Fajar kenapa-napa.

Fajar kira kasih sayang Ibu pada Fajar selama ini karena Fajar adalah anak Ibu satu satunya dan karena Fajar adalah anak Ibu yang sesungguhnya. Tapi Fajar salah Bu. Ternyata kasih sayang Ibu selama ini untuk menutupi rasa sakit yang akan Fajar alami jika Fajar tahu kebenarannya. Dan sekarang Fajar tak tahu harus apa Bu. Fajar bingung.

Setelah jauh mengayuh sepeda. Fajar

berhenti di kafe tempatnya bekerja. Lalu berjalan masuk ke dalam. Ia duduk di satu meja. Dan menahan tangisnya. Kini ia sudah mengetahui satu hal. Ia bukan anak dari Ibunya yang begitu ia sayangi. Kini tak ada alasan lagi untuk tetap berada di rumah itu. Untuk apa? Ia hanya dianggap sebagai sampah oleh ayahnya.

"Kenapa jar kamu teh?." Tanya Bang Ipan khawatir yang melihat Fajar. Fajar tak menjawab Ia menjambak rambutnya sambil sesekali berteriak marah. Andini terus mencoba menenangkannya tapi tetap tak mempan. Andini kini melihat sisi rapuh dari seseorang yang keras kepala dan suka membuatnya kesal itu.

"Udah jar. Tenangin dulu diri Lo. Bang boleh minta air hangat enggak?."

"Oh iya neng sebentar." Bang Ipan lalu membawa air hangat dan memberikannya pada Fajar. Fajar meminumnya dan mencoba menenangkan diri.

***

"Jar Lo kenapa?." Tanya Refina yang baru datang bersama Rendy. Mereka disuruh oleh Andini untuk datang ke kafe. Mereka lalu menghampiri Fajar dan duduk di sampingnya.

"Jadi gini ref, ren....." Andini mencoba menjelaskan kejadiannya. Tapi Fajar memegang tangannya dan menghentikannya bicara.

"Biar aku aja.... jadi gini ref, ren. Gue ini sebenernya bukan anak kandung dari Ibu dan ayah Gue. Gue ini cuman sampah yang kebetulan ditemukan sama Ibu Gue. Itu sebabnya ayah selalu benci sama Gue dan Ibu. Alesannya itu ya karena Gue. Gue emang enggak berguna. Kenapa Gue harus hidup kalau tuhan cuma mau bikin Gue kayak gini?." Jelas Fajar. Ia tak bisa menahan emosinya. Ia sangat ingin marah, menangis, atau mati saja jika perlu.

"Hey. Udah, Lo jangan mikir aneh-aneh. Gimana pun juga, Ibu itu sayang banget sama Lo. Dia itu tulus. Dia enggak mandang Lo sebagai seseorang yang lain. Lo tetep anaknya di mata dia. Mau Lo keluar dari rahimnya atau dari rahim orang lain. Ibu itu ya tetep Ibu Lo." Refina mencoba membuat Fajar mengerti.

Fajar terus diam. Ia tak bicara sepatah kata pun.

"Ia pajar. Biarin lah enggak usah dipikirin. Gini aja. Sekarang abang kasih capucchino gratis. Biar kamu tenang. Tunggu sebentar." ucap Bang Ipan.

Sambil Bang Ipan membuat capucchino. Rendy, Refina dan Andini mengajak Fajar mengobrol.

"Jar, jadi gimana? Lo enggak mau pulang

gitu?."

“Enggak tahu ren Gue juga. Gue enggak mau balik ke rumah itu lagi."

"Nah ini nih jar. Capucchino nya." Ucap Bang Ipan yang dilanjutkan dengan mengambil kursi lalu duduk.

"Lo nginep aja di rumah Gue gimana?."

"Rumah Lo terlalu deket sama rumah Gue ren. Nanti Gue malah diajak pulang lagi."

"Oh tempat tinggal ya?. Kamu tidur di kafe aja. Ada satu ruangan kosong. Biasanya itu abang pake tidur kalau abang lagi males pulang."

"Wah serius bang?."

"Iya serius. Pake aja."

"Tapi jar. Baju Lo gimana?" Tanya Rendy.

"Nah itu dia. Lo aja yang ambilin ren. Ya?."

"Iya deh iya... kalau Ibu Lo nanyain gimana?."

"Bilang aja. Gue lagi butuh waktu sendiri. Jangan cari Gue. Gue sehat-sehat aja."

"Hadeeeh. Ya udah sekarang Lo istirahat aja. Biar besok, Gue Refina sama Andini ambilin baju Lo."

"Oke. Thanks ya."

"Ya ya ya..."

***

"Jar udah ya... kita pulang dulu. Besok

kesini lagi."

"Iya iya.... An, bisa enggak kamu di sini dulu sebentar? Aku masih pengen ngomong banyak hal."

"Pajar mah bisa aja. Lagi kayak gini masih sempet pengen berduaan sama ceweknya. Ya sudah atuh. Ini kunci kafe. Abang tinggal ya. Nah besok kalau bisa jam 8 udah buka kafenya. Tapi kalau enggak bisa mah tenang aja. Abang bawa kunci yang satunya lagi."

"Iya bang."

Bang Ipan, Refina dan Rendy meninggalkan Fajar berdua dengan Andini di kafe itu. Saat duduk berdua dan saling berhadapan, mereka saling diam. Mereka hanya menatap sekeliling dan mencari cara untuk memulai obrolan.

"An....."

"Iya jar...."

"Kenapa kamu bisa ada di rumah aku?."

"Aku tadinya mau bawain kamu

makanan."

"Sekarang makanannya mana?."

"Jatuh karena kaget liat kamu ditampar."

"Ah kamu mah drama. Kayak disinetronsinetron."

"Abis gimana dong. Emang kaget!."

"Jadi gimana?."

"Gimana apanya?."

"Ya setelah kamu liat kejadian tadi."

"Kaget."

"Kaget kenapa?."

"Kaget kalau ternyata sebenernya aku enggak pernah kenal kamu sedikit pun. Aku cuma tahu sedikit tentang kamu. Aku kira keadaan kamu enggak seburuk itu."

"Hmmm. Kamu masih tetep mau sama

aku setelah tahu keadaanku begini?."

Andini mengangguk. Ia tak memedulikan keadaan Fajar sekarang. Justru ia ingin membahagiakan Fajar bagaimana pun caranya. Lelaki yang ia kira kuat ternyata memiliki sisi rapuh serapuh rapuhnya.

"Jar. Kenapa pergi dari rumah?."

"Emangnya ada alasan buat aku tetep

tinggal di sana?."

"Ngelawan mulu. Bukannya jawab

pertanyaan."

"Ya maaf dong. Kamu takut aku kenapanapa ya?."

"Iya. Takut. Aku takut kalau kamu tibatiba berubah dan enggak jadi Fajar yang aku kenal."

"Tunggu, ada yang aneh."

"Apa?."

"Kamu sekarang panggilnya aku kamu kalau ngobrol sama aku."

"Iya. enggak boleh?."

"Boleh kok boleh. enggak apa-apa." Sebuah senyuman muncul di bibir Fajar.

"Jangan takut an. Aku enggak akan berubah." Ucap Fajar untuk menenangkan Andini.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku.

Kenapa kamu pergi dari rumah?."

"Berkorban."

"Ha?."

"Iya. Berkorban. Kata seorang tukang urut tadi pagi, kita itu harus mengorbankan satu hal untuk mendapatkan hal yang lebih baik."

"Dengan berkorban kayak gini. Emangnya apa yang akan kamu dapatkan jar. Apa?."

"Bukan aku yang akan mendapatkannya. Tapi Ibu. Setidaknya mungkin dengan aku pergi, ayah enggak akan benci lagi sama Ibu. Kan ayah bilang, dia enggak suka sama Ibu karena Ibu ambil aku dari panti."

"Kamu mau nyari orang tua kamu yang sebenernya di mana?."

“Enggak."

"Kenapa?." "Kenapa?." "Apaan sih?."

"Ya itu jawabannya kenapa. Kenapa aku harus cari mereka sementara aku udah dibuang sama mereka. Sampah yang dibuang aja enggak mungkin nyari si pembuangnya kan?."

"Terserah ah. Bikin bingung. Udah aku pulang aja!." Andini berdiri dan bersiap untuk beranjak pergi.

"Tunggu." Tiba-tiba Fajar memeluk Andini dengan erat. Sebuah pelukan hangat yang tak ingin ia lepaskan. Andini membalas pelukan itu. Berharap ia dapat menghilangkan sedikit saja kesedihan yang dirasakan Fajar.

"Makasih."

"Iya."

Padahal tadinya aku ingin marah, ingin melampiaskan amarahku dalam hal-hal yang mungkin bisa saja itu sangat buruk. Tapi seorang perempuan katanya takut jika aku berubah dari aku yang biasanya. Dan hal itu tidak mungkin kulakukan.

Saat aku sudah tahu kenyataan yang sebenarnya, apa aku harus tetap bertahan dalam kebohongan yang diciptakan oleh mereka(orang tua)?. – Fajar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!