Hari ini aku merasa gabut, bingung mau melakukan apa.
Aku sudah mengirimkan pesan pada Firman bahwa hari ini aku tidak akan mengunjunginya.
Hari ini aku mau ke kantor. Meminta pendapat pada teman-temanku tentang proyek cafe yang sedang kukerjakan. Pemiliknya menginginkan desain industrial. Untuk itu aku membutuhkan ide dari partner kerjaku yang kebanyakan adalah laki-laki.
Begitu sampai aku segera menemui beberapa teman arsitek yang kebetulan sedang ada di kantor dan memperlihatkan hasil kerjaku.
Kami berdiskusi sampai lupa waktu. Inilah yang aku suka dari pekerjaanku. Pekerjaanku membuatku mempunyai banyak teman. Kini tidak hanya soal desainnya, bahkan soal material, perabotan dan dimana aku bisa mendapatkannya sudah aku kantongi.
"Thanks ya Bro, abis ini ga usah makan keluar ya. Aku udah pesenin lewat online," kataku sambil menepuk bahu Rama.
"Sering-sering aja ya, Lin," kata Bagus sambil tertawa.
"Siap!"
"Tapi kalo aku dapet Victorian atau Vintage romantic gitu bantuin cari perabotannya ya," tambah Rama.
Aku mengacungkan jempol sambil tersenyum. Kalo soal hunting barang sih jangan tanya. Hobi..
Dan tak berapa lama, pesanan kami pun datang.
"Banyak banget kamu mesennya, Lin," kata Mas Bima, seniorku.
"Biar bisa milih, Bang.."
"Panggil sekalian pacarmu itu buat makan disini, banyak lho ini."
Oh iya, aku hampir lupa sama pacar sendiri saking sibuknya. Segera kuambil benda pipih dari slingbagku. Kucari namanya dan langsung kupanggil.
"Sayang, kamu lagi di kantor?" tanyaku begitu panggilanku diangkat.
"Nggak, Sayang. Kenapa emangnya?"
"Aku lagi di kantor, lagi makan siang bareng anak-anak lain. Kirain kamu lagi di kantor. Mau diajakin makan sekalian.." kataku kecewa.
"Aduh maaf. Kenapa baru bilang sekarang. Tadi ada yang ngundang makan siang. Kalo tau kamu mau ajakin makan siang, pasti aku tolak undangannya."
"Nggak pa pa, nyantei aja. Kan bisa lain kali," kataku menenangkannya.
"Maaf ya, Sayang."
"Nggak pa pa, beneran. Ya udah ya, ati-ati di jalan. Semoga makan siangnya menyenangkan."
Kututup panggilannya.
"Lagi pergi keluar, Mas," laporku pada Mas Bima.
"Ya udah, nggak pa pa.. Makan yuk, aku udah lapar," kelakar Mas Bima.
Dan kami pun menyantap makanan itu dengan lahap.
...
Segera kusetorkan gambar desainku kepada pemiliknya. Dan kalimat-kalimat pujian langsung meluncur darinya. Bagiku pekerjaan ini bukan sekedar tentang berapa banyak rupiah yang aku dapatkan, melainkan kepuasan batin ketika klienku menyukai apa yang kukerjakan.
Kulihat sceduleku di layar handphone. Ada janji dengan seorang klien di Kota Dodol, Garut, besok pagi pukul 09.00.
Garut? Aku jadi ingat sebuah tempat disana. Tempat rekreasi air panas yang biasanya aku datangi bersama teman-temanku. Tempat dengan pemandangan alam luar biasa indah.
Aku segera melajukan mobilku ke arah studio yang berjarak sekitar 3 kilometer dari kantorku. Studio yang aku dan dua sahabatku bangun sebagai salah satu cabang bisnis kami. Abimanyu, seorang arsitek yang seangkatan denganku sebagai pemilik bangunan studionya, Mas Dewo, teman komunitas fotografiku yang menghandle semua urusan di studio, sedangkan aku sebagai satu-satunya wanita yang mengurusi marketing dan keuangan.
Studio ini merupakan bangunan besar bekas showroom mobil yang kami sulap menjadi studio foto Glass House dengan beberapa ruangan bertema. Tiap ruangan di lantai bawah memiliki 4 tema berbeda ditiap sudutnya. Dan dilantai atas kami buat beberapa ruang kamar untuk para karyawan dan fotografer juga ART yang membantu membereskan studio. Lengkap dengan dapur, mini bar dan ruangan untuk kami berkumpul.
Aku segera memarkirkan mobilku dan tersenyum pada Pak Samad, satpam studio yang membukakan pintu kaca itu. Dari arah kasir aku melihat empat orang gadis yang tertawa riuh sambil menunjuk-nunjuk foto yang baru saja mereka dapat dari Sasa. Mereka terlihat sangat puas dengan hasil pemotretan grup yang baru saja mereka lakukan.
Aku tersenyum. Inilah kebahagiaan. Kebahagiaan ketika orang lain merasa senang atas apa yang kita kerjakan.
Aku melintasi kasir dan melambaikan tangan pada Sasa.
"Kak Lintang.." panggil Sasa.
"Ya.." aku mengurungkan niatku untuk langsung naik ke kamarku di lantai atas.
"Ini ada kiriman buket bunga buat Kak Lintang."
Aku masuk ke area kasir, dan benar saja disana tergeletak sebuah buket mawar merah yang sangat besar.
Aku tersenyum. Tumben Hendy mengirimiku bunga..
Kuambil buket itu dan kusesap wanginya. Aku selalu suka bunga mawar. Terlebih warna merah. Kulihat ada sebuah kartu ucapan disana.
*Teruntuk Bungaku, Lintang
from Firman*.
Aku terhenyak. Firman? Apa maksudnya mengirimiku bunga? Kupikir bunga itu dari Hendy..
Aku teringat kalimat permohonan yang kemarin dia ucapkan. Tapi bukankah sudah aku bilang bahwa aku mencintai Hendy?
Kuletakkan lagi bunga itu diatas meja.
"Jadiin property buat yang prewed atau yang tema Princess aja," kataku sambil pergi meninggalkan Sasa.
"Sayang, Kak. Nggak Kakak bawa aja ke kamar?" teriaknya karena aku mulai menjauh.
"Nggak usah. Jangan lupa disemprot pake alkohol, biar awet. Itu mawar hidup!" teriakku juga dari atas tangga.
Aku masuk ke kamar dan mengambil beberapa helai pakaian juga sebuah jaket tebal. Memasukkannya ke dalam sebuah travel bag kecil. Tak lupa aku menyambar Nikon D 3100 ku, karena kamera terbaruku rusak ketika kecelakaan beberapa waktu lalu.
"Bi Siti, aku hari ini nggak pulang ya. Aku mau ke Garut, ada janji sama klien besok pagi. Takut nggak keburu jadi aku berangkat sekarang. Sekalian ngejar sunset," pamitku pada Bi Siti yang kebetulan sedang ada di dapur.
"Oh iya, Non. Hati-hati di jalan ya," pesannya sambil mengelus punggungku.
"Oke, besok juga udah balik sini lagi kok."
Aku kembali menuruni tangga.
"Sa, Mas Dewo mana?"
"Lagi motret guru-guru di ruang 1, Kak."
"Kalo Mas Dewo nanya bilang aja aku lagi ada urusan di Garut sampai besok ya."
"Iya, Kak. Hati-hati di jalan."
Aku mengacungkan jempol dan berjalan keluar. Pak Samad membukakan pintu untukku.
Dan setelah beberapa jam di jalan, disinilah aku. Tempat yang sangat aku sukai. Udara dingin langsung menyapa kulitku. Kurapatkan jaket tebal yang tadi sengaja kubawa. Aku sudah membooking sebuah kamar dengan bak air panas alami di dalam kamar. Menghadap Gunung Cikuray yang terlihat mengambang diatas hamparan awan. Memberi kesan seolah gunung itu tidak bersatu dengan tanah.
Namun sayang, cuacanya tidak mendukung untuk mengambil foto sunset.
Aku segera menuju kamarku yang nyaman.
Dulu aku sering kesini. Puncak Darajat. Tempat ini sesuai dengan namanya. Benar-benar ada di puncak gunung Darajat. Bila kita melihat ke bawah, hamparan kebun kol, kentang dan beragam sayuran lainnya siap memanjakan mata.
Orang pertama yang mengenalkan tempat ini adalah temanku Yuni, seorang crafter yang memiliki suami seorang fotografer, sama sepertiku. Kalau aku memilih memiliki studio di tengah kota, pasangan itu justru memilih memiliki studio di tempat wisata. Salah satunya di tempat ini.
Yuni yang merupakan seorang traveler juga membawaku menjelajahi tempat ini. Menyisir hutan ke Kawah Kamojang menjadi salah satu kegiatan wajib ketika aku mampir kesini. Dan tentu saja memenuhi memory kameraku dengan indahnya ciptaan Tuhan.
Tapi sekarang rasanya sepi, aku sendiri disini. Sepertinya Yuni sedang di rumah menemani anak-anaknya belajar. Sedangkan aku, menikah saja belum.
Kupandangi segaris kuning cahaya matahari yang siap meninggalkan permukaan bumi. Tertutup awan mendung yang tebal. Dan kabut pun mulai turun.
Aku segera masuk ke kamar. Merendam diriku sendiri di dalam bak air panas untuk merilekskan tubuhku yang penat.
Setelah puas berendam aku segera bergelung di dalam bedcover. Udara dingin mengingatkanku pada Hendy. Ya, Hendy selalu bisa menghangatkan hatiku setiap saat.
Oh tidak!! Hendy!! Aku lupa menghubunginya lagi setelah makan siang tadi.
Segera kuraih gawaiku. Mati. Pantas saja tidak terdengar suara pesan atau panggilan yang biasanya saling bersahutan.
Aku segera mengecharge baterainya.
Sambil menunggu, aku membuka laptopku. Mengecek email yang masuk. Tapi sepertinya perjalanan yang cukup panjang tadi membuat tubuhku lelah, dan sulit untuk tetap membuka mata. Dan aku pun tertidur.
...
Aku tersentak dari tidurku dan langsung melihat ke arah jam di atas televisi flat yang ditanam di dinding.
Pukul 3.45.
Aku segera menghidupkan handphoneku teringat hal terakhir yang aku lakukan semalam.
Benar saja, puluhan pesan dan panggilan bermunculan di layarnya. Tidak hanya dari Hendy. Dari Mama, Sasa, Mas Dewo, bahkan dari Firman pun ada.
Aku mulai membalas pesan itu satu per satu.
Dan tidak terasa waktu hampir menunjukkan saatnya sunrise. Ini saat yang paling ditunggu setiap Pelukis Cahaya, sepertiku. Segera kupakai jaketku dan keluar ke teras yang menghadap ke arah gunung. Semburat cahaya keemasan menandakan hadirnya hari baru. Kuambil kameraku dan mulai membidik. Kupakai bukaan lensa f 4 dengan speed 1/80 dan ISO 200.
Nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Keterangan:
Foto ini asli milik author ya.. jangan dijadiin cover 😊
yg mau mencoba silakan mampir ke tempat yang bersangkutan. Dan mohon maaf atas kenarsisan author di part ini.. 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Nacita
aku dari garut lohhhh ,😍
2024-02-22
0
sumiati
Author nya foto grafer juga yaa...foto sunset nya warbiasyah👍
2021-09-13
0
Dokter Ponsel
keren fotonya Thor.. bener kata BuDos.. cerita mu punya kajian ilmiah nya👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2021-08-04
1