Rumah

Jam pertama pelajaran adalah bahasa Indonesia. Dikelas, semua siswa sangat risau dan resah. Karena biasanya, di pelajaran bahasa Indonesia apalagi masih dalam suasana hari-hari awal sekolah, Bu Rina akan memberikan tugas menulis cerita pengalaman liburan. Hal ini sepertinya sudah sangat lumrah dan menjadi tradisi di setiap sekolah.

"Aduh gimana nih kalau kita disuruh nulis karangan liburan?." Tanya Refina khawatir.

"Kerjain aja. Ribet banget Lo kayak cewek!!".

"Emang Gue cewek jarjit!!." Tukas Refina.

"Lah emang Lo cewek ya?."

"Gue cubit pake gunting juga Lo!."

"Iya Lo cewek udah. Ya udah Tunggu bentar!." Fajar berdiri dari kursinya dan menghadap ke belakang. Karena mejanya berada di depan, jadi otomatis semua siswa langsung melihatnya.

"Temen-temen. Gue mau ngomong sebentar!." Teriak Fajar dengan nada seorang motivator. Ucapannya itu membuat semua orang dikelas memperhatikannya.

"Jam pertama kan bahasa Indonesia, nah biasanya suka ada tugas buat nulis karangan kan?." Tanya Fajar dan semua orang dikelas langsung mengangguk.

"Nah, mending kerjain aja sekarang. Biar nanti kita bisa leha-leha. Jadi bebas gitu. Iya enggak?."

Semua siswa mengangguk dan setuju. Mereka pun mulai mengambil buku dan pulpen untuk menulis.

"Iya juga ya?. Ya udah lah. Kerjain aja sekarang. Tumben saran Lo keren kali ini." Ucap Refina.

"Emang Gue keren!."

"Gue bilang saran Lo BTW. Udah lah

ngerjain aja!."

Semua murid mulai menulis dan mengingat ingat setiap kejadian saat liburan.

Sesekali berhenti melirik ke atas lalu menulis lagi. Usai tulisan mereka selesai, mereka melanjutkan mengobrol. Hingga Bu Rina, guru bahasa Indonesia itu datang ke kelas. Ia membuka pintu dan memegangi gagangnya sambil bicara. "Murid-murid, Ibu akan ada urusan sebentar. Tapi Ibu ada tugas untuk kalian. Kalian tulis cerita pengalaman liburan kalian. Habis itu dikumpulkan!"

"Baik Bu." Jawab semua siswa dikelas.

"Ibu tinggalkan dulu, nanti Ibu kesini lagi!." Ujarnya yang lalu meninggalkan kelas.

"Yeee!!." Semua siswa kegirangan. Karena mereka tidak akan melakukan apa-apa. Tugas dari Bu Rina juga sudah mereka selesaikan. Karena itu, seisi kelas hanya mengobrol, bermain HP dan berbagi tathering, membicarakan gosip terhangat, membicarakan sinetron di televisi dan masih banyak lagi. Di antara mereka juga ada yang pergi ke kantin untuk membeli makanan. Dan kembali lagi untuk melanjutkan kegiatan yang sama.

Saat Bu Rina kembali, ia duduk di kursinya dan melakukan sebuah hal paling menyebalkan yaitu menyuruh salah satu siswa untuk membacakan ceritanya.

"Semuanya, sudah?."

"Sudah Bu."

"Baik, Ibu akan pilih acak cerita liburan yang akan dibacakan."

“Enggak mungkin punya Gue. Punya Gue mah disimpen di bawah." ucap Fajar yakin.

"Rendy ke depan!." Suruh Bu Rina.

"Tuh kan kata Gue. Ayo ren Lo ke depan tuh!!." Ejek Fajar sambil menahan tertawa.

"Bu, kayak anak SD aja baca cerita liburan." keluh Rendy.

"Iya, kamu kan anak SD. Cepet ke

depan!!."

Satu kelas tertawa mendengar ucapan Bu Rina.

Rendy ke depan dan membacakan cerita liburannya dengan penuh semangat.

"Hai semuanya. Gue Rendy. Cerita liburan Gue itu cuman diem di rumah. Bangun tidur

Gue mandi, makan, kadang Gue juga nonton TV. Dan waktu hari-hari terakhir liburan Gue nonton film bareng temen Gue Refina dan Fajar.

Terima kasih."

Cerita itu sontak membuat satu kelas tertawa. Dan Bu Rina sudah memaklumi hal itu. Ia hanya menggeleng gelengkan kepala. Hal itu adalah hal yang biasa bagi Rendy dan Fajar.

Mereka selalu membuat ulah disekolah.

"Buset pendek banget." Ucap Refina sambil tertawa.

Dengan wajah yang seperti tidak berdosa, Rendy kembali duduk ke tempatnya dan memberi high five kepada Refina dan Fajar.

"Selanjutnya Fajar Putra Satria."

"Lah bu. Kan satu aja yang dibaca in." hardik Fajar.

"Terserah Ibu dong. Ayo ke depan." ucap Bu Rina sambil menggerak gerakkan jari telunjuknya.

"Bu, Ibu cantik deh."

"Udah tahu. enggak usah kamu bilang juga saya emang cantik. Udah cepet ke depan!!"

"Iya iya." Fajar mengiyakan dengan malas.

"Ha ha kena juga Lo jar." Refina menertawakan Fajar.

"Yah kena karma." ujar Rendy dengan nada mengejek.

Fajar pun mulai menceritakan cerita liburannya dengan saksama.

"Hai temen-temen. Nama Gue Fajar. Saat liburan itu Gue cuman diem di rumah. Dan sampai saat ini liburan Gue itu sangat ngebosenin buat diceritain. Dan sekarang Ibu guru kita nyuruh Gue buat nulis dan bacain catatan liburan Gue. Saat liburan itu Gue cuman diem di rumah. Sampai saat ini liburan Gue sangat ngebosenin buat diceritain. Dan sekarang Ibu guru kita."

"Cukup, cukup, cukup. Kamu ini malah terus aja mengulang-ulang cerita yang sama. Mana cerita liburannya mana?." Bu guru terlihat kesal sambil menadahkan kedua tangannya ke depan.

Ha ha ha......

Lagi-lagi seisi kelas tertawa. Hal. itu merupakan kebiasaan Fajar dan Rendy. Yaitu membuat kesal guru bahkan seisi sekolah. Pernah sekali Fajar dipanggil ke ruang BK. Dan saat ditanya kenapa ia selalu bersikap tidak sopan. Ia hanya menjawab "saya enggak tahu gimana caranya buat sopan pak. Ayah saya juga di rumah enggak pernah ngajarin. Jadi maaf aja." ucapan itu sontak membuat para guru mengerti bahwa mungkin sikapnya seperti ini karena ia kurang mendapat perhatian dari orang tuanya.

Menjadi seseorang yang sangat sulit mendapatkan sebuah kasih sayang dari orang tuanya terutama ayahnya membuat Fajar

menjadi cuek terhadap lingkungan sekitarnya. Ia hanya akan melakukan hal yang ia senangi, tak peduli orang lain nyaman dengan hal itu atau tidak yang penting ia dapat bersenang senang. Tapi ya itulah Fajar meskipun sikapnya buruk, tapi ia masih memiliki teman yang setia.

Diparkiran, Fajar memegang setang sepedanya untuk mengeluarkannya dari parkiran, ia memundurkan sepedanya tapi tidak memperhatikan sesuatu di belakangnya.

"Aduh!" Teriak seseorang di belakangnya.

"Eh sorry Gue enggak ngeliat!." Fajar meminta maaf sambil melihat ke arah orang di belakangnya itu.

"Eh kamu, Andini kan?." Sambung Fajar bertanya.

"Iya. Kenapa?."

"Dimaafin enggak?."

"Iya."

"Terus?."

"Terus....."

"Terus kenapa masih di sini?. Ngehalangin soalnya. He he."

"Oh. Sorry." Andini langsung bergeser dari tempatnya untuk memberi jalan.

"Maaf, maaf...... ya, udah." Fajar lalu diam di hadapan Andini. Tapi Andini hanya mentap ke arah gerbang untuk mencari mobil yang menjemputnya.

"Andini~."

"Iya kenapa? Udah kan sepedanya keluar.

Ngapain masih di sini?."

"Ini, mau minta nomor HP kamu boleh enggak?."

“Enggak. Udah Gue ada yang jemput!." Andini langsung pergi meninggalkan Fajar di sana.

Susah banget ya, minta nomor HP doang gumam Fajar dalam hati dengan kepala yang menggeleng.

“Yang namanya cinta harus diperjuangkan Fajar.... baru juga sekali ditolak. Udah ngeluh!.” Ujar penulis cerita karena kesal.

 

Siang berlalu sangat cepat, malam menjelma dengan sigap. Fajar tengah diam dikamarnya dan mendengarkan radio seperti biasa. Di bawah, terdengar suara Ibu yang sedang bicara dengan nada yang agak keras. "Ayah, ayah kenapa lagi? Kenapa harus kaya gini?." Sura Ibu terdengar hingga ke atas yaitu kamar Fajar. Fajar yang mendengar suara Ibunya itu langsung berlari melewati anak tangga.

"Ibu....." Fajar kaget saat melihat Ibu terjatuh karena ayah mendorongnya. Fajar mencoba membangunkan Ibu. Setelah itu Fajar berdiri di hadapan ayah dan menatap dalamdalam matanya dengan tatapan yang tajam.

"Ayah ini kenapa? Tiap pulang kayak gini, tiap pulang kayak gini. Bisa enggak jadi seseorang yang baik, yang membahagiakan Ibu. Sebentar saja." Fajar memohon dengan nada yang agak meninggi.

"Diam kamu. Kamu bukan anak saya. Dan ini bukan urusan kamu!."

Plak..... tangan ayah menampar keras pipi Fajar, Fajar tak memedulikannya. Ia terus mencoba membela Ibu.

"Iya emang. Ayah enggak pernah anggap Fajar sebagai anak. Sedikit pun enggak pernah. Dan Fajar juga enggak akan memedulikan ayah dan nganggap ayah sebagai siapa pun lagi di kehidupan Fajar!!. Yang Fajar pedulikan cuma kebahagiaan Ibu!!."

"Udah nak, sabar. Kamu jangan emosi kayak gini sama ayah kamu." Ibu mencoba menenangkan Fajar sambil menatap wajah anaknya dan memegangi badannya.

"Orang kayak gini udah enggak bisa disabarin Bu. Udah jangan melindungi dia lagi. Fajar capek liat Ibu diperlakukan buruk sama ayah!."

"Cukup nak. Cukup." air mata Ibu menetes membasahi pipinya. Ia lalu memeluk anak lelakinya itu. Perlahan suasana mereda, ayah pergi ke kamarnya meninggalkan Ibu dan Fajar. Ibu mencoba menenangkan Fajar yang dari tadi masih menyimpan amarah.

Fajar melangkahkan kakinya menaiki tangga. Meninggalkan Ibu sendirian di sana. Ia masih tak habis pikir, kenapa Ibu harus menahannya untuk tidak marah terhadap ayah. Ayah itu seseorang yang tidak mungkin bisa berubah lagi dengan cara apa pun.

Bruk.... pintu kamar ia buka dengan keras. Dengan rasa kesal yang masih menumpuk didadanya ia duduk dipinggir kasur dan mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Seseorang yang selama ini berharap kasih sayang malah menjadi seseorang yang bahkan sudah tak akan dianggap lagi. Fajar marah, kesal, sedih. Karena ia harus mengalami ini.

"Kenapa sih Gue harus punya ayah kayak dia." ujar Fajar sambil berdiri dan melempar semua benda yang ada di atas meja.

"Gue benci hidup kayak gini terus. Gue benci segala yang berhubungan sama keluarga ini terutama ayah." Bruk..... Fajar memukul pintu berkali kali. Beberapa saat kemudian Ibu datang ke kamarnya sambil berteriak.

"Fajaaar. Kamu kenapa nak? Kenapa marah-marah seperti ini?. Udah maafin ayah kamu ya?." Tanya Ibu memohon.

"Ayah bu? Dimaafin?. Dia udah memperlakukan Ibu dengan buruk. Harus apa yang dimaafin!?. Fajar cuma pengen dia memperlakukan Ibu dengan baik. Udah itu aja!. Sekarang Fajar udah enggak peduli dia sayang sama Fajar atau enggak.”

"Udah nak. Sekarang kamu tenangkan diri kamu." Ibu mendudukkan Fajar di kursi. Ia memegang dagu Fajar dan mencoba membuatnya tenang.

"Ibu enggak apa-apa kok. Ibu maafin ayah meski ayah memperlakukan Ibu dengan buruk. Karena Ibu yang harus berusaha merubah dia.

Jadi kamu jangan khawatir." Setelah ucapan itu, Ibu pergi meninggalkan Fajar. Ia berjalan menuju pintu.

"Kenapa sih Bu?." Tanya Fajar yang menghentikan langkah Ibu.

"Kenapa sih Fajar harus punya ayah kayak dia. Yang tiap hari pergi kerja pagi-pagi dan pulang langsung mabuk-mabukan. Dan dia enggak pernah peduli sama kita. Dan kenapa juga dia kayak benci banget sama Fajar?. Apa salah Fajar bu... apa?."

"Maaf, Ibu udah bikin kamu ada diposisi kayak gini. Dan maafin ayah kamu soal yang tadi." ucap Ibu sambil berjalan keluar dan menuju kamar Fajar. Air mata keluar dengan deras mengalir di pipi Ibu sementara Fajar masih kesal dan sangat marah terhadap kehidupannya saat ini.

"Ibu belum jawab pertanyaan Fajar bu...." teriak Fajar saat Ibu menjauh.

 

"Ren, Ref, Gue cape banget." ujarnya di sebuah percakapan maya dalam grup yang anggotanya terdiri dari mereka bertiga.

"Cape kenapa Jar?." Tanya Refina.

"Gue cape. Cape hidup kayak gini terus. Cape punya ayah kaya dia."

"Jar Lo jangan bunuh diri dong. Kita belum namatin mobile lagend sampe raja terakhir." ujar Rendy.

"Apaan sih Ren. Gue lagi sedih malah ketawa ini. Mana ada raja terakhir. Ha ha."

"Dasar Lo ren. Lo harus ngocok dadu dulu. Kalau berhentinya di tangga terus sampe angka seratus, baru Lo lawan dan kalahin raja terakhir. Emang seru sih mobile legends."

"Lo lagi Ref. Itu mah ular tangga. Ha ha.

Gue ketawa enggak berhenti lah ini."

"Ya udah kalau ketawa. Udah kan? Lega?."

"Lo berdua emang paling ngerti Gue." Fajar terharu membaca chat dari grup itu.

Hari ini seperti hari yang paling menyebalkan bagi Fajar. Bukan, bukan masalah ia dibenci ayahnya. Tapi soal perlakuan ayahnya terhadap Ibunya. Hal itu membuatnya hancur, membuatnya marah semarah-marahnya. Membuatnya ingin pergi dari rumah. Dan membuatnya ingin hidup sendiri saja tanpa siapa pun. Lalu ia berpikir lagi. Jika dia pergi, siapa yang akan menjaga Ibu dari bentakan-bentakan ayah yang begitu menyiksa?.

Setelah berpikir matang-matang, ia memutuskan hanya akan peduli terhadap seisi rumah jika ayahnya mulai melakukan sesuatu yang menyakiti Ibu. Ia tak kan peduli dengan halhal yang terjadi di luar itu.

"Gue janji sama diri Gue sendiri. Gue bakalan peduli sama Ibu doang. Dan sama halhal yang menyakiti Ibu. Udah itu aja. Urusan ayah mau gimana pun. Itu bukan urusan Gue lagi." janji Fajar dalam hati.

Aku kira tempat yang selama ini kutempati

adalah rumah, tempat pulang, tempat kebahagiaan. Ternyata perkiraanku salah. Itu hanya tempat menyimpan kebencian. - Fajar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!