Andini meneguk air putih yang ia bawa sebelum ia mulai berbicara.
"Gini nih gampangnya. Misalnya, Gue itu kan suka ngegambar nih. Nah, di saat Gue sendiri dan enggak ada siapa-siapa dalam hidup Gue. Gue tinggal lakuin aja hal-hal yang Gue suka contohnya gambar. Dan Gue akan tinggalin hal-hal yang menurut Gue ganggu kayak Lo misalnya. Pokoknya Lo sibukin diri Lo sama halhal yang menyenangkan menurut Lo. Jadi meskipun Lo sendiri, Lo bakal tetep bisa bahagia gitu.”
"Hmmmm. Emang iya ya?. Kalau bosen gimana?."
"Kan ini enggak tiap hari Lo lakuin. Kan kalau lagi enggak sama temen Lo aja. Lo gimana sih."
"Eh iya ya. Kalau kamu. Kamu kan enggak punya temen dibandung. Kalau bosen gimana tuh?"
"Kan ada Lo sekarang."
Andini.... apa yang Lo bilang tadi. Astaga..... Lo itu enggak butuh dia. Andini mengelak ucapannya tadi dalam hatinya.
"Ha gimana? Aku? Jadi secara enggak langsung kamu butuh aku ya? Ya udah. Nanti kalau kamu bosen aku bakalan samperin kamu. Tinggal teriak aja. Fajar!! Fajar!!. Eh jangan deng. Jangan gitu. Teriak aja Sayang!! Sayang!!"
"Apaan sih. enggak kok. Maksud Gue itu enggak gitu..." Andini terlihat gugup.
"Tadi kamu bilang gitu kok. Aku denger. Kamu bilang 'kan ada Lo'. Jadi berarti kamu kalau lagi bosen butuh aku kan?"
"Ih Lo apaan sih. enggak. Udah ah Gue pulang aja."
Kenapa kamu enggak bilang iya aja An, kenapa? Apa aku bukan seseorang yang pantas buat kamu? Apakah tujuanku dipertemukan denganmu hanya untuk berharap balasan cinta yang bahkan tak pernah diterima?. Ujar Fajar dalam hatinya.
"Jangan marah dong. Jangan pulang dulu. Kalau pulang, Aku ikut ke rumah kamu ya?"
“Enggak usah." Andini beranjak dari tempat duduknya lalu mengayuh sepedanya dengan kencang. Tapi Fajar mengikutinya dari belakang. Ia takut Andini kenapa-napa. Tapi Andini berhenti secara tiba-tiba.
"Lo enggak usah ngikutin Gue. Gue bisa pulang sendiri."
“Enggak kok. Aku juga mau pulang. Kan arahnya juga sama-sama ke sana. Ih ke pd an kamu."
Andini kembali menjalankan sepedanya, Fajar juga terus mengikutinya. Andini tidak memedulikan Fajar di belakangnya. Hingga ia sampai di rumahnya, ternyata Fajar juga ada di sana.
"Eh Lo ngapain? Gue kan bilang jangan ngikutin Gue."
"Iya tadi kan aku mau ke rumah. Terus aku baru inget kalau rumah aku itu kamu. Jadi sampe di sini deh."
Wajah Andini hanya datar saat Fajar berkata begitu. Ia tak seperti perempuanperempuan lain yang selalu meleleh saat diberi rayuan.
"Jangan gombal!!. Udah pulang, pulang."
"Eh Fajar, kalian abis dari mana? Ajak masuk dong an tamunya." Ibu Andini keluar dari rumah dan menghampiri Fajar dan Andini di gerbang.
"Dia udah mau pulang mah katanya!!." Mata Andini melotot pada Fajar mengisyaratkan untuk pergi.
"Eh enggak kok tante. Aku mau mampir sebentar, boleh enggak?"
"Oh iya ayo boleh, boleh silakan!." Ibu Andini dan Fajar berjalan menuju pintu.
"Hhhh." Andini kesal dan menginjak injak tanah dengan keras.
"Kenapa an?." Tanya Ibunya sambil menengok ke belakang.
"Eh. enggak kok. Gatel aja. He he." Fajar hanya menahan tawa memperhatikan tingkah Andini itu.
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Fajar duduk di kursi sementara Andini pergi ke kamarnya untuk menyimpan tasnya. Ibu Andini menyiapkan minuman dan kue untuk Fajar lalu meninggalkan Fajar sendiri di sana setelah menghidangkan kuenya. Di kursi itu, pandangan Fajar terfokus pada sebuah benda yang tidak asing baginya. Papan catur. Ya, papan catur. Sebuah papan catur tergeletak di atas meja. Ia mencoba membukanya dan memperhatikan apa yang ada di dalamnya.
"Apaan?. Lo mau main catur?" Andini menghampiri Fajar yang sedang memperhatikan papan catur di atas meja.
"Eh. enggak kok. Aku mah enggak bisa main catur."
"Ayo, temenin Gue main catur!" Andini menarik tangan Fajar dan membawa papan catur yang dari tadi hanya tergeletak. Andini mengajak Fajar ke taman belakang rumahnya. Mereka duduk di kursi dan saling berhadapan.
"Ayo mulai!" Andini meletakan papan catur itu di hadapan mereka berdua.
"Emang kamu bisa main?."
"Lo nanya sama Gue? Ya bisa lah.
Gampang." jawab Andini enteng.
"Keren!! Mmmm tapi gimana dong aku enggak bisa temenin kamu main. Maaf ya. Kalau jadi temen hidup kamu aku bisa."
"Kebiasaan Lo. Gombal!! Mmmm. Gini deh, mau Gue ajarin main catur?"
"Iya lah ayo. Biar kamu ada yang nemenin."
"Jadi gini...." Andini menyusun semua buah catur dipapan catur sebelum ia memulai mengajari Fajar cara bermainnya.
"Nah yang pertama ini ada Raja. Raja ini bisa bergerak ke segala arah, tapi cuman satu petak aja" Andini menjelaskan dengan seksama sambil menunjuk ke arah buah catur yang berada di tengah-tengah dan Fajar hanya menganggukangguk.
"Terus kalau ini." Fajar menunjuk ke buah catur lain.
"Kalau ini benteng. Nah benteng ini, bisa bergerak sepanjang petak. Bisa horizontal maupun vertikal. Tapi dia enggak bisa Lompatin buah catur yang lain."
Andini terus menjelaskan satu persatu buah catur dan cara memainkannya. Semua aturan juga ia jelaskan. Mulai dari bagaimana cara memenangkan permainan ini, bagaimana teknikteknik bermainnya dan masih banyak lagi.
"Gimana udah ngerti?"
"Ha ha. Ya enggak lah."
"Yeeee Lo gimana sih." Andini menyentuh dan mendorong pipi Fajar. Fajar hanya tertawa dan menatap wajah Andini.
"Udah udah lah. Sambil main aja jelasinnya biar lebih gampang."
"Oke An." Fajar mengiyakan ajakan
Andini.
Mereka mulai bermain, Andini bermain dengan sangat hebat, dan Fajar selalu membuat Andini kesal karena salah menjalankan buah caturnya. Fajar hanya akan tertawa saat Andini merasa kesal terhadapnya. Lama kelamaan, Fajar menjadi terbiasa bermain catur dan Andini mulai terbiasa dengan Fajar yang ada di kehidupannya. Meski begitu, Andini selalu mencari alasan untuk tetap menjauhkan Fajar di kehidupannya. Dan Fajar, ia selalu berusaha sekuat tenaga agar Andini mau menerimanya.
"An, ini kan ada kuda. Kalau kudanya dinaikin pion kekuatannya nambah enggak?" "Lo apaan sih. Ha ha. Aneh." Andini tertawa mendengar pertanyaan Fajar.
"Terus ini, kalau gajahnya udah enggak punya pasangan gimana? Dia sedih dong. Gajah kan setia banget."
"Terserah Lo ah. Ini tuh cuman catur oke." Andini lagi-lagi tertawa mendengar ucapan
Fajar.
"Nah gitu dong ketawa. Jadi seneng
liatnya."
"Kenapa seneng?"
"Kan muka kamu biasanya kayak singa kelaperan gitu. Terus sekarang ketawa jadi beda aja. Sama jadi tambah sayang."
"Singa? Lo tuh ya kebiasaan." puk... puk...
Andini memukul Fajar.
"Eh eh eh. Iya maaf maaf. Ha ha."
Waktu sudah sangat sore sejak mereka pulang sekolah tadi. Fajar juga belum mengganti pakaiannya. Mereka sangat asyik di taman belakang hingga lupa waktu.
"An, aku pulang dulu ya. Kapan-kapan
ajarin aku main catur lagi."
"Iya, iya. Tapi kalau nanti main, pionnya jangan disuruh naik kuda lagi."
"Ha ha. Iya, enggak akan. Ibu kamu ke mana?."
"Oh enggak tahu. Nanti aja disalamin."
"Iya udah deh. dah." Fajar berpamitan dan melambaikan tangannya. Andini membalasnya. Ia merasa sangat senang hari ini. Ada senyum yang terukir di wajahnya saat melihat Fajar meninggalkannya. Ternyata, Fajar yang sering membuatnya kesal, membuatnya marah, Fajar yang sangat aneh bisa membuatnya bahagia hanya dengan hal sederhana. Bisa membuatnya bahagia hanya dengan papan catur yang ada di hadapan mereka berdua.
An, terima kasih karena hari ini kamu telah memberi senyuman yang mungkin tak pernah kamu berikan terhadap orang lain kecuali aku. Terima kasih telah mengajakku masuk ke duniamu. Meski kamu terus menolak dan menyuruhku pergi. Tapi aku akan tetap berusaha hingga kamu menganggap aku ada dan berharga. Ujar Fajar yang hanya berani ia katakan dalam hati.
"An, kamu kok keliatan seneng banget." Tanya Ibu Andini saat melihat anaknya sedang senyum-senyum sendiri sambil duduk di kursi.
"Eh enggak kok. Biasa aja."
"Kamu suka ya sama Fajar?"
"Apaan sih Ma. enggak ah biasa aja. Dia itu temen aku satu satunya, jadi aku ya gitu."
"Gitu gimana? Suka?"
"Mama...." ucap Andini manja.
"Dia itu anak baik kok kalau mama liat."
"Tapi Ma, dia itu suka bikin aku kesel sama omongannya dia."
"Hati-hati Lo. Sekarang kesel nanti suka."
"Mama... jangan gitu mulu."
"Ha ha." Ibu Andini hanya tertawa melihat anaknya yang salah tingkah.
***
"Andini, nanti istirahat ikut aku ke kantin ya?" Fajar berbisik pada Andini saat jam pelajaran karena ada guru yang sedang menjelaskan.
"Mau ngapain?"
"Ada deh."
"Ish. Bikin penasaran aja."
"Kalau kamu bikin aku makin sayang."
"Lo ih kebiasaan!!. Gue pukul nih."
"Jangan dong." mereka masih saling berbisik.
"Andini, Fajar. Sedang apa kalian?" Bentak pak jeni yang menjelaskan di depan.
“Enggak pak tadi Andini bilang bapak ganteng banget hari ini. Auranya kayak keluar gitu katanya." Fajar memberi alasan agar pak jeni tak marah.
"Emang iya gitu?. Iya juga sih. Hari ini saya merasa lebih ganteng dari biasanya."
"Pffftth." Andini dan Fajar menahan tawa.
"Iya pak ganteng. Kayak jefry nichol." Rendy berteriak dari arah belakang yang sontak membuat satu kelas juga menahan tawa.
"Iya kan sesuai dengan nama saya. JENI, kepanjangan dari jefry nichol."
"Iya pak mirip banget."
"Eh tapi ucapan kamu salah. Saya enggak mirip jefry nichol. Tapi jefry nichol yang mirip saya!. Karena kamu salah jadi nilai kamu saya kurangin!!."
"Eh eh pak apaan. Saya kan bercanda doang. Tapi kalau bapak ngurangin nilai saya. Bapak enggak mirip jefry nichol. Bapak lebih mirip tukang somay depan rumah saya."
"Hahaha." satu kelas tertawa mendengar ucapan Rendy tadi.
"Udah udah. Diem kalian semua. Ada ada
saja."
"Iya pak jefry nichol." ucap Fajar.
"Ah kamu Fajar. Saya naikin nilai kamu."
"Apaan sih pak. Masa si Fajar dinaikin nilainya sementara saya dikurangin." protes Rendy.
"Kamu bilang saya mirip tukang somay. Padahal kan saya tukang batagor."
"Hahahaha" lagi-lagi satu kelas tertawa. Sementara Fajar dan Andini hanya menggeleng gelengkan kepala dan menepuk jidat.
"An, kamu jangan ketawa-ketawa di sini."
"Kenapa jar?"
"Senyuman kamu buat aku aja. enggak boleh ada yang liat selain aku. Nanti mereka ngejar-ngejar kamu."
Andini hanya terdiam mendengar ucapan yang keluar dari mulut Fajar. Rayuan Fajar seperti tak pernah ada habisnya untuk Andini.
Dan Andini sudah mulai terbiasa dengan hal itu.
Jadi ia tidak terlalu menanggapinya.
“Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku. Kesedihanmu adalah alasanku untuk membuatmu bahagia dengan caraku.” – Fajar
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments