Hari ini adalah hari pertama di mana Fajar akan memulai hari baru. Memulai semuanya dari awal tanpa sosok orang tua di belakangnya yang akan membantunya. Tak ada lagi harapan untuk disayangi, dikasihi atau diberi perhatian. Semuanya terasa sudah menjadi hal yang bukan lagi untuknya.
Setelah siap untuk berangkat sekolah. Tepat pukul enam pagi Fajar keluar dari rumahnya. Pergi menuju sekolahnya dengan menaiki sepeda lagi. Dengan memakai seragam, membawa tas dan mengenakan sepatu hitamnya, Ia mengayuh sepedanya dengan semangat. Meskipun ini masih pagi, tapi keringat tetap bercucuran dari kepala dan wajahnya. Jika ia naik motor, ia mungkin tidak akan selelah ini. Tapi mau bagaimana lagi. Ia harus melalui ini semua. Ia tak ingin menggunakan fasilitas dari ayahnya. Dan sepeda yang ia pakai. adalah sepeda yang ia beli dari uang tabungannya. Jadi hanya itu yang bisa ia gunakan untuk pergi menuju sekolah.
Perlahan, ia mulai menjauh, meninggalkan rumahnya yang lebih terlihat seperti neraka dibandingkan rumah. Meninggalkan setiap amarah dan kebencian di dalamnya.
Udara pagi dibandung membuat rasa lelah mereda, menepis setiap keringat yang bercucuran, dan menenangkan hati yang sedang kalut tak karuan. Fajar terus mengayuh, melewati jalanan yang masih sepi di pagi hari ini. Mobil dan motor hanya berlalu lalang sesekali, jadi Fajar bisa mengayuh sepedanya dengan cepat tanpa ada kendaraan yang menghalanginya.
Akhirnya Fajar sampai disekolahnya, ia melewati gerbang lalu memarkirkan sepeda yang ia naiki. Setelah itu, ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan merapikan rambutnya. Di perjalanan menuju kelas, ia bertemu dengan Rendy yang datang menghampirinya. Disusul dengan Refina yang baru saja sampai, lalu ikut menghampiri Fajar.
"Jar, kenapa semalem? Ayah Lo enggak ngasih uang jajan lagi? Ayah Lo mabuk lagi?."
Tanya Rendy
"Iya jar cerita dong." pinta Refina.
"Mmmm. Tapi Gue enggak bisa cerita di
sini."
"Ya udah kita kekantin aja yuk!." ajak Refina semangat.
Mereka lalu pergi ke kantin sambil menjinjing tas mereka. Saat di kantin, Fajar mulai menceritakan apa yang menimpanya kemarin.
"Gimana sok gimana?." Pinta Rendy agar Fajar menjelaskannya.
"Jadi gini. Sekarang tuh ayah Gue bukan hanya enggak ngasih uang jajan, atau mabukmabukan. Tapi lebih dari itu semua. Gue udah harus memikul beban Gue sendiri sekarang."
"Kenapa emang?." Balas Refina penasaran dan memberi pertanyaan pada Fajar.
"Ayah Gue udah enggak nganggep Gue sebagai anaknya. Pas malem-malem dia pulang dia bilang kalau Gue bukan anaknya. Huuuh dan Gue harus nerima itu." Fajar menghela nafas dalam-dalam lalu memberi sebuah senyuman yang palsu di hadapan Rendy dan Refina.
"Mungkin ayah Lo bilang gitu karena lagi mabuk aja kali. Kan kalau malem dia suka mabuk gitu kan? Jadi udahlah jangan diambil hati." balas Refina untuk membuat Fajar berpikir positif.
“Enggak mungkin. Apalagi kan menurut kebanyakan orang. Kalau seseorang lagi mabuk tuh dia bakal jujur sejujur jujurnya."
"Ya, mungkin karena dia lagi kesel kali." Rendy mencoba membuat Fajar agar tidak langsung mengambil kesimpulan.
"Ya udahlah. enggak apa-apa. Dan nanti pulang sekolah Gue mau nyari kerja. Karena Gue udah enggak mungkin lagi minta uang jajan sama ayah Gue sekaya apa pun dia. Nah kalau kalian mau bantu Gue. Kabarin Gue kalau ada kerjaan buat malem doang. Oke?."
"Mmmm." Rendy dan Refina saling menatap ragu.
"Iya enggak?."
"Iya deh iya. Nanti kita kabarin kalau dapet. Ya udah sekarang sarapan dulu. Kalian berdua Gue traktir." ucap Refina.
"Nah gitu dong ngasih makan. Udah kayak ikan cupang aja Gue dari tadi di diemin. Ha ha." Balas Rendy.
"Bi... bibi.." teriak Refina pada Bi Minah yang merupakan pedagang di kantin.
"Iya mau pesen?."
"Iya bi iya.... kita pesen makanan. Saya bakso aja ya bi" Rendy menjawab ucapan Bi Minah dan langsung memesan makanan.
"Saya juga Bi bakso. Kalau Lo jar?."
"Iya bakso juga. Makasih ya ref. Udah ribuan kali Lo baik sama Gue."
"Ah jangan lebay. Kita kan udah kayak kakek sama cucu gitu."
"Iya, iya Gue kakek Lo."
"Ha ha. Ngaku juga."
"Eh kalian ini. Malah asik ngobrol lihat atuh bibi. Bibi juga mau dianggap ada sama kalian teh."
"Apa bibi. Kan kita udah pesen."
"Belum pesen kalau kayak gitu mah. Kalau mau pesen harus detail. Baksonya mau yang kecil apa yang besar, pake saus sama kecap atau enggak, pake sledri atau enggak, mangkoknya mau yang gambar ayam atau yang polos."
"Ish bibi ini. Ribet banget saya mau pesen bakso doang." hardik Rendy.
“Enggak lah. Bibi cuman bercanda. Ini kalian teh minumnya mau apa?. Masa pesen makan tapi enggak pesen minum. Mau minum air bakso?."
"Eh iya Bi lupa. Maaf ya. Pesennya es teh manis aja enggak pake air." tukas Rendy bercanda yang sontak hal itu membuat Refina dan Fajar menahan tertawa.
"Es teh manis enggak pake air?. Itu teh gimana nak Rendy. Nak Rendy yang bener aja atuh. Ni bibi jadi bungung."
"Ha ha. Bibi ini. Es teh manis aja tiga ya bi."
"Oke. Pake air?."
"Iya bibi....." mereka bertiga menjawab ucapan Bi Minah dilanjutkan dengan menepuk jidat sambil menundukkan kepala.
Mereka pun makan lalu lekas masuk ke kelas karena sebentar lagi bel berbunyi. Saat dikelas, Fajar tak terlihat seperti biasanya. Ia terlihat lebih pendiam dan banyak berpikir. Rendy dan Refina hanya melihatnya dengan rasa khawatir. Jika ditanya kenapa, Fajar hanya menjawab tidak apa-apa dengan senyuman bohongnya. Meskipun Refina dan Rendy mengetahui jika temannya itu sedang memikirkan kejadian yang kemarin, mereka lebih memilih diam dan membiarkan Fajar. Karena Fajar tak kan pernah membiarkan mereka ikut campur dalam setiap masalah yang dihadapi Fajar.
Sore hari, sepulang sekolah, Fajar menaiki sepedanya dan berkeliling untuk mencari pekerjaan. Di perjalanan ia tiba-tiba berhenti lalu berpikir.
"Eh, Gue harus ke mana aja ya? Gue enggak tahu harus mulai dari mana." Ia pun memutuskan untuk membuat daftar dibukunya. Daftar tempat yang ia tahu dan akan ia datangi untuk melamar pekerjaan. Setelah selesai ia lalu kembali mengayuh sepedanya, mendatangi tempat yang ada di daftarnya satu persatu. Pertama Ia datang ke sebuah toko, tapi ia ditolak karena toko itu mengharuskannya untuk bekerja dari pagi hingga sore. Ke restoran pun sama, ia harus bekerja dari pagi. Fajar terus berusaha, berkeliling mencari tempat yang tepat untuk ia bekerja. Sudah beberapa tempat ia datangi tapi hasilnya sama. Semua tempat yang ia datangi mengharuskannya bekerja seharian penuh.
Hari sudah mulai gelap. Hingga akhirnya ia datang ke sebuah kafe. Ia memarkirkan sepedanya di depan kafe itu lalu berjalan masuk melewati orang-orang yang sedang makan atau minum di beberapa meja. Lalu ia menanyakan pekerjaan kepada seorang kasir. Yang sedang duduk di belakang meja kasirnya.
"Mas, saya mau nanya. Di sini ada
Lowongan pekerjaan enggak untuk saya?."
"Oh ada dek tapi jadi pelayan. Mau?."
"Mmmm. Waktu kerjanya gimana?."
"Kerjanya dari pagi sampai malam."
"Yah. Kalau dari sore sampai malam aja bisa enggak mas?."
"Mmmm. Gimana ya? enggak bisa kayaknya. Soalnya kita bukanya dari pagi dek. Dan dari pagi itu udah mulai rame pembeli."
"Ya udah deh mas terima kasih ya. Saya mau pulang aja." Fajar lalu berjalan menuju pintu keluar. Ini adalah tempat terakhirnya melamar pekerjaan tapi ia tak juga mendapatkan hasil. Mungkin ia harus berkeliling lagi besok. Siapa tahu besok ia bisa mendapat pekerjaan yang tepat untuknya.
Belum sampai ia menuju pintu, ia ditahan oleh mas-mas kasir yang tadi mengobrol dengannya.
"Eh dek. Sini sebentar."
Fajar berlari ke arah kasir itu dan berdiri lagi di hadapannya.
"Iya ada apa mas?."
"Mmm. Kamu bisa nyanyi sama main gitar gitu enggak?." Tanya kasir itu.
"Mmmm se....dikit sih."
"Bagus kalau gitu. Di sini ada pekerjaan dari sore sampai malam. Kerjanya nyanyi gitu. Live akustik. Tapi seminggu dua kali. Hari sabtu sama minggu aja. Kamu mau?."
"Wah mau mas mau, kapan saya mulai
kerja?."
"Jangan panggil mas. Panggil aja abang. Bang Ipan. Sebenernya nama abang Irfan sih, cuma biar lucu aja ngomongnya Bang Ipan. Kamu bisa mulai kerja sabtu nanti. Tapi jangan pake seragam kayak gini nanti dikira mau les privat. Ha ha."
"He he iya Bang Ipan ya?. Oke enggak akan pake seragam. Makasih ya. Eh tapi, bos abang gimana? Masa tiba-tiba nerima orang yang ngelamar kerja gitu aja. enggak konfirmasi dulu?."
"Iya udah di izinin sama bos."
"Wah sejak kapan?."
"Sekarang."
"Oh jadi abang bosnya? Wah saya panggil bang bos aja berarti."
"Ah kamu ini. Panggil abang aja. Biar akrab."
"Oke. Sekali lagi makasih ya. Eh iya bang. Saya mau nanya. Kan nanti saya kerjanya nyanyi sambil main gitar. Gitarnya ada enggak di sini? Kalau enggak ada saya mau minjem punya temen."
"Ada kok ada. Tinggal pake aja."
"Alhamdulillah kalau gitu. Jadi saya enggak perlu minjem ke orang lain."
"Eh ngomong-ngomong kamu ini kenapa sih masih sekolah udah kerja. Buat bantu orang tuanya?." Pertanyaan dari Bang Ipan membuat Fajar yang tadinya ceria menjadi agak murung.
Tapi ia mencoba menjelaskan pada Bang Ipan. Karena bagaimana pun Bang Ipan inilah yang membuatnya bisa bekerja di sini.
"Mmmm. Ini bang saya kerja gini karena orang tua saya enggak pernah ngasih saya uang. Padahal ayah saya itu kerjanya kantoran. Sampai sampai bulan puasa hingga lebaran aja dia tetep kerja."
"Ooooh gitu.... aneh banget bapak kamu.
Kalau Ibu kamu gimana?."
"Sama Ibu juga gitu. Ayah cuman ngasih buat makan kita sehari-hari aja. Selebihnya enggak pernah ngasih."
"Mmmmm gitu ya. Ya udah yang sabar aja. Dan sekarang duduk aja di sini. Sok mau pesen apa? gratis dari abang."
"Wah beneran nih bang?."
"Iya beneran. Mau enggak?."
"Mau mau. Cappuchino aja."
"Oke. Bentar." Bang Ipan lalu menyiapkan cappuchino yag dipesan Fajar. Dan langsung menyuguhkannya.
"Nah ini. Cappuchino khusus buat
pegawai baru."
"Ha ha bisa aja abang ini."
Usai ia minum, ia berpamitan.
"Bang saya pamit pulang ya. Makasih buat minumnya. Besok saya kesini jam berapa kirakira?."
"Oh iya sama-sama. Besok kamu datang udah magrib aja."
"Makasih ya sekali lagi saya pulang dulu." Fajar membuka pintu dan keluar.
"Eh iya nama kamu siapa?. Saya belum nanya!."
"Saya Fajar!!."
"Oh pajar. Kamu kuat banget dek.... dek. Kalau abang waktu sekolah kayak kamu gitu. Abang laporin aja tuh bapak yang aneh ke polisi." gumam Bang Ipan sambil membersihkan gelas gelas yang agak berdebu.
"Bang ngomong sama siapa?." Tanya pelayan yang melihat Bang Ipan bergumam sendiri.
"Sama gelas nih. Asik banget deh."
Pelayan itu hanya menatap heran lalu pergi menghampiri pelanggan.
Fajar mengayuh sepedanya dengan dengan kencang dan bersemangat karena ia sudah mendapat pekerjaan. Ia senang karena ia tak akan lagi bergantung pada orang tuanya. Terutama ayahnya.
Sesampainya di rumah, ia memarkirkan sepedanya lalu masuk ke dalam rumah. Ibu menyambutnya dengan pertanyaan yang wajar.
"Dari mana kamu? Kok jam segini baru pulang?."
"Eeee dari sana bu." jawab Fajar sambil menunjuk ke arah gerbang rumahnya.
"Dari sana itu dari mana?."
Fajar tak menjawab pertanyaan dari Ibunya itu dan langsung berlari ke dalam rumahnya. Ia ingin merahasiakan hal ini dari ibu. Karena ia takut ibu tidak akan mengizinkannya.
Saat Fajar tengah mengambil buku di raknya, ia teringat satu hal.
"Eh iya, Gue belum bilang soal pekerjaan Gue sama mereka berdua. Gua kirim pesan aja di grup lah.”
Fajar pun mengirim pesan pada rendy dan refina di grup tentang pekerjaannya. Saat ditanya ia sudah izin atau belum pada orang tuanya, ia bilang tidak mau izin. Tapi rendy menentangnya. "Yah Lo gimana sih. Bilang dong sama mereka." seru Rendy
"Ngapain ngasih tahu mereka? Emang mereka peduli sama Gue? Emang mereka sayang sama Gue? Kalau mereka sayang, mereka gabakalan ngebuat Gue ada di posisi kaya gini Ren enggak mungkin."
"Bagaimana pun mereka itu orang tua Lo Jar. Mereka yang udah ngurus Lo sampe Lo segede sekarang ini. Jadi apa pun yang Lo lakuin Lo harus kasih tahu mereka. Dan Gue yakin mereka itu sayang sama Lo. Mereka juga enggak mau ngebuat Lo ada di posisi kayak gini Jar. Yakin deh sama Gue."
"Iya kapan-kapan Gue bilang sama mereka. Ya udah deh ya. Gue mau baca buku dulu. Makasih ya Ren Lo udah kayak ustaz yang ngisi acara di tablig akbar kampung Gue. Suka ngasih nasehat."
"Terserah Lo lah jar. Yang penting Gue masuk surga. Amiin."
"Ha ha. Dasar Lo jar, ren. Semangat ya jar. Jangan lupa kalau gajian. Traktir Gue." ujar Refina.
"Terserah Lo ah. Iya nanti Gue traktir nasi di rumah."
"Ha ha. Dasar Lo."
Semuanya harus dimulai dari awal, di mana aku yang sedang berada di dalam kegelapan, harus berusaha menemukan setitik cahaya yang sulit ditemukan. – Fajar
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments