"Mau kemana pagi-pagi?" tanya Mama yang melihatku memasang pump shoes berwarna putih pada kakiku di teras.
"Bukannya kantormu buka jam 08.30?" sambungnya.
"Lintang mau ke rumah Firman, Ma," jawabku sambil mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja samping kursi tempat aku duduk.
"Sepagi ini?"
"Lintang mau temenin dia belajar jalan."
"Emang perlu? Bukannya kamu udah bayar semua biaya perawatannya juga menyewa suster buat ngerawat dia?"
"Firman tidak mau menerima satu rupiah pun uang Lintang, Ma. Lagipula dia temen Lintang, jadi udah sewajarnya Lintang ngasih support agar dia bisa berjalan secepatnya." Aku berdiri dan menyalami Mama sebelum pergi.
"Lin, sekali-kali mampir dong ke butik atau ke kantor," suara Mama masih terdengar meskipun aku sudah berada di balik kemudi.
"Kan udah ada Mama di sana. Jadi nggak masalah kalau Lintang jarang ke kantor," kuturunkan kaca mobilku. "Udah ya, Ma. Lintang berangkat. Assalamu 'alaikum," kulambaikan tanganku sebelum memundurkan mobil.
Tak dapat kupungkiri, Mama berperan besar untuk membesarkan WO-ku. Dengan statusnya sebagai seorang sosialita, beliau dengan mudah menjaring banyak customer dari kalangan teman-temannya. Tak hanya event wedding, perkumpulannya juga sering menggunakan jasa dokumentasi milikku untuk berbagai acara yang mereka lakukan. Bahkan butikku pun penuh dengan orderan khusus dari para istri pejabat. Papaku memang seorang mantan anggota legislatif, yang dulunya memiliki banyak relasi dan jaringan. Kadang aku merasa aku selalu ada di dalam bayang-bayang mereka.
Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang. Jarak rumahku ke rumah Firman lebih dekat dibandingkan jarak dari studio ke rumahnya. Dalam waktu 15 menit aku sudah sampai di depan gerbang yang langsung dibukakan oleh Pak Diman.
"Selamat pagi, Mbak," sapanya.
"Selamat pagi juga, Pak Diman," aku tersenyum.
Aku mulai memasuki jalan beraspal dengan rumput hijau di kanan kirinya. Mobilku belum sampai bagian depan rumah ketika kulihat Firman sedang duduk di atas kursi rodanya sendiri.
"Lho, kok Firman sendiri? Kemana susternya?" gumamku sambil menepikan mobilku.
Aku berjalan melintasi rumput sambil melambai pada Firman yang sudah melihatku sejak aku turun dari mobil.
"Hi, Man. Kok kamu sendiri? Nggak ada yang nemenin?" tanyaku sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
"Mimpi apa ya aku semalam, ko pagi-pagi kamu udah sampai ke sini," sambut Firman.
"Mimpi dikejar hantu, nggak?" tanyaku.
Firman tertawa terbahak-bahak.
"Biarin aku mimpi dikejar hantu tiap malem, asal tiap pagi kamu ada di sini," katanya.
"Ish, nggak suka ah. Aku pulang lagi aja." Aku pura-pura marah dan berbalik meninggalkannya.
"Lin, jangan pergi!"
Brug!
Aku langsung membalikkan tubuhku lagi begitu mendengar suara sesuatu terjatuh di belakangku.
"Firman!" Aku langsung berlari ke arahnya.
Firman sudah berusaha bangun dengan menumpukan berat badannya pada satu kaki. Namun, satu kaki tidak sanggup menahan bobot tubuhnya itu. Aku segera mengalungkan tangannya ke leherku dan menjadikan tubuhku penyangga agar tubuhnya tidak roboh lagi. Tubuh kami sangat dekat, hingga aku bisa mencium aroma parfumnya. Aku merasa jantungku berdebar tak beraturan.
"Kamu nggak pa pa?" tanyaku khawatir.
"Iya, nggak pa pa."
Aku berusaha memapahnya ke kursi roda yang hanya berjarak 2 langkah kakiku. Kuusahakan menurunkannya sepelan mungkin di sana.
Aku mengatur napasku yang terengah. Meski hanya sebagian tubuhnya yang kusangga, keringat sudah mulai menetes di keningku. Kuseka keringat itu dengan punggung tangan.
"Aku kaget banget. Kamu ngapain sih ko bisa jatuh?" tanyaku sambil menyeka keringat yang juga muncul di keningnya.
"Aku mau ngejar kamu. Aku nggak mau kamu pergi lagi," lirihnya.
Dipegangnya tanganku yang sedang menyeka keringatnya.
"Jangan pergi lagi," pintanya dengan memegang tanganku dengan kedua tangannya.
Aku mengerutkan kening.
"Pergi lagi?"
"Kenapa kamu bilang aku pergi lagi? Apa sebelumnya aku pernah pergi darimu?" Aku membiarkan lelaki itu memegang tanganku.
"Waktu itu kamu pergi tanpa pamit padaku. Kamu cuma pamit pada Adhit, dan meminta dia mengatakannya pada kami semua."
Memoriku segera melacak apa yang dikatakan Firman. Ya, aku mengingatnya. Aku tidak sempat berpamitan padanya. Aku bahkan tidak mengikuti perpisahan sekolah. Papa dipindahtugaskan lagi. Saat itu aku bertemu dengan Adhit, teman kami, di jalan. Dan aku mengatakan semuanya padanya. Tidak lupa menitipkan salam pada teman-teman yang lainnya.
"Tadi aku cuma becanda, Man. Aku nggak bener-bener pergi," ucapku penuh sesal.
"Kumohon tetaplah di sini," pintanya sambil mengecup tanganku lama.
Hatiku rasanya seperti disiram seember air es, mendapat perlakuan seperti ini darinya. Sebenarnya apa yang telah aku torehkan di hatinya di masa lalu? Kenapa seakan begitu dalam luka yang dia pendam?
"Lho, kok Mbak Lintang ada di sini pagi-pagi?" pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakan Firman terlontar dari mulut Arum, adiknya yang baru saja sampai di tempat kami.
"I-iya. Kemarin kan aku liat video kiriman kamu. Jadi, aku kesini pengen ngasih semangat aja buat Firman," kataku seraya menarik tanganku dari genggaman Firman.
"Kamu mau berangkat kuliah?" tanyaku pada Arum.
"Iya, Mbak," dia mengangguk.
"Kalau gitu, Mas Firman latihannya sama Mbak Lintang aja ,ya? Bisa 'kan, Mbak? Soalnya kalau nunggu aku pulang kuliah kayak kemaren, latihannya kesorean."
"Mbakmu ini kan orang sibuk, Rum," sela Firman.
"Nggak pa pa, kok. Aku bisa temenin kamu sampai siang hari ini," kataku sambil tersenyum.
"Tuh, Mbak Lintangnya aja nggak keberatan," Arum membalas ucapan Firman.
"Ya udah ya, Mbak. Aku berangkat dulu." Diciumnya tangan kakaknya lalu tanganku.
"Mo dianter nggak?" tanyaku.
"Dianter Pak Min, Mbak," teriaknya. "Titip mas-ku, ya!"
Aku melambaikan tanganku mengantarkan kepergiannya. Aku mulai dekat dengan Arum. Ternyata kalau sudah mengenalnya, dia adalah gadis yang ramah dan menyenangkan.
"Jadi gimana? Kita latihan sekarang?" tanyaku pada Firman.
"Tadinya aku cuma berjemur aja. Tapi kalau ada kamu, kenapa tidak?" Terlihat binar semangat di matanya.
"Sus, bisa minta tolong bawakan kruknya Mas Firman?" pintaku pada suster yang tadi datang berbarengan dengan Arum.
"Tentu, Bu," jawabnya sambil berjalan ke arah rumah yang lumayan jauh.
"Ibu?" Firman tertawa.
"Emang kenapa? Di kantorku juga aku dipanggil 'Ibu' kok," seruku sewot. "Kecuali di kantor arsitek, aku dipanggil 'Adek'."
Ditariknya lagi tanganku. "Aku nggak mau kamu dipanggil 'Ibu' sama orang lain. Aku cuma ingin kamu dipanggil 'Ibu' oleh anak-anakku. Maukah kamu menikah denganku?"
Seketika pipiku memanas. Dia melamarku untuk kedua kalinya.
Suster datang dengan membawa kruk, sebelum aku mengatakan apa pun pada Firman.
Aku berlaku seolah-olah dia tidak mengatakan apa pun tadi.
"Yuk, aku bantu," kuulurkan kedua tanganku membantunya berdiri. "Kenapa kamu tidak memilih walker untuk latihan jalan?"
"Kan di rumah sakit udah. Lagian kayaknya pake kruk lebih cepet bisanya. Apalagi kalau ditemenin kamu."
Lagi, wajahku memanas.
"Seingatku, kamu pendiem deh, Man. Kok sekarang kamu jadi suka ngegombal, sih?" tanyaku sambil terus berjalan mundur di depan Firman, memperhatikannya yang maju pelahan.
"Aku nggak pernah ngegombal. Semua yang aku katakan selalu keluar dari dalam hati."
"Masa?"
"Nggak percaya?"
"Nggak!"
Suster itu sudah merasa tidak nyaman dengan apa yang kami perdebatkan. Dia terlihat salah tingkah.
"Suster, udah sarapan belum?" tanyaku.
"Kalau belum, sarapan dulu aja di dalam. Biar Mas Firman saya yang temenin."
"Nggak apa-apa, Bu?" tanyanya ragu.
"Nggak pa pa," yakinku.
Dia menatap Firman seolah meminta izin. Firman pun mengangguk dan tersenyum tipis.
Suster itu pun mengangguk dan berlalu.
"Jadi gimana? Apa jawabannya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Indah Wirdianingsih
baca berulang ulang tetep suka sama mas firman yg bucin abis ke lintang
2024-04-17
1
novie lou
baru mampir nih, dan suka karena temanya berbeda ya gak tentang CEO dan perselingkuhan...mo lanjutin bacanya ahhh😍
2024-03-01
0
Dhinok Farrel
nih othor nya keren banget sih nulisnya.... bahasa nya....beuh... sedaap
2023-10-21
1