Kumasukkan mobilku ke dalam garasi. Kutarik sling bag dan tas laptopku sebelum turun dari jok kemudi.
"Pulang, Non?" sapa Bi Imah di depan pintu dengan tangan terulur mau membantuku membawakan tas laptop.
"Iya, Bi," jawabku sambil tersenyum. "Yang ini nggak usah. Yang di mobil aja tolong masukin ke dalam, ya. Oya, kalau kamera sama paperbag biru, langsung taruh di kamar saya aja. Makasih lho Bi, sebelumnya."
"Iya, Non."
Kulangkahkan kaki memasuki ruang tamu yang sepi. Sejak aku memilih tidur di studio, otomatis penghuni rumah ini hanya Mama dan Papa. Meskipun ditemani beberapa orang asisten rumah tangga, tetap saja rumah ini terasa kosong. Kedua kakak lelakiku berada di luar kota dan luar negeri.
"Lin," panggil seseorang ketika aku melewati ruang keluarga.
"Hai, Pa," kuhampiri lelaki yang sedang menonton berita itu. Kusodorkan tanganku, memberi salam.
"Cuci tangan sama kakimu dulu, baru salim," ujarnya tanpa menerima uluran tanganku.
"Iya, iya. Lintang langsung ke atas aja ya, Pa. Nanti abis mandi baru ke sini lagi," kataku.
"Hemm."
Aku segera menaiki tangga. Begitu sampai di depan pintu kamar, kulihat Bi Imah sudah ada di dalam kamar sedang meletakkan bawaanku tadi.
"Bi, oleh-oleh yang tadi aku bawa jangan dikasih ke Mama semua. Percuma, mubadzir, banyak dibuangnya dari pada dimakannya. Sebagian taruh aja di dapur buat yang lain," ucapku saat kami berpapasan di pintu.
"Iya, Non. Makasih banyak," jawabnya sambil tersenyum tulus.
"Sama-sama."
Setelah empat jam berkendara ditambah tadi mampir dulu ke kantor Hendy untuk memberikan oleh-oleh, tubuhku terasa sangat lelah.
Waktu hampir mendekati magrib, aku bergegas masuk ke kamar mandi dan menyalakan kran shower.
...
"Kamu dari mana kemarin, Lin?" tanya wanita yang duduk di kursi yang berseberangan denganku.
"Dari Garut, Ma. Kan tadi pagi Lintang udah kasih tau," jawabku sambil menyendok makanan di piringku yang masih penuh.
"Sendiri?"
"Ya iyalah sendiri, emangnya mau sama siapa?"
"Kamu nggak pergi berdua sama Hendy, 'kan?"
"Ya nggak lah, Ma. Hendy juga kan banyak kerjaan. Apalagi akhir bulan gini. Mana sempet dia nganterin Lintang."
"Kali aja...."
"Kali apa? Mama suka su'udzon deh. Lintang juga tau mana yang bener, mana yang salah. Lintang bukan anak kecil lagi, Ma," dengusku.
"Karena Mama udah nganggep kamu wanita dewasa, makanya Mama bilang begitu. Lihat tuh, Angel, putri Bu Hadiwijaya, dia baru 25 tahun udah punya anak dua."
"Mama mulai lagi deh."
Ini yang membuatku malas pulang ke rumah.
"Sebenernya Hendy serius nggak sih, sama kamu?"
"Ma...."
"Apalagi yang dia tunggu? Dia nunggu kamu tua dulu, gitu?"
"Ma, please...."
"Kamu udah punya semua. WO-nya, butiknya, cateringnya, dokumentasinya. Apalagi? Bahkan dia nggak perlu ngeluarin biaya apa pun selain mahar."
"Ini yang Lintang nggak suka dari Mama. Mama selalu memandang remeh pada orang lain! Kata-kata Mama itu terlalu tinggi. Makanya Hendy nggak mau buru-buru nikahin Lintang, dia selalu merasa belum bisa setara dengan kita!" aku mulai meninggikan nada suaraku.
"Lintang, turunkan suaramu di depan Mamamu," ujar Papa datar.
"Pa, cobalah Papa ikut bicara. Jangan selalu menurutin maunya Mama," aku menatap Papa mengiba, meminta belas kasihan.
"Yang Mamamu bilang itu benar, Lin. Bukan masalah harta, tapi kami menuntut keseriusan kekasihmu itu. Untuk apa kalian pacaran lama-lama, kalau toh nantinya menikah juga. Bukankah lebih cepat lebih baik? Kamu putri kami satu-satunya, tentu kami ingin yang terbaik untukmu. Makanya kami mempersilakan kamu memilih calon pasanganmu sendiri. Kalau kami otoriter tentu sudah sejak lama kami menjodohkanmu dengan salah satu putra relasi kami," nasehat Papa panjang lebar.
Aku terdiam berusaha mencerna apa yang Papa sampaikan.
"Lin, dengarkan Mama. Kita ini perempuan. Secantik apa pun kamu, sekuat apa pun fisikmu sekarang atau nanti, kita tetap punya masa expire. Kalau kamu terus mengundur pernikahanmu, kapan kamu mau punya anak? Mungkin sekarang kamu belum memikirkan itu. Tapi kalau kamu sudah menikah, kamu pasti menginginkannya. Apa kamu pikir tiap pasangan yang menikah langsung bisa punya anak? Belum tentu, Nak. Ada kalanya kamu harus menunggu. Lalu ketika nanti anakmu masuk sekolah, berapa umurmu? Ketika anakmu menikah, berapa umurmu?" kata-kata Mama terasa mencekik leherku. Membuat napsu makanku hilang begitu saja.
"Lintang selesai," kuletakkan garpu dan sendok dengan posisi menyilang, kuambil serbet dan melap mulutku pelahan.
"Terima kasih makan malamnya. Lintang capek, mau istirahat." Aku langsung meninggalkan kursiku. "Selamat malam."
"Lin, Lintang!" seru Mama.
Aku tidak membalikkan tubuhku lagi. Menganggap panggilan Mama sebagai angin lalu. Aku memilih meneruskan langkahku menaiki tangga.
Apa yang harus kulakukan? Papa tidak membelaku sama sekali. Apa aku harus menghubungi kedua kakakku? Ah, malas rasanya. Mereka juga pasti membela Mama.
Kubantingkan tubuhku ke atas ranjang. Memandang atap kamarku yang tinggi. Kupijat pelipisku yang berdenyut. Pusing.
Terbayang wajah Hendy saat aku menutup mata. Tanpa menunggu lama, kusambar telepon genggamku itu. Kutekan namanya. Aku hanya butuh dia sekarang.
Kutempelkan benda pipih itu di telinga. Tapi yang terdengar hanya suara ringtone lagu favoritku. Kucoba lagi menelponnya untuk yang kedua kali. Masih saja belum terdengar salam dari ujung sana.
"Hendy, angkat dong, Hen," lirihku, seolah dengan aku mengatakan itu dia akan segera mengangkatnya.
Setelah sekian kali mencoba, akhirnya aku banting handphoneku itu ke atas bedcover bermotif shabby chic kesukaanku.
Aku kesal. Benar-benar kesal. Kemana orang itu?
Tiba-tiba terdengar sebuah notifikasi pesan masuk. Segera kuangkat benda yang tergolek itu. Aku mulai mengerutkan kening ketika nama Arum terlihat mengirimkan sebuah video.
Kubuka video yang Arum kirim. Tiba-tiba air mataku meluncur begitu saja dari mataku. Di video itu terlihat Firman sedang berusaha berdiri dari kursi rodanya, dibantu oleh Pak Diman. Suster kemudian memberikan kruk kepadanya. Dia berusaha memposisikan kruk itu di antara kedua ketiaknya dengan benar. Terlihat Firman meringis menahan sakit ketika dia mulai melangkahkan kakinya di rumput. Keringat terlihat di wajah tegangnya. Tapi kemudian dia tersenyum setelah dia bisa maju beberapa langkah.
Tak terasa aku pun ikut tersenyum diantara tangisku. Aku merasa sangat egois. Aku terlalu mementingkan urusanku sendiri dan mengabaikan tanggung jawabku padanya. Seandainya waktu itu dia tidak menolongku, apa yang akan terjadi padaku saat ini? Masihkah aku bisa berjalan-jalan seperti ini? Atau lebih buruk, mungkin hanya tinggal namaku yang tertulis di batu nisan.
Aku masih menatap layar ponselku.
Tiba-tiba di sana Firman berhenti melangkah, lalu dia melihat ke arah kamera dengan tatapan yang menghangatkan hatiku. Seolah kami sedang bertatapan secara langsung, dia berkata dengan lembut, "Aku bisa berjalan lagi, Lin."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Indah Wirdianingsih
mas firman emang the best
2024-04-17
1
Jong Nyuk Tjen
ad ya laki2 seperti firman , cinta ny ga lekang oleh waktu
2024-02-06
1
Dhinok Farrel
semangat latihan dan terapi bang Firman.....
2023-10-21
1