Cinta Masa Lalu
"Oke ... jalan terus ... pelan aja ... senyum ...." Aku memberikan arahan pada dua sejoli yang akan menikah bulan depan itu.
Kuperhatikan terus layar tiga inci di depanku untuk mendapatkan hasil gambar terbaik.
"Oke, cukup!" aba-abaku.
Kedua calon mempelai itu berlari ke arahku tak sabar ingin melihat hasil jepretanku tadi.
"Iih Kak, bagus semua! Jadi bingung mau pilih yang mana," kata si Cewek.
"Kita cetak aja semua, Sayang," ujar si Cowok.
Aku mengulum senyum.
Nih cowok beneran cinta mati sama ceweknya.
Kami memulai foto prewedding ini dari jam delapan pagi. Sekarang jam sebelas siang. Sudah tiga jam kami melakukan sesi pemotretan ini. Sedangkan aku bisa mengambil lima frame dalam satu detik.
Hitunglah satu jam kami mengambil gambar, sisa dua jamnya untuk mengarahkan gaya dan lain-lain, itu berarti 3600 detik dikali lima. Berarti 18.000 lembar yang ingin dia cetak.
Manis sekali.
"Kak, nanti bisa lihat-lihat hasil gambarnya di studio aja, ya. Kalo di sini kan kecil. Kalo di sana puas liatnya. Tinggal bilang sama Mas Dewo atau Kak Zay mau yang mana yang dicetak besar. Nanti juga pasti dikasi copy-annya kok. Jadi semua yang kita ambil hari ini bisa dipasang buat status atau foto profil," kataku sambil tersenyum.
"Kalau gitu abis ini kami langsung ke studio aja, ya," kata si Cewek, sumringah.
"Silakan," kataku.
"Sa, tolong kasihin ini ke Mas Dewo, ya," kubuka kartu SD nya dan memberikannya pada Sasa, salah seorang karyawanku yang menemani pemotretan hari ini.
"Bay, nitip ya," kulepas lensa telenya.
"Aku mau bawa kameranya. Langsung balik ke studio aja."
"Iya, Lin," Bayu langsung memasukkannya ke dalam tas kamera.
Lelaki itu pun segera membereskan tripod dan semua peralatan yang kami pakai tadi.
Kulambaikan tangan pada mereka yang sudah berada dalam mobil.
"Jadi udah beres?" tanya seorang pria di belakangku.
Aku berbalik.
"Udah." Kuberikan senyum terbaikku. "Jadi, kapan prewed kita?"
Pria itu tertawa.
Ya, pria yang berdiri di hadapanku sekarang adalah kekasihku selama dua tahun ini, Hendy Prayoga.
Dan aku adalah Lintang, seorang arsitek yang menyukai photography.
Aku dan beberapa rekan membuka bisnis studio foto yang berkonsep anak muda di Kota Kembang.
Tak hanya studio foto, kami pun memiliki percetakan dan wedding organizer.
"Memangnya kamu pengen buru-buru nikah?" tanya Hendy.
"Nggak sih, aku masih suka travelling kemana-mana. Tapi kamu tau sendiri kan mama ngomong mulu, pusing tau."
Aku yakin, mama memaksaku cepat-cepat menikah karena tetanggaku terus memanas-manasinya.
Masa gadis 27 tahun, seorang arsitek, mapan, belum juga nikah.
"Iya, aku ngerti," kata Hendy. "Tapi nggak sekarang-sekarang ya, aku belum pede memintamu sama Papa. Aku masih minder."
"Yaelah Hen, emang aku minta mahar apaan sih sama kamu," kataku mulai sebal. "Aku kan nggak minta apa-apa. Jadi jangan terlalu memaksakan diri sendiri. Kalo aku diambil orang, baru tau rasa kamu."
"Bukan gitu maksudku, Lin. Tapi kan aku harus bisa setidaknya mengimbangimu," argumen Hendy. "Kan nanti aku yang jadi kepala rumah tangganya."
"Kelamaan," kataku sambil mulai berjalan menyusuri Jalan Braga.
Aku berjalan sambil memotret apapun yang menurutku menarik.
Apalagi sepanjang jalan Braga dan Asia Afrika banyak bangunan dan spot-spot foto yang menarik.
Jalanan siang ini sangat ramai. Apalagi hari ini week end.
Aku masih terus meneropong lewat lensa, ketika tiba-tiba mataku menangkap sosok seorang anak kecil berusaha menyeberang jalan.
Anak itu terlihat ragu.
Dia berkali-kali maju dan mundur lagi.
Dia tidak seharusnya ada di sana. Karena di sana adalah jalur cepat.
Ada jembatan penyeberangan tapi memang agak jauh jaraknya.
"Hen, liatin anak itu deh. Kok perasaan aku nggak enak, ya," bisikku pada Hendy.
Hendy memperhatikan anak yang kumaksud.
"Anak ilang kali, Lin," kata Hendy.
"Aku samperin aja deh."
Akhirnya aku berjalan mendekati anak itu.
Sebelum aku sampai ke tempat anak itu, anak itu malah nekat menyeberang.
Aku segera berlari.
"Awas!!" Aku berteriak sekencang yang aku bisa.
Sebelum mobil itu menyentuh tubuh si Anak, aku berhasil menarik dan menggendongnya.
Anak itu berada dalam pelukanku ketika kurasakan benturan yang sangat keras.
Aku tak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku.
Aku hanya merasa ada seseorang yang memelukku dari belakang dan terdengar bunyi decitan ban mobil yang beradu dengan aspal.
Dan aku pun tak sadarkan diri ...
...
Telingaku sayup-sayup menangkap suara-suara di sekitar.
Aku berusaha keras untuk membuka mata.
Cahaya lampu terlihat sangat menyilaukan hingga aku memicingkan mata.
"Dia udah sadar, Suster!" Terdengar suara Hendy yang penuh dengan kekhawatiran.
"Cepat panggil Dokter!"
Kuedarkan pandanganku ke setiap sudut tempat ini.
Dimana aku?
"Kamu nggak pa pa, Sayang?" tanyanya khawatir.
Ada kecemasan yang amat kentara di wajah tampannya.
"Apa yang kamu rasain sekarang?" tanyanya lagi.
Sebelum aku menjawab, dokter sudah lebih dahulu datang.
...
Aku berdiri di depan pintu sebuah ruang inap.
Kutarik napasku berkali-kali sebelum kuhembuskan lagi.
Mau masuk, tapi ada ragu.
Akhirnya kuberanikan diri masuk dan melihat keadaan orang yang berada di dalamnya.
Menurut Hendy, ada orang lain yang menolongku dan anak itu.
Dia melindungi tubuhku sehingga aku hanya mengalami sedikit benturan dan lecet-lecet.
Kuketuk pintu itu dan mendorongnya perlahan.
"Hai," sapa sang Pemilik Kamar, lemah.
Mataku terbelalak. Tak percaya dengan penglihatanku.
Aku menutup mulutku agar tak keluar suara isakan dari sana. Namun, mata tak bisa berdusta. Air mataku langsung meleleh di pipi.
Dia, yang sedang berbaring disana adalah sahabatku sejak sekolah menengah pertama.
"Firman ... kamu ...." Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
Aku tak bisa menyembunyikan rasa bersalah melihat lelaki itu terbaring di atas tempat tidur dengan kondisi kepala dibalut kain kasa dan kaki di gips.
"Kenapa kamu lakuin ini?" tanyaku pelahan.
"Kok pake 'kenapa'?" tanyanya sambil nyengir, menahan nyeri.
"Apa harus ada alasan buat nolongin orang?"
Kulangkahkan kaki menuju bednya. Kuseka air mataku dengan punggung tangan.
"Makasih, ya," ucapku lirih.
"Buat apa?" tanyanya konyol.
"Kok buat apa, sih? Ya buat pertolonganmu ini. Kok malah nanya." Kukerucutkan bibirku. Pura-pura merajuk.
"Kamu berharap terima kasih dari anak yang kamu tolong?"
Aku menggeleng.
"Sama, aku juga begitu," jawabnya.
"Seandainya pun itu bukan kamu, aku akan tetap tolongin, kok. Jadi jangan sungkan."
Rizky Firmansyah, aku mengenalnya ketika papaku ditugaskan di sebuah kota di Jawa Tengah, kota seribu bunga, Magelang. Sebuah kota yang sejuk dan asri.
Kami satu sekolah ketika sekolah menengah pertama dan bersama dalam satu kelas selama dua tahun.
Kami bertemu lagi ketika kami kuliah di universitas yang sama, tapi berbeda jurusan.
Dan kini, dia terbaring disini karena menyelamatkanku.
Tiba-tiba pintu terbuka dengan keras.
Kami menengok ke arah pintu bersamaan.
Seorang gadis muda masuk dengan wajah pucat. Dan di depan pintu, aku melihat Hendy berdiri tanpa niat untuk masuk.
"Mas!!" teriak sang Gadis.
Sang Gadis langsung berlari menghambur ke bed tempat Firman terbaring.
"Mas, kenapa bisa jadi begini?"
Mas?
Siapa dia?
Istrinya?
Pacarnya?
Apa yang harus aku katakan padanya?
Maaf, saya sudah membuat kekasih Anda celaka?
Begitu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
𖣤᭄ اندي وحي الد ين
mampir dulu disini, baru baca 1 bab tapi tidak lupa meninggalkan jejak komen, like, subscribe, 1 cangkir kopi dan 1 vote! serta di akhiri bintang puyer eh bintang lima nya
2024-08-06
1
Mom F
Lgsg like sm ksh vote kak othor..
2022-03-16
0
BINTANG PENGHACUR
kayak dongeng
2021-12-16
0