Esoknya, pukul 2 siang Fajar sudah mandi, memakai kaos dan celana jeans topi dan membawa sebuah tas. Ia berjalan keluar untuk menaiki sepedanya. Belum sempat membuka pintu, Ibu datang dan bertanya pada Fajar.
"Kamu mau ke mana jar?."
"Aku mau main dulu Bu."
"Tiap hari libur main terus. Sekarang ke mana?."
"Ke sana sebentar." jawab Fajar dengan jari yang menunjuk ke arah luar.
"Kamu suka enggak jelas kalau ditanya tujuan mau ke mana. Ya sudah yang penting kamu hati-hati ya!! Dan pulangnya jangan terlalu sore."
Fajar berpamitan pada Ibu dan mencium tangannya. Ia membawa sepedanya menuju sebuah tempat. Sebuah rumah lebih tepatnya.
Ting tong....
Fajar membunyikan bel rumah itu berulang ulang. Dengan harapan, seseorang di dalam rumah itu mau diajak jalan-jalan dengannya. Di sana tidak ada satpam seperti rumah-rumah orang kaya lainnya. Hanya ada gerbang yang tertutup rapat dan seperti tidak ada orang di dalam rumah. Dari dalam rumah keluar seorang perempuan membuka gerbang itu.
"Eh kamu. Kamu temannya Andini yang semalam itu kan?." Sapa perempuan itu. Dan dia adalah Ibu Andini.
"He he iya tante. Andininya ada?."
"Ada. Ayo masuk." Ajak Ibu Andini. Di dalam rumah sudah ada Ayah Andini yang sedang duduk. Ia menyapa Fajar dan memanggil Andini.
"An..... Andini..... sini. Ada temen kamu."
"Temen siapa? Dari Jakarta ya? Mau ngunjungin aku?." Teriak Andini dari dalam kamarnya dan langsung berlari ke ruang tamu karena mengira bahwa yang datang itu adalah temannya dari Jakarta.
Saat sampai di ruang tamu, Andini melihat ada Fajar di sana, langkahnya tiba-tiba terhenti. Wajahnya berubah menjadi kesal. Andini berjalan ke arah Fajar lalu menarik tangannya dan mengajak Fajar keluar dari sana.
"Eh. Mau apa Andini?." Tanya Fajar saat tangannya ditarik.
"Sini!!. Lo ngapain sih ganggu Gue mulu. Sekarang dateng ke rumah Gue mau ngapain?. Hhhhhh. Kan gue udah bilang jangan samperin gue lagi!!." ucap Andini berbisik.
"Kan aku juga udah bilang. Aku pengen ada di samping kamu terus."
"Gue enggak peduli. Mending Lo pulang sekarang!!." Balasnya sambil menunjuk ke arah gerbang.
Fajar tak memedulikan Andini, ia memaksa masuk kembali ke dalam rumah dan berkata kepada ayah dan Ibu Andini.
"Om, tante. Andini katanya mau main
keluar. Boleh?."
"Oh iya silakan. enggak apa-apa. Biar kalian makin akrab." ayah Andini setuju dan mengizinkan Fajar untuk pergi dengan Andini.
"Eh siapa bil.." protes Andini dengan badan setengah masuk ke dalam rumah.
"Ayo An. Kita berangkat." ucap Fajar memotong ucapan Andini dan dengan gegas menarik tangannya.
"Mmmm. Kamu mau naik sepeda aku?. Tapi enggak ada boncengan. Terus mainnya gimana?."
"Gue juga punya sepeda. Ngapain naik sepeda Lo."
"Ya udah ayo sepedaan bareng!."
"Dih males Gue. Udah ah Gue mau tidur
aja."
"Eit... mau ke mana?." Tahan Fajar.
"Apaan sih. Gue enggak mau main atau apa pun itu sama Lo." protes Andini yang dengan paksa melepaskan genggaman tangan
Fajar.
"Sekali aja." pinta Fajar dengan mengangkat dan menempelkan kedua telapak tangannya untuk memohon. Andini berpikir sejenak dan memutuskan.
"Mmmmmm oke Gue juga lagi bosen sih. Ya udah deh tapi buat kali ini aja. Dan Lo enggak usah ada di kehidupan Gue lagi!."
"Kenapa enggak dari tadi sih?. Kenapa harus marah-marah dulu cantik.”
“Lo mau enggak?. Tapi harus setuju sama syaratnya!.”
“Mmmm. Yang pertama sih oke. Tapi kalau yang kedua... emang aku ganggu kamu disekolah?." Ucap Fajar dengan tangan yang mengusap dagu.
"Iya. Lo ganggu."
“Enggak ah kayaknya mah."
"Terserah. Udah lah Gue mau ambil dulu sepeda. Lo tentuin tempatnya ke mana. Gue enggak tahu daerah sini soalnya. Dan satu lagi. Jangan berisik, jangan ganggu pas nanti sepedaan."
"Sip."
Andini mengambil sepedanya lalu mereka berangkat. Hati Fajar sangat senang waktu itu. Akhirnya ajakannya diterima oleh Andini. Ia merasa perlahan lahan Andini akan dapat menerimanya. Fajar menyuruh Andini untuk berjalan duluan, nanti biar Fajar yang menunjukkan arahnya. Andini mengikuti arahan
Fajar sampai mereka tiba di suatu tempat yang sangat indah, dengan pepohonan yang menjulang sekeliling mereka, sebuah danau yang luas dan hamparan rumput yang sangat hijau. Sebuah ketenangan yang mereka butuh kan. Mereka meminggirkan sepedanya ke sebuah hamparan rumput dan duduk bersama di bawah pohon sambil melihat pemandangan air yang tenang didanau. Fajar membuka tasnya dan mengeluarkan kotak makanan yang berisi buahbuahan yang sudah dipotong. "Nih makan. Biar seger." "Makasih." ucap Andini.
Saat memakan buah, mereka hanya diam. Tak ada obrolan satu pun. Fajar juga tak bicara karena ia menepati janjinya pada Andini.
"Kenapa Lo ngajak Gue kesini?." Tanya Andini memecah keheningan di antara mereka.
"Mmmm."
"Kok diem sih. Gue nanya nih."
"Kan tadi kamu bilang aku jangan berisik."
"Iya. Tapi ngomong biasa kan enggak berisik. Ayo ngomong. Kenapa Lo ngajak Gue kesini?."
"Karena aku pengen berduaan sama kamu."
"Dih apaan sih Lo? Ya ampun kenapa Gue harus ketemu sama orang yang kaya gini. Selain pengen berdua sama Gue apaan lagi alesannya? Yang bener jawabnya."
"Karena butuh ketenangan aja."
"Oh gitu. Ketenangan dari hal apa emang?."
"Ketenangan dari......." Fajar memberi jeda sebelum ia mengatakannya. Andini memperhatikan ucapannya dengan seksama.
"Ketenangan dari kamu yang terus ada dipikiran aku dan bikin enggak tenang."
"Fix Lo aneh. Kenapa Gue harus serius dengerin omongan Lo ya?." balas Andini sambil menggelengkan kepalanya.
"He he. Oh iya, kata papa kamu, kamu itu enggak suka punya temen. Emang iya?. kenapa?."
"Iya. Gue lebih suka sendiri. Kalau di Jakarta Gue punya temen. Cuma ada satu orang.
Tapi dia paling mengerti soal Gue dan apa yang Gue rasakan."
"Satu orang? Punya temen satu orang doang?."
"Iya. Gue sebenernya enggak mau punya
temen mulai dari......."
"Mulai dari...?."
"Ah enggak. Gue enggak mau cerita sama orang asing. Pokonya dulu Gue punya banyak temen. Tapi semenjak ada satu hal yang menimpa Gue. Gue enggak mau punya temen lagi. Karena Gue enggak mau mereka sedih karena suatu saat Gue bakalan ninggalin mereka. Tapi satu temen Gue di Jakarta itu ngerti banget soal Gue. Dan dia merasakan hal yang Gue rasakan. Jadi ya dia satu satunya temen Gue. Temen senasib lebih tepatnya."
"Kamu enggak mau mereka sedih karena suatu saat kamu bakal ninggalin mereka?
Maksudnya?."
“Enggak ah Gue enggak mau cerita."
"Kalau di Jakarta kamu punya 1 temen. Boleh enggak dibandung aku aja yang jadi 1 orang itu?."
"Mungkin. Udah ah Gue mau pulang." Andini pergi meninggalkan Fajar dan menaiki sepedanya.
"Mungkin itu bukan jawaban. Hey Andini..... yah enggak apa-apa lah mungkin juga." ucap Fajar lalu mengejar Andini.
"Hey..... Andini." teriak Fajar yang berusaha mengejar Andini.
"Andini....." Fajar terus mencoba agar ia bisa mengejar Andini. Tapi Andini seperti seorang pesepeda yang handal. Sulit sekali dikejar.
"Andini. Kamu salah jalan hey....."
Mendengar ucapan itu Andini langsung berhenti dan berbalik arah. Andini mengayuh sepedanya menghampiri Fajar.
"Makannya. Kalau ada yang manggil itu dengerin."
"Ya udah ke mana kita."
"Ayo sini." ajak Fajar sambil menahan tertawa. Lalu berjalan kaki mendorong sepedanya karena kelelahan.
"Kenapa? Kalau mau ketawa, ketawa aja." hardik Andini sambil mendorong sepeda.
“Enggak. Lucu aja. Ha ha."
"Terus kenapa kalau lucu?."
"Jadi sayang." jawab Fajar sekenanya.
Andini tidak menggubris ucapan Fajar. Ia menaiki sepedanya lalu mengayuhnya. Sesekali ia bertanya dengan ketus pada Fajar ke mana arah selanjutnya. Fajar selalu menjawabnya dengan menahan tawa. Karena katanya wajah Andini lucu jika sedang marah.
Di tengah perjalanan, Fajar berhenti sejenak dan memperhatikan ke seberang jalan. Ada seseorang yang keluar dari sebuah rumah. Dan orang itu seperti tak asing baginya.
"Fajar sekarang ke man..." belum sempat Andini menyelesaikan ucapannya, saat melihat ke belakang, ia melihat Fajar diam dan memperhatikan sesuatu.
"Kenapa sih Lo? Ada apa?." Tanya Andini penasaran.
Fajar mengayuh sepedanya, menyeberangi jalanan itu untuk menghampiri seseorang yang dari tadi ia perhatikan. Andini mengikutinya karena penasaran.
"Ayah...." teriaknya kaget saat melihat ayahnya bersama perempuan lain selain Ibunya.
"Ayah ngapain di sini. Terus dia ini siapa?."
"Berani beraninya ya Lo ganggu keluarga Gue." teriak Fajar pada perempuan disebelah ayahnya.
"Jar, tenang jar." Andini mencoba menenangkan Fajar.
Plak.... sebuah pukulan dari ayahnya menghantam pipi Fajar.
"Diam kamu. enggak usah ganggu saya."
"Oh oke... Gue enggak akan ganggu manusia kaya Lo lagi." tegas Fajar pada ayahnya.
Dengan amarah yang sangat menumpuk, Fajar meninggalkan ayahnya di sana. Andini mengikutinya karena takut Fajar kenapa-napa.
"Aduh, gimana kalau dia kenapa-napa. Ha Gue takut dia kenapa-napa? enggak Gue cuman pengen tahu ada apa sama dia." elak Andini dalam hati.
Fajar berhenti di tengah jalan, terdiam, menundukkan kepalanya dan Menahan semua amarah dalam dadanya.
Teeet.... teeeet..... suara klakson mobil yang mengerem mendadak karena melihat Fajar.
"Woy. Jangan diem di tengah jalan. Mau mati?."
"Fajar...." Andini meninggalkan sepedanya dipinggir jalan. Menuntun Fajar di tengah jalan sana untuk meminggir.
"Jar. Sini. Lo ngapain sih diem di sana?. Mau mati? Gue enggak mau jadi saksi kalau Lo kecelakaan!!."
Melihat Andini begitu, Fajar menatapnya dalam-dalam. Mereka duduk dipinggir jalan itu, di bawah sebuah pohon besar. Fajar masih menatap Andini dalam-dalam. Sampai Andini sadar bahwa ia sedang diperhatikan.
"Ngapain Lo liat Gue gitu? Kesurupan ya
Lo? Makannya diem di tengah jalan."
"Hmmmm." Fajar tersenyum.
"Dih aneh emang."
"Aneh atau suka ditatap kaya gini?."
“Enggak suka."
"Kamu kenapa tadi nolongin aku? Takut kehilangan aku kan?. Udah ketebak jawabannya. Padahal tadi aku maunya ditabrak aja. Aku mau lihat reaksi ayah aku saat tahu kalau anaknya kecelakaan kaya gimana."
"Lo bisa enggak jangan ke pd an gitu. Gue nolongin Lo karena enggak mau jadi saksi kalau Lo kecelakaan. Karena cuman Gue sama yang punya mobil tadi yang ada di sana."
"A-L-E-S-A-N." ucap Fajar sambil menggerakkan jarinya di depan wajah Andini.
"Udahlah. Oh iya. Yang tadi itu ayah Lo?."
"Iya. Dia ayah aku. Tapi dia enggak nganggap aku sebagai anaknya."
"Kenapa?."
“Enggak tahu. enggak apa-apa lah ngapain dipikirin juga. He he."
"Terus kenapa Lo kerja?."
"Ya buat jajan lah. Kan aku udah bilang ayah aku itu enggak nganggap aku sebagai anaknya."
"Oh jadi itu ya alesan Lo pengen nenangin pikiran. Segitu banyaknya masalah yang harus Lo hadepin sendirian. Pasti susah baget."
"Iya. Kamu tahu aja perasaan aku."
"Lo. Hhhhh kenapa bisa se pd itu sih. Ya ampun."
"Ha ha. Udah ah ayo pulang!."
Fajar berdiri lalu membantu Andini untuk berdiri. Dengan cepat Fajar langsung menarik Andini dan memeluknya erat. Andini kaget dan berpikir untuk melepaskannya. Tapi ia mencoba mengerti bahwa Fajar membutuhkan hal itu saat ini.
"Makasih ya. Kamu udah bikin aku tenang Andini."
Mereka pulang, Fajar mengantarkan Andini ke rumahnya karena hari sudah agak sore. Di rumahnya, ayah Andini menghampiri mereka ke depan gerbang.
"Eh kalian udah pulang. Ayo masuk dulu."
“Enggak ah om saya mau pulang. Makasih tawarannya."
"Iya pa. enggak usah. Dia udah pengen cepet cepet pulang."
"Om bilangin sama Andini kalau saya sayang sama dia."
"Oh. Tuh Andini kata Fajar."
"Apaan sih Lo." Andini langsung berlari ke dalam rumah. Ayahnya hanya tertawa melihat kelakuan kedua anak muda itu.
"Sampai jumpa besok!!." Teriak Fajar pada Andini.
"Om. Aku boleh minta sesuatu enggak?."
"Iya apa?."
"Nomor HP-nya Andini. He he. Boleh enggak?"
"Kamu ini. Temenan sama Andini tapi enggak punya nomor HP-nya dia. Nih." sindir ayah Andini sambil memperlihatkan nomor Hp
Andini di HP-nya.
Fajar mengeluarkan HP-nya dengan cepat, menyalin nomor HP Andini di HP ayahnya. Setelah selesai, ia berterima kasih lalu berpamitan pulang.
Mereka berpisah di sana. Dan hari itu adalah sejarah awal Andini mulai akrab dengan Fajar. Tapi sikap ketusnya masih saja ada. Andini selalu mencoba menolak ajakan Fajar hanya dengan satu kata yaitu
“Enggak". Tapi Fajar selalu berusaha membuat Andini mau menerimanya.
Saat pulang, di depan pintu rumahnya sudah ada Ibu menunggunya. Fajar
menghampirinya, memberi salam dan mencium tangan Ibunya sebelum ia tertegun diam. Mengingat kejadian tentang ayahnya tadi. Ia mencoba mengatakannya pada Ibu.
"Bu..."
"Iya kenapa?."
"Tadi aku ketemu ayah."
"Ya emang kenapa? Ayah enggak nyapa kamu sama sekali?."
“Enggak Bu, itu mah udah biasa Bu."
"Terus apa?."
"Ayah..... tadi sama..... perempuan lain." Ibu hanya diam, lalu matanya mulai berkaca kaca.
"Lagi ya?." Ucap Ibu dengan wajah yang terlihat biasa saja.
"Apa bu?. Lagi?. Jadi selama ini ayah udah sering sama perempuan lain? Dan Ibu hanya diem aja Bu?." Tanya Fajar dengan amarah yang memuncak.
"Tenang nak. Tenang. Denger Ibu. Sebanyak apa pun ayah kamu jalan dengan perempuan lain. Ibu percaya, dia itu sayang banget sama Ibu. Dan dia pasti akan kembali lagi pada kita."
Fajar hanya menatap Ibunya. Setelah beberapa saat ia lalu memeluk Ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments