Khawatir

"Bi.... bisa ambilin minum enggak? Aku haus nih!." teriak Andini yang keluar dari kamar dan turun dari tangga untuk meminta minum.

"Eh Andini, sini!. Ini Fajar katanya jatuh dari sepedanya di depan." jawab Ibu Andini.

"Ha. Fajar? Kenapa dia?." Andini langsung turun dan menghampiri Fajar.

"An.." sapa Fajar sambil mengangguk dan tersenyum.

"Lo kenapa bisa jatoh?. Makannya naik

sepeda itu hati-hati."

"Hus An, temennya jatuh malah digituin. Udah kamu obatin, mama mau ke kamar dulu lanjutin jahit baju-baju papa kamu yang robek sama kancingnya pada copot."

"Iya Ma..."

"Ini non obat yang disuruh Ibu ambilin."

"Iya bi. Simpen aja di meja."

"Baik non."

"Eh bi, tolong ambilin air hangat sama handuk yang kecil ya, buat cuci lukanya."

"Iya non." Bibi pergi untuk mengambil air hangat, Andini mengajak Fajar mengobrol untuk menanyakan lukanya.

"Lo kenapa?."

"Kamu khawatir?." Tanya Fajar

"Ish.... jawab dulu. Lo kenapa?."

"Jatuh. Kamu khawatir enggak?."

“Enggak. Biasa aja."

"Oh ya udah." Fajar memalingkan pandangannya.

"Kenapa bisa jatoh?."

"Udah khawatir sekarang?."

“Enggak. Masih biasa aja." Ucap Andini.

Fajar hanya mengangguk.

"Mana yang sakit?."

"Ini sama ini." Fajar menunjukkan tangan kanan dan dan lutut sebelah kanannya.

"Sekarang udah khawatir belum?." Lanjut Fajar.

"Lo ini..... iya Gue khawatir, sini Gue liat lukanya."

"Non, ini airnya." ucap bibi sambil membawa air hangat dan handuk kecil.

"Iya bi. Simpen aja."

"Bi... tahu enggak?."

"Tau apa mas?."

"Andini khawatir sama saya bi. Dia takut saya kenapa-napa katanya."

"Bi. Udah bi, jangan dengerin. Bibi masak aja buat makan malem. Papa udah mau pulang mungkin."

"Iya non."

***

Andini melihat luka Fajar dan mencoba untuk mengobatinya.

"Jangan berisik! Gue mau cuci dulu

lukanya."

"Iya pelan pel.... aduh..." Fajar berteriak kesakitan saat Andini mencuci lukanya. Hal itu membuat Andini kesal.

"Gue bilang jangan berisik!." Hardik Andini.

"Sakit an... pelan-pelan dong."

"Iya, iya..."

"Aduh...." teriaknya lagi.

"Udah, udah... sekarang Gue obatin."

"Yah belum selesai?."

"Baru juga dicuci. Sakitnya belum seberapa." jawab Andini santai.

"Kamu bukannya khawatir malah makin

nyiksa aku."

"Biarin. Ini bakalan sakit. Jadi ke depanin wajah Lo."

"Buat apa? Mau pipi kiri apa kanan?."

"Apaan sih Lo? diem!!." Andini menutup mulut Fajar agar ia tidak berteriak saat diobati. Dan benar saja, Fajar berteriak sangat keras di dalam bekaman tangan Andini. Tapi Andini tidak memedulikannya, ia fokus dan santai mengobati luka Fajar agar cepat selesai. Ia mengoleskan obat ke seluruh kulitnya yang tergores.

***

"Udah." Andini menutup luka Fajar dengan perban.

"Aduh an.... sakit banget. Kamu ini benerbener ya." Fajar menghela nafas lega.

"Udah deh. Udah selesai juga

diobatinnya."

"Kamu enggak kayak cewek-cewek di film. Kalau ngobatin cowoknya itu romantis, pelanpelan ngobatin lukanya, terus natap mata cowoknya dengan penuh cinta."

"Halah, romantis apaan?. Mereka yang di film itu bohongan."

"Iya aku tahu. Tapi aku juga pengennya

gitu."

"Nih Gue pukul makin keras mau?."

"Mau air putih aja. Tolong ambilin ya."

"Iya. Tunggu. Gue ambil dulu. Sambil nyimpen obat."

"Kok enggak nolak."

"Ya udah enggak jadi ambilin."

"Ambilin dong."

Meski Andini terlihat bersikap biasa saja, tapi ia sangat khawatir terhadap Fajar. Ia tidak memikirkan bahwa ia sedang sakit. Yang penting Fajar diobati.

Usai mengambil air putih, Andini lekas kembali menemui Fajar yang memintanya. Setelah selesai, ia duduk di hadapan Fajar lalu rebahan di sofa.

"Kamu ke cape-an? Nih minum dulu." Fajar memberikan air putih yang baru sedikit ia minum.

“Enggak usah. Nanti Gue ambil sendiri."

"Maaf ya, gara-gara aku jatuh. Kamu jadi ribet ngobatin aku."

“Enggak kok, enggak ribet."

"Padahal kamu kan lagi sakit. Istirahat aja padahal. Biar aku sama bibi aja."

“Enggak apa-apa. Kan udah diobtinnya."

"Kamu cemburu enggak liat aku tadi di bopong sama bibi. Sampe rangkul rangkulan."

"Ngapain cemburu. Dia itu cuman bibi. Udah, udah. Malah jadi ngomongin bibi."

"Kamu maunya ngomongin apa?.

Hubungan kita? Ya udah ayo!."

"Dih apaan sih?. Lo lagi sakit gitu, ngocehnya malah makin menjadi jadi."

"Ha ha. Aku pulang aja ya? Kamu istirahat yang cukup." Fajar mencoba berdiri dan berjalan. Baru beberapa langkah ia berjalan, ia hampir terjatuh. Dengan sigap Andini merangkulnya dan kembali mendudukkannya.

"Eh eh eh. Lo udah duduk aja, jangan dulu pulang. Kan lagi sakit kakinya." ucap Andini khawatir.

"Ya udah kalau kamu yang minta. Aku duduk aja. Kamu mau aku temenin yang lama ya di sini?."

"Lagi sakit malah kayak gitu....." Andini mencubit pinggang Fajar karena kesal dengan ucapannya.

"Adududuh. Maaf, maaf.... udah ya, aku pulang aja. Udah enggak sakit kok."

"Coba jalan kalau gitu!."

Fajar mencoba berjalan, saat ia melangkahkan kakinya yang sebelah kanan. Ia merintih kesakitan. Karena tak bisa berjalan, ia mencoba menggunakan kakinya yang sebelah kiri. Tapi ia hanya meloncat Loncat hingga mau terjatuh.

"Aduh, sakit banget. Kaki aku terkilir kayaknya. Gimana dong nih." rintihnya.

"Ya udah duduk dulu makannya jangan ngeyel!." Andini makin kesal dengan sifat Fajar yang keras kepala. Ia meletakan tangan Fajar di pundaknya lalu membopong Fajar untuk berjalan kembali dan duduk di sofa. Fajar merangkul Andini dengan mata yang menatap ke arah wajahnya, Andini membalas tatapan itu. Fajar tersenyum bahagia. Tangannya menuju ke arah wajah Andini, lalu menyingkirkan rambutrambut yang menghalangi wajahnya. Andini tersenyum dan menunduk. Ia gugup saat Fajar melakukan hal itu padanya sambil menunjukkan senyuman bahagianya.

"An... gimana Fajar, udah diobatin?." Teriak Ibu Andini saat keluar dari kamarnya untuk menghampiri mereka berdua.

"Udah Ma." balas Andini yang dengan sigap langsung mendudukkan Fajar.

Saat berada di depan Andini dan Fajar, Ibu Andini menanyakan beberapa hal.

"Gimana lukanya?."

"Ini Ma, lukanya lutut sama tangan. Tapi kakinya terkilir kayaknya, jadi dia enggak bisa jalan."

"Aduh, gimana dong. Mau nginep aja di

sini?."

"Eh. enggak usah tante. Ngerepotin. Saya mau pesen gojek aja."

"Assalamualaikum." teriak ayah Andini dari luar rumah.

"Wa ‘alaikumsalam." jawab Ibu Andini lalu membukakan pintu."

"Ma, itu sepeda siapa? Di depan?."

"Oh itu sepedanya Fajar, dia jatuh tadi. Jadi dia di sini dulu."

"Jatuh mana dia sekarang?."

"Itu di sana." tunjuk Ibu Andini ke arah Fajar.

"Aduh... Fajar kamu kenapa?."

"Eh om. enggak apa-apa. Cuma jatuh aja."

"Cuma jatuh Pa, tapi dia mau nagis pas diobatin." tukas Andini.

“Enggak ih. Kamu berlebihan." elak Fajar.

"Iya tadi mau nangis."

“Enggak."

"Heh... kalian ini malah berantem kayak orang pacaran aja. Udah papa mau nyimpen tas dulu ke kamar. Fajar ikut makan malam dulu di sini!."

"Eh enggak usah om, bentar lagi mamang gojek sampe kesini. Nah itu dia." Ucap Fajar saat mamang gojek sudah membunyikan klaksonnya di depan rumah.

"Yah. Padahal kamu belum cobain

masakan di sini. Enak-enak Loh."

“Enggak usah om. Lain kali aja. Saya pamit ya om."

"Bisa enggak jalan nya? Jangan sok deh. Sini Gue bantu!." Seru Andini yang langsung membantu Fajar.

"Mah anak kita kalau jatuh cinta jadi kuat gitu liat. Ngangkat Fajar aja dia bisa. Padahal dia lagi sakit. Mau papa bantu aja an?."

Fajar hanya tersenyum mendengar ucapan ayah Andini.

"Papa ini apaan sih. Aku kan emang kuat! Bukan lagi jatuh cinta. enggak usah dibantu, aku bisa."

Karena Fajar kasihan, ia tidak memberatkan rangkulannya pada Andini. Ia hanya meloncat-loncat dengan kaki kirinya agar Andini tidak keberatan.

Setelah meloncat-loncat sampai depan gerbang, Fajar menemui mamang gojek yang sudah menunggu.

"Mas Fajar ya?."

"Iya mang. Ayo cepet." Fajar naik dan duduk menyamping di atas jok motor.

"Mas kenapa gitu naiknya?."

"Sakit kaki saya mang. Udah lah mang cepet saya enggak kuat nih!."

"Ini pacar masnya ya? Baik banget dia sampe bopong mas dari dalem rumah."

"Iya mang. Pacar saya emang baik banget."

Saat Fajar berkata begitu Andini langsung melotot dan mengepalkan tangannya.

"Cepet mang berangkat." ujar Fajar sambil menepuk-nepuk pundak mamang gojek. Dengan sigap, mamang gojek langsung menjalankan motornya dengan cepat menuju rumah Fajar. Andini menatap Fajar sambil tersenyum saat Fajar sudah berjalan jauh dari rumahnya.

Jar, Gue sekarang udah mulai nyaman sama Lo. Entah ada angin apa. Sekarang Gue udah mulai nerima setiap hal yang Lo lakuin sama Gue. Gue akan mengikuti perjalanan perasaan Gue untuk menemukan tujuannya. Dan untuk sekarang, Gue enggak memedulikan status kita. Yang penting Gue bahagia saat sama Lo. Dan Lo bahagia saat sama Gue. Itu pun udah cukup.

***

Sesampainya di rumah, Ibu Fajar sudah ada di luar rumah. Ia melihat keadaan anaknya yang tertambal perban dan berjalan pincang dibantu oleh mamang gojek. Ibunya langsung menanyakan ini itu. Jawaban Fajar pada Ibunya hanya "jatuh aja Bu dari sepeda, enggak apa-apa kok. Cuman kegores dikit."

Ibu menyuruhnya istirahat agar keadaannya membaik. Fajar mengiyakan dan memilih untuk tidur di sofa malam ini karena kakinya tidak kuat menaiki tangga.

"Tunggu Ibu ambilin selimut." Ibu pun pergi untuk mengambil bantal dan selimut.

"Nih, pakai dulu bantal sama selimutnya."

"Makasih bu. Bu, besok bisa panggilin tukang urut enggak? Kaki Fajar terkilir tadi. Jadi agak sakit."

"Iya. Ya sudah istirahat aja sekarang. Besok

Ibu panggil tukang urut."

"Bu, bisa tolong charge HP Fajar enggak? Baterainya habis."

"Iya nak sini HP-nya." Ibu meninggalkan Fajar. Baru selangkah ia berjalan, Fajar menanyakan satu hal.

"Ayah belum pulang lagi ya Bu?." Fajar tahu bahwa Ibu sedang menunggu ayah sewaktu di luar tadi. Jadi ia menanyakan soal ayah.

"Sebentar lagi."

"Sebentar laginya kapan? Besok?."

"Hmmm. Udah kamu istirahat aja, jangan dipikirin. Kamu sudah makan?."

Fajar tak menjawab, ia hanya berpura pura memejamkan matanya.

Ngapain sih Ibu nungguin ayah? Kalau pulang juga paling sempoyongan. Jalan aja enggak seimbang apalagi pikirannya. Hardik Fajar kesal dalam hati.

"Malam bu....." ucap ayah saat melewati pintu.

"Malam yah." Balas Ibu yang lalu membukakan jas ayah.

Tumben dia enggak mabuk. Bagus lah biar enggak nyusahin.

Fajar masih berpura-pura memejamkan matanya sambil mendengarkan percakapan ayah dan Ibunya.

"Si Fajar kenapa Bu?."

"Dia jatuh dari sepeda. Yah, mending kita bawa dia ke dokter. Kakinya terkilir katanya."

"Halah ngapain Bu... Bu. Besok juga dia sembuh." ucap ayah tidak peduli.

Ibu hanya menunduk saat ayah berkata seperti itu. Ia tak bisa memaksakan kehendaknya.

"Udah Bu. Biarin aja si Fajar sembuh sendiri. Sekarang ayah laper nih Bu. Udah nyiapin makan malam?."

"Udah yah... ayo makan. Ayah hari ini ayah inget sesuatu enggak?."

"Maksud Ibu apa?."

"Oh ya sudah. enggak penting."

Itu? Itu yang Ibu tungguin? Ayah yang enggak peduli sama Gue? Bahkan Gue lagi sakit kayak gini aja dia masih tetep bilang ngapain bawa Gue ke dokter biarin aja Gue sembuh sendiri. Ha ha, Mendingan enggak punya ayah aja kalau gitu mah. Hardik Fajar kesal terhadap sikap ayah. Ayah yang tak pernah peduli padanya, tak pernah mendengarkan ibu, dan mungkin ia hanya memikirkan kesenangannya saja. Setiap kali Fajar melawan pun ibu akan menahannya. Padahal ibu sudah sering dikecewakan oleh ayah, tapi tetap saja ia melindunginya.

Aku senang saat kau mengkhawatirkanku. Tapi aku tak ingin kau terlalu mengkhawatirkanku hingga kau tak mengkhawatirkan dirimu sendiri. – Fajar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!