"Ibu!" teriak Arum.
Gadis itu langsung berdiri dan berlari ke arah pintu depan tanpa alas kaki.
Aku pun ikut berlari ke arah yang sama, juga dengan meninggalkan kitten heelsku.
"Ibu, kok nggak bilang dulu kalau Ibu mau ke sini?" Arum segera mengambil tangan ibunya dan menciumnya takzim.
"Ibu nggak mau ngerepotin kamu, Nak," kata ibunya sambil mengusap kepala gadis itu dengan penuh sayang.
Tiba-tiba Ibu itu melihat ke arahku yang berdiri di belakang Arum. Dahinya mengernyit, seolah memikirkan sesuatu yang berat.
"Kamu, Lintang, 'kan?" tanyanya sambil menunjukku.
"I..iya, Tante," jawabku takut-takut.
"Ya Allah, Nak. Akhirnya ketemu juga sama kamu. Susah banget mau ketemu kamu. Apa kabar, Nduk?" Ibu itu langsung merengkuhku dalam pelukannya.
Aku yang bingung mau tidak mau ikut membalas pelukannya.
"Saya baik, Tante," jawabku setelah beliau melepaskan pelukannya.
"Oalah, pantes Masmu nggak mau dikenalin sama yang lain wong sing iki ayune koyo ngene¹," kata Ibu sambil memegang kedua lenganku sambil menilikku dari atas sampai ke bawah.
"Ah, Tante bisa aja," aku tersipu mendengar pujiannya.
Tiba-tiba pintu depan terbuka dengan keras. Dan Firman berdiri di sana dengan wajah tak kalah terkejut seperti Arum. Napasnya tersengal-sengal seperti habis berlari puluhan kilometer.
"Lho, kamu ada di rumah tho, Le?" Ibu Firman juga kaget melihat anak lelakinya.
"Ko nggak bilang sama Ibu kalau kamu udah pulang. Lah ini kenapa kakimu?" katanya khawatir. Segera dihampirinya lelaki itu.
"Bu," diambilnya tangan ibunya. Diciumnya tangan itu.
"Ini kenapa?" tanya Ibu dengan gusar melihat anaknya bersandar pada kruk.
"Hem, anu, Bu...," Firman melihat ke arahku dan Arum, "jatuh di tangga."
Aku memelototinya. Kenapa dia meski berbohong?
"Kowe ko sembrono tho, Le²," keluh sang Ibu.
"Maaf, Bu."
"Yo wis, masuk semua, yuk," ajaknya sambil menggiring kami semua masuk ke dalam.
"Ibu, kok nggak ngasih tau dulu kalau mau dateng? Kalau tau Ibu dateng, kan bisa dijemput sama Pak Min," kata Firman.
"Halah, wong cuma dari stasiun kesini aja kan deket," sergah Ibu. "Pake taksi online aja kan bisa."
"Ibu sendirian ke sininya?" tanya Arum.
"Iya, Bapakmu sibuk terus. Tapi kalau tau kamu di rumah, pasti Bapakmu ikut. Apalagi kalau tau akan bertemu calon mantunya di sini."
Aku yang duduk berseberangan dengan beliau, merasa jantungku akan melompat mendengar kata-katanya.
Calon mantu?
"Sini, Nduk, duduknya deketan sama Ibu," perintahnya.
Aku tersenyum dan mengangguk.
Arum mengalah dan bertukar tempat denganku.
"Nggak tau berapa kali Ibu kesini selalu saja nggak bisa ketemu kamu. Kamu sibuk opo tho, Nduk?"
Firman menatapku dengan pandangan memohon. Aku tidak mengerti maksudnya.
"Saya masih ngerjain proyek sebagai arsitek, Tante. Juga ngurusin Wedding Organizer sama studio foto," jawabku sambil tersenyum.
"Tapi waktu terakhir Ibu ke sini, kata Firman kamu lagi.. ke mana itu, Man?" tanya Ibu sambil berusaha mengingat.
"Himalaya."
"Ya, Himalaya. Ngapain tho, Nduk, perempuan kayak kamu kok ikut-ikutan naik gunung."
"Itu tahun kemarin, Tante. Sekitar bulan Maret," kataku.
"Iya, Ibu tuh pengennya kalian cepet-cepet nikah. Lah ini malah yang satu di Nepal, yang satu di Prancis. Yang satu ke Singapura, yang satu ke Swiss. Mumet Ibu, kapan ketemunya?" Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Cepet nikah?
"Tapi kan kami memang sedang sibuk-sibuknya, Bu," Firman berusaha mengalihkan pembicaraan ibunya.
"Yang namanya kerjaan nggak ada beresnya, Le. Ya udah nikah dulu aja, nanti diterusin kerjaannya."
Aku melongo. Siapa yang mau nikah?
"Ya udah, gini aja. Nak Lintang, nanti malam Ibu sama Firman main ke rumahmu, ya?" kata Ibu sambil menyentuh lututku lembut.
"Nanti malam? Ada apa ya, Tante?" tanyaku dag-dig-dug.
"Buat ngelamar kamu lah, apa lagi? Kalian sudah sama-sama dewasa. Sudah waktunya menikah. Lagian ngapain lama-lama pacaran," ujarnya.
Lama-lama pacaran? Apalagi ini?
"Maaf Tante, tapi...."
"Bu, nggak kecepetan emangnya? Masa aku ke sana dengan keadaan seperti ini?" potong Firman menyelamatkanku.
"Lah memangnya kenapa? Bukankah lebih cepat lebih baik. Lagipula kan kalian nikahnya nggak besok juga, mungkin bulan depan atau beberapa bulan lagi. Setidaknya kalian sudah terikat, Le. Memangnya kamu nggak pengen nikahin Lintang secepatnya?" tanya Ibu.
"Kalau Ibu tanya aku, hari ini pun aku siap menikahi Lintang." Firman melihat ke arahku dengan wajah serius. "Tapi Lintang...."
"Kalian ini aneh. Ibu sudah beri jalan yang terbaik." Ibu merasa sangat kesal.
"Aku minta waktu sebentar ngobrol sama Lintang ya, Bu," pinta Firman.
"Ya, terserah kalian aja, Ibu manut," Ibu memberi isyarat pada Arum agar mengikutinya.
"Ini ada apa sih, Man? Aku nggak ngerti deh," ucapku saat Ibu dan Arum sudah tidak terlihat.
"Maaf ya, Lin. Aku tau kamu bingung." Dia beringsut mendekatiku. "Kamu tau kan aku cinta kamu dari dulu?" tanyanya.
"He eh."
"Dari dulu aku udah bilang sama Ibu, kalau aku cuma mencintai kamu. Tapi Ibu nggak percaya. Beliau terus aja mencoba menjodohkanku dengan perempuan lain. Aku jelas menolaknya. Lalu beliau minta ketemu sama kamu. Aku bisa apa, selain berbohong. Tiap Ibu tanya, aku pasti bilang kamu lagi travelling. Aku bilang kita udah pacaran sejak kita kuliah. Dan sekarang kita sama-sama sibuk sampai ketemu aja jarang."
"Kok kamu tau Maret tahun lalu aku ke Himalaya?"
"Kan ada di Instagram kamu," katanya.
"Emang kamu follow aku?"
"Semua medsos kamu."
"Kok aku nggak tau, ya?" aku mencoba mengingat-ingat.
"Terlalu banyak follower kamu," ujar Firman sewot.
"Jadi gimana sekarang?" tanyaku.
"Aku mohon sama kamu, Lin. Untuk kali ini aja, ikutin maunya Ibu, ya?" Firman menangkupkan kedua tangannya.
"Maksudmu, aku harus mau kamu lamar, gitu?"
Firman mengangguk.
"Lagian kamu gampang banget pake nama aku buat tameng nggak mau dijodoin. Kenapa nggak bilang aja kalau kamu emang nggak mau. Malah bawa-bawa aku."
"Aku nggak akan menikah kalau itu bukan sama kamu, Lin," katanya serius.
"Huss, nggak boleh ngomong gitu! Tar kalau bener kejadian gimana? Kita nggak pernah tau besok kita bakal berjodoh sama siapa," kataku.
"Kalau begitu ayo kita coba hubungan ini. Aku minta waktumu tiga bulan. Tiga bulan aja. Kalau aku nggak bisa bikin kamu jatuh cinta sama aku, aku akan coba lupain kamu. Namun, seandainya kamu serasakan rasa yang sama, kita menikah. Nggak perlu ada sandiwara lagi. Kita akan menjadi suami istri seutuhnya," Firman memegang kedua tanganku.
"Modus ya kamu." Kutarik kedua tanganku. "Itu enak di kamu nggak enak di aku. Kamu yang salah pake boong sama Ibu. Bilang aja jujur sekarang."
"Dan menghancurkan semua harapannya?"
"Kok kamu ngomongnya gitu? Seolah-olah aku yang jahat di sini," aku langsung memasang muka cemberut.
"Ya, aku yang salah di sini. Prediksiku salah. Aku nggak kepikiran Ibu akan ke sini dengan kondisiku yang seperti ini. Ditambah aku nggak tau kalau kamu sedang berada di sini."
"Tadi aku ke sini kamu lagi rapat. Jadi aku sama Arum ngerujak berdua di halaman."
"Ngerujak?"
Aku mengangguk.
Dia tertawa terbahak-bahak.
"Apanya yang lucu?" tanyaku.
"Nggak ada, tapi aku seneng aja kamu mau ke sini cuma sekedar mau ngerujak sama Arum," Firman masih belum berhenti tertawa.
"Jadi gimana? Kalau ibumu beneran datang ke rumah, aku harus gimana?"
"Ya, itu terserah kamu."
"Kalau aku nggak mau bantu?"
"Ya kita sama-sama malu."
Aku berpikir keras. Apa aku harus menerima tawaran Firman? Toh, sekarang sudah tidak ada Hendy. Tapi aku bukan tipe wanita yang suka mempermainkan hubungan.
"Kalau aku nerima tawaran kamu untuk tiga bulan kedepan, apa keuntungannya buat aku?" tanyaku setelah berpikir.
"Apa pun yang kamu mau, aku penuhi. Termasuk belanja dan travelling."
"Aku bukan wanita matrealistis. Aku bisa bayar itu semua," sergahku.
"Aku belum bisa menjanjikanmu yang lain. Sekarang aku hanya punya itu, dan segenap cintaku yang hanya untukmu." Matanya meneduh memandangku.
"Gombal!" Kutoyor dahinya, menyembunyikan rasa berdebar mendengar ucapannya.
"Gini aja, aku mau selama tiga bulan kesepakatan kita, kamu harus menyumbang untuk panti asuhan dan panti jompo yang biasa aku kunjungi. Setuju?"
"Kamu mau aku bersedekah?" dia terlihat bingung.
"Iya, nggak ada salahnya 'kan? Selain membersihkan hartamu, sedekah juga akan membuat hartamu tumbuh subur."
"Tidak sia-sia aku menunggumu begitu lama. Kamu benar-benar calon istri yang sempurna. Kamu tidak sekedar cantik, tapi juga baik hati dan peduli pada orang lain." Aku melihat matanya berkaca-kaca.
"Hei, jangan terlalu jauh berpikir. Kamu belum tau aja jeleknya aku," kataku sambil memperlihatkan senyum smirk.
"Aku terima kamu dengan segala keburukanmu."
"Jangan mulai...."
"Jadi, kita sepakat?" tanyanya sambil menaikkan jari kelingkingnya.
"Sepakat!"
"Eh, Hendy gimana?" tiba-tiba Firman menyebut nama yang tidak ingin lagi kudengar.
Keterangan:
wong sing iki ayune koyo ngene: orang yanga ini cantiknya seperti ini.
Kowe ko sembrono tho, Le?: Kamu kok ceroboh sih, Nak?
Nduk: panggilan untuk anak perempuan (Jawa)
Le: panggilan untuk anak laki-laki (Jawa)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
sumiati
sukaaa
2021-09-13
0
moemoe
sumbu pendek jg s hendi ni 🤣😂
2021-02-27
1
San Hanna
Hendy ke laut. Berenang sama Dolp, terus ditelen hiu basking.
((gemeeeeees sama cowok itu. nggak mau berjuang banget.))
2020-12-17
2