"Fajar, gimana kakinya masih sakit?." Tanya Ibu lembut.
"Masih Bu. Ayah udah pergi?." Tanya Fajar mengalihkan topik percakapan.
"Iya sudah."
"Ibu kemarin ngapain nungguin ayah di
luar?."
“Enggak kok. Ibu nungguin kamu bukan nungguin ayah."
"Ibu bohong. Biasanya juga Ibu enggak pernah nungguin aku di luar gitu. Aku kan udah biasa pergi malem-malem. Kenapa Bu?."
"Iya Ibu nungguin ayah. Kemarin itu hari jadi pernikahan kita."
"Dan ayah enggak inget?."
Ibu menggelengkan kepalanya.
"Kenapa Ibu enggak marahin dia aja? Masa tanggal pernikahan aja enggak inget. Dia itu niat enggak sih jadi suami Ibu?."
"Hus... Udah nak. Biarin. Sekarang pikirin kesehatan kamu. Ibu panggilin tukang urut sekarang ya. Kamu tunggu di sini!."
Fajar sangat marah terhadap ayahnya. Padahal mungkin Ibu sengaja menyiapkan makanan yang enak-enak malam itu. Ibu sudah memakai baju yang lain dari biasanya. Dan lagi, Ibu sudah menunggu ayah di luar malam-malam hanya karena mengharapkan ucapan selamat hari jadi.
***
"Fajar, ini tukang urutnya. Namanya mbok
siti."
"Panggil kakak saja." ucap mbok siti.
"Oh iya, iya. Kak siti katanya. Ibu tinggal ya."
"Ya sudah mbok. Eh kak. Ah apa aja lah ya. Kaki saya ini sakit banget. Terkilir jatuh dari sepeda. Jadi ceritanya itu saya kan keluar dari rumah temen saya malem, naik sepeda saya,
terus ada kucing lewat secara tiba-tiba, terus....."
"Haduh mas... mas... ndak usah dijelasin juga enggak apa-apa. Yang penting itu mana yang sakitnya, nanti saya urut, abis itu saya dibayar. Udah deh."
"Iya.. iya... yang sakit ini kaki saya. Nah kaki saya ini mau diurut. Kakaknya bisa ngurut enggak?."
"Ndak bisa mas. Kalau sama saya nanti kakinya saya campur telur, mentega sama terigu. Terus saya aduk sampe rata. Abis itu di oven sampe mateng."
"Jadi kakak ini enggak bisa urut kaki
saya?."
"Bisa mas! Kan kata Ibu mas tadi saya ini tukang urut."
"Jadi kata Ibu saya doang kakak ini tukang urut? Kalau kata orang lain bukan ya?." Tanya Fajar yang membuat mbok siti semakin kesal.
"Hadeeeh. Mas ini abis jatoh jadi kayak gini ya?. Sudah lah jangan banyak bicara. Sini kakinya."
"Ya maaf kak. Saya kan cuma bercanda biar enggak tegang!. Nih kak, tolong urutin ya... urutinnya dari satu sampai seratus aja." ucap Fajar sambil menunjukkan kakinya yang sakit.
"Mas. Maksudnya urutin itu bukan urut angka gitu mas. Tapi diurut kayak gini Loh diurut. Mas ngerti enggak sih?." Ujar mbok siti kesal dengan tangan yang terus mengurut.
"Iya saya ngerti. Jangan marah gitu dong!.
Sekarang saya diem deh biar kakaknya fokus."
"Nah gitu dong. Diem ya.. " mbok siti mulai mengurut kaki Fajar lebih keras. Hal itu sontak membuat Fajar berteriak.
"Aw... sakit banget itu!!." Teriak Fajar.
"Katanya mau diem."
"Aduuuuh!!." teriak Fajar lagi. Bukannya berhenti, mbok siti malah melanjutkan proses mengurutnya. Ia tak memedulikan Fajar yang berteriak kesakitan. Sesekali Fajar memukulmukul sofa, tapi tetap mbok siti tak memedulikannya. Yang ia pedulikan hanyalah tugasnya mengurut Fajar dan mendapat uang.
"Nah sudah mas. Sudah."
"Huuuhh..." Fajar menghela nafas panjang. Ia sangat lega proses mengurut ini sudah berakhir.
"Kakaknya ini mau nyembuhin apa mau
nyiksa sih?."
"Dua duanya mas. Saya suka liat orang lain menderita." jelas mbok siti santai.
"Yeee dasar."
“Enggak mas. Bercanda. Kan kata orangorang nih mas, berakit rakit ke hulu, berenang renang ketepian. Bersakit sakit dahulu, bersenang senang..."
"Kemudian. Iya saya tahu tapi itu tadi kayak enggak ada rasa kasihan sama sekali."
"Mas. Mau ditunda tunda seberapa lama
pun, rasa sakit akan tetep sakit saat diobati."
"Oh gitu ya?."
"Iya mas. Kadang kita harus mengorbankan satu hal untuk mendapatkan hal yang lebih baik."
"Itu gimana maksudnya?."
"Ya kayak mas ini. Mas harus korbankan diri mas sampe sakit-sakitan buat mendapatkan kesembuhan yang hakiki."
"Kakaknya ini inspiratip sekali. Waktu baru lahir diapain kak?."
"Ah mas ini bisa aja. Waktu baru lahir, saya cuma dikasih saripati buku kata-kata bijak."
"Ha ha. Bisa aja nih. Udah ah. Makasih
ya..."
"Iya mas sama-sama."
Fajar memikirkan ucapan mbok siti tadi tentang kita yang harus mengorbankan satu hal untuk mendapat hal yang lebih baik. Apa ia juga harus berkorban untuk kebahagiaan ibunya?.
Tapi apa yang harus ia korbankan?.
***
"Ref si Fajar ke mana? Kok belum ke
sekolah?."
"Ah biasa dia mah telat. Atau berantem dulu sama ayahnya."
"Hai ref, ren.." teriak Andini yang datang menggunakan sepeda.
"Loh An, kok pake sepeda si Fajar?." Tanya Refina heran.
"Gini, Gue mau ngembaliin sepedanya si Fajar. Soalnya waktu itu ditinggal di rumah
Gue."
"Kenapa ditinggal? Sepedanya rusak?."
“Enggak. Dia jatuh. Kakinya sampe terkilir gitu. Kasian deh."
"Oh pantesan sekarang dia enggak
sekolah."
"Dia enggak sekolah?." Tanya Andini. Rendy dan Refina hanya menggelengkan kepala. Usai obrolan itu, mereka pergi ke kelas. Dikelas mereka berencana untuk menjenguk Fajar sepulang sekolah nanti.
***
"Kenapa sih ayah sebegitu enggak sukanya sama Ibu?." Pikir Fajar. Sampai detik ini, ia masih memikirkan soal ayah dan Ibunya.
Ayahnya yang tak pernah membuat Ibunya bahagia sedikit pun. Apa yang salah dari Ibu? Ia ini seseorang yang sangat baik. Apa hal yang membuat ayah begitu benci terhadap Ibu?. Apa mungkin karena Fajar ayah jadi tidak suka dengan Ibu?. Hal-hal itu terlintas dalam pikiran Fajar begitu saja.
"Fajar. Kamu mikirin apa nak?."
"Eh Ibu. enggak Bu, enggak apa-apa."
"Bilang aja sama Ibu."
"Ini bu.... Fajar mikirin, kenapa sih ayah kayak enggak suka banget sama Ibu? Apa karena Fajar?."
"Loh kok karena kamu?. Bukan karena kamu. Waktu itu, ayah sama Ibu punya masalah dikit."
"Dikit? Kok dikit enggak pernah selesai sampe sekarang?."
Mendengar Fajar berkata begitu, Ibu hanya tersenyum lalu beranjak pergi.
"Udah lah Bu. Biar aku aja nanti tanyain langsung sama ayah." ucap Fajar saat Ibu meninggalkannya.
Ibu hanya menunduk lalu pergi ke kamar. Ia tak akan bisa mencegah anaknya yang sangat keras kepala itu. Jadi mungkin nanti saja saat ayah pulang, Ibu akan menahannya sebisa mungkin.
***
"Jar... Fajar...." dari luar rumah Fajar terdengar suara teriakan teman-temannya.
"Bu.... bisa tolong bukain pintu enggak?.
Di luar ada temen-temen..."
"Iya.. sebentar...."
Ibu membukakan pintu, di sana ada Andini, Refina dan Rendy. Ibu menyambutnya dan menyuruh mereka masuk untuk menemui Fajar sebelum meninggalkan mereka.
"Jar. Lo kenapa? Sakit ya? Bisa sakit juga Lo ternyata." Ucap Rendy bercanda.
"Iya nih, Gue sakit. Dasar emang si Fajar tuh." Ujar Fajar.
"Jar, sepeda Lo ada di luar. Gue bawa kesini, takutnya Lo butuh."
"Iya an, makasih ya. Kamu baik banget."
"Udah ah rayu-rayunya. Makan martabak aja mendingan. Tadi kita beli." ajak Refina.
"Ini siapa? Temen barunya Fajar ya?." Tanya Ibu Fajar sambil menatap ke arah Andini saat menghampiri mereka.
"Iya tante. Saya Andini, temennya Fajar."
"Panggil Ibu aja. Semua temen Fajar manggilnya gitu."
"Tau enggak Bu. Fajar suka sama Andini ini Bu. Kata Fajar dia cantik." tukas Rendy.
"Ah iya. Emang cantik anaknya." Ujar Ibu.
"Apaan sih Lo ren." elak Fajar.
"Iya bu. Bener tuh kata si Rendy. Si Fajar suka katanya sama Andini. Gimana menurut Ibu cocok enggak?." Tanya Refina.
"Cocok kalau menurut Ibu mah. Anaknya cantik, baik juga kelihatannya." Jelas Ibu.
"Tuh jar. Cocok kata Ibu juga." Tukas Refina.
Fajar dan Andini hanya tersenyum saat Ibu, Rendy dan Refina membicarakan mereka.
"Ibu tinggal dulu ya. Kalau kalian mau minum atau apa ambil aja. Anggap rumah sendiri."
"Iya Bu, makasih ya." Ujar Rendy.
"Lo kenapa sih ren. Ngomongin Gue sama Andini di depan Ibu." Bentak Fajar.
"Biarin lah. Biar Ibu tahu."
"Maaf ya an. Emang dasar si Rendy nih!."
"Iya jar enggak apa-apa. Udah ayo, makan
aja kita!."
Mereka pun makan, kecuali Andini. Katanya ia kurang suka. Mereka makan sambil mengobrolkan banyak hal. Tertawa bersama, menceritakan masalah-masalah mereka, menceritakan hal-hal lucu yang terjadi disekolah.
Saat itu mereka sangat bahagia.
"Kerjaan Lo gimana jar? Aman-aman aja? Semalem gimana? Kan Lo sakit?." Rendy melontarkan pertanyaan yang wajar pada Fajar. Tapi menurut Fajar, hal itu jangan ditanyakan di rumahnya.
"Aduuh ren, Lo bisa enggak jangan nanyain gituan di sini. Ibu Gue belum tahu." ucap Fajar khawatir.
Mereka berempat akhirnya senyap. Andini, Rendy dan Refina berbisik memarahi Fajar.
"Jar, jadi selama Lo kerja Ibu Lo enggak tahu? Lo gimana sih." bentak Andini berbisik.
"Gue kira Lo udah ngasih tahu. enggak baik Loh jar. Meningan Lo kasih tahu aja." Tutur Refina.
"Gue nunggu waktu yang tepat. Tenang
aja."
"Terus kalau Lo pergi kerja kok enggak ketahuan, emang Lo bilangnya ngapain?." Rendy berbisik.
"Gue bilang nya main sama Lo."
"Ha Gue?. Lo tuh ya. Hhhhh. Dasar Lo!!. Nanti kalau Gue ditanyain gimana Fajar...." Rendy kesal karena ia dijadikan alasan oleh Fajar saat bekerja.
"Ya gimana dong, terlanjur. Kalau Gue ngasih tahu. Nanti enggak dibolehin kerja lagi.
Terus Gue enggak punya uang jajan. Gimana?."
"Terserah Lo. Yang penting jangan bawabawa Gue!!." Hardik Rendy.
***
"Kalian kenapa jadi bisik-bisik gitu?."
"Eee takut ganggu Bu. He he."
"Nak Rendy ini kayak ke siapa aja. Biarin biar rame di rumah ini."
"Bu, Fajar katanya mau ngasih tahu sesuatu." Andini mencoba membuat Fajar menjelaskan tentang masalahnya. Fajar menatap kesegala arah. Ia memikirkan bagaimana cara membicarakannya pada Ibu.
"Ini Bu... jadi Fajar itu... kerja selama hari Sabtu dan Minggu malam." Jelas Fajar singkat yang dilanjutkan dengan menundukkan kepalanya. Rendy, Refina dan Andini menatap pada Ibu. Takut jika Ibu akan marah pada Fajar ataupun pada mereka karena tidak memberitahunya.
"Iya. Ibu tahu."
"Kapan? Kok Ibu bisa tahu?."
"Waktu kamu suruh charge HP kamu, ada yang nelpon kamu. Dia katanya Bang Ipan gitu namanya. Dan dia nyuruh kamu untuk istirahat aja katanya. Jangan kerja dulu. Nah habis itu Ibu nanya, kamu kerja apa emangnya. Dan ya, Ibu tahu deh."
"Jadi... enggak apa-apa kan Bu?."
“Enggak. Ibu malahan mau minta maaf sama kamu. Saking enggak bisanya Ibu ngasih kamu uang jajan yang cukup, kamu sampe belabelain kerja."
“Enggak apa-apa Bu. Fajar seneng kok."
"Alhamdulillah Bu... Bu. Aku kira nih, Ibu bakalan marahin aku, karena si Fajar kalau mau kerja alesannya main sama aku." Rendy sangat bersyukur.
"Oh jadi gara-gara kamu ya anak Ibu ini jadi kayak gitu? Bohong sama orang tuanya."
"Iya nih bu. Si Rendy penyebabnya." Jelas Refina.
Mereka semua tertawa. Ternyata masih ada sisa-sisa kebahagiaan di rumah itu. Masih ada tawa yang bisa tercipta. Akhirnya Fajar dan teman-temannya bisa merasakan kehangatan yang jarang atau mungkin tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Tapi kali ini mereka merasakan hal itu. Mereka berharap kebahagiaan yang mereka rasakan kali ini tak kan pernah hilang sampai kapan pun. Pertemanan yang lebih terlihat seperti keluarga ini sangat berarti bagi mereka. Mereka semua saling menatap dan tersenyum sebelum akhirnya saling memeluk erat dan saling merasakan kebahagiaan.
Ren, Ref, An, kalian keluarga kedua Gue. Saudara terbaik Gue. Dan orang-orang yang paling mengerti soal Gue - Fajar.
Ren, Ref, Jar, dan Ibu. Kalian semua adalah halhal baru yang pertama kali bisa bikin Gue nyaman tanpa proses yang panjang. Thanks ya - Andini.
Dasar. Temen-temen aneh. Kalian itu keluarga yang lebih baik dari keluarga Gue sendiri. Entah apa sebabnya. Kebahagiaan bisa datang cuma karena obrolan enggak jelas. -Refina.
Gak tahu harus bilang apa. Orang-orang aneh kayak kalian kenapa bisa ketemu sama orang yang lebih aneh kayak Gue? Mungkin emang takdir kali. - Rendy.
Terima kasih tuhan. Kau telah memberikan kawan-kawan yang baik untuk anakku. Mereka yang bisa mengerti keadaan anakku. Dan mereka yang dapat menjadi pendengar yang paling baik untuk anakku di saat orang tuanya yang buruk ini tak mampu melakukannya. -ibu.
***
"Kita pulang ya jar. Cepet sembuh. Guruguru disekolah katanya kangen dibikin kesel sama Lo."
"Yeee Lo ren. Pasti kagak ada temen ya?."
"Iya si Rendy enggak ada temen buat bikin kesel guru ha ha. Cepet sembuh ya jar." Refina menepuk-nepuk pundak Fajar.
"Iya ref thanks ya." Setelah itu Fajar menatap Andini dan mengangkat dagunya.
"An....."
"Iya, cepet sembuh. Jangan lama-lama
sakitnya. Nanti...."
"Nanti kangen ya? Iya enggak akan lama."
"Halah. Lo gombal mulu!!." Hardik
Refina."
"Ha ha."
Pertemanan bukan perihal seberapa banyak teman yang kau punya. Tapi seberapa peduli mereka saat kau dalam kesulitan – Fajar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments