Menjengukmu

Di Sabtu sore, Fajar sedang bosan di dalam rumahnya, tak ada hal yang menyenangkan. Rendy dan Refina yang biasa bermain dengannya pun kini tak ada. Sudah sering mereka mengajak Fajar pergi. Seperti hari ini, mereka mengajak Fajar ke kafe. Tapi Fajar selalu menolak dengan alasan takut mengganggu.

Di depan jendela kamarnya, sambil duduk di kursi, ia memperhatikan langit yang sedang cerah berwarna biru. Tapi tidak ada matahari, ia tertutup awan. Mungkin ia sedang tidak percaya diri. Karena sudah terlalu sering dikata katai sebagai penyebab udara menjadi panas. Padahal manusia-manusia bodoh yang menghilangkan pohon-pohon rindang dibumi untuk kepentingan pribadi.

"Andini lagi ngapain ya? Gue telepon aja lah." ujar Fajar yang dilanjutkan dengan beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil HP. Setelah mencari cari nomor Andini, dinomor yang bernama jangan kepo deh Lo itu, Fajar menekan tombol untuk memanggil. Sambil menunggu, ia tertawa karena nama dari nomor itu tak juga ia ganti.

"Halo, Andini." sapa Fajar sambil menahan tertawa.

"Lo kenapa jar. Ketawa-ketawa enggak jelas!." Tanya Andini lemas.

“Enggak, udah lupain aja. Kamu kenapa?. Kok kayak lemes gitu."

"Oh enggak, baru bangun tidur."

"Ah masa? enggak percaya aku. Kamu kenapa?."

"Iya iya... Gue lagi sakit."

"Ya udah, aku ke rumah kamu ya?."

"Eh, enggak usah. Lo diem aja di rumah,

Gue butuh istirahat he he."

“Enggak mau. Aku bakalan tetep ke rumah kamu!!." Fajar memaksa.

"Ya udah. Lo dateng aja. Abis itu, Gue enggak akan pernah mau ketemu lagi sama Lo. Sampe kapan pun!!."

"Ya, malah ngancem. Ya udah deh, aku diem di rumah. Kamu istirahat aja. Semoga cepet sembuh. Sakitnya jangan lama-lama ya."

"Kalau sakitnya enggak lama. Dokternya nanti mau kerja apa? Ha ha."

"Kalau kamu sakitnya lama, aku juga ikut

sakit."

"Masa gitu. Aneh banget."

"Iya, kalau kamu lama-lama sakit, nanti kita enggak bisa ketemu. Kalau enggak ketemu.

gimana?."

“Enggak tahu."

"Rindu. Kalau makin lama, makin akut. Siapa yang mau nyembuhin?."

"Kasih tahu dokter aja."

"Emang dokter bisa ngobatin rindu?."

"Bisa kalau rindunya sama kematian.

Mau?."

"Hhhhh. Terus aku disuntik mati gitu?."

"Iya dong. Biar enggak ganggu!!."

"Terserah ah. Bukannya bikin semangat, malah bikin males. Aku itu lagi bosen An!." "Bodo amat. Dadah."

Panggilan itu berakhir, meski saat itu Fajar bilang percakapan mereka malah membuat Fajar bosan, tapi saat teleponnya ditutup ia merasa masih ingin berbicara dengan Andini.

***

"An, aku ke rumah kamu ya?, bosen banget." ucap Fajar dalam kolom chat whatssapp.

“Enggak usah. Gue lagi istirahat. Ini juga udah malem!. Emangnya Lo enggak kerja?."

“Enggak, lagi libur. Ya udah aku ke sana ya?. Tungguin."

"Jar, enggak usah."

"Fajaaaar."

"Baca dong!!."

Andini mencoba menahan Fajar agar tidak pergi ke rumahnya. Tapi percuma, pesan-pesan yang dikirim Andini tidak dibaca oleh Fajar.

Ting dong..... ting dong...... bel rumah

Andini berbunyi, sudah ada Fajar di depan pagar. Menunggu penghuni rumah membukakannya.

"Assalamualaikum....." teriak Fajar dari luar pagar.

"Wa ‘alaikumsalam.." seseorang keluar dan membukakan gerbang.

"Mas nya siapa ya?." Tanya nya.

"Saya Fajar, temennya Andini. Bibi pembantunya ya? Nama bibi siapa?."

"Iya, saya pembantu baru. Baru saja kerja hari ini. Nama saya putri. Panggil saja bi put." ucap bi put

"Serius nama bibi putri?. enggak kayak nama pembantu biasanya."

"Loh mas. Emang enggak boleh kalau pembantu namanya putri?."

"Boleh aja sih bi. Mau angel juga namanya itu mah terserah mereka. Eh iya, kita malah jadi ngomongin nama bibi. Andininya ada enggak bi? Saya mau ketemu."

"Ada mas. Tapi...."

“Enggak apa-apa bi. Saya udah bilang sama Andini akan nemuin dia."

"Oh kalau gitu, ya sudah masuk aja atuh." "Makasih ya bi.."

Fajar masuk ke rumah Andini. Di sana ada orang tuanya yang sedang duduk duduk sambil mengobrol. Fajar menyapa mereka dan menceritakan tujuan ia datang ke sini. Dan orang tuanya memperbolehkan Fajar untuk menemui Andini.

***

"Non, ada yang mau ketemu katanya." Ujar bibi di depan pintu kamar Andini sambil mengetok ngetoknya.

"Siapa bi?."

"Ini, katanya temennya non Andini."

"Ya udah, masuk aja sini."

"Iya non. Bibi tinggal lagi ya.."

"Iya bi."

Fajar masuk ke dalam kamar Andini. Ia melihat Andini sedang terkapar lemas. Dengan sigap Fajar langsung menanyakan ini itu.

"Kamu kenapa? Dari kapan sakitnya?.

Udah makan? Udah minum obat?."

"Banyak banget pertanyaannya. Sampe Gue enggak tahu mau jawab yang mana."

"He he. Kamu kenapa?."

“Enggak apa-apa. Ke capek-an aja kali. Jadi cuma butuh istirahat."

"Makannya, enggak usah ngejar-ngejar aku, tungguin aja. Biar aku yang nyamperin kamu."

"Ya ampun. Mulai deh, kerasukan nih kayaknya."

"Ha ha. Aing macan dong kalau

kerasukan."

"Ha ha. Dasar."

"Nah gitu dong ketawa."

"Lo enggak main sama Rendy Refina?."

“Enggak."

"Mereka lagi main berdua ya?."

"He he. Iya. Mereka juga ajak aku sih tadinya. Tapi aku nolak."

"Kenapa? Takut ganggu? Meskipun mereka pacaran, mereka itu tetep temen baik Lo. Jadi jangan segan kalau mereka ajak Lo buat main bareng."

"Iya, mereka udah pacaran. Jadi aku segan. Kalau kita kapan?."

"Apanya yang kapan?."

"Kayak mereka."

"Kayak mereka gimana?."

"Ah kamu mah enggak peka!."

"Biarin!."

Beberapa menit setelah itu, mereka tak saling bicara. Hanya diam dan saling memalingkan tatapan.

"Jar."

"Iya."

"Gue takut."

"Takut kenapa?."

"Takut kalau sekarang Gue bakalan mati."

"Ssh ssh.... jangan ngomong gitu." Fajar mencoba membuat Andini diam dan tidak membicarakan hal itu.

"Tapi..."

"Udah an.... Semua orang itu pasti meninggal, dan itu karena takdir An. Kita enggak akan tahu kapan kita meninggal. Entah dalam waktu dekat atau masih lama, kita harus siap. Jangan takut" Fajar mencoba menenangkan Andini dengan memegang tangannya.

Lo enggak tahu jar. Gue mungkin bisa mati hari ini atau besok. Dan yang paling Gue takutin adalah Gue harus ninggalin Lo jar. Gue enggak mau mati, terus ninggalin Lo gitu aja. Gue enggak mau. Ujar Andini yang hanya berani ia ungkapkan dalam hati. Andini menatap wajah Fajar, matanya perlahan berkaca kaca.

"An... kenapa? Udah dong jangan dipikirin. enggak kok, aku yakin kamu enggak akan meninggal sekarang, besok, atau lusa.

Kamu kan punya tambahan nyawa dari aku." "Lo suka gitu..... Gue jadinya kesel. Pake nyawa tambahan segala. Emangnya kehidupan bisa pake cheat biar enggak mati-mati?." ucap Andini yang menitikkan air mata tapi ingin tertawa terbahak-bahak.

"Kamu nangis atau ketawa sih? Ha ha."

“Enggak tahu. Pengennya ketawa tapi

malah keluar air mata. Gimana sih ini......" "Gimana sih aneh benget. Ya udah ketawa aja. Biar aku juga seneng liatnya." Fajar tersenyum dan menatap Andini dalam-dalam. Di antara mereka lagi-lagi tak ada suara. Hanya ada senyuman dan hati masing-masing yang saling berbisik merahasiakan semuanya.

Jar, kenapa Gue harus ketemu sama orang kayak Lo? Orang yang bisa bikin Gue bahagia sama kata-kata yang bahkan bisa aja keluar dari mulut orang lain. Tapi semua yang keluar dari mulut Lo beda, ada sesuatu yang bisa bikin Gue bahagia tanpa alasan, bikin Gue ketawa dengan candaan Lo yang bahkan itu garing banget. Lo ini sebenernya apa? Manusia biasa yang bisa membuat seisi dunia ceria, atau malaikat pembawa bahagia. Jika tidak di antara keduanya, Gue hanya ingin minta satu hal, tolong biarkan Gue aja yang mendapatkan semua bahagia dari Lo. Jangan biarkan orang lain mendapatkannya. Andini membatin.

An, kamu tahu kalau aku itu sayang sama kamu?. Aku udah bilang berulang kali. Apa kamu tidak juga sadar bahwa seseorang yang ada di hadapan kamu ini sedang mengharapkan kamu untuk menjadi miliknya?. Kuharap, kamu bisa menanggapi perasaanku dengan serius. Meski tidak hari ini. Ujar Fajar pada Andini dalam hati.

***

"Eh, udah malem jar. Pulang gih. Makasih ya udah mau nemenin aku."

"Ha gimana? Aku? Gitu dong manggilnya aku kamu. Jadinya enak gitu."

"Emang iya tadi Gue bilang aku? enggak ah."

"Iya aku denger. Aku enggak mau tahu. Pokoknya kamu harus tetep panggilannya aku kamu."

"Males debat sama Lo. enggak akan menang."

"Ya udah. Selamat malam kamu nya aku."

"Apaan sih. Udah pula......ng." Andini mendorong Fajar agar segera beranjak pergi.

"Iya. Iya... dadah. Jangan mimpiin aku"

"Kenapa?."

"Ketemu langsung aja." ujar Fajar sambil meninggalkan kamar itu.

Andini menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Kenapa ia jadi sering tersenyum dengan ucapan Fajar kali ini? Padahal biasanya ia hanya memasang wajah datar lalu menyangkalnya.

Cinta, apa semua ini karena cinta? Apakah perlahan Andini sudah bisa menerima Fajar? Apakah Andini sudah merasa nyaman?.

Enggak, enggak boleh Andini. Biasa aja oke. Ini cuman perasaan sesaat. Suatu saat bakal ilang juga. Lo enggak boleh nyimpen apa pun sama Fajar, entah itu hati, rasa nyaman maupun perasaan.

Lagi-lagi Andini menyangkal. Padahal sudah jelas bahwa ia memiliki perasaan yang sama. Tapi kenapa ia harus terus menolak?.

***

Bi put mengantar Fajar keluar, setelah sampai digerbang, Fajar berpamitan dan menitip salam untuk Andini.

"Bi, titip salam ya buat Andini. Jagain dia bi, jangan sampe sakit lagi."

"Iya mas. Mas ini pacarnya non Andini

ya?."

"Tanya non nya aja bi. Dia itu siapanya saya."

"Loh. Mas ini gimana?."

"Ya udah lah bi. Saya pulang ya. Dadah bibi. Mimpi yang indah tidurnya."

"Oh iya mas. Dadah. Duh si mas ini kelakuannya aneh."

Bi put menutup gerbang, dan berjalan kembali masuk ke rumah.

Fajar menaiki sepedanya, baru beberapa meter ia mengayuh di depan rumah Andini, seekor kucing lewat di hadapannya secara tibatiba, kucing itu membuat Fajar oleng dan berbelok ke arah trotoar hingga terjatuh. Tangan dan lututnya berdarah, sementara pergelangan kakinya terkilir.

"Eh eh eh.... aduh..." teriak Fajar.

Karena masih berada di depan rumah Andini. Bibi yang baru saja beranjak masuk, mendengar teriakan Fajar. Bi put sontak berlari dan keluar dari gerbang untuk melihatnya.

"Eh masnya.... mas ini kenapa bisa jatuh kayak gini atuh?."

"Tadi ada kucing bi.... aduh untung ada bibi nih."

"Bisa berdiri enggak mas. Sini saya bantu." bi put membantu Fajar berdiri dan berjalan. Fajar berjalan pincang sambil mendorong sepedanya. Ia kembali lagi ke rumah Andini. Karena ia tak kuat jika harus mengayuh sepeda untuk pulang.

"Makasih bi...." Fajar duduk di sofa sambil meringis kesakitan.

"Bi ada apa?." Tanya Ibu Andini yang baru selesai minum di dapur.

"Ini... temennya non Andini yang tadi. Jatuh di depan."

"Aduh kenapa? Ambil obat bi."

"Baik bu."

"Kenapa bisa jatuh Fajar... aduh... mana yang sakitnya?." Ibu Andini terlihat cemas.

"Eh biasa aja tante. Ini cuma sakit biasa, luka kecil doang. He he." ucap Fajar santai.

 

 

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!